Menjadi Konsumen Hijau Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

94 yang mulai dikembangkan sejak tahun 1978 di Australia dengan prinsip pertanian secara natural dengan beragam jenis tanaman. “Tanaman kita di bawah nggak ada yang 1 jenis tanaman, nanamnya itu harus macam-macam, ada padi, cabe, tomat, matahari, sawi, prey. Kamu pernah dengar nggak kabarnya di hutan ada hama? Enggak pernah, karna mereka tanamannya macam-macam, mereka kan melindungi satu dengan yang lain. Jadi kalo bikin kebun yang paling baik itu adalah bikin ekosistem. Begitu bikin ekosistem yang terjadi adalah ada kupu, ada belalang, ada semut, ada macam-macam, sehingga rantai makanannya berjalan, keseimbangan ada, yang satu makan yang satu, sudah, nggak harus semprot, nggak harus pake urea dan sebagainya, itu yang dilatih di permaculture course. Bikin area, yang pertama rumah sama kebun, yang kedua binatang ternak, yang ketiga itu soft forest, itu tanaman lunak, keempat itu tanaman keras, wild forest. Kalau tata letak seperti itu dilakukan di semua Indonesia, nggak ada orang kelaparan, nggak butuh uang orang, karna sudah benar-benar bagus nih.” Menurut Pak Soleh, pertanian adalah misi utama keluarga ini. Pertanian permaculture yang dikembangkan memuat 2 misi, yakni menjaga lingkungan hidup dan memberi inspirasi. Inspirasi ini ditujukan kepada petani-petani konvensional dan anak-anak petani yang dianggap tidak suka bertani “Kita coba meng-courage anak-anak muda supaya jangan ke kota, jadilah petani. Kalau ada suatu kelompok ingin menguasai negara lain itu gampang kok, kuasailah sumber pangannya. Indonesia ini nggak ada sumber pangan, kemarin aja Dirjen Pangan kesini nangis-nangis karna dia bilang 98 orang Indonesia impor terigu kok, hanya 2 orang Indonesia makan hasil Indonesia. Dan petani sekarang banyak yang sakit, ya iya 95 karna mereka pake pestisida, mereka disconnect to the nature, karna cuman pingin dapat untung yang banyak.” Tidak hanya pangan, keluarga ini juga membuat sendiri kebutuhan- kebutuhan lainnya, yaitu sabun, minyak kelapa, tas, serta air bersih, energi gas dan listrik. Pak Soleh menjamin water filter system yang mereka jalankan bisa menghasilkan air bersih yang bisa diminum kapan saja tanpa harus dimasak lebih dahulu sebagaimana umumnya air minum di Indonesia. Gas didapat dari pengolahan kotoran sapi dan manusia dengan sistem Biogas. Sementara energi listrik dibuat dari kombinasi tenaga surya dan diesel, yang termasuk energi terbarukan karena tidak berasal dari energi fosil. Teknologi modern ini dipasang oleh seorang ahli, warga negara Jerman keturunan Indonesia dan pernah bekerja di Dubai yang mereka sebut sebagai teman. Keluarga ini memang tidak bersedia memakai energi listrik dan gas dari negara PLN atau Perusahaan Listrik Negara karena menggunakan bahan bakar fosil dan merusak lingkungan hidup. Keluarga ini mendapatkan penghasilan mereka dengan menjadi pedagang segala macam bahan organik. Baik melalui warung di Green Family Homestead maupun lewat komunitas pasar organik. Di komunitas ini keluarga Green Family adalah salah satu tokoh yang amat penting. Dimulai sejak tahun 2006, Pak Soleh mengaku awalnya tanah yang mereka diami bukanlah tanah subur. Tanah itu dulunya disebut sebagai 96 tanah yang tidak produktif dan kering. Pak Iman beserta kedua anak dan menantunya mulai membangun Green Family dengan penanaman pohon, berlanjut dengan mendirikan hutan. Setelah itu mereka mulai mendirikan kediaman, pertanian, serta instalasi energi. Karena itu keluarga ini dibantu oleh baca: memperkerjakan penduduk yang tinggal di sekitar areal mereka. Saat mengunjungi areal ini saya melihat beberapa orang bekerja di kebun organik. Ada pula yang bekerja di gudang tempat beberapa mesin dan peralatan teknik, dan beberapa perempuan menjadi juru masak dan pelayan di warung yang mereka kelola. Salah seorang juru masak di warung mengatakan bahwa ia tinggal di desa yang tidak jauh dari lokasi Green Family dan sudah setahun lebih ia bekerja di tempat itu. Meski mengaku bahwa keinginan mereka adalah dekat dengan alam saja, nyatanya keluarga ini mulai mendiami sejak tahun tahun 2013. Masa ketika areal di Green Family sudah mulai terlihat wujudnya sebagai homestead yang mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga sejahtera. Yaitu keluarga yang dekat dengan alam, dikelilingi oleh udara bersih dari pepohonan, tersedia energi listrik, air bersih dan bahan pangan, dilengkapi sanitasi dan higienitas dengan standar modern. Konsep homestead hijau bukanlah fenomena langka di Indonesia. Di Yogyakarta ada sebuah distributor berbagai produk organik berlabel greenmommy yang menjual berbagai macam peralatan harian seperti 97 sabun mandi, shampo, hingga peralatan make-up seperti pelembab kulit dan lipstik. Label greenmommy hanya memiliki distributor saja di Yogyakarta. Pusat produksinya berada di Malang, Jawa Timur, oleh sebuah keluarga yang juga menerapkan homestead dan sistem pertanian permaculture. Sistem yang diterapkan sangat mirip dengan Green Family. Hutan, pertanian organik serta peternakan sapi dan unggas mengelilingi kediaman keluarga ini. Kebutuhan energi listrik, gas dan air bersih tidak membutuhkan campur tangan negara. Mereka juga memiliki tempat ibadah, sekolah dan tempat bermain bagi anak-anak secara privat, dan tentu saja mempunyai beberapa karyawan yang berasal dari penduduk sekitar. 2. Rumah Membangun rumah ramah lingkungan adalah salah satu yang paling diinginkan partisipan. Yakni rumah yang dikelilingi banyak pohon dan tanaman sehingga terasa sejuk dan berudara bersih. Selain itu yang terpenting adalah tersedianya air yang bersih dan tidak tergantung kepada alat pendingin ruangan yang membutuhkan energi listrik yang cukup banyak. Mbak Aminah adalah salah satu yang menerapkan gaya hidup hijau mulai dari rumahnya. 98 “Di daerah Km 8,5 aku beruntung punya tanah sepetak gitu, tahun 2006 aku membuat rumah dari tradisional Jawa, rumah Limasan gitu. Konsep rumah Limasan kan sebetulnya memang rumah tropis ya, aku bikin rumah dengan jendela besar-besar dengan pintu lipat yang sirkulasi udaranya bagus. Jadi sebetulnya kalo bicara soal konsumsi listrik, rumahku sendiri sebetulnya rumah yang paling friendly untuk semacam itu. Jadi kalo siang hari aku nggak pake fan, apalagi AC gitu ya, aku nggak pake lampu, praktis kalo siang itu yang nyala cuma kulkas. Yang lainnya nggak nyala sama sekali. Jadi kalo Earth Hour itu aku sudah melakukannya setiap hari, bukan cuma 1 jam.” Mbak Aminah, wawancara, tanggal 5 Oktober 2015 Lantas bagaimana keluarga Mbak Aminah dapat tetap nyaman tinggal di rumah ini tanpa kipas angin dan pendingin ruangan di daerah Yogyakarta yang panas? Mbak Aminah bekerja di kota Yogyakata sebagai manajer di sebuah kampus terkenal di Yogyakarta, sementara untuk tempat tinggalnya ia memilih daerah yang cukup jauh dari kota. Rumah itu terletak di ujung jalan dan dikelilingi oleh persawahan penduduk. Rumah bergaya jawa Limasan itu dibeli bekas dari Kulon Progo seharga Rp 4 juta. Dibantu seorang arsitek rumah itu kemudian didesain ulang untuk memenuhi kebutuhan sebuah keluarga yang terdiri dari ruang tidur, ruang keluarga dan ruang tamu, dapur serta 2 buah kamar mandi. Sang arsitek berperan besar dalam merancang rumah dengan sirkulasi udara dan cahaya matahari yang baik, namun bukan ini saja faktor yang membuat rumah ini tetap segar. Faktor tambahan itu adalah kehadiran pekarangan atau kebun yang ditumbuhi deretan pepohonan bermacam- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 99 macam jenis. Sehingga tentu wajar jika keluarga Mbak Aminah tidak membutuhkan pendingin ruangan bahkan kipas angin sekalipun. Fenomena kehidupan di wilayah perkotaan tampaknya makin mengalami pergeseran. Dahulu orang-orang khususnya yang kaya berlomba-lomba tinggal di tengah kota untuk mendapatkan status masyarakat modern, maka sekarang situasinya justru terbalik. Kota semakin dipenuhi dengan gedung-gedung besar, modern dan mewah, sebagian besar orang yang sangat kaya justru menghindari wilayah ini sebagai tempat tinggal. Jadi ada 2 cara untuk mendapatkan rumah yang ramah lingkungan. Yang pertama tinggal di perumahan mahal yang dibangun oleh pengembang yang berlabel ramah lingkungan, dan yang kedua adalah tinggal di pinggiran kota sub urban seperti yang dilakukan oleh Mbak Aminah dan keluarga. Di pinggiran kota Mbak Aminah bisa membeli tanah yang cukup luas untuk membangun rumah sekaligus kebun dengan harga yang tidak semahal harga tanah dan rumah di kota. Selain biaya, banyak keuntungan yang bisa ia dapatkan. Di situ ia bisa menikmati udara bersih, tidak seperti udara kota yang sangat kotor. Bisa mendapatkan suasana yang tenang, tidak seperti di kota yang terlalu ribut oleh polusi suara. Serta bisa mendapatkan pemandangan langit malam hari, tidak seperti kota yang terganggu karena cahaya lampu-lampu dari berbagai papan iklan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 100 Cara yang sama juga dilakukan oleh Ibu Dian bersama keluarganya. Rumahnya dibangun dengan jendela-jendela yang lebar dan pekarangan untuk pepohonan sehingga rumah tidak membutuhkan pendingin ruangan. Begitu banyaknya pepohonan dan tanaman hias membuat sang pemilik rumah hampir selalu membuka jendela rumah tanpa rasa takut debu dan polusi udara memasuki dan mengotori rumah. Keberanian ini didukung oleh jarak rumah yang tidak terlalu dekat dengan masyarakat sekitarnya. Tidak berhimpitan dengan rumah-rumah lain dan tidak dilintasi oleh lalu-lalang kendaraan, mirip dengan rumah keluarga Mbak Aminah. Rumah yang hijau itu berarti harus membangun rumah dengan desain khusus, salah satunya melalui bantuan jasa seorang arsitek. Ia berjarak dengan rumah orang lain, serta memiliki cukup tanah untuk dijadikan pekarangan atau kebun untuk berbagai pohon dan tanaman. Rumah yang demikian tentu membutuhkan keseriusan sang pemilik rumah, areal tanah yang cukup, serta biaya yang tidak sedikit. 3. Makanan Organik Tanggal 22 April 2016 beberapa aktivis hidup hijau dari berbagai komunitas hijau Yogyakarta berkumpul membicarakan sumbangan makanan pribadi kepada pelestarian lingkungan. Diskusi itu bertema sangat jelas: Jaga Lingkungan Dari Meja Makan. Yang menjadi sorotan utama diskusi adalah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 101 pertanian sebagai sumber pangan dan perilaku individu sebagai konsumen pangan. Para pemateri dalam diskusi ini menyatakan ada 3 persoalan utama terkait lingkungan hidup dengan pertanian dan kehidupan para petani di Indonesia. Yang pertama adalah situasi pertanian konvensional yang menjauhkan petani dengan konsumen. Situasi ini membuat petani berada dalam lingkaran setan kemiskinan, membuat konsumen tidak bisa mendapatkan pangan yang sehat dan segar, serta faktor transportasi dari petani ke konsumen menyumbang polusi udara dan pemanasan global. Yang kedua adalah sikap para petani yang tidak mau menikmati hasil pertaniannya sendiri. Para petani dianggap menjual seluruh hasil pertanian mereka untuk kemudian membeli lagi bahan makanan dari tempat lain dengan kualitas dan harga lebih rendah. Situasi ini dianggap sebagai faktor utama yang menyebabkan keluarga petani memiliki kesehatan yang buruk, selain faktor lingkungan pertanian yang dipenuhi pestisida dan pupuk sintetis. Dan masalah ketiga adalah kurangnya komitmen dan kemampuan masyarakat sebagai konsumen dalam mengolah dan menghargai makanan. Ketidakmampuan ini menciptakan situasi ironik. Bahwa di tengah-tengah krisis pangan ternyata sepertiga bahan makanan dibuang menjadi sampah dan menyumbang persoalan lingkungan hidup urban. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 102 Untuk mengatasi ketiga persoalan tersebut, para aktivis ini mengusulkan untuk memulai sistem pertanian natural dan menjadi konsumen pertanian natural. Sistem pertanian natural adalah sistem pertanian yang memotong jalur distribusi hasil pertanian dari petani sebagai produsen kepada masyarakat sebagai konsumen. Selain itu petani harus menolak pemakaian pestisida dan pupuk sintetis dan menggantinya dengan pupuk organik. Sistem ini akan memotong jalur transportasi serta distribusi yang sangat panjang, yang membuat harga pangan menjadi mahal dan menyumbang polusi udara. Jadi sistem ini mempertemukan secara langsung antara si petani sebagai produsen dengan konsumennya. Selain itu diharapkan para petani mengalami perubahan sikap dengan menjadi konsumen pertama bagi hasil panennya sendiri. Jadi mereka hanya akan menjual panen yang berlebih, yaitu saat kebutuhan keluarganya sendiri sudah terpenuhi. Salah satu pemateri, Komunitas Teman Berkebun memberikan usul agar para peserta diskusi tidak lagi hanya menjadi konsumen. Mulailah menjadi petani urban yang menghasilkan sendiri bahan pangannya melalui kebun pribadi. Komunitas ini menyatakan sikap itu dapat mendorong kesehatan para petani karena petani kota ini akan menjadi pihak pertama yang menikmati hasil panennya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 103 Sementara untuk mengatasi masalah ketiga, Mbak Susi dari Warung Salad menyesalkan mengapa jarang sekali ditemukan petani yang sekaligus memiliki keahlian mengolah hasil pertanian menjadi makanan yang menarik. Mereka mencontohkan seorang rekan mereka di komunitas pangan organik, yaitu Mas Bimo, petani sekaligus artisan Tahu. Ia menyebut Mas Bimo sebagai petani urban yang hebat dalam menanam kedelai organik dengan bibit non GMO genetically modified organism, sekaligus hebat pula mengolahnya menjadi Tahu organik. Mas Bimo juga disebutkan hebat dalam mengolah Tahu-Tahu buatannya menjadi aneka bentuk makanan yang enak dan variatif sehingga keluarganya tidak bosan memakan Tahu. Karena itu salah satu cara mengatasi masalah lingkungan dari pangan adalah setiap warga Indonesia harusnya memiliki kemampuan untuk mengolah bahan pangan menjadi makanan enak. Kemampuan ini akan menjadi faktor utama yang membuat makanan tidak akan terbuang sia-sia, seperti yang juga mereka lakukan. Jadi demikianlah upaya menjaga lingkungan yang dimulai dari meja makan sendiri. Warung Salad adalah sebuah warung makanan organik yang mulai berdiri sejak tahun 2011, digawangi oleh 3 orang aktivis hidup hijau yang aktif dalam jaringan komunitas pangan organik di Yogyakarta. Warung Salad berkembang seiring waktu dan kini mereka memiliki karyawan sebanyak 7 orang. Awalnya Warung Salad memang hanya menjual sayur 104 Salad, namun kini mereka juga menjual jenis pangan lain seperti Nasi Sorgum atau juga Nasi Coklat Pecah Kulit. Salad dan berbagai jenis olahan sayur tetap menjadi dagangan utama, dengan nama-nama menu yang sebagian besar memakai bahasa asing. “Kita jualan salad tujuannya supaya orang mau kenal dan mau makan sayur, setelah itu punya target lebih, kita bikin terintegrasi, kita produksi sendiri, warung dan kita nanam sendiri gitu. Itu sudah terlaksana, setelah sekian lama. Habis itu setelah ini gimana caranya kita nggak cuman jualan, kita pengen siapapun yang berhubungan dengan kita sejahtera. Mulai dari petaninya, gimana petaninya juga tau tentang kita, tau produk diri sendiri dan apa manfaatnya bagi dia, dan segala macemnya gitu. Di agamaku, Islam, diharuskan untuk mencari uang halal ya, bukan hanya nyari uang saja tapi semua harus ada pertanggung-jawabannya dari awal sampe akhir. Karna kita jualan makanan otomatis harus memikirkan orang, kita tau dari mana asal bahan makanan dan gimana, dimana dan bagaimana itu diolah, dari produsen sampe ke hulu ke hilirnya. Kita juga bikin menu warteg ya, itu murah sekali, tujuannya karna kita pengen sehat itu untuk semua, jadi semua bisa makan makanan yang sehat” Wawancara Mbak Nisa Warung Salad tanggal 4 April 2016 Ada misi besar dibawa Warung Salad yang menyangkut kepentingan orang-orang di sekitar mereka. Misi besar itu menyangkut kesehatan para konsumen, kesejahteraan para karyawan dan kesejahteraan para petani yang menjual bahan pangan organik kepada mereka. Namun misi besar inilah yang akhirnya membuat harga Rp 40.000,- untuk 1 porsi makanan menjadi harga yang tidak lagi mahal. 105 Konon makanan yang sehat itu wajar mahal, karena hampir setiap hari televisi menayangkan makanan murah yang dibuat dari bahan dan cara yang berbahaya. Mbak Nisa menyatakan bahwa menu warteg di Warung Salad seharga Rp. 15.000,- adalah harga yang sangat murah. Seseorang pernah berkomentar di Instagram Warung Salad bahwa menu Meal Plan 5 kali seharga Rp. 200.000,- adalah harga yang sangat murah. Menurutnya sangat jarang ada makanan organik diberi harga semurah itu. Makanan seharga Rp. 15.000,- dan Rp. 40.000,- disebut menjadi tidak mahal karena makanan itu digolongkan makanan organik yang sehat. Tapi klasifikasi seperti ini bukankah justru menegaskan bahwa makanan organik sewajarnya memang mahal? Usaha Warung Salad dapat menyehatkan konsumen, mensejahterakan para petani dan karyawan tentu dianggap sebagai proses yang masih dan akan terus berjalan. Namun dalam diskusi Jaga Lingkungan Dari Meja Makan, seorang aktivis jaringan pangan organik menyesalkan sikap 80 petani organik di sekitar lereng Gunung Merbabu yang justru menjual seluruh hasil pertaniannya tanpa sempat menghidangkannya bagi keluarganya sendiri. Ternyata sikap para petani konvensional yang disesalkan sebagai salah satu sumber masalah lingkungan juga terjadi pada petani organik. Warung Salad mendapatkan bahan makanan dengan 3 cara, cara pertama adalah dengan menanam sendiri. Satu dari 3 tim inti Warung 106 Salad berperan sebagai petani di lahan mereka yang berukuran 1500 meter. Di sinilah mereka menanam hampir semua bahan pangan yang dibutuhkan dengan sistem pertanian organik. Cara kedua adalah membelinya dari para petani organik, diantaranya adalah para petani organik di sekitar Gunung Merbabu. Dan cara ketiga adalah mendapatkannya dari jaringan aktivis makanan organik. Para personil Warung Salad memang sudah dikenal di jaringan komunitas pangan organik karena sudah cukup lama bergabung dan terlibat di dalamnya. Bahkan jaringan komunitas pasar organik adalah salah satu lokasi pertama mereka menjual dan membeli bahan pangan yang dibutuhkan, meski kini mereka sudah membangun tempat sendiri dan terpisah dari lokasi pasar organik. Mbak Arma adalah salah satu pedagang yang masih aktif ikut di pasar organik. Sudah 4 tahun Mbak Arma membuat dan menjual macam-macam roti siap konsumsi dan roti dasar dengan label Taman Roti. Sebagian besar roti-roti itu bernama asing; roti sourdough, roti tawar, roti baguette, roti pain de campagne, burger bun, pizza vegetarian, roti gandum, cinnamon roll, roti greentea, roti galaxie. Label vegan ia tetapkan pada roti-roti ini karena bahan-bahan pembuatan roti-roti ini ia nyatakan bebas dari produk hewani, semua bahan berasal dari produk nabati. “Aku nggak pakai telur dan minyak sayur, aku pakai minyak kelapa, gula putih aku nggak pakai. Gula putih itu ada unsur kimianya, kalo gula batu kan pakai benang prosesnya. Kalo gula PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 107 putih itu dari kotor trus dibersihkan ada dikasi tambahan zat pemutih gitu. Jadi aku pakenya gula semut aren, mentok gula batu. Tapi kebanyakan gula semut aren, karna lebih alami. Trus pakenya garam laut bukan garam dehidranasi. Ragi roti aku buat dari tumbuhan, aku buat sendiri mulai dari biangnya.” Wawancara Mbak Arma di Pasar Organik tanggal 19 Februari 2016 Menguraikan jenis-jenis bahan apa saja yang dipakai untuk membuat sebuah roti menjadi penting karena di situlah terletak jaminan roti itu dapat digolongkan sebagai makanan sehat. Memakai minyak kelapa dan bukan minyak sayur, memakai garam laut dan bukan garam rafinasi yang mengandung MSG, serta memakai gula aren atau gula batu dan bukan gula putih yang mengandung bahan kimiawi buatan. Bahan-bahan ini dibedakan, dibandingkan dan dipakai sebagai penjamin kualitas roti. Dan sebagai seorang vegetarian, menolak memakai telur sangat penting bagi Mbak Arma. Baginya proses produksi telur menggunakan segala bentuk kekerasan terhadap hewan demi keuntungan materi manusia. “Telur itu kan dikasi obat untuk makannya, ayamnya dipaksa bertelor, nggak berprikemanusiaan, bahkan ayam kampung sekarang banyak udah pake obat kan. Kolesterolnya tinggi. Animal abuse aku nggak suka. Tapi aku nggak ikut Animal Friend gitu, cuman mendukung gerakan semacam itu. Aku mendukung gerakan dengan cara menjual roti itu tidak memakai produk yang animal abuse. Dia ngambil untung dari hewan, hewannya nggak nerima apa-apa. Katakanlah penjual daging gitu ya, hewan mengorbankan diri buat majikannya, dia yang berkorban majikannya yang dapat duit, nggak adil kan, bagiku itu traficking. Aku pikir manusia, hewan, sama aja, itu traficking. Jadi mengorbankan sesuatu demi keuntungan sendiri. Jadi aku pikir aku nggak mau ikut disitu, memberantas mungkin nggak bisa, tapi kan setidaknya mengurangi.” 108 Semua daftar bahan pembuatan roti ini penting bagi Mbak Arma, menurutnya dengan cara itulah ia melibatkan diri dengan upaya menyelamatkan lingkungan. Di waktu yang sama, upaya ini justru menjadi “alasan” roti-roti ini dijual dengan harga yang bahkan lebih mahal daripada harga roti-roti yang dijual di mall. Karena upaya itu pulalah, Taman Roti sangat ramai didatangi pengunjung. Bukan saja stan Taman Roti, stan lain di pasar organik ini juga sama ramainya. Pada awalnya pasar organik ini hanya berdagang di satu lokasi di daerah Jalan Parangtritis, di sebuah restoran vegan. Kemudian karena semakin banyak yang bergabung sebagai pedagang dan pembeli, maka pada tahun 2014 para pedagang di komunitas ini membentuk pasar berjalan tiban dan menamakan dirinya sebagai pasar organik. Pak Heri, kordinator pasar ini mengatakan bahwa pasar organik ini dibentuk dengan tujuan kedaulatan pangan, yaitu menciptakan masyarakat yang petani hingga konsumen-nya mendapatkan makanan yang sehat, baik, lokal dan murah 67 . Tujuan besar ini coba dicapai dengan cara mempertemukan secara langsung produsen pangan yaitu petani yang menanam dan artisan yang membuat makanan siap konsumsi dengan para pembelinya. Cara ini dianggap sebagai jalan untuk memutus rangkaian kapitalis yang diwakili 67 Dokumentasi DAAI TV, dilihat pada https:www.youtube.comwatch?v=yUD0CKOLPnQ. 109 oleh tengkulak dan distributor. Karena itu pasar ini diisi oleh aneka bahan pangan sayur-sayuran organik, beras, kecap, serta bahan pangan lain dengan label organik. Termasuk didalamnya makanan siap konsumsi seperti nasi dan lauk-pauk, hingga kue-kue tradisional dan roti-roti bergaya dan berbahasa asing. Pak Heri dan Pak Soleh mengatakan pertemuan antara produsen dan konsumen di pasar ini penting untuk membangun komunikasi. Yaitu perbincangan yang saling menginformasikan asal-usul bahan pangan yang dijual serta bagaimana cara-cara kreatif mengolahnya. Bagi Pak Soleh, informasi ini adalah hak para konsumen. Pernah tanpa sengaja saya mendengar seorang pembeli bertanya kepada pedagang Tahu Goreng Organik, “Eh, ini gorengnya pake minyak sawit gak?” Dan si pedagang langsung menjawab dengan amat sopan, “Hahaha enggak, Mbak, disini nggak bisa, ini semua bahannya pake organik, tepungnya juga organik, Mbak”. Yang dimaksud “disini” adalah di komunitas pasar organik itu, pasar yang mewajibkan setiap pedagang memakai bahan-bahan tertentu saja. Yang wajib diperbincangkan adalah bahan-bahan apa saja yang dipakai si pedagang, yaitu bahan-bahan yang dijadikan sebagai standar makanan organik dan sehat. Dengan perbincangan itu pasar organik diidentikkan sebagai pasar yang diisi oleh orang-orang yang baik, tidak seperti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 110 supermarket yang diisi oleh manusia-manusia yang berada di tempat yang sama namun tidak akan saling berbincang satu dengan yang lain. 68 Meski baru dibentuk pasar ini sudah cukup terkenal dan terbilang sangat ramai. Dengan durasi waktu hanya sekitar 3-4 jam saja, makanan dan bahan pangan umumnya habis terjual. Label organik adalah faktor utamanya, ia berfungsi untuk kesehatan konsumen dan penyelamat lingkungan. Mbak Kiki mengatakan kesehatannya semakin membaik sejak berbelanja rutin di pasar ini. 69 Mbak Nana juga demikian, faktor riwayat ibu yang terkena kanker membuat ia memutuskan menjadi seorang vegetarian dan menjadi konsumen tetap. Menurutnya, kesehatan, penyelamatan lingkungan serta keadilan ekonomi bagi para petani dan konsumen adalah janji yang dimasukkan ke dalam label pangan organik. Namun demikian baik Pak Soleh, Mbah Nisa maupun Mbak Arma mengatakan bahwa mereka lebih memilih menyebut kata “natural” daripada kata “organik”. “Kalau kita terpaku sama yang namanya organik susah juga. Di Indonesia kalo nyari yang 100 organik nggak ada ya, susah. Karna yang namanya organik itu sertifikasinya mulai dari tanah, air, udara, berapa polutannya, dan segala macam jadi kan dihitung, apalagi harus ada radius sekian meter bebas dari kimia dan lain sebagainya. Kan itu di persyaratan organik juga ada. Sebenarnya itu untuk idealnya tanah ya kita kombinasi terus. Apalagi makanan organik itu harus ada sertifikasinya juga, tau sendiri kan di Indonesia kayak apa kalo ngurus sertifikasi. Jadi kita lebih memilih kata natural, nanamnya tidak pake pestisida 68 Wawancara dengan Pak Soleh tanggal 7 April 2016. 69 Dokumentasi DAAI TV, dilihat pada https:www.youtube.comwatch?v=yUD0CKOLPnQ. 111 dan pupuk kimia. Yang penting kita tau teman petani nanamnya kayak apa.” Wawancara dengan Mbak Nisa tanggal 4 April 2016 Pak Soleh, yang juga berdagang di pasar ini, bahkan menegaskan bahwa mereka tidak pernah mengatakan produksi tanaman mereka sebagai jenis makanan organik. Alasannya adalah tidak ada hal yang bisa memastikan tanaman itu dapat 100 organik. Penyebabnya adalah semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, seperti air, udara, tanah, punya kemungkinan membawa polusi yang tak diinginkan. Bahkan di areal steadhome miliknya yang berada di desa dan berdampingan dengan hutan pun syarat 100 organik itu ternyata tidak bisa dipastikan. Meski demikian, sama seperti yang terjadi di warung Green Family, kata “organik” tetap dipakai sebagai nama pasar bagi komunitas ini, begitu juga pada semua makanan yang dijual. Dalam dokumentasi DAAI TV tanggal 17 Juni 2015 baik pedagang maupun konsumen yang diliput bahkan tidak ada satu kalipun menyebut kata “natural”, kata organik mendominasi di sepanjang durasi video 24 menit itu. Pengunjung atau konsumen baru tidak akan menemukan kata “natural” pada deretan bahan pangan dan makanan jadi yang dijual di sini. Kata “organik” melekat lebih kuat. Masalah label organik memang kompleks. Lagipula di Indonesia bukankah hal yang biasa jika konsumen tidak berurusan, bahkan tidak perduli dengan sertifikat organik dan semacamnya pada barang yang dibeli. Karena itu jaringan komunitas ini terbilang cukup berhasil membangun PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 112 kepercayaan dan modal sosial sehingga para pengunjung dan pembeli merasa tidak keberatan dengan harga mahal yang ditawarkan. Mbak Kiki mengatakan makanan dan bahan pangan di pasar ini terbilang murah jika dibandingkan dengan harga-harga makanan di supermarket. Para pedagang di pasar organik memang menyatakan bahwa supermarket adalah pasar yang jahat. Supermarket adalah salah satu yang menyebabkan petani menjadi miskin dan membuat konsumen membeli dengan harga mahal. Semua ini disebabkan oleh keinginan pemilik supermarket untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dengan informasi ini pasar organik membedakan dirinya, baik dengan pasar tradisional maupun dengan supermarket. Supermarket identik dengan harga yang mahal –seperti yang disebutkan Mbak Kiki, sedangkan pasar tradisional identik dengan bahan pangan dan situasi pasar yang tidak sehat dan tidak higienis. Jika demikian apakah harga-harga di pasar organik murah sebagaimana yang mereka klaim? Mbak Aminah mengatakan harga-harga di pasar organik itu mahal. Katanya: “Mengkonsumsi makanan organik itu mahal ya. Dan itu riil buat aku ketika bandingin misalnya beras biasa C4 10ribu, tapi kalo organik 14ribu, ngitung juga, udah gitu pakainya kan rutin. Ya itulah, kadang-kadang kita terbentur sama persoalan kayak gitu, walaupun sebetulnya dibanding manfaatnya tentu saja efek jangka panjangnya akan lebih bagus organik, tapi untuk bagian itu aku belum bisa.” 113 Pak Sugeng mengatakan harga-harga di pasar organik adalah layak dan pantas, layak dan pantas untuk barang-barang sehat dan berkualitas. Mbak Nana sebagai pengunjung rutin mengatakan harga di pasar komunitas organik ini memang lebih mahal daripada harga-harga di pasar lain. Namun menurutnya harga mahal itu setara dengan “misi besar” yang sedang diusung dan diperjuangkan oleh pasar komunitas itu. Harga mahal itu menjadi layak dan pantas untuk membeli sebuah “misi besar”, misi inilah yang sebenarnya sedang dibeli. “Kalo ketemu komunitas ini, kita tau oh, ternyata relasi antar manusia itu masih baik ya, ternyata ada orang-orang yang memperlakukan sesama dengan baik, relasi dengan alam juga bermasalah toh sekarang, ini ada orang yang berelasi dengan alam dengan cara yang baik. Lagipula yang jual langsung petaninya, kenapa lebih mahal ya karna perawatannya lebih, dan disitulah letaknya keadilan kan. Itu juga memotivasi dia untuk menjual tidak tanaman yang biasa, kayak sayur-sayuran yang aneh-aneh kayak gitu, ya biar nggak dibanding-bandingin juga kan, mungkin nggak ada di tempat lain, banyak petani lain yang buahnya masih banyak macam-macamnya kan, lucu-lucu, seger-seger dan banyak jenisnya.” Bagi Mbak Arma harga makanan di pasar organik dapat terbilang murah karena ia membandingkannya dengan harga jajanan makanan di supermarket dan mall. Pernyataan ini benar dan salah. Benar karena harga sepiring Pizza di Pizza Hut bisa mencapai Rp 100.000,- dan harga segelas kopi di Starbucks mencapai Rp 70.00,-, lebih mahal daripada harga beras dan sayur-sayuran di pasar organik. Namun salah karena nyatanya harga 114 roti-roti yang dijual Mbak Arma berharga sama –bahkan lebih mahal- dengan harga roti-roti bermerk terkenal yang membuka gerainya di mall. Lagipula meski sangat mahal, Pizza dan kopi Starbucks bukanlah makanan rutin, hanya sesekali saja dicicipi sambil nongkrong bergaya. Berbeda dengan beras, minyak, gula dan sayur-sayuran yang menjadi makanan harian. Disini pernyataan Mbak Aminah benar. Harga-harga makanan dan bahan pangan di pasar organik itu mahal karena ia merupakan kebutuhan harian yang setiap hari harus dikonsumsi. Hanya bisa digantikan sesekali saja, dan bukan makanan tambahan yang cukup sesekali saja dicicipi. Tentu menjadi sangat mahal jika harus disiapkan oleh sebuah keluarga seperti keluarga Mbak Aminah. Karena itu jika mengingat janji besar yang disematkan pada makanan organik, yaitu kesehatan dan keadilan bagi semua, maka pertanyaannya siapakah yang bisa mewujudkan janji ini? Ya, siapa lagi kalau bukan orang kaya. Dan jika mengingat visi besar yang diusung aktivis hijau tentang situasi pangan Indonesia, maka jika ditanya meja makan siapa yang bisa menyelamatkan situasi krisis pangan dan krisis lingkungan hidup di Indonesia? Ya, jawabnya meja makan orang kaya. 4. Sampah Produksi sampah tidak terelakkan dari kegiatan berkonsumsi, baik ketika momen berbelanja hingga pasca berbelanja, ada sampah yang dihasilkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 115 dalam berbagai bentuk. Ada beberapa jenis macam sampah dan pembagian ini membedakan juga perlakuan penanganannya. a. Sampah Organik Sampah organik didapat dari sisa makanan dan sisa bahan pembuat makanan, semua partisipan mengatakan sampah-sampah organik ini diolah menjadi pupuk kompos. Namun cara mengkomposnya berbeda-beda. Ibu Dian dan Mbak Aminah langsung menaburkannya begitu saja di antara tanaman-tanaman dan pepohonannya, dan menurut mereka cara itu cukup berhasil sebagai pupuk bagi tanaman. Pak Soleh mengolahnya menjadi pupuk kompos dengan cara yang lebih profesional. Pupuk ini digunakan di kebun-kebun organik di Green Family, demikian pula dengan Mbak Nisa di kebun Warung Salad. Mbak Nana membuat pupuk kompos dengan mengumpulkan terlebih dahulu sisa biji dan kulit buah dari buah-buah yang ia konsumsi, terutama buah-buah yang ia pakai sebagai minuman infus water. Sisa buah-buah itu kemudian difermentasi dengan cara sederhana, dan setelah menghasilkan aroma alkohol pupuk itu dapat dipakai untuk berbagai tanaman yang ia pelihara. Umumnya sampah organik tidak dikhawatirkan, karena sampah- sampah ini dapat “dihabiskan” oleh alam tanpa harus ada usaha keras manusia untuk mengolahnya. Tapi agar efektif, sisa makanan diolah dengan cara-cara tertentu supaya menghasilkan pupuk organik. 116 b. Sampah Plastik Jika sampah organik tidak terlalu dikhawatirkan, beda halnya dengan sampah anorganik. Sampah anorganik menjadi kekhawatiran besar karena sulit terurai di alam. Ia membutuhkan waktu yang sangat lama, dan sebagian besar mengandung bahan yang beracun dan berbahaya. Karena itu cara partisipan menanganinya harus berbeda. “ Aku suka sekali sama teknologi refill ya, isi ulang itu, karna itu cukup gerakan yang ramah lingkungan juga sebetulnya daripada beli botol terus gitu kan, trus ada yang refill dengan plastik yang tebal gitu. Nah kemasan refill itu s’lalu kusimpan, minyak 2 liter, 1 liter, pelembut, pengepel, kotak milo 1 kilo, kemasan-kemasan kartonnya, sereal kayak gitu, itu kupisahkan di dalam plastik- plastik yang berbeda.” Wawancara dengan Mbak Aminah tanggal 5 Oktober 2015 Mbak Aminah mengelompokkan sampah anorganik berdasarkan jenisnya masing-masing, karena harusnya ada perlakuan berbeda terhadap tiap jenis barang. Namun pembedaan perlakuan itu tidak mudah terwujud. Kesulitannya adalah karena tidak ada infrastruktur untuk mendukung hal itu. Tidak ada tempat pengelompokan sampah di luar rumah mereka. Bahkan sebelum sampai di TPA Tempat Pembuangan Akhir, para petugas pengumpul sampah menyatukan kembali semua jenis sampah itu. “Kita udah tau ini sampah apa, sampah bungkus obat itu kan aluminium foil, trus ada sampah plastik, tapi masalahnya ya nggak ada fasilitas yang mendukung, kita udah misahin nih tapi nantinya pas dibawa ke tempat sampah sana digabungin lagi aja jadi satu. Kan artinya yang kita perbuat percuma deh, toh dijadiin satu.” Wawancara dengan Mas Farah tanggal 19 November 2015 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 117 Keluhan yang disampaikan oleh Mas Farah juga dialami oleh semua partisipan. Umumnya sampah rumah tangga diambil setiap pagi oleh para petugas yang diatur oleh kelurahan. Sampah-sampah ini akan diangkut dengan satu bak pengangkut saja sehingga sampah-sampah yang telah dipisahkan akhirnya digabungkan kembali menjadi satu. Ternyata pengelompokan sampah hanya sampai pada individu saja. Hal seperti ini menjadi resiko yang harus dihadapi jika persoalan lingkungan hidup dibatasi dalam tataran individu saja. Akhirnya “harapan” penanganan jenis sampah ini dialihkan kepada bentuk lain, dan jenis sampah plastik menjadi isu dominan dari semua jenis sampah anorganik. Meski ada banyak jenis sampah anorganik yang dianggap berbahaya dan beracun, plastik adalah jenis sampah yang paling ditakuti keberadaannya. Hal ini dikarenakan sampah plastik adalah jenis terbanyak di Indonesia, disebut sebagai penyebab banjir besar yang melanda Jakarta di awal tahun 2013. Sampah plastik juga dinyatakan sebagai penyebab kematian hewan-hewan di hutan dan laut. Mbak Nisa dan para karyawan di Warung Letusse memilih membakar sampah plastik dengan pertimbangan membakar adalah pilihan terakhir, sekaligus mencegah sampah plastik itu terbawa ke hutan, sungai dan laut. Mbak Nana memilih memakai kembali botol- botol plastik air kemasan dan beberapa jenis sampah plastik yang kuat untuk menjadi pot-pot tanaman. 118 Ibu Dian mengelompokkan sampah-sampahnya agar tetap bisa dipungut oleh para pemulung sampah sebagai sampah daur ulang. Kemasan botol plastik biasanya dipungut oleh pemulung sampah dan dijual ke pengusaha pengepul sampah bekas dengan harga yang sangat murah. Yang umumnya terjadi adalah sang pemulung tetap berada dalam keadaan miskin sementara sang pengusaha pengepul sampah- sampah bekas bisa dikategorikan kaya. Dan Mbak Aminah pernah mengelompokkannya agar dipakai ulang menjadi barang kerajinan. “Dulu aku pernah punya kenalan dekat yang ngolah limbah, sampah yang udah aku pisahin aku kasih ke dia, kemudian sama komunitas yang dia bina dibuat macam-macam produk, dibikin tas, agenda, dijahit lagilah kayak itu. Tapi sekarang dia gak membina kelompok pengolah lagi, yang aku belum temukan sekarang adalah bank sampah. Kabarnya di dekat area rumahku aku dengar ada bank sampah, tapi aku belum nemuin sih. Menarik juga sebetulnya bagaimana sampah itu dinilai punya value ekonomi, kalau misalnya orang desa disadarkan pada value ekonomis dari sampah pasti orang akan lebih bijak memperlakukan sampah. Dihitung perkilo kan lumayan, misalnya perkilo 5 ribu, dikali 3000 kan itu duit gitu loh, daripada kamu buang akhirnya cuman ngerugiin orang lain kan bikin kumuh juga.” Nilai ekonomi pada sampah memang salah satu kabar yang dibawa wacana lingkungan era neoliberal di Indonesia. Media juga sering mengabarkan kesuksesan individu-individu pengubah sampah menjadi uang. Mbak Aminah juga menerima kabar itu dengan memposisikan yang lain sebagai keluarga yang keuangannya bisa ditopang oleh PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 119 sampah. Ia menyebutkan yang lain sebagai orang desa yang perlu disadarkan, sementara orang kota dianggap mampu secara ekonomi dan menyumbang sampah-sampah bernilai ekonomi itu. Kemasan-kemasan beberapa produk memang berasal dari kemasan plastik yang kuat sehingga dapat dijahit dan dikreasikan sebagai barang tertentu dengan kegunaan tertentu pula. Yang paling penting adalah ia dapat dijual kembali. Persoalan pemanfaatan sampah menjadi “barang baru” justru memberi logika bahwa konsumsi berlebihan itu tidaklah masalah, selama ia dapat diolah kembali sebagai barang ramah lingkungan. Maka semakin banyak-lah acara pameran dan fashion show yang digelar dengan memakai kemasan plastik sebagai bahan dasar untuk macam-macam tas, pakaian serta asesoris. Tapi dari manakah bahan-bahannya didapatkan? Mas Farah, mahasiswa pasca sarjana yang aktif sebagai aktivis sebuah komunitas hijau, mencurigainya sebagai tindakan yang sudah lain sekali dari semangat awalnya. “Ada yang bikin tas dari plastik-plastik itu, kayak kerajinan gitu, bagus sih, tapi kadang tak tanya itu dari mana bahannya, ‘wah itu mas beli bahannya, katakanlah bungkus- bungkus kopi kayak gitu, dibuka, dibikin, trus dikumpulin’, jadi sama aja saya pikir, jadi bukan sampah yang memang sudah terlanjur ada gitu lho. Maksudku gaya hidup hijau itu mengurangi konsumsi kita sehari-hari, jangan berlebih, kalo sehari 2 bungkus umpamanya, ya udah 2 bungkus. Tapi kalo gini, kopinya dibeli supaya bungkusnya mau diambil, baru kopinya dibikin. Maksud saya, ya udah beli kopi 2 bungkus 120 sehari, bungkusnya jangan dibuang, dikumpulin, jadi sampah yang terlanjur sudah ada yang dimanfaatin gitu lho. Bukan yang ‘eh ada permintaan ini’ bukan menuruti permintaan pasar. Saya mikir kayak gini akhirnya, udahlah nggak apa-apa beli, kan ada kerajinan dari botol-botol itu, ya udah nggak apa-apa beli botolnya, nanti botolnya dikumpulin, nanti ada kok yang ngelola, akhirnya kan nggak ngurangin nggak apa- apa.” Wawancara dengan Mas Farah tanggal 19 November 2015 Kecurigaan Mas Farah ini tentu beralasan. Tapi, jika satu buah tas tangan wanita dibuat dari sisa kemasan kopi instan yang berukuran kecil- kecil, berapa banyak dan berapa lama sampah-sampah ini harus dikumpulkan? Karena itu bukankah akhirnya “wajar” jika ada yang tak bisa bersabar menunggu jumlah sampah tercukupi? Apalagi jika memungut sampah kemasan dari tempat sampah, bukankah sebagian besar sampah-sampah kemasan itu kotor dan tidak higienis? Tentu tidak semua “pengrajin bahan kontemporer” ini membeli bahan dasarnya, ada yang memang sungguh memanfaatkan sampah yang terlanjur ada. Mbak Tika adalah seorang ibu rumah tangga yang memiliki sebuah rumah yang disewakan kepada mahasiswa kost, dari para mahasiswa inilah ia mendapatkan sampah-sampah botol plastik. Di kelurahan tempat ia tinggal disediakan Bank Sampah sebagai tempat warga menitipkan sampah yang memiliki nilai ekonomi. Sejak awal tahun 2015 ia tidak lagi menitipkan sampah-sampah itu ke Bank Sampah 121 karena harganya yang semakin lama semakin murah. Ia kemudian mengolahnya menjadi macam-macam asesoris. Lantas kemana asesoris itu dijual? Macam-macam karya asesoris yang ia hasilkan dititip ke beberapa tempat, misalnya di PAUD milik kelurahan, gereja, serta di kantor kelurahan. Yang dipajang di tempat itu bukan hanya karya-karya Mbak Tika, namun juga macam-macam tas, pakaian plastik serta berbagai hiasan rumah tangga dan asesoris karya ibu-ibu di sekitar kediamannya. Nyatanya semua barang-barang ini susah terjual. Situasi menjadi lebih baik jika Badan Lingkungan Hidup BLH mengadakan pameran tentang penyelamatan lingkungan hidup melalui Bank Sampah. Pameran ini biasanya dihadiri oleh beberapa pejabat daerah, pihak swasta serta warga negara asing. Disinilah barang-barang kerajinan dari sampah itu akhirnya terjual. Pameran selesai, penjualan pun kembali ke keadaan semula. Karena itu Mbak Tika berupaya mengikuti hampir semua kegiatan pameran yang diselenggarakan oleh BLH, karena tanpa BLH pasar untuk barang-barang itu tidak ada. 70 Pertengahan tahun 2015 Mbak Tika akhirnya “masuk koran” karena “berjasa” dalam mengubah sampah menjadi uang, demikian judul artikel koran lokal tentang usaha asesoris itu. Sejak itu Mbak Tika pun mendapat pekerjaan baru. Ia ditunjuk oleh BLH sebagai “pelatih” 70 Wawancara dengan Mbak Tika tanggal 21 Oktober 2015. 122 untuk mengajar dan memotivasi ibu-ibu di berbagai kelurahan dalam membuat kerajinan asesoris dari botol-botol plastik bekas. Upaya terstruktur untuk membuat sampah bernilai ekonomi itu nyatanya tidak memberikan sebaran uang lebih adil. Pengusaha pengepul sampah-sampah daur ulang bisa menjadi kaya asal memiliki modal yang besar untuk menyiapkan lokasi pengumpulan sampah, truk pengangkut barang, dan karyawan. Demikian juga pengrajin barang bekas bisa menjadi kaya asal “beruntung” memiliki kedekatan dengan BLH agar bisa mengikuti pameran-pameran di dalam dan di luar negeri. Beda nasibnya dengan pemulung dan ibu rumah tangga biasa yang tidak beruntung. Nilai ekonomi sampah tetap dipercaya karena ada kelas elit – pejabat BLH, pengrajin kaya dan pengusaha barang bekas- mendapatkan manfaat besar darinya, baik berupa modal sosial maupun modal ekonomi. Sementara bagi penduduk miskin mereka tetap mengumpulkan barang-barang itu karena bagaimanapun juga, seberapapun kecilnya uang tersebut, dibutuhkan untuk penghidupan sehari-hari. Di luar itu yang pelan tapi pasti diterima adalah nilai ekonomi pada sampah. Sehingga seperti yang dikhawatirkan oleh Mas Fahmi, berkonsumsi berlebihan itu tidak apa-apa, toh akan ada orang yang mengolahnya menjadi barang baru yang bisa dijual kembali. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 123 5. Mengurangi Plastik Akhirnya cara yang dianggap terbaik dalam menangani sampah plastik adalah dengan mengurangi pemakaian kantong plastik baru pada level individu. Setelah banjir besar yang melanda Jakarta di awal tahun 2013, Tiza Mafira, seorang mantan staf khusus kepresidenan era Susilo Bambang Yudhoyono, membuat petisi untuk kantung plastik berbayar. Petisi ini didukung oleh beberapa komunitas hijau seperti Earth Hour dan The Body Shop Indonesia dengan membentuk deklarasi Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik GIDKP. Menurut mereka, Jakarta mengalami banjir besar karena masyarakat Jakarta yang terlalu banyak memakai kantong plastik dan membuangnya dengan sembarangan hingga menyumbat selokan dan sungai. Selain itu mereka juga mengeluhkan sikap masyarakat yang menyalahkan pemerintah tentang penanganan banjir. Gerakan ini kemudian meminta para pengusaha ritel untuk menerapkan kantong plastik berbayar sebagai cara untuk mengajak masyarakat berdiet menggunakan kantong plastik. 71 Perjuangan itu membuahkan hasil pada tahun ini. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Indonesia akhirnya membuat peraturan agar pengusaha ritel modern tidak lagi menyediakan kantong 71 Dalam http:olahraga.kompas.comread2013053118434793 banjir.jakarta.salahkan.pemerintah.atau.kantong.plastik, dibaca tanggal 11 April 2016. 124 plastik secara gratis sejak tanggal 21 Februari 2016. Biaya itu dibebankan kepada konsumen yang membutuhkan kantong plastik saat berbelanja. Inilah cara yang diambil untuk mengatasi persoalan ekologi yang disebabkan oleh karakter kantong plastik yang beracun dan sulit terurai, yaitu memaksa masyarakat dalam posisi sebagai konsumen. Masyarakat Indonesia dianggap sebagai konsumen yang sangat boros memakai kantong plastik, karena itu diet atau mengurangi pemakaiannya melalui kantong plastik berbayar dipandang sebagai solusi. Namun sebelum peraturan ini disahkan umumnya para partisipan penelitian ini menyatakan bahwa mereka sudah lama mengurangi pemakaian kantung plastik. Mas Farah mulai mengurangi konsumsi kantung plastik setelah menyaksikan timbunan sampah plastik di gunung- gunung saat ia mendaki. Sejak itu ia mulai memilih untuk mengatur cara pembelian makan dan minum agar menghasilkan sampah sesedikit mungkin. Mbak Aminah selalu membawa beberapa kantung plastik di mobilnya. Selain digunakan sebagai tempat sampah, kantung plastik itu juga ia gunakan jika berbelanja kebutuhan harian keluarganya sehingga tidak memerlukan kantong plastik baru. Mbak Nana memilih membawa wadah makanan sendiri setiap kali berbelanja makanan di warung dan menolak kantong plastik yang ditawarkan si pedagang. Kebiasaan ini semakin dilakukan terutama setelah ia rutin berbelanja di pasar organik. 125 Karena itu ia kini mengoleksi cukup banyak wadah makanan dan minuman ber-merk Tupperware yang melabelkan dirinya sebagai eco-friendly. Para pedagang di pasar organik memang meminta para konsumen- nya untuk membawa sendiri wadah makanan dan minuman, serta tas belanja sendiri untuk belanja bahan pangan. Pedagang di pasar ini tidak menyediakan kantung plastik, pedagang makanan hanya menyiapkan kantung kertas dan daun pisang sebagai wadahnya. “Aku malah nggak tau kalo dibuat peraturan plastik berbayar ya, toh biasanya juga nggak pake plastik. Aku sarankan bawa wadah sendiri ya, supaya hemat plastik dan hemat kertas. Plastik jelas nggak bisa daur ulang, lama, kertas bisa sih daur ulang tapi kan menebang hutan, jadi kalo bisa bawa tempat sendiri. Plastik bekas kalo ada palingan buat buang sampah, kalo ada dimaksimalkan penggunaannya. Biasanya aku nggak pake.” Wawancara dengan Mbak Arma tanggal 19 Februari 2016 Jika kantong plastik tidak lagi digunakan maka wadah apa yang dipakai saat berbelanja? Mbak Arma menyiapkan kertas roti berlabel eco- friendly, salah satunya kertas roti dengan merk Detpak untuk konsumen yang tidak membawa wadah sendiri. Mbak Nana dan Mbak Ina, seorang aktivis komunitas Jogja Hemat Enegi, membawa tas belanja sendiri yang mereka sebut goody-bag atau tote-bag atau reusable-bag, bahkan mengoleksi beberapa macam tas-tas ini. Selain tas belanja sendiri, cara lainnya adalah dengan memakai kardus sebagai wadah barang. Kardus dianggap lebih baik daripada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 126 kantong plastik karena terbuat dari kertas dan bisa dimanfaatkan untuk banyak kegunaan berkali-kali. . “Begitu kita ambil plastik dari supermarket, bayangin deh tiap 1 menit seluruh warga Indonesia bawa plastik, setiap menit tambah sampah plastik, ikannya mati, kura-kuranya mati, gajahnya mati, semua sebabnya plastik. Airnya sudah tercemar chemical dan sebagainya, la.. apakah kita tidak termasuk dalam menyumbang dosa itu? Makanya belanjanya harusnya pake kardus, jangan plastik.” Wawancara dengan Pak Soleh tanggal 7 April 2016 Pada umumnya kardus dibuat dari bahan baku kayu yang saat masih berada dalam tahap pulp atau bubur kertas tidak membutuhkan proses pembersihan dan proses pemutihan yang maksimal sehingga tetap berwarna coklat. Kardus juga dapat dibuat dari bahan daur ulang dengan proses yang sederhana, bahkan berulang-ulang kali. Sejak diberlakukannya peraturan kantong plastik berbayar, beberapa supermarket atau toko ritel modern menawarkan kotak kardus bekas sebagai wadah barang pengganti kantong plastik. Kotak kardus menjadi ramah lingkungan karena berbahan kertas yang dapat terurai dengan proses pembuatan yang sedikit memerlukan bahan pembersih kimiawi. Tapi yang terutama dari itu ialah sebelum sampai ke tangan konsumen ia terlebih dahulu dipakai sebagai wadah untuk barang yang lain. Kotak kardus yang dijadikan alat belanja kepada konsumen umumnya kardus bekas, jadi pemanfaatannya dianggap 127 maksimal sebelum menjadi sampah. Dan ketika menjadi sampah pun ia masih bisa didaur ulang atau terurai di alam. Kotak kardus dan goody-bag memang memiliki lebih banyak keunggulan dibandingkan kantong plastik. Namun sayangnya 2 jenis wadah ini membutuhkan sarana tertentu saat dipakai. Sarana itu bersifat privat dan tidak semua orang dapat melakukannya. Harga sebuah goody- bag mungkin tidak mahal bagi sebagian orang, namun harga yang mencapai beberapa puluhan ribu demikian tentu hanya murah bagi kelompok orang yang kebutuhan hariannya sudah terpenuhi. Terlebih lagi beberapa partisipan mengatakan mereka memiliki koleksi goody-bag untuk macam-macam keperluan. Kotak kardus membutuhkan sarana transportasi sendiri, Pak Salas memiliki mobil pribadi -karena homestead yang jauh dan tidak dilalui oleh tranportasi publik- sehingga tak masalah jika menjadikan kotak kardus sebagai wadah barang belanjaannya. Toko Superindo, salah satu jenis toko ritel modern, biasa memberikan kotak kardus kepada konsumennya, bahkan mengurangi biaya belanja konsumen sebesar Rp. 200,- untuk setiap kardus yang dipakai. Mereka juga mengurangi biaya belanja sebesar Rp. 100,- untuk setiap lembar kantong plastik yang dihemat. Namun Toko Superindo umumnya didatangi oleh konsumen tertentu saja. Mbak Aminah rutin PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 128 berbelanja di sini karena ia merasa Toko Superindo bisa menghargai upayanya dalam mengurangi kebutuhan kantong plastik baru. Tentu menyediakan kotak kardus tidak jadi masalah bagi toko ini, karena banyaknya barang yang dijual membuat persediaan kardus bekas selalu tersedia. Memakai kotak kardus juga tidak menjadi masalah bagi konsumen karena umumnya mereka membawa kendaraan sendiri. Wadah kardus cocoknya ya dengan mobil, membawa kardus dengan motor pun belum tentu bisa dibawa dengan aman. Tentu berbeda dengan pasar tradisional. Beberapa partisipan mengeluhkan para pedagang dan warga lokal yang berbelanja di pasar tradisional yang dianggap mengumbar kantong plastik tanpa kesadaran. Di pasar tradisional tentulah sulit mengharapkan sang pedagang menyiapkan kotak-kotak kardus itu, harga satu buah kotak kardus bekas lebih mahal daripada selusin kantong plastik. Lagipula kebanyakan warga yang berbelanja di pasar tradisional datang dengan berjalan kaki, menaiki sepeda, atau sepeda motor. Menenteng kantong plastik lebih mudah daripada membawa kotak kardus. Penyelesaian persoalan kantong plastik yang diletakkan di level individu ini ternyata tidak membuat kantong plastik berhenti dipakai. Harganya yang murah tetap menjadi pilihan oleh pedagang di warung- warung kecil dan pasar tradisional karena tidak ada alternatif lebih mudah dan lebih murah yang disediakan. Hanya kelompok masyarakat tertentu 129 saja yang “berhasil” mengurangi pemakaiannya, yakni mereka yang memiliki modal ekonomi tertentu yang memang memungkinkannya untuk melakukannya. 6. Hemat Energi Setiap individu yang ada di suatu negara memberikan kontribusi terhadap negaranya. Demikian juga halnya terkait polusi atau emisi gas rumah kaca. Masyarakat berkonstribusi pada emisi gas rumah kaca nasional. Demikian kabar yang disampaikan koran harian Kompas Ekstra Hidup Hijau, 26 September 2011. Masih dalam tulisan yang sama, dikabarkan kebijakan negara yang membiarkan batubara sebagai bahan bakar fosil dianggap sebagai kebijakan tidak pro-pengurangan emisi rumah kaca. Dan kebijakan ini dianggap akan membuat masyarakat terus terdorong tetap boros energi dan boros penggunaan bahan bakar fosil. Pemborosan energi inilah yang menjadi alasan Mas Hari, aktivis komunitas Save Energy, dan Mas Yuki, aktivis komunitas Jogja Hemat Energi, melakukan praktik penghematan energi sekaligus aktif berkampanye soal yang sama melalui komunitas masing-masing. Mas Yuki bahkan cukup yakin mengatakan bahwa 90 warga Indonesia membiarkan pemborosan energi terjadi di rumahnya masing-masing melalui televisi yang dibiarkan berada dalam posisi stand-by. Lampu penanda stand-by tetap menyala menandakan listrik dibiarkan tetap 130 tersambung. Menurutnya perilaku ini memboroskan energi listrik sebesar 25. Mas Hari menyatakan bahwa cadangan energi nasional akan segera habis, karena itu diperlukan perilaku hemat energi bagi setiap warga negara. Kedua partisipan ini meyakini bahwa penghematan energi yang dilakukan oleh setiap individu di Indonesia akan memberi 2 manfaat. Yang pertama adalah laju emisi karbon dapat ditahan pada batas angka tertentu yang dianggap aman. Manfaat yang kedua adalah cadangan energi listrik yang dihemat di Pulau Jawa dapat diberikan kepada warga di Pulau Kalimantan dan Lampung yang menurutnya mengalami kekurangan energi listrik. Kedua partisipan sepakat menyatakan bahwa ada persoalan energi listrik dalam skala nasional. Yang pertama adalah ketimpangan persediaan infrastruktur energi listrik sehingga yang menikmati energi ini hanyalah Pulau Jawa dan Bali. Bahkan Lampung yang merupakan batas Pulau Sumatera yang paling dekat dengan Pulau Jawa disebutkan sebagai salah satu provinsi yang tidak mendapatkan kemewahan energi listrik yang cukup. Demikian juga Pulau Kalimantan yang justru telah diporak- poranda oleh berbagai perusahaan pertambangan batubara, bahan bakar utama penghasil listrik di Indonesia, ternyata tetap gelap dan tidak pernah mendapatkan hasil apa-apa selain kerusakan hutan dan tanah. 131 Persoalan kedua adalah cadangan energi yang terbatas dan defisit dibandingkan kebutuhan konsumsi masyarakat. “Beberapa kali belajar tentang energi dan saya menemukan hal pertama yang saya jadikan dasar itu fakta bahwa produksi minyak kita itu cuma sekitar 800ribu barel per hari. Padahal sebenarnya konsumsi masyarakat Indonesia itu sampai 1,3 juta barel per hari. Dari data itu ya menurut saya sih nggak perlu kita kuliah tinggi-tinggi ya, kayak S1 apa S2, anak SD pun bakal ngerti gitu kalau ini gak dijaga ya suatu saat Indonesia bakal hancur, suatu saat Indonesia bakal kiamat energi, kita gak bisa mendapatkan sumber daya energi sesuai dengan kemauan kita, kita akan semakin sulit mendapatkan bensin, minyak tanah, dan sebagainya. Nah dari situ makanya, ya udah nih, kondisi kayak gini gak bisa kita biarkan.” Wawancara dengan Mas Hari tanggal 4 Oktober 2015 Selama ini Indonesia selalu diperkenalkan sebagai negara yang amat kaya dengan persediaan sumber daya alamnya, termasuk minyak bumi dan batubara. Seolah cadangan energi itu tak akan pernah habis dan dapat menjamin kesejahteraan hingga selamanya. Wacana yang melenakan itu ternyata tidak dipercaya oleh Mas Hari dan komunitasnya. Malahan mereka percaya bahwa sumber daya alam itu akan segera habis jika tetap dipakai dengan pola yang sama seperti sekarang ini. Situasi menjadi lebih buruk karena kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia ternyata melebihi jumlah produksi nasional. Situasi defisit nasional ini menurutnya akan membuat Indonesia berada dalam situasi sulit jika situasi sekarang terus dibiarkan. 132 Namun kedua persoalan bangsa yang amat serius ini ternyata hanya mendapat satu tawaran jalan keluar dari partisipan, yaitu penghematan listrik pada level individu. Jalan keluar ini tidak menyentuh persoalan kebijakan energi pada level nasional, bagaimana seharusnya negara mengelola sumber daya yang ia miliki untuk memenuhi kebutuhan energi listrik warganya. “Kita mikir cara perubahan pengelolaan energi yang paling efektif di Indonesia itu menurut kami adalah per individu- individu orangnya, masyarakatnya sendiri. Sebelum tidur memastikan alat elektronik itu mati dulu, misalnya laptop, trus hape charger-nya kita cabut trus kita stand by-kan di samping kita, trus lampu kita matikan, kipas angin kalo misalnya gak pake dimatikan, jadi sebelum tidur itu udah kita pastikan itu alat elektronik mati dulu. Lampu, juga kipas angin, kalo siang dan pas cuaca cerah, terang, kita nggak boleh pake, gitu. Menurut saya sebenarnya kita bisa efektif, efisien itu ngeliat dari apa yang ada di sekitar kita aja gitu. Sesuai enggak, dibutuhkan apa enggak saat itu, kalo enggak ya udah matiin.” Wawancara dengan Mas Hari tanggal 4 Oktober 2015 Bagi Mas Hari persoalan besar yang dihadapi negara bisa diselesaikan dengan kesediaan tiap-tiap individu menghemat pemakaian listrik-nya melalui pengaturan pemakaian alat-alat teknologi di kediaman pribadi. Demikian juga dengan Mbak Ina, aktivis Jogja Hemat Energi yang bukan saja mematikan semua lampu dan alat elektronik yang tidak diperlukan, bahkan keluarganya juga menukar seluruh lampu-lampu di rumahnya dengan jenis lampu yang diiklankan sebagai lampu hemat energi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 133 “Jadi Philips promosi tentang lampunya dia yang hemat energi, trus dikasihlah kita voucher buat beli lampunya kek gitu, ya udah trus tunjukin tuh ke papaku, pa ini lho begini-begini, eh papaku beli, borong tertawa..borong gitu tuh trus dapat bonus tumblr ini, jadi seneng banget, udah wahh..lampu di rumah sudah hemat energi, dapat bonus ini lagi.” Wawancara dengan Mbak Ina tanggal 2015 Solusi yang ditawarkan oleh Pak Soleh tidak hanya pada tataran menghemat energi tapi juga mengubah sumber energi. Tempat tinggal Pak Soleh, Green Family, sejak awal tidak menggunakan listrik yang diproduksi oleh PLN atau Perusahaan Listrik Negara. Keluarga ini memilih memakai energi listrik tenaga surya yang bersih dan tidak menghasilkan emisi karbon. Setiap hari Pak Soleh ataupun karyawannya bergantian memeriksa jumlah pemakaian listrik di steadhome mereka, untuk memastikan bahwa mereka menggunakan listrik dengan hemat. Penghematan energi listrik dilakukan dengan cara hanya memasang lampu mulai sore hingga subuh saja. Baik rumah maupun warung tidak memakai kipas angin ataupun pendingin ruangan. Energi listrik yang berasal dari pembangkit listrik tenaga surya adalah sumber energi yang paling direkomendasikan karena emisi karbon yang dihasilkannya mendekati nol. Namun sayangnya instalasi listrik tenaga surya ini tidak dipasang untuk memenuhi kebutuhan warga yang jumlahnya cukup banyak. Tidak ada warga lain di luar mereka yang bisa ikut merasakan manfaatnya, alat itu milik privat. 134 Lantas mengapa warga desa tetangga Green Family tidak ikut memasang alat yang bersih ini? Selain karena kabar bahwa alat ini belum mampu mengumpulkan energi surya yang cukup banyak, masalah lain yang lebih penting adalah harganya yang cukup mahal. “Trus saya juga menjadi pengurus di Panti Jompo, pemakaian gas-nya itu besar sekali untuk bikin air panas untuk mandi, tapi untuk beralih ke tenaga surya dan sebagainya itu kami nggak punya biaya untuk itu. Memang tenaga surya itu ramah lingkungan tapi kan mahal sekali, mahal sekali di Indonesia. Saya kepengen banget lho bagaimana untuk beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan tapi teknologi kita belum mencapai ke situ dan masih lebih mahal daripada yang ada sekarang.” Wawancara dengan Ibu Dian tanggal 23 Februari 2016 Ibu Dian sudah lama menginginkan membangun alat ini sebagai pembangkit listrik untuk memenuhi kebutuhan sebuah panti jompo di bawah naungan yayasan tempat ia bekerja. Ia dan pengurus lainnya tidak ingin energi listrik dan gas yang mereka pakai untuk menolong para lansia akan merusak lingkungan hidup. Sayangnya niat yang sangat baik ini terpaksa tidak bisa diwujudkan karena persoalan biaya yang teramat mahal. Demikian sulit memang jika sebuah persoalan besar diserahkan kepada kemampuan individu masing-masing. Tidak ada infrastruktur yang cukup agar publik luas bisa mendapatkannya. Sesuatu yang sangat baik hanya bisa dipakai dan dimanfaatkan oleh orang tertentu saja. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 135 7. Transportasi Sektor transportasi adalah pintu emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah sektor industri minyak bumi, dan di Indonesia semakin hari tren kepemilikan kendaraan pribadi terus malaju Kompas, 26 September 2011. Karena itulah sektor transportasi ini juga menjadi perhatian sebagian partisipan. Ibu Dian bekerja di sebuah yayasan yang perduli persoalan lingkungan hidup. Yayasan ini kemudian memutuskan untuk membayar pajak karbon untuk setiap karyawannya yang terpaksa menjadi penumpang pesawat udara untuk pekerjaannya. Pesawat udara adalah kendaraan yang paling banyak mengeluarkan emisi karbon. Sehingga Ibu Dian dan yayasan-nya kemudian membayarkan karbon yang dikeluarkan dengan cara mengkonversi jarak yang mereka tempuh dengan sejumlah uang. Uang ini disumbangkan ke lembaga swadaya masyarakat LSM yang berkampanye soal lingkungan hidup. Disini donasi uang ke LSM lingkungan hidup menjadi pajak pengganti karbon yang telah dikeluarkan oleh individu untuk aktivitasnya, dan bukan dianggap sebagai kesalahan sistem transportasi udara yang berada di dalam pusaran kapitalisme global. Namun Ibu Dian memang “hanya” memperhitungkan soal transportasi udara saja, tidak sampai memperhitungkan polusi dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 136 kendaraan pribadi yang harus dipakai untuk keseharian, seperti yang dilakukan oleh Mbak Nana. Mbak Nana adalah seorang mahasiswa pasca sarjana di sebuah kampus terkenal dan menjadi seorang vegetarian sejak tahun 2006. Ia menyewa sebuah kamar kost di daerah Jalan Parangtritis yang terbilang cukup jauh dari kampus yang harus ia datangi hampir setiap hari. Ia menyewa kost tersebut dengan alasan kost itu terbilang ramah lingkungan karena dipenuhi oleh berbagai pepohonan dan tanaman hias yang beraneka ragam. Terlebih karena ia juga diijinkan memelihara beberapa tanaman buah di pekarangan itu. Baginya biaya kost yang cukup mahal dan jarak yang cukup jauh itu tidak menjadi masalah, karena ketenangan dan udara segar yang bisa ia dapatkan. Selain itu kost ini memang berdekatan dengan salah satu pasar organik tempat ia biasa berbelanja. Dengan jarak yang cukup jauh itu, Mbak Nana ternyata tidak mau memilki kendaraan pribadi sepeda motor ataupun mobil. Satu-satunya kendaraan yang ia miliki hanyalah sepeda. Menaiki sepeda tentu tidak memerlukan bensin dan karena itu tidak menghasilkan emisi karbon. Namun mengendarai sepeda hanya sanggup ia lakukan untuk keperluan di lokasi yang tidak terlalu jauh, misalnya untuk belanja ke pasar organik. Untuk urusan kampus, sepeda tidak bisa diandalkan karena jarak tempuh yang sangat jauh. Tapi selain itu, alasan yang lebih masuk akal lagi adalah situasi di sepanjang perjalanan. Seluruh jalanan di Yogyakarta dan 137 di kota-kota besar lainnya di Indonesia tidak memberikan lajur sepeda yang cukup aman. Beberapa jalan tertentu memang memiliki lajur yang telah ditentukan khusus bagi pesepeda, namun lajur itu seringkali ikut diserobot para pengendara lain. Faktor lainnya adalah cuaca tropis yang panas tentu sangat melelahkan pesepeda, dan sayangnya semakin lama semakin sedikit jalan raya yang memiliki barisan pepohonan yang meneduhkan. Sederhananya kota tidak memiliki fasilitas publik yang memadai bagi pesepeda yang perduli akan persoalan lingkungan dan ingin menahan laju emisi karbon. Karena itulah Mbak Nana menjadi pelanggan tetap bus umum transjogjakarta. “Untuk kuliah jam 7 ya saya sih jam 6 udah di halte kalo nggak mau telat, sebenarnya setengah jam itu nyampe asal bis-nya ada tertawa jadi ya kalo jam setengah 7 itu bertaruh. Tapi kalo mau tenang itu ya jam 6 gitu. Pokoknya selalu menyediakan waktu satu jam bahkan sampe satu setengah jam sebelum acara. Saya mau yoga itu harus on-time, karna kalo ngos-ngosan, yang pertama dilakukan itu meditasi, meditasi kalo ngos-ngosan kan nggak enak. Itu intinya nyampe sana lebih cepat. Yoga saya itu di Congcat, Yoga-nya setengah 5, saya berangkat jam setengah 3, biar nyampe sana kebetulan rumahnya yoga itu kayak begini, tenang. Pulangnya nyampe sini itu jam setengah 9. Yoganya cuma satu setengah 1,5 jam, tertawa perjalanan dari jam setengah 3 sampe jam setengah 9, tertawa 6 jam Wawancara dengan Mbak Nana tanggal 11 Oktober 2016 Ternyata ramah lingkungan bukan satu-satunya alasan ia menjadi penumpang transportasi umum. Baginya membawa kendaraan sendiri di 138 jalanan dan “bertarung” ruang dengan pengendara lain lebih menimbulkan rasa stress dan membuat keadaan fisik serta mental menjadi tak sehat. Berbeda dengan menumpang bus umum yang tinggal duduk tenang dan bisa membaca buku, tak perlu khawatir dengan situasi jalanan yang saling sikut dan saling lomba. Namun sebagai konsekuensi, ia harus mengorbankan waktu yang cukup banyak untuk perjalanan itu, terutama untuk kegiatan yoga yang diikuti pada sore hari. Ada beberapa hal sebagai penyebabnya. Yang pertama adalah karena jalur bus transjogjakarta menuju lokasi yoga di Halte Condong Catur harus melewati beberapa rute yang lebih panjang. Faktor kedua adalah karena sore hari merupakan waktu yang sangat sibuk dan jalanan berpotensi macet di banyak titik. Dan faktor ketiga adalah jumlah armada bus yang sedikit menyebabkan waktu kedatangan bus di halte-halte menjadi sangat lama. Dengan konsekuensi demikian ternyata Mbak Nana tetap mengusahakan transportasi publik sebagai tumpangan utamanya, dengan pertimbangan agar tidak ikut menjadi penyumbang emisi karbon di Yogyakarta. Lamanya waktu yang harus terbuang dianggap sebagai konsekuensi atas pilihan pribadi. Tapi apakah sebenarnya bus transjogja bisa dianggap ramah lingkungan? Dalam sebuah diskusi tentang situasi lingkungan hidup di kota Yogyakarta, Halik Sandera, ketua Walhi Yogyakarta, menyatakan bahwa 139 transportasi publik transjogjakarta tidak bisa disebut ramah lingkungan. Bus publik ini sudah cukup banyak yang bermasalah, sudah tua dan bahkan cukup sering mengepulkan asap yang sangat tebal saat melaju. 72 Ada persoalan dalam penyediaan, perawatan dan peremajaan bus-bus transjogjakarta, persoalan yang menyangkut seluruh sistem transportasi publik di Yogyakarta. Mas Farah dan Mas Adi menganggap hal ini adalah masalah yang sangat penting. Mas Farah sebenarnya sangat kepengen dapat mengayuh sepeda kemana-mana, sebagaimana yang dilakukan oleh Mas Halik Sandera, yang mengayuh sepeda untuk mengikuti macam-macam acara di wilayah Yogyakarta. Namun apa daya, jadwal kegiatannya yang amat padat membuat rasa kepengen ini menjadi tidak tercapai. Alasannya sangat masuk akal. Jadwal bus transjogjakarta yang sangat lama bisa membuat seluruh jadwal hariannya yang padat menjadi berantakan. Sementara bagi Mas Adi, juga seorang mahasiswa pasca sarjana, sepeda miliknya dan bus transjogjakarta tidak bisa ia andalkan untuk seluruh aktivitasnya. Untuk kegiatan yang ada di lokasi yang jauh ia tidak bisa mengandalkan sepeda karena persoalan keamanan lalu lintas, sementara bus transjogjakarta tidak bisa mencapai banyak wilayah. Halte-halte bus ini terletak saling berjauhan, bahkan amat berjauhan, 72 Diskusi “menanam tjinta” tanggal 16 Agustus 2015 di Jogja National Museum, diselenggarakan oleh Komunitas Gento Gerombolan Tukang Tato dan Walhi Yogyakarta. 140 sehingga justru merepotkan. Halte-halte bus transjogjakarta memang hanya ada di lokasi yang dianggap membutuhkan, misalnya di depan kampus-kampus tertentu atau di depan mall dan hotel. Jelas ada persoalan struktural dalam permasalahan transportasi publik di Yogyakarta. Namun bagi Mbak Nana, persoalan lingkungan hidup urban ini tetap bermuara pada persoalan pribadi. Pada individu- individu yang lebih suka memilih kendaraan pribadi daripada transportasi publik, yang setelah itu memacetkan kota, saling sikat saling lomba di jalan raya. 8. Hidup Sederhana Seperti yang disebutkan sebelumnya, Pak Iman dan Green Family sangat dikagumi oleh Mbak Marni karena mereka sangat kaya namun memilih untuk hidup sederhana, tinggal bersahaja di desa dan dekat dengan alam. Hidup sederhana adalah salah satu cara yang dianggap dapat dekat dengan alam, ia dibedakan dengan sifat konsumerisme yang dianggap merusak alam. Karena itulah hidup di desa seperti Green Family dengan joglo yang dibuat dari kayu-kayu bekas, bukan kayu-kayu baru berukir indah, menjadi sangat penting bagi Pak Soleh. Demikian juga dengan tinggal di pinggiran kota, bukan di perumahan real-estate. Membeli rumah jawa Limasan bekas yang terbuat dari kayu-kayu yang biasa saja, bukan kayu 141 yang sangat bagus, adalah hidup sederhana dan ramah lingkungan bagi Mbak Aminah. Apalagi di rumah ini tidak tersedia pendingin ruangan yang dianggap sebagai barang mewah dan jahat. Demikian juga dengan pakaian. “Less is more, begitu kamu tidak menggunakan banyak barang sebenarnya kamu memberi nilai lebih pada dirimu sendiri, jadi lemari itu juga salah satu kontrol yang paling oke. Begitu lemari pakaianmu penuh, susah ditata dengan rapi, itu sebenarnya pertanda kamu punya lebih banyak pakaian daripada yang kamu butuhkan, karna setelah diliat, pasti yang dipakai yang itu-itu doang, ada banyak yang nggak kepake sebetulnya. Jadi kalo aku prinsipnya cara untuk mengontrol lemari adalah ketika kamu beli baju satu maka satu baju harus keluar, setidaknya seimbang, kalo beli 3 ya 3 harus keluar, jadi lemari harus tetep bisa diatur, rapih, begitu sudah sudah penuh sekali itu sudah alarm bahwa kamu harus memberi ke orang lain. Kamu harus mensortirnya, lalu kemudian diberikan kepada misalnya flea market, atau sekedar diberikan ke orang lain yang butuh, tetanggamu, kayak gitu. Aku tinggal di persawahan begitu, aku kenal beberapa tetanggaku yang petani, aku bilang sama mereka ini baju buat kerja, baju-baju suamiku baju buat kerja gitu, yang make buat apa terserah gitu kan tapi paling tidak memberi ke yang paling dekat kayak gitu.” Wawancara dengan Mbak Aminah tanggal 5 Oktober 2015 Prinsip less is more berlaku kepada semua barang-barang yang dikonsumsi, entahkah pakaian, sepatu ataupun makanan. Sebagai seorang muslim ia menjadikan prinsip “Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang” dari ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai bagian dari hidupnya yang membantu ia tidak kalap saat 142 menikmati makanan dan tidak impulsif saat berbelanja. “Kita nggak perlu banyak, kita nggak butuh punya banyak, kita hanya butuh punya sejumlah yang kita butuhkan aja”, katanya. Bagi Mbak Aminah dan Green Family, hidup sederhana itu adalah pilihan. Ia punya kesanggupan untuk hidup lebih mewah namun ia memilih untuk tidak hidup mewah. Tapi hidup sederhana adalah pilihan bagi seorang yang tidak sederhana. Orang yang miskin tentulah tidak punya pilihan untuk hidup sederhana. Gaya hidup hijau membuat hidup yang sederhana harus punya modal tinggi, jika tidak maka tentulah ia bukan pilihan yang menarik. 9. Menyebarkan Beragam cara yang dilakukan para aktivis maupun komunitas untuk menyebarkan semangat hidup hijau. Komunitas pasar organik menyebarkan semangat perduli lingkungan melalui pengadaan pasar organik. Disinilah jaringan dibangun, baik dengan konsumen maupun dengan sesama produsen yaitu petani dan artisan pangan organik. Namun lebih dari itu, pasar organik ini memiliki tujuan utama sebagai panggung untuk memberi contoh atau inspirasi hidup hijau. Di panggung ini para produsen memberi informasi-informasi kepada konsumen upaya yang mereka lakukan sebagai individu-individu dalam memproduksi bahan pangan dan makanan siap saji yang organik. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 143 Tiap individu dan komunitas memiliki cara dan panggung masing-masing dalam menyebarkan gaya hidup ini. Namun pada umumnya cara yang dilakukan mirip dan saling meniru satu dengan yang lain. a. Kampanye Perubahan itu selalu dimulai dari seseorang, itu jargon yang selalu ditekankan sebagai pendorong. Namun peran individu itu terbatas, hal ini mau tak mau harus diterima. Karena itulah individu itu harus ditambah, seperti yang dikatakan Mas Hari dari komunitas SaveEnergy. “Kita ngerasa nggak cukup kita sendiri gitu yang punya gaya hidup kayak gini, kita harus menularkan ini ke masyarakat yang lain, makanya dari situ akhirnya kita buat kampanye.” Kampanye gaya hidup hijau umumnya dilakukan oleh komunitas-komunitas serta kelompok-kelompok hijau, jumlahnya cukup banyak. Sama seperti macam-macam komunitas yang tumbuh subur di jaman posmodern, komunitas-komunitas ini juga bersifat sangat cair. Tidak memerlukan birokrasi kepengurusan yang kaku, dan dapat “hidup dan mati” kapan saja. Selama penelitian ini saya menemukan komunitas yang ternyata tidak aktif lagi, yang tersisa hanya seorang mantan pengurusnya. Ada pula komunitas yang aktif lagi setelah setahun tidak terdengar 144 kabarnya. 73 Umumnya mereka diisi oleh individu-individu yang secara umum dikategorikan sebagai pemuda, sebagian besar diantaranya adalah mahasiswa 74 . Namun ada juga pekerja yang sudah bergabung sejak mahasiswa dan hanya sebagian kecil pemuda yang tidak menempuh pendidikan perguruan tinggi. Karena itu kampanye-kampanye yang dilakukan oleh komunitas hijau ini pada umumnya tidak meliputi semua jenis dan kelompok masyarakat. Ada kelompok yang dipilih, mereka adalah kelompok anak dan remaja serta yang dikategorikan pemuda. Mas Yuki dari komunitas Jogja Hemat Energi mengatakan kelompok remaja dan pemuda dipilih karena dianggap sebagai teman sebaya dan mereka dapat berkomunikasi dengan gaya gaul khas remaja. Sementara kelompok anak-anak Sekolah Dasar SD dipilih karena anak-anak dianggap cepat menyerap informasi dan masih bisa diajarkan hal baru. Awalnya beberapa kampanye hidup hijau dilakukan dengan menyebarkan selebaran berisi beragam informasi gaya hidup hijau, diikuti pembagian stiker-stiker. Namun kini semakin banyak aktivis komunitas hijau yang mengkritik cara ini karena dianggap kembali menghasilkan sampah. Sampah itu berasal dari kertas-kertas 73 Perbincangan dengan Adityo Nugroho atau Kawan Hijau, seorang anggota tim peneliti Tim YouSure Fisipol UGM, tanggal 29 Oktober 2015. 74 Sesuai dengan hasil penelitian Tim YouSure, Youth Studies Centre Fisipol UGM 2014. 145 selebaran yang dibuang setelah selesai dibaca, serta dari kertas lapisan belakang stiker-stiker. Meski hingga saat penelitian ini dilakukan masih ada komunitas yang tetap melakukan cara ini. Komunitas SaveEnergy yang digawangi Mas Hari misalnya menyebar selebaran dan stiker kepada masyarakat umum di KM 0 tanggal 4 Oktober 2015. Demikian juga komunitas Hai Green yang tetap menyebar stiker saat mengadakan diskusi “Paper Entepreneurship” tanggal 8 November 2015 lalu. Komunitas-komunitas hijau kini mencoba cara berkampanye yang sesedikit mungkin menggunakan kertas maupun stiker sekali pakai. Cara yang banyak ditempuh kini melalui bincang-bincang di radio serta program edukasi hijau ke panti asuhan dan sekolah- sekolah. Sesekali mereka mengadakan diskusi atau ngobrol di cafe, atau mengadakan acara-acara khas anak muda yang bertema soal gaya hidup hijau. Beberapa komunitas hijau seperti Jogja Hemat Energi, SaveEnergy dan Hai Green serta Kophi Koalisi Pemuda Hijau sudah beberapa kali mengisi acara bincang-bincang komunitas di beberapa stasiun radio. Para aktivis ini mengaku kesempatan itu dipergunakan untuk mengkampanyekan gaya hidup hijau dan macam-macam bentuk perlindungan lingkungan hidup. Meski akan lebih tepat jika dikatakan bincang-bincang radio itu menjadi panggung 146 memperkenalkan komunitas mereka dan apa saja yang telah mereka lakukan sehingga layak menyebut diri mereka sebagai komunitas hijau. Kampanye yang cukup menarik bagi saya adalah kampanye berjenis program edukasi yang mereka lakukan ke sekolah-sekolah, mulai dari SD, SMP hingga SMA. Tidak hanya satu dua komunitas, hampir semua komunitas hijau mengaku pernah melakukan program edukasi ini. Bagi saya hal ini menarik karena berarti para guru di sekolah-sekolah itu dirasa tidak bisa mengajarkan soal gaya hidup hijau sehingga membutuhkan komunitas-komunitas ini. Kalau begitu, apa yang dikampanyekan? Ternyata sama, yaitu gaya hidup hijau per individu-individu. Diantaranya adalah hemat listrik dan air di sekolah dan rumah, membuang sampah pada tempatnya, dan berani menegur anggota keluarga yang tidak melakukan gaya hidup hijau. b. Event hijau Mengadakan acara atau event hijau tertentu memiliki keunikan yang berbeda dengan kampanye lewat radio ataupun media sosial. Kampanye radio dan media sosial ditujukan kepada semua orang, yaitu para pendengar atau pembaca yang belum tentu memiliki ketertarikan dengan masalah gaya hidup hijau. Sama halnya dengan pembagian selebaran dan stiker di titik-titik keramaian. 147 Berbeda dengan kampanye yang diadakan lewat acara khusus yang biasanya didatangi oleh orang-orang yang punya ketertarikan tentang soal ini. Beberapa kali mengikuti acara-acara hijau, saya melihat umumnya peserta yang datang bukanlah orang yang pertama kali mendengar soal gaya hidup hijau. Mereka sudah memiliki pengetahuan soal itu, bahkan sudah melakukan beberapa bentuk gaya hidup hijau itu. Karena itu acara-acara hijau seperti ini biasanya diisi dengan diskusi ataupun berbagi usul dan pendapat tentang cara-cara berkampanye, suka dan duka melakukan gaya hidup hijau, ataupun cara membentuk komunitas hijau. Misalnya acara Paper Entepreneurship diadakan oleh komunitas Hai Green untuk membicarakan cara membangun desa wisata. Komunitas SaveEnergi mengadakan Diskusi Indonesia Darurat Energi di Djendela Cafe pada September 2015. Diskusi ini kemudian diisi dengan berbagi pengalaman melakukan gaya hidup hijau di rumah masing-masing, dilanjutkan dengan pembicaraan pentingnya memasukkan gaya hidup hijau ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Selain program diskusi tematik demikian, ada pula acara khusus sebagai peringatan momen tertentu. Komunitas Jogja Hemat Energi rutin merayakan Earth Hour berupa switch-off ceremony setiap tahun pada minggu ketiga di bulan Maret. Acara Switch-off ceremony Earth 148 Hour adalah acara seremonial mematikan lampu selama satu jam pukul 20.30–21.30 pada setiap waktu lokal di berbagai kota besar di dunia. Komunitas ini sudah menyelenggarakan acara ini di Jogja selama 6 tahun, dengan mengambil titik lokasi perayaan berbeda setiap tahunnya. Mas Yuki dan Mbak Ina, aktivis komunitas ini mengatakan bahwa untuk perayaan itu mereka cukup sering bekerja sama dengan berbagai komunitas dan berbagai korporasi, khususnya hotel-hotel besar di Yogyakarta agar efek gaungnya lebih mudah terdengar banyak orang. Mereka juga mendukung hotel-hotel untuk memanfaatkan peringatan Earth Hour sebagai sebuah event yang mampu menarik perhatian para tamu. Berbeda dengan oknum pemerintah daerah yang menurut mereka belum mampu menangkap dan menjadikan peringatan ini sebagai acara yang menghibur dan menarik perhatian massa. Momen Earth Hour tahun 2016 diadakan serentak oleh berbagai komunitas hijau di Yogyakarta di KM 0 sebagai salah satu titik ikon Yogyakarta yang banyak didatangi warga di malam hari. Pemilihan lokasi ini sangat penting agar mampu menarik perhatian massa. Berbeda dengan momen tahun 2015 yang hanya didukung oleh 1 komunitas saja, yakni komunitas IndoRunners yang mendukung dengan cara berlari dalam rute tertentu di jalan raya kota 149 Yogyakarta. Pada saat itu di setiap tubuh pelari ditempel sebuah kertas bertuliskan “I Run 4 Earth Hour” sebagai cara menarik perhatian massa . Ada juga komunitas yang menjadwalkan kegiatannya mirip seperti komunitas pasar organik yang mengambil hari tertentu dan lokasi kegiatan tertentu, misalnya Teman Berkebun dan PungutSampah. Teman Berkebun membuat kegiatan berkebun setiap sabtu pagi di lokasi berkebun yang telah ditentukan. Ketika penelitian ini dikerjakan komunitas ini sudah 2 kali berganti lokasi berkebun, salah satu penyebabnya adalah karena lahan yang dipakai adalah milik privat. Jadi berapa lama lahan itu dapat digunakan oleh komunitas ini bergantung kepada “kemurahan hati” sang pemilik tanah. Sementara komunitas PungutSampah membuat kegiatan berupa memungut sampah di lokasi tertentu setiap rabu malam. Yang membedakan komunitas ini dengan komunitas hijau lainnya adalah para relawannya tidak melulu mahasiswa. Rentang usia para aktivisnya cukup berbeda, beberapa diantaranya masih dalam usia remaja dan beberapa lainnya adalah pekerja. Hal yang sama pada seluruh acara-acara hijau adalah persoalan yang dibicarakan dan solusi yang ditawarkan. Persoalan yang diangkat selalu merupakan persoalan struktural, persoalan yang menyangkut 150 negara dengan sumber dayanya. Komunitas SaveEnergi dan Jogja Hemat Energi bicara tentang krisis energi dan pemborosan energi, komunitas Teman Berkebun berbicara tentang krisis pangan dan krisis jumlah petani di Indonesia. Komunitas PungutSampah bicara tentang persoalan sampah di wilayah publik, termasuk sampah visual yang menempel dimana-mana dan dianggap mengotori pemandangan publik. Namun solusi yang ditawarkan senada, lagi-lagi betapa pentingnya peran personal untuk mengatasi persoalan-persoalan besar itu. Komunitas SaveEnergy dan Jogja Hemat Energi selalu bicara tentang penghematan energi di level individu adalah jalan keluar yang tak bisa ditawar lagi. Komunitas Teman Berkebun mengadakan acara berkebun sebagai panggung bahwa orang-orang belajar menjadi petani urban adalah jalan keluar dari masalah krisis pangan nasional. Dan komunitas PungutSampah meminta kesadaran warga untuk membuang sampah pada tempatnya sebagai persoalan sampah di kota Yogyakarta. Solusinya lagi-lagi: individualisasi.

C. Liyan yang tak hijau

1. Keluhan kepada liyan Sepanjang penelitian, baik ketika wawancara maupun saat melibatkan diri dalam kegiatan dan diskusi gaya hidup hijau, sangat jelas para PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 151 pelaku dan aktivis gaya hidup hijau ini berupaya menyatakan bahwa mereka berbeda dengan yang lain. Setidaknya ada 2 hal penting yang menjadi dasar mengapa mereka menjadi berbeda. Yang pertama berkaitan dengan kemampuan DIY atau Do It Yourself. Yaitu kemampuan individu menjadi produsen untuk memenuhi kebutuhan harian diri sendiri dan keluarga yang sehat dan ramah lingkungan. DIY yang paling ideal menurut para aktivis hijau ini adalah homestead Green Family yang dipimpin oleh Pak Iman. Keluarga besar Pak Iman menjadi keluarga hijau ideal karena dianggap telah berhasil menjadi produsen yang memproduksi seluruh kebutuhan harian keluarga yang memenuhi standar sehat dan ramah lingkungan. Mereka memiliki homestead, kebun untuk memproduksi makanan organik, energi listrik, gas dan air yang bersih, hutan, musholla dan sekarang sedang membangun sekolah dan sistem pendidikan sendiri. Semuanya dilakukan sendiri, meski dalam prakteknya ada karyawan yang berasal dari desa terdekat yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan itu. Begitu juga dengan bahan pangan dan makanan siap konsumsi yang dibuat dengan tangan sendiri oleh produsen dan artisan jaringan komunitas pangan organik. Dalam level yang lebih sederhana juga dilakukan oleh komunitas Teman Berkebun, Mbak Nana dan Ibu Dian yang menanam beberapa jenis tanaman pangan. 152 Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang tidak termasuk kelompok hijau? Hal penting yang sangat disesali para aktivis dan pelaku hidup hijau adalah situasi para petani dan para konsumen di Indonesia. Ada 2 kondisinya, pertama petani semakin langka ditemukan di Indonesia. Tidak ada lagi yang mau menjadi petani, terlebih para anak muda yang lebih suka menjadi konsumen karena kaya dan gaya. Kondisi kedua adalah kemiskinan para petani sekarang karena mengikuti pola pertanian konvensional. Yaitu pola pertanian yang menggunakan bibit GMO, pestisida dan pupuk kimia, serta kebiasaan petani yang menjual hasil pertaniannya kepada tengkulak. “Katanya petani banyak yang sakit, ya iya karna mereka pake pestisida, mereka disconnect to the nature, karna cuman pingin dapat untung yang banyak. Padahal seharusnya tidak. Kalau sekarang kamu tanya ke petani di sana, lho kok tetep susah hidupnya pak, makan aja susah, ya memang, hasil padinya dijual itu untuk saya beli lagi beras murah, aneh kan. Dia petani padi, untuk beli beras aja dia nggak mampu. Yang salah itu ya dia, karna dia pake urea, begitu dia mau nanam harus pake urea pestisida yang harganya selalu naik, dia nggak mampu beli, dia berhutang kan, dari awal dia harus hutang benih, harus hutang pestisida, harus hutang urea, padahal capek kepanasan keringetan sampe hitam, akhirnya pada waktu panen dihitung-hitung semua dia cuman dapat sedikit dari apa yang dia hasilkan. Kemudian dia butuh untuk anak-anaknya sekolah, berobat dan sebagainya dia jual berasnya, untuk beli beras 1 kilo nggak bisa, dan itulah beratnya, seandainya petani itu mau mulai lagi kompos daun dan kotoran hewan kan dia nggak harus beli pupuk, dia bisa dapat murah dari 153 apa yang dia tanam. Petani sekarang nggak mau, langsung beli urea melihat padinya kuning, padahal memang seharusnya padi itu agak kuning kecoklatan, tidak hijau, begitu padi itu hijau berarti keracunan nitrogen dan semua petani berlomba-lomba bikin hijau, ya kalau di-urea terus ya tanahnya mati dong.” Wawancara dengan Pak Soleh tanggal 7 April 2015 Pak Soleh sangat yakin hal inilah yang menyebabkan kemiskinan para petani di Indonesia, yaitu tidak adanya kesadaran para petani. Pak Soleh menggambarkan situasi petani sekarang sudah terperangkap di dalam jerat kapitalisme yang semakin memiskinkan mereka dari waktu ke waktu. Satu-satunya jalan keluar dari perangkap itu adalah kesadaran diri si petani untuk memulai pertanian dengan menggunakan kembali pupuk kompos. Meski kemudian di lain momen, Mas Janu, seorang aktivis petani organik Yogyakarta mengeluh tentang para petani organik di sekitar lereng Merapi yang ternyata menjual hasil pertaniannya. Ia katakan setidaknya 80 para petani organik itu tidak memakan makanan sehat yang diproduksinya sendiri. Ia menyebut situasi itu sebagai situasi yang “menjadi absurd, karena panenan mereka bukan untuk makanan mereka sendiri, sementara mereka sendiri justru makan sampah”. 75 Bagi para aktivis ini petani tradisional di Indonesia telah mengalami genosida atau pemberantasan besar-besaran. Padahal 75 Diskusi “Jaga Lingkungan dari Meja Makan” di National Museum Yogyakarta tanggal 22 April 2016. 154 menurut aktivis Jogja Berkebun, negara yang sejahtera dimulai dari kesejahteraan para petaninya. Dunia pertanian Indonesia sedang menghadapi masalah yang sangat pelik. Petani yang baik itu seharusnya petani yang melakukan DIY, bertanam pangan kemudian menjadi orang pertama yang menikmatinya. Contohnya ya seperti mereka. Untuk hal ini aktivis hijau menekankan sikap mereka sebagai inspirator. Tapi apakah semua orang kemudian lantas harus menjadi petani? Mbak Susi dari Warung Salad menyatakan hal itu sulit dilakukan. Harus semakin banyak yang menjadi petani, namun tidak semua orang dapat menjadi petani. Yang tidak mampu menjadi petani ini tetap bisa membantu mengatasi krisis pangan di Indonesia dengan cara tidak membuang-buang makanan atau bahan pangan dengan gampangnya. Salah satu caranya adalah memiliki kemampuan sebagai artisan makanan. Pendapat Mbak Susi sama dengan yang dilakukan oleh anggota komunitas pasar organik yang tak hanya diisi oleh produsen makanan organik namun juga para artisan. Dengan demikian makanan DIY dianggap menjadi lebih enak dan lebih menarik, dengan berbagai macam menu. Makanan akan dilahap dan akhirnya tidak ada makanan yang terbuang sia-sia. Mbak Susi mengeluhkan masyarakat kekinian yang dianggapnya lebih suka menjadi konsumen makanan di berbagai