Liyan yang tak hijau

154 menurut aktivis Jogja Berkebun, negara yang sejahtera dimulai dari kesejahteraan para petaninya. Dunia pertanian Indonesia sedang menghadapi masalah yang sangat pelik. Petani yang baik itu seharusnya petani yang melakukan DIY, bertanam pangan kemudian menjadi orang pertama yang menikmatinya. Contohnya ya seperti mereka. Untuk hal ini aktivis hijau menekankan sikap mereka sebagai inspirator. Tapi apakah semua orang kemudian lantas harus menjadi petani? Mbak Susi dari Warung Salad menyatakan hal itu sulit dilakukan. Harus semakin banyak yang menjadi petani, namun tidak semua orang dapat menjadi petani. Yang tidak mampu menjadi petani ini tetap bisa membantu mengatasi krisis pangan di Indonesia dengan cara tidak membuang-buang makanan atau bahan pangan dengan gampangnya. Salah satu caranya adalah memiliki kemampuan sebagai artisan makanan. Pendapat Mbak Susi sama dengan yang dilakukan oleh anggota komunitas pasar organik yang tak hanya diisi oleh produsen makanan organik namun juga para artisan. Dengan demikian makanan DIY dianggap menjadi lebih enak dan lebih menarik, dengan berbagai macam menu. Makanan akan dilahap dan akhirnya tidak ada makanan yang terbuang sia-sia. Mbak Susi mengeluhkan masyarakat kekinian yang dianggapnya lebih suka menjadi konsumen makanan di berbagai 155 cafe dan restoran mewah yang mahal. Semakin sedikit orang yang suka mengolah makanannya sendiri. Pendek kata para pelaku dan aktivis hidup hijau mengeluh tentang ketidakmandirian masyarakat Indonesia yang lebih suka menjadi konsumen daripada belajar membuat sendiri atau memproduksi kebutuhan hariannya atau DIY. Persoalan kedua yang dikeluhkan adalah tiadanya kesadaran warga untuk menjadi konsumen hijau, yaitu konsumen cerdas smart consumer yang mampu membuat pilihan konsumsi yang ramah lingkungan mulai dari pra konsumsi hingga pasca konsumsi. Pak Soleh dan Mbak Aminah mengeluhkan masyarakat yang kini begitu doyan membangun rumah dengan gaya modern. Rumah yang dibangun dengan batu dan semen, seringkali dibuat tinggi berlantai 2 dan 3. Masyarakat meninggalkan jenis rumah tradisional yang menurut mereka sebenarnya lebih cocok untuk daerah tropis dan mampu tetap kokoh ketika gempa bumi datang. Menurut mereka selera rumah demikian bahkan tidak hanya terjadi di kota saja, melainkan juga di desa, yang seharusnya menjadi pewaris utama tradisi kearifan lokal yang tercetak lewat rumah-rumah tradisional itu. Akibat dari pemilihan rumah demikian adalah AC dan kipas angin harus dipasang karena desain rumah modern ini umumnya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 156 kecil dan panas, padahal menurut Mbak Aminah, AC adalah teknologi yang sangat jahat. “Kalo sekarang ini settingan rumahnya itu udah tertutup sama sekali, yang kecil-kecil gitu lho, maka otomatis harus pake AC. Padahal menurutku itu yang harus digugat, gaya hidup hijau itu memang sudah seharusnya sejak dalam pikiran kita, lalu kemudian itu membuat kita mempunyai pertimbangan-pertimbangan, perspektif-perspektif, lalu sampai ke persoalan pemilihan, rumah yang dipilih kayak apa, sampah yang akan kita hasilkan seperti apa. Itu yang aku sayangkan, orang-orang dalam keseharian bagaimana memilih rumah itu juga jahat gitu lho menurutku, dari awal mau settingannya punya AC, aku mau punya rumah yang kamar-kamarnya pake AC, supaya nyaman. Iya, lu nyaman di rumah, tapi di luarnya nggak nyaman, banyak orang gak paham AC itu kan sebenarnya produk yang sangat egois, karna memberikan kenyamanan di dalam, tapi panasnya itu dirasakan oleh orang di luar rumah, itu yang orang gak paham. Jadi tidak menggunakan AC itu sebenarnya praktik berempati, tapi kan orang malas ya berempati gitu, yang paling enak ya ngurus diri sendiri ajalah gitu ya.” Wawancara dengan Mbak Aminah tanggal 5 Oktober 2015 Bagi Mbak Aminah sedari awal seharusnya orang sudah mempertimbangkan kehidupan seperti apa yang seharusnya ia hidupi, rumah seperti apa, dan sampah seperti apa yang akan dihasilkan. Sampah adalah soal yang paling banyak disesalkan oleh partisipan. Mas Farah dan Mbak Karen mengeluhkan masyarakat yang abai sekali soal sampah, suka membuang sampah dengan sembarangan di mana saja. Mas Farah bahkan pernah mengejar seorang pengemudi sebuah mobil yang membuang sampah ke jalanan dan melemparkan kembali sampah itu ke dalam mobil si pembuang sampah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 157 Sementara Mbak Karen termasuk aktivis PungutSampah yang cukup rajin menegur dan mengajari orang-orang untuk membuang sampah-sampahnya di tempat sampah. Dalam beberapa kesempatan mengikuti acara PungutSampah di KM 0, hanya dalam radius sekian meter Mbak Karen sudah menegur dan mengajari cukup banyak orang- orang yang sedang asik bercengkrama agar membuang sampahnya di tempat yang telah disediakan. Padahal saat itu terlihat hanya ada 1 tempat sampah yang tersedia dan sudah dalam keadaan penuh sehingga “wajar” sampah-sampah itu kemudian meluber. Mbak Karen mengaku sangat kesal dengan para pedagang di sekitar KM 0 yang menurutnya tidak memperdulikan sama sekali sampah yang mereka hasilkan. Menurutnya hal ini membuat pemandangan KM 0 menjadi sangat kotor, padahal tempat itu adalah salah satu ikon kota Yogyakarta. Mbak Nana juga mengeluh mengenai tetangga di sekitar kost-nya yang suka membakar sampah. Menurutnya tindakan itu mengganggu kesehatan dan kenyamanan, sekaligus menunjukkan tidak adanya rasa empati kepada orang lain dan kesadaran pada si pembakar sampah. Demikian juga para pedagang di warung-warung kecil yang merasa aneh saat plastik yang ditawarkannya ditolak oleh Mbak Nana. Walaupun bisa mengerti alasan keberatan si pedagang yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 158 mengatakan “ora elok” jika tidak memakai plastik, bagi Mbak Nana hal itu tetap sesuatu yang mengganggu. Demikian juga dengan Mbak Aminah saat berbelanja di pasar tradisional, ia selalu berusaha menolak plastik yang ditawarkan si pedagang. Ia keberatan dengan para pedagang yang tetap memberikan kantong plastik cuma-cuma dengan alasan yang sama, “ora elok”. Menurutnya seharusnya konsumen yang menolak memakai kantong plastik diberikan penghargaan tertentu seperti yang dilakukan Toko Superindo. Pemakaian kantong plastik memang menjadi perhatian utama partisipan, seiring isu bahaya kantong plastik semakin banyak dibicarakan media. Bagi Pak Soleh memakai kantong plastik berarti ikut membunuh hewan-hewan yang terluka dan mati karena tak sengaja menelan kantong plastik yang terbawa ke kebun binatang, hutan dan laut. Katanya masyarakat harusnya berbelanja dengan memakai kardus atau membawa tas belanja sendiri. Bagi partisipan perilaku masyarakat menangani sampah sangat mengecewakan, mulai dari boros plastik hingga suka membuang sampah dengan sembarangan, serta suka merusak fasilitas publik. “Kami sering ketemu sama sampah-sampah plastik yang dibuang sama orang di pinggir jalan, karna tempat kami agak terpencil gitu ya trus kemudian orang merasa bisa membuang sampahnya disitu, bayangkan betapa mereka nggak tanggung jawab. Mereka mau mengkonsumsi segala 159 sesuatu tapi mereka nggak mau tanggung jawab sama sampahnya, dan sampahnya dibuang ke tempat orang lain, orang lain dapat ampasnya.” Kekecewaan yang dirasakan Mbak Aminah diatas memang didasarkan pada pengalamannya sendiri. Rasa terganggu mendapati banyak sampah di sekitar rumahnya tanpa kejelasan siapa yang bertanggung-jawab hingga sampah-sampah itu tiba di lokasi rumahnya. Bagi Mbak Aminah, juga partisipan pada umumnya, setiap konsumen harus bertanggung-jawab kepada sampahnya masing-masing, dibuang kemana atau diperlakukan seperti apa. Namun kini di banyak tempat jangan harap anda bisa membuang sampah anda di tempat sampah milik orang lain. Ternyata sampah pribadi harus berakhir di tempat sampah sendiri, sebelum diangkut oleh petugas pengumpul sampah. Kini sampah pun menjadi persoalan privat, konsumen tidak boleh membuang sampah di tempat orang lain, hanya di tempatnya sendiri atau di toko tempat ia berbelanja. Tempat sampah itu bukan milik umum. Demikian juga dengan persoalan hemat listrik dan air. Mas Yuki mengatakan bahwa sebenarnya krisis air bersih dan kekeringan sumur air yang dialami oleh banyak warga di Yogyakarta adalah karena kesalahan warga sendiri. Mereka boros sekali memakai air untuk kebutuhan mencuci pakaian, mandi dan segala keperluan rumah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 160 tangga. Mas Yuki cukup yakin dengan hal ini karena informasi ini disampaikan langsung oleh seorang akademisi bidang hidrologi yang mengajar di sebuah kampus negeri Yogyakarta yang menyatakan data tersebut sebagai hasil statistik. Secara kebetulan pernyataan itu disampaikan dalam acara seminar lingkungan hidup yang disponsori oleh PT Danone Indonesia yang memproduksi air minum dalam kemasan ber-merk AQUA. 76 Senada dengan Mbak Bia, relawan komunitas MaenAir, ia menyatakan “cewek-cewek kan banyak tuh yang kalo mandi suka lama dan kerannya dibiarin hidup, airnya meluber, boros.” 77 Ibu Dian mengeluh tentang beberapa rekan kerjanya yang mencampurkan begitu saja kertas-kertas bekas dengan sampah- sampah lainnya. Menurutnya hal itu disebabkan rasa malas memilah- milah sampah. Rasa malas itu juga ada pada asisten rumah tangganya yang mencampurkan segala macam sampah ke satu tempat, tidak dipilah-pilah, termasuk sampah sisa makanan. Ia juga mengeluhkan masyarakat yang suka merusak fasilitas umum. Mas Hari, penggagas komunitas SaveEnergy sangat yakin tidak adanya kesadaran masyarakat adalah pangkal persoalan krisis energi yang melanda Indonesia, mereka begitu boros, “..bahwa 20 daerah Indonesia belum mendapat akses terhadap listrik dan ironinya 80 76 Wawancara dengan Mas Yuki tanggal 11 Agustus 2015. 77 Dalam diskusi dengan komunitas SaveEnergy di Djendela Cafe. 161 rakyat Indonesia adalah pengguna listrik terboros di Asia Tenggara. Masyarakat Indonesia yang cenderung melupakan hal-hal kecil dalam penghematan listrik membuat pemerintah cukup kewalahan untuk memfasilitasi listrik di daerah terpencil.” 78 , dan korbannya adalah pemerintah yang harus bekerja keras –bahkan kewalahan memenuhi kebutuhan energi listrik yang tiada akhir itu. Dengan pendapat demikian maka rasanya wajar saat pemerintah Indonesia melalui Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM mengundangnya menjadi salah satu peserta dalam Youth Forum dalam Bali Clean Forum. Konferensi ini diadakan untuk membicarakan soal kampanye, edukasi dan advokasi penghematan energi kepada kawula muda. Mas Hari dan komunitas SaveEnergy adalah komunitas yang dianggap sebagai pemuda-pemuda yang positif dan menginspirasi sehingga komunitas ini diliput oleh Majalah Energi milik Kementrian ESDM edisi 05 Agustus 2015. Komunitas mereka bahkan diliput dalam acara Coffee Break TV One edisi 19 November 2015 yang disponsori – masih oleh Kementrian ESDM. Di Yogyakarta, Mas Hari ditunjuk menjadi salah satu pemateri dalam diskusi Membedah Peran Local Youth Dalam Perkembangan Kota Hijau dalam acara Festagama UGM 2016. 78 Diambil dari selebaran SaveEnergy Community dengan judul “Everyday is EarthDay: Nyalakan Seperlunya Ya”, dibagikan pada 4 Oktober 2015 di KM 0 Yogyakarta. 162 Pak Iman dan Pak Soleh bersama Green Family kini bukan lagi satu-satunya yang menjadi tokoh inspirasi yang hidupnya ramah lingkungan. Ada Mas Hari, komunitas pasar organik yang disebut Mbak Aminah sebagai aktor fair trade, juga Mbak Nisa dan Mbak Susi lewat Warung Salad, Teman Berkebun, dan masih banyak lagi. Mereka adalah pahlawan lingkungan. Tapi pahlawan biasanya tidak akan muncul tanpa musuh, dan –entah disadari atau tidak- yang ditunjuk sebagai musuh lingkungan itu adalah masyarakat biasa. Seseorang dalam sebuah diskusi lingkungan hidup pernah mengeluh kira-kira begini, “Kenapa ya saya perhatikan warga miskin ini justru nggak mau menjadi konsumen hijau?”. 79 2. Adakah hal baru? Namun apakah benar tidak ditemukan praktik hidup yang sama pada masyarakat biasa meski tidak mengambil kata hijau sebagai labelnya? Benarkan praktik hidup yang sama tidak ditemukan sama sekali pada masyarakat yang sekarang? Dan seberapa besar keluhan-keluhan yang mereka nyatakan itu benar-benar terjadi? Karena itulah saya mulai bertanya kepada beberapa orang warga biasa dan memiliki pola hidup yang menunjukkan bahwa keresahan dan keluhan para pelaku dan aktivis hidup hijau itu tidak sepenuhnya benar. 79 Dalam Seminar ‘Bumi Makin Rusak’ di UKDW Yogyakarta, tanggal 21 April 2014. 163 Warga yang saya temui tinggal di wilayah perkampungan yang berbeda, mereka telah tinggal di Yogyakarta cukup lama, bahkan lebih dari 30 tahun. a. Warga Berdaya Pak Kartono, Pak Mulyono dan Pak Siswono adalah warga dari satu desa yang sama yang berjarak kurang dari 1 km dari Mall Ambarukmo Plaza, salah satu simbol masyarakat konsumsi Yogyakarta. Di desa itu juga mereka sama-sama bekerja sebagai petani dan bergabung dalam kelompok tani yang sama. Kelompok tani ini beranggotakan sekitar 40 orang petani di lahan sekitar 8,5 ha, dan didampingi oleh petugas PPL atau Penyuluhan Pertanian Lapangan. Mereka mengelola sawah-sawah itu secara berdampingan, di atas tanah negara yang disewakan oleh pihak kelurahan dengan biaya Rp 1000,- per meter per tahunnya. Menurut Pak Kartono, di desa itu hanya 2 orang petani lagi yang bertani di tanah sendiri, namun itu juga dengan luas tanah tidak lebih dari 2000m 2 . Pak Kartono berumur 65 tahun, dan menjadi petani padi sejak 4 tahun terakhir setelah berhenti dari pekerjaan lama sebagai supir. Pilihan menjadi petani ini diambil setelah 3 putra-putrinya menyelesaikan pendidikan masing-masing yang setingkat SMA Sekolah Menengah Atas dan telah bekerja. Sebelumnya bekal petani hanya ia dapatkan saat kecil mengikuti sang ayah bertani. Namun bertani agaknya sangat sulit dijadikan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 164 pekerjaan tetap untuk membiayai hidup keluarga dengan 3 anak yang kesemuanya harus mendapatkan pendidikan. Kini setelah putra ketiganya selesai sekolah dan bekerja, Pak Kartono pun memutuskan menjadi petani di atas lahan 1000m 2. Berbeda dengan Pak Mulyono yang lebih dari 10 tahun telah bekerja sebagai petani dengan luas sawah 3000m 2 , sementara Pak Siswono yang termuda diantara mereka, menjadi petani baru juga dengan luas lahan 500m 2 . Para petani di lahan ini didampingi dengan rutin oleh PPL Kelurahan untuk menampung berbagai persoalan bertani yang mereka hadapi. Para petugas PPL jugalah yang mengajar mereka dalam pemakaian pupuk berimbang. Yaitu pemakaian Pupuk Urea dan Pupuk Phonska NPK dengan komposisi tertentu yang telah diatur, ditambah dengan Pupuk Organik dengan komposisi 50. Menurut Pak Kartono menanam padi dengan Pupuk Organik sebenarnya tidak memiliki kerepotan sendiri, perlakuannya sama saja dengan menggunakan pupuk berimbang. Namun mereka memang telah terbiasa baca: dibiasakan untuk memakai pupuk berimbang, bahkan terkadang mereka mendapatkan pupuk-pupuk itu secara gratis dari pemerintah. Pembiasaan inilah yang akhirnya membuat mereka memiliki keraguan apakah dengan menggunakan Pupuk Organik hasil yang didapat akan sama dengan yang sebelumnya. Apakah tanaman padi mereka akan mampu bertahan menghadapi hama, sama seperti sebelumnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 165 Setidaknya ada 2 hal yang dimiliki oleh para petani ini yang membuktikan bahwa keluhan tentang petani biasa masa kini itu tidak sepenuhnya benar. Yang pertama adalah para petani di desa ini ternyata tidak bersentuhan dengan tengkulak. Mereka bukan jenis petani yang digambarkan oleh para aktivis hijau sebagai korban dari sistem pertanian konvensional yang menjual hasil pertaniannya kepada tengkulak dengan harga yang sangat murah dan kemudian setelah itu membeli sampah atau beras jelek dan murahan. Kebanyakan para petani di desa ini bahkan tidak menjual hasil tani mereka, mereka memilih untuk mengkonsumsinya sendiri. Pak Kartono mengatakan selama 4 tahun menjadi petani, ia tidak pernah menjual hasil padinya. Sesekali ia memberikan beras hasil keringatnya itu kepada tetangga yang membutuhkan. Sementara Pak Siswono memang menjual hasil padinya karena dapat dijual dengan harga yang cukup mahal, yaitu beras coklat. Beras ini dianggap lebih sehat karena kadar gulanya sangat rendah dibandingkan beras putih, biasanya digolongkan sebagai beras organik. Jangankan berurusan dengan tengkulak, keluarga Pak Siswono bahkan tidak pernah repot-repot mencari pembeli karena sebelum panen pun sudah ada keluarga-keluarga yang memesan beras itu. Mengapa keluarga Pak Siswono menjual beras mereka tentu bisa dimaklumi. Berbeda dengan Pak Kartono, keluarga Pak Siswono masih harus membiayai seorang 166 putranya yang masih kecil. Lagipula kebutuhan beras mereka toh dibeli dari tetangga mereka yang juga menjadi petani di desa itu. Menurut Pak Kartono memang tetap ada petani yang menjual hasil padinya, terutama karena kebutuhan beras keluarganya sudah terpenuhi. Misalnya Pak Mulyono yang mengerjakan lahan seluas 3000m 2 dan telah bertahun-tahun menjadi petani. Para petani di desa itu menjual beras-beras mereka dengan cara menitipkannya di warung salah satu petani. Jadi jarak antara petani sebagai produsen dengan pembeli sebagai konsumen tidak diperantarai oleh siapa pun, terlebih tengkulak. Di sini slogan DIY atau Do It Yourself terbukti bukanlah sesuatu yang baru dan hanya menjadi pola hidup para aktivis hijau. Pola itu adalah kehidupan biasa warga biasa tanpa harus ada embel-embel hijau di belakangnya. Hal kedua adalah kebanggaan sebagai petani. Baik Pak Soleh, Warung Salad, Teman Berkebun serta beberapa aktivis hijau yang saya temui dalam diskusi bertema lingkungan, berulang kali menyatakan bahwa petani-petani itu seharusnya bangga dengan pekerjaannya sebagai petani. Sesuatu yang tampaknya mereka juga upayakan untuk diri mereka sendiri, yakni bangga sebagai produsen maupun artisan makanan. Kalau begitu, apakah dalam riil-nya para petani di Indonesia tidak bangga dengan dirinya sebagai petani? Pak Kartono sendiri tidak sekalipun menggunakan kata “bangga” untuk identitas dirinya sebagai petani, namun tidak berarti tidak ditemukan 167 rasa tidak percaya diri sebagai petani pada dirinya, terlebih lagi Pak Mulyono. Pak Kartono lebih memakai kata “ayem”, “senang” dan “tenang” untuk menggambarkan situasinya saat ini. Pagi hingga siang hari berada di sawah, kemudian dilanjutkan dengan sore hari jika tidak ada kegiatan di gereja. Meski tidak menghasilkan uang, karena ia tidak menjual hasil padinya, ia merasa hidupnya lebih tenang menikmati kesehariannya. Tetap sibuk bersama warga kelurahan dengan jadwal rutin rapat RT. Saling berbagi pengalaman dan masukan bertani di kelompok tani setiap Selasa Legi tiap selapan. Kesibukannya ditambah dengan posisinya sebagai Prodiakon di gereja sehingga cukup banyak aktivitas di gereja yang harus ia ikuti. Misalnya kursus pelayanan gerejawi setiap hari selasa sore, pelayanan gereja di hari Minggu dan ditambah membantu pelayanan Misa Lingkungan. Kesibukan yang hampir sama dengan keseharian Pak Mulyono dan Pak Siswono. Ketiga petani ini, bersama warga dan petani lainnya, tinggal dan bertani di sebuah wilayah yang dikelilingi oleh deretan hotel-hotel, cafe, serta macam-macam restoran. Mereka bahkan bertetangga dengan sebuah perumahan elit yang “dilindungi” tembok yang tinggi serta deretan toko demi toko. Semua “tetangga” itu hampir-hampir tidak ada hubungannya dengan pertanian yang mereka kerjakan ataupun kehidupan harian mereka di 168 kelompok tani dan lingkungan RT-RW. Namun ternyata deretan simbol dunia konsumsi itu tidak bisa begitu saja melumat kehidupan keluarga Pak Kartono. Saya tidak melihat ada rasa minder ataupun keinginan Pak Kartono untuk menjadi sama dengan “tetangga-tetangga” itu. Dari ketiga petani pada bagian ini, saya melihat ada beberapa persoalan yang mereka hadapi yang luput dari pembicaraan para aktivis hijau yang mengkritik mereka. Yang pertama adalah soal kepemilikan tanah. Dari 40 orang petani, hanya ada 2 atau 3 orang saja yang masih memiliki sedikit tanah. Dalam kasus ini mereka beruntung dibantu oleh pemerintah daerah yang menyewakan tanah dengan harga yang cukup murah serta mendampingi mereka melalui petugas PPL. Namun keberuntungan ini tidak dimiliki oleh banyak petani. Tanah adalah modal yang sangat penting. Banyak orang merasa kesulitan menjadi petani karena tidak punya modal yang cukup, diantaranya karena tidak memiliki tanah dan biaya sewa tanah yang cukup mahal. Masalah yang kedua adalah peran pemerintah. Dalam kelompok tani yang diikuti Pak Kartono, jelas sekali ada peran struktural yang menolong sekaligus merusak. Pemerintah membantu menyediakan modal tanah dan pengetahuan lewat pendampingan PPL, namun pemerintah juga yang memberikan pupuk-pupuk kimia kepada mereka. Mereka bahkan tidak perlu membeli pupuk-pupuk itu karena secara berkala diberikan dengan gratis. 169 Kasus ini mengingatkan kita pada upaya pemerintah Orde Baru menghancurkan petani lewat program Revolusi Hijau. Jadi kehancuran petani Indonesia tidak semata-mata terjadi akibat ketidaksadaran personal si petani, melainkan karena upaya yang terstruktur. Karena itu bagaimana membangun kesadaran kritis si petani harus menyasar persoalan ini. Adalah perlu untuk mempersoalkan upaya aktivis hijau menyelesaikan persoalan ini melalui cara yang mereka usulkan, yaitu memberi inspirasi. b. Warga Hijau Pak Wagiyo tinggal di sebuah dukuh dengan keadaan ekonomi yang cukup beragam. Ada yang cukup sejahtera, ada pula penduduk miskin yang membangun rumah dengan menyewa tanah milik kelurahan. Pak Wagiyo telah tinggal di perkampungan itu selama 37 tahun sejak ia belum menikah hingga sekarang ketika anak-anaknya telah dewasa. Ia menjadi salah satu saksi hidup yang melihat perubahan demi perubahan di perkampungan itu. Pak Wagiyo tinggal di rumah warisan milik orang tuanya, dan hingga sekarang ia membiarkan halaman rumahnya dipenuhi dengan pepohonan yang terawat sangat baik. Halaman rumahnya berukuran 7x7 meter, diisi setidaknya 5 buah pohon besar dan berdaun lebat serta beberapa pohon muda, ditambah sedikit tanaman hias dan tanaman bumbu. Semuanya terlihat terawat baik sehingga ranting-ranting pohon tidak tumbuh kemana- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 170 mana dan saling merusak satu dengan yang lain, tidak juga merusak instalasi listrik negara. Pak Wagiyo tetap memelihara kebun itu karena beberapa hal. Yang pertama adalah karena orang-tua yang telah mewariskan bukan saja rumah dan tanah namun juga pohon-pohon, kemampuan berkebun dan rasa asik merawat pepohonan. Karena itulah Pak Wagiyo juga sangat bersemangat mengerjakan sebuah kebun yang terletak persis di depan rumahnya sejak 4 tahun lalu. Tanah itu seluas 200m 2 milik Pak Yusuf, seorang warga Solo. Selama tanah itu belum berhasil dibeli oleh orang lain Pak Wagiyo diminta untuk berkebun di lahan itu. Pak Wagiyo yang memang sangat senang berkebun akhirnya mengelola lahan itu untuk berkebun berbagai jenis pepohonan dan beternak ayam. Semua tanaman di kebun maupun di halaman rumah Pak Wagiyo ditanam dan dipelihara dengan menggunakan pupuk kompos yang dibuat sendiri. Daun-daun yang jatuh ia kumpulkan dan direndam dengan tanah selama 2 minggu, pupuk kompos itu kemudian dipakai di kedalaman ½ meter sebelum dimasukkan bibit pohon tertentu. Alasan kedua adalah untuk menjaga kesejukan. Pak Wagiyo sendiri menyatakan hal itu menjadi satu-satunya hal yang ingin ia cari dari kegiatan berkebunnya. Secara kebetulan kesejukan itu akhirnya membantu usaha sang istri yang membuka warung makanan di halaman rumah mereka. 171 Selain kesejukan, manfaat lain yang sangat berguna adalah sumber air sumur di rumah mereka menjadi sangat jernih. Pak Wagiyo kini berumur 69 tahun, sudah pensiun dari pekerjaan lama menjadi karyawan administrasi sebuah kampus swasta. Kini setiap hari ia membantu sang istri berjualan makanan tradisional dan minuman yang beberapa bahannya dipanen dari pohon dan tanaman yang tumbuh di pekarangannya. Tubuhnya masih sehat tegap, karena selain suka berkebun ia masih suka melakukan hobinya bermain bola di lapangan milik kelurahan, tidak merokok dan ia mengaku sejak dulu ia tidak pernah ngoyo dalam bekerja. Katanya sejak dulu ia tidak pernah bersedia jika diminta lembur bekerja, baginya bertemu istri dan anak-anaknya juga urusan yang sangat penting. Hingga sekarang tidak ngoyo itu tetap terlihat, warung yang mereka kelola hanya dibuka dari pagi hingga siang hari saja. Setiap pukul 5 pagi Ibu Wagiyo berbelanja bahan makanan keluarga dan bahan dagangan di pasar tradisional yang tidak jauh dari rumah. Ia berbelanja dengan membawa tas belanja sendiri. Meski tidak menolak kantong plastik karena kantong plastik bekas dapat ia pakai kembali untuk berbagai keperluan, tidak lantas dibuang begitu saja. Di halaman rumah Pak Wagiyo hampir tidak ada sampah yang bertebaran, yang ada hanya sampah dedaunan yang terkumpul di sisi-sisi pepohonan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 172 Karena masih begitu sehat, Pak Wagiyo masih sanggup mengerjakan kesibukan-kesibukan lain. Dua tahun lalu ia masih menjadi Sekretaris RT dan bersama warga lainnya, mereka berhasil menolak rencana pembangunan sebuah hotel yang sedianya akan dibangun di depan rumahnya. Dua tahun lalu seorang pengusaha mulai melakukan pendekatan kepada warga dan berencana membangun hotel di atas tanah milik keluarganya yang terletak di tepi Jalan Gejayan, sangat berdekatan dengan lokasi rumah Pak Wagiyo. Berbagai pendekatan telah ia lakukan, termasuk menyusup provokator untuk membujuk warga hingga upaya suap yang tak berhasil kepada Ketua RT 80 . Bersama sang Ketua RT, Pak Wagiyo mengadakan rapat warga hingga beberapa kali. Warga yang sudah mendapat informasi pengalaman warga dari desa lain mengenai situasi kekeringan air sumur setelah pendirian hotel, sepakat menolak pendirian hotel dengan memberikan tanda tangan masing-masing. Tak disangka bukan hanya RT yang diurus oleh Pak Wagiyo yang kemudian menolak, ada 2 RT lain ikut memberikan tanda-tangan dukungan. Mereka menolak dengan alasan yang sama, pembangunan hotel di wilayah itu hanya akan menyebabkan kekeringan pada sumur-sumur warga. Akhirnya surat pemberitahuan menolak memberikan ijin hotel pun segera diserahkan kepada pihak kelurahan, kantor kecamatan hingga 80 Wawancara dengan keluarga Pak Ishak tanggal 4 April 2016. 173 kabupaten. Sang pengusaha mendapati upayanya ternyata tidak berhasil, hingga kini rencana pendirian hotel itu pun surut tak terdengar lagi. Dukuh ini adalah salah satu kampung yang tetap mendapat air sumur yang cukup saat masa kemarau panjang yang menimpa Yogyakarta tahun 2015 lalu. Keluarga Pak Wagiyo menjadi salah satu bukti bahwa hidup hijau sebenarnya bukanlah sesuatu yang jauh dari keseharian warga biasa, dan mereka tidak memberikan embel-embel hijau atau apapun pada tindakan- tindakan itu. Tentu saja ada masyarakat yang tidak seperti Pak Wagiyo dan keluarganya, namun bukan berarti hidup hijau itu tidak ada sama sekali dalam keseharian masyarakat. Hidup hijau nyatanya bukan sesuatu yang baru yang hanya dimiliki oleh sekumpulan elit aktivis, intelektual, dan seniman hijau. Pak Wagiyo hanyalah salah satu, masih banyak yang lain. Misalnya pasangan suami istri Koko dan Cici yang berjualan makanan yang berbasis sayur-sayuran dengan menu dan olahan yang sangat variatif. Dalam plakat yang dipasang di depan warung, Koko dan Cici hanya menjanjikan bahwa masakan mereka tidak memakai penyedap rasa buatan MSG Mono Sodium Glutamat. Mereka tidak menyebut makanan mereka sebagai makanan organik, natural, ramah lingkungan dan semacamnya. Padahal setelah beberapa kali makan di warung ini setidaknya 2 kali saya menemukan ulat kecil di lapisan sayur-sayurnya yang hijau. Konon kabarnya ulat kecil adalah salah satu petanda sayur tersebut tidak ditanam dengan bantuan pestisida. Padahal sayur serta seluruh bahan makanan itu 174 dibeli di Pasar Kranggan yang lokal namun tentu saja tidak tergolong pasar organik. Pengunjung di warung ini sangat beragam, mulai dari mahasiswa, pekerja hingga keluarga. Alasan banyak orang makan di warung ini rata-rata sama: makanannya segar dan sehat karena tidak memakai MSG, rasanya enak, banyak jenis menu yang tidak umum, dan tidak terlalu mahal. Dengan kemampuan masak makanan enak demikian Koko dan Cici tidak menyebut diri mereka sebagai artisan dan sejenisnya, termasuk tidak menyebut diri mereka pelaku hidup hijau. Karena apa yang mereka lakukan dianggap sebagai bagian dan keseharian yang biasa saja. Keseharian warga biasa menunjukkan bahwa sebetulnya gaya hidup hijau bukanlah sesuatu yang asing dan tidak ada sama sekali. Cara berbelanja, bertani, berkebun dan berdagang, semuanya tidak persis sama tapi juga tidak persis berbeda. Hal paling penting yang membuat kehidupan warga ini tidak sama adalah bahwa keseharian mereka adalah cara mereka menjalani hidup di ruang publik. Ruang dimana mereka bertemu bukan hanya dengan teman se-komunitas yang memiliki “passion hijau yang sama” atau kepentingan yang sama. Namun hidup di ruang yang bersentuhan dengan orang asing yang diisi dengan benturan antar kepentingan. 175

BAB IV Fetisisasi Gaya Hidup Hijau

Bab ketiga tesis ini sudah menguraikan praktik hidup partisipan dalam menerapkan pola konsumsi yang hijau. Gaya hidup hijau mereka dilakukan dalam beragam bentuk dan secara umum berada dalam tataran konsumsi pribadi dan kegiatan komunitas dengan alasan politis ditambah alasan personal. Rumah, makanan, konsumsi domestik listrik dan air, sampah, hutan pribadi, tanaman hingga kegiatan komunitas untuk mendukung keberlangsungan konsumsi pribadi. Secara keseluruhan ia bicara soal penataan hidup privat, setiap hari tanpa henti. Ia menyatukan persoalan personal serta persoalan publik yang politis ke dalam wilayah domestik. Hal ini tentu tidak mengherankan jika mengamati slogan yang kerap kali dipakai untuk mendorong orang-orang untuk bersedia melakukan hidup hijau, yaitu “mulai dari diri sendiri” dan “melakukan dari yang paling sederhana”. Jika sesuatu yang sederhana dianggap dapat menyelamatkan lingkungan, maka hal itu tentulah selalu ada dalam kehidupan sehari-hari. Maka terlihatlah bahwa apa yang sebenarnya dituntut dari slogan “mulai dari diri” dan “tindakan sederhana” bukanlah jenis tindakannya, melainkan kepastian bahwa subjek harus melakukan sesuatu. Ada kegelisahan yang dibawa penanda “konsumsi dan kerusakan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 176 lingkungan”, semacam pengalaman traumatik sehingga kegelisahan itu harus disalurkan melalui tindakan apa saja. Yang penting lakukanlah sesuatu Praktik gaya hidup hijau adalah gejala ketakutan menghadapi sesuatu yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, yakni segala sesuatu yang terjadi pada bumi, yang sebagian besar disebut sebagai “perubahan yang tidak normal”. Bumi dibicarakan sedang berada dalam “perubahan” yang melampaui dirinya yang alami, padahal manusia membutuhkan bumi berada dalam kondisi suhu tertentu dan tetap agar manusia dapat tetap hidup. Jadi jika sebelumnya konsumsi manusia disebut sebagai penyebab kerusakan lingkungan hidup, maka gaya hidup hijau adalah cara berkonsumsi untuk menghentikan “perubahan” itu sambil membawa bumi agar berada pada suhu yang ideal bagi manusia. Jelas ada yang bermasalah dengan situasi lingkungan hidup dan keadaan masyarakat sekarang yang konsumtif. Namun dengan praktik hidup yang dilakukan subjek hijau, sejauh apa sesungguhnya gaya hidup hijau dapat menjadi solusi atas persoalan konsumsi dan lingkungan hidup?

A. Dilema Politik Konsumsi

Membicarakan konsumsi hijau berarti membicarakan konsumsi pada tataran melampaui fungsi objek konsumsi atau nilai guna yang dimiliki objek pada dirinya. Ketika orang berkonsumsi bukan karena kebutuhan akan fungsi objek, melainkan kebutuhan akan hal lain di luar fungsi objek itu secara langsung. 177 Pertanyaannya juga bukan lagi “belanja dimana” tapi sudah berada pada level “apakah yang sebaiknya dikonsumsi”. Jawaban dari pertanyaan ini membuat subjek tidak lagi berada pada level histeris ingin menjadi konsumen aktif atau sekadar menggapai tanda simbolik sebagai asesoris masyarakat kelas menengah, melainkan mencari pengalaman yang memberi makna hidup. Dalam level ini berkonsumsi malahan harus didahului dengan semacam “kontemplasi” dan perhitungan cermat sebagai bagian dari masyarakat egaliter yang telah selesai dalam urusan konsumsi sebagai kebutuhan untuk bertahan hidup. Jadi ketika berkonsumsi hijau subjek sedang berbahasa tentang identitasnya sebagai masyarakat politik dan sebagai konsumen. 1. Berkonsumsi Sebagai Berpolitik Hal utama yang didapati dari hidup hijau yang dipraktikkan subjek penelitian ini adalah bahwa pola hidup itu bukanlah cara hidup yang terpaksa dilakukan, misalnya karena peraturan yang ditetapkan oleh negara. Cara hidup sehari-hari ini dilakukan berdasarkan “keputusan diri” setelah mendapatkan “pencerahan” dari berbagai sumber informasi atau pengetahuan yang terkait dengannya. Indonesia bukanlah negara yang mewajibkan rakyatnya untuk melakukan hidup hijau sebagai aturan publik, kecuali pada persoalan kantung plastik yang harus dibayar saat berbelanja PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 178 di beberapa toko. Jadi bisa dikatakan gaya hidup hijau ini adalah pilihan ideologi subjek. Umumnya pemerintah Indonesia, termasuk pemerintah daerah di Provinsi DI Yogyakarta, terkesan sekedar mendukung atau menganjurkan secara birokratis saja. Sesekali menyatakan apresiasi saat diundang ke acara-acara formal yang berkaitan dengan lingkungan hidup ataupun gaya hidup hijau. Terlebih lagi pemerintah daerah kota pada umumnya terkesan membiarkan –bahkan berbangga- ketika kota dipenuhi oleh berbagai penanda masyarakat konsumtif. Seolah-olah warga otomatis sejahtera melalui pembangunan mall dan toserba, naiknya angka kepemilikan kendaraan pribadi, kehadiran berbagai restoran, apartemen, hingga iklan- iklan aneka korporasi, termasuk korporasi yang terbukti merusak lingkungan. Karena itu harus diakui gaya hidup hijau ini –berikut alasan-alasan yang dibawanya- mengingatkan kita kepada sebuah masalah. Praktik konsumsi hijau yang dilakukan membawa kita kepada persoalan politis. Bahwa sepertinya ada yang salah pada bagaimana negara serta sumber daya alam dikelola, bagaimana wilayah dikelola dan bagaimana masyarakat dibentuk. Makanan organik yang berasal dari bibit non GMO dan non pestisida mengingatkan kita akan persoalan industri pertanian dan mempertanyakan kemauan negara dalam pendampingan kepada petani, kesehatan publik dan politik pangan nasional. 179 Demikian juga tindakan-tindakan lainnya, penghematan energi listrik mengingatkan kita pada persoalan industri energi listrik dari bahan bakar fosil yang membawa malapetaka pemanasan global ke seluruh dunia. Persoalan pemeliharaan hutan, laut, dan sumber air minum, pengelolaan sampah dan sebagainya, semuanya membuat subjek harus menempatkan dirinya sebagai individu dan sebagai warga negara citizenship. Karena itu berkonsumsi hijau menjadi cara subjek menyatakan dirinya sebagai warga negara yang ingin ikut bertanggung-jawab dalam persoalan-persoalan negara. Berkonsumsi hijau menjadi cara berbahasa tentang politik partisipasi, cara alternatif subjek menyatakan kepentingan politiknya, perannya sebagai warga negara, dan pandangannya akan kepentingan masyarakat. Konsumsi hijau adalah bahasa yang membicarakan persoalan sebagai individu yang memiliki kepentingan personal kesehatan, kenyamanan dan sebagai warga negara politis. Tapi jika persoalan ini menyangkut persoalan bersama sebagai warga negara, dengan persoalan yang sedang berada di depan mata, maka apakah solusi gaya hidup hijau ini dapat dihadirkan menjadi gaya hidup bersama? 2. Gaya Hidup Yang Mahal Seluruh partisipan dalam penelitian ini dikenali sebagai bagian dari masyarakat urban. Setidaknya telah mencicipi pendidikan setingkat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI