Individualisasi Menata Hidup, Mengatur Konsumsi

84 berasal dari 3 komunitas hijau menekankan pentingnya tiap individu mengubah pola berkonsumsi pangan. Perubahan ini dimulai dengan cara mulai menanam sendiri kebutuhan pangan sehari-hari, mengkonsumsi makanan organik serta memiliki kemampuan mengolah bahan pangannya masing-masing. Perubahan cara memperoleh makanan dianggap akan menghasilkan pelestarian lingkungan karena tidak akan memakai pestisida dan pupuk sintetis yang merusak tanah dan keragaman tanaman. Perubahan ini juga akan memutus pencemaran udara dari sektor transportasi makanan. Penekanan pada kemampuan personal mengolah makanan mencakup kemampuan menciptakan variasi menu makanan lokal dengan cara yang lebih modern. Kemampuan ini dianggap dapat meminimalisir sampah makanan sisa. Mulai dari diri sendiri menekankan kemandirian individu memenuhi kebutuhan diri, umumnya dikenal dengan slogan DIY atau Do It Yourself. Ide mulai dari diri sendiri memang diharapkan menjadi jalan menggapai cita-cita yang besar, yakni menciptakan masyarakat ideal yang sejahtera dengan bumi yang hijau. Kesejahteraan bumi bersama individu dan keluarga itu terungkap lewat harapan masa depan yang digambarkan oleh partisipan. Mbak Aminah misalnya: “Sebagai mahkluk planet bumi kita harus ambil peran, kalo kamu nggak bisa melakukan daur ulang maka setidaknya kamu melakukan penggunaan kembali, karna ketika kamu melakukan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 penggunaan kembali, taruhlah dalam skala rumah tangga, kamu mengurangi kemungkinan pemakaian plastik misalnya. Ketika kamu tidak bisa menghasilkan energi, setidaknya kamu menghemat energi, dengan tidak pakai listrik secara sembarangan, menghemat air semaksimal mungkin. Ketika kamu tidak bisa melakukan pengolahan limbah setidaknya kamu mengurangi semaksimal mungkin produksi limbah misalnya. Karna kita harus memikirkan jauh ke depan, generasi mendatang, anakku, anaknya anakku, cucuku nanti, trus nanti cucunya lagi.” Mbak Aminah, wawancara, tanggal 5 Oktober 2015 Menurut Pak Soleh, impian gaya hidup hijau adalah terciptanya masyarakat ideal yang sehat dan pintar, yang dicapai melalui pendidikan adab atau budi pekerti dan tersedianya pangan organik yang sehat. Ia mencontohkan Kuba sebagai negara mandiri yang bahkan mencapai surplus pangan organik. Ia menyatakan jika hal itu tidak segera dimulai maka korbannya adalah generasi masa depan, generasi anak cucu. Ia katakan: “Harapannya harus sampai begitu, kalau enggak kasian anak cucu kita dong, kalau sampai di era kita sekarang ini semua serba enak, jangan dibilang kemudian 10 tahun 20 tahun tetap seperti ini lho, tambah parah, dan nanti kalo kita mati nggak pernah anak cucu kita doain kita akan kebaikan kita, mereka akan mengutuk kita, kurang ajar semua dihabisin sekarang saya harus nanggung akibatnya, semua harus beli, mahal semua, untuk nafas susah, untuk nyari kualitas air bersih susah, kesehatan tambah mahal, makanannya nggak ada yang kualitasnya bagus, apa mau kita disalahkan begitu?” Pak Soleh, wawancara, tanggal 7 April 2016 Dari sini kita melihat harapan besar terciptanya dunia yang ideal ditumpukan kepada individu. Manusia diandaikan sebagai individu yang 86 hanya punya 2 kemungkinan, sebagai penyebab kerusakan alam atau sebagai penyelamat. Manusia tidak dipandang sebagai bagian dari korban – bersama lingkungan hidup- dari sebuah sistem. Bahkan sebuah produk berlabel “greenshop” membuat slogan penjualannya dengan kalimat “Nggak butuh waktu or dukungan orang lain untuk berubah, You just need to decide. Sustainability Starts From You”. Penekanannya adalah pada individu. Karena itu ketika ditanyakan apa saja modal yang diperlukan untuk melakukan gaya hidup hijau ini, maka jawaban para partisipan hanya satu, yaitu kesadaran diri.

2. Kesadaran Diri

Kesadaran adalah kata yang paling sering muncul dari seluruh para partisipan. Kata “mulai dari kesadaran diri sendiri”, misalnya untuk mengungkapkan bagaimana gaya hidup hijau ini seharusnya dimulai, atau “masyarakat belum cukup sadar”, untuk menyatakan mengapa gaya hidup hijau tidak dilakukan oleh banyak orang. Bagi Pak Soleh misalnya, gaya hidup hijau tidak memerlukan pendidikan tertentu untuk melakukannya. Menurutnya siapa saja bisa melakukannya, asal saja punya kesadaran diri. “Karena itu self conscius, dari kesadaran diri, kalau saya merusak ini efeknya nanti ke saya lagi, kalau saya ngambil lebih nanti efeknya ke saya dan anak cucu saya lagi, itu conscius, itu kesadaran, ini yang sekarang hilang. Ini namanya local wisdom, kebijakan lokal yang sudah dihancurkan oleh teknologi dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 modernisasi. Kita bisa menggunakan teknologi modern, cuman dalam hal yang bagaimana. Misalnya media memproganda bahwa anak saya butuh susu kaleng padahal sampah semua. Saya pengen anak saya sehat makan tempe, padahal kedelainya GMO. Itu gimana kan? Ini tugas yang harusnya dilakukan oleh setiap government, padahal kan setiap rakyat dilindungi oleh negara.” Pak Soleh, wawancara, 7 April 2016 Pak Soleh memilih kesadaran diri sebagai cara untuk “bertahan” di tengah situasi negara yang ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya untuk hidup dengan sehat. Sementara Mbak Nana menggunakan kesadaran diri sebagai cara untuk menata hidupnya mendapatkan kebahagiaan dan memperlakukan alam dengan baik. “Yoga itu sikap hidup, gaya hidup hijau itu juga. Bagaimana memperlakukan orang, memperlakukan alam, kayak gitu ya mulai dari sikap hidup. Awalnya itu pikiran, tidak ke perilaku langsung ya, saya ngapain saya pikir awalnya dari pikiran. Dari bangun. Dari bangun itu yah mengumpulkan kesadaran, dari sejak bangun sudah dipikirkan, hidup ini harus ada kesadaran. Terus ya aktivitas masak, apa yang kita konsumsi, belanja ke pasar, biji-biji buah yang ditanam lagi. Saya punya keyakinan dengan cara ini saya akan lebih sehat, lebih bahagia.” Mbak Nana, wawancara, 11 Oktober 2015 Mbak Aminah mengungkapkan kesadaran sebagai: “berhentilah berfikir kita hidup terpisah sama lingkungan kita, karna kita hanya hidup di planet bumi yang itu tok, nggak ada yang lain.” Kesadaran diri ini menuntun kepada informasi yang selalu dibawa dalam wacana gaya hidup hijau, bahwa ada yang salah dengan persoalan konsumsi manusia. 88 Gaya hidup hijau akhirnya melampaui soal konsumsi semata, ia menjadi tanggung-jawab menata hidup. “Gaya hidup hijau itu soal tanggung-jawab yang diberikan Tuhan pada kita untuk memelihara alam, juga harus mengingat bahwa bumi ini bukan milik saya sendiri, itu harus saya jaga, untuk anak cucu kita. Bumi ini bukan milik kita sendiri, kita harus memikirkan orang-orang lain di sekitar kita.”, kata Ibu Dian. Kata “kesadaran diri” bagi Mas Hari bahkan cukup sebagai langkah awal untuk memulai sebuah gerakan penghematan energi dan mineral. “Saya pribadi sadar betul bahwa sumber daya energi kita makin lama makin menipis, minyak bumi kita trus listrik makin lama makin mahal, sepenuhnya kami sadar kondisinya seperti itu kan. Makanya karena kesadaran ini, melakukan hal-hal yang sederhana kayak matiin lampu, gak make motor secara berlebihan itu ya tinggal dilaksanain aja, gitu. Itu cuma path kecil dari kesadaran yang udah kita bangun dari awal. Dan itu yang selalu saya dan teman-teman itu sampaikan ke masyarakat yang lain bahwa kalian sadar dulu, kalau misalnya kalian sadar ayo kita gerakin bareng dari hal yang sederhana.” Mas Hari, wawancara, tanggal 4 Oktober 2015 Sebagai aktivis dan pendiri komunitas SaveEnergy, Mas Hari menegaskan “kesadaran diri” tiap-tiap individu amat penting dalam sebuah kepentingan yang bersifat nasional. Maka apa sebetulnya yang dimaksudkan sebagai “kesadaran diri”? Seluruh partisipan mengaku belum pernah “bertemu” langsung dengan bencana yang disebabkan oleh kerusakan alam. Dan meski beberapa partisipan memiliki alasan kesehatan yang bersifat personal, 89 ternyata ide gaya hidup hijau yang dilakukan berasal dari banyak sumber diluar pengalaman diri mereka. Ide itu berasal dari berbagai informasi yang dibaca di berbagai media, dari diskusi-diskusi yang dilakukan, serta lewat jaringan pertemanan dengan aktivis-aktivis hidup hijau. “Aku hanya mengadopi konsep-konsep yang mereka kampanyekan lalu kemudian aku menerapkan sendiri gitu lho”, kata Mbak Aminah. Ia pernah berkunjung ke sebuah negara di Eropa dan menyaksikan cara berbelanja masyarakat disana. Maka ketika pulang kembali ke Indonesia ia pun mencoba melakukan yang sama. Sama seperti Ibu Dian yang mengatakan bahwa sebagai pendeta dan teolog, ia memiliki pengetahuan tentang konsep perdamaian manusia dengan Tuhan dan alam. Namun ide praktik gaya hidup hijau itu ia dapatkan dari berbagai informasi dan praktik pengaturan membuang sampah yang diterapkan saat ia bersama keluarganya tinggal beberapa tahun di Amerika Serikat. Mbak Nana pernah bergabung dengan komunitas Teman Berkebun, kemudian bekerja di sebuah organisasi non pemerintah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkampanye tentang isu lingkungan hidup dan gaya hidup hijau, sehingga tentulah wajar jika ia pun melakukannya. Sebagian besar partisipan terlibat aktif dalam komunitas hijau, dan umumnya mereka melakukan sebagian besar hal yang dikampanyekan oleh komunitas itu. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 90 Artinya mereka adalah subjek yang patuh kepada sebuah wacana tertentu sambil kemudian memproduksi sebuah budaya baru. Ada perpaduan antara informasi yang diketahui, praktik budaya yang diadopsi, yang kemudian dikompromikan, dicocokkan, dihindari atau bahkan dipakai untuk melegitimasi informasi-informasi yang didapat. Karena itu kata “kesadaran diri” yang dimaksud oleh para partisipan ini tidak bisa diartikan sebagai -katakanlah sebuah perenungan panjang akan pengalaman tentang kehidupan pribadi bersama alam dan masyarakat lainnya. Bahkan “kesadaran” yang dimaksud “hanyalah” pengetahuan tertentu –atau bahkan sekedar informasi tertentu. Namun informasi dan pengetahuan itu sanggup menjadi kekuatan yang cukup besar untuk membuat keseharian itu tidak lagi dimaknai sama dengan sebelumnya. Keseharian itu kini mengalami penataan dan pemaknaan yang baru.

B. Menjadi Konsumen Hijau

Individualisasi dalam bentuk gaya hijau hijau membuat ide “hidup bersama alam” terwujudkan pada pengaturan hidup sehari-hari, tentang bagaimana wilayah privat dijalankan. Hidup hijau tidak sekedar ditunjukkan pada momen tertentu di wilayah tertentu, tapi mengatur seluruh keseharian subjek pada momen apa saja dan di wilayah apa saja. Semuanya diatur. Menjadi konsumen hijau tidak hanya dimaknai saat momen berbelanja, namun seluruh 91 momen pemakaian. Dengan demikian jika seluruh hidup ditata menurut gaya hidup hijau, itu berarti menjadikan seluruh hidup berada di wilayah konsumsi. 1. Homestead Homestead diartikan sebagai kumpulan beberapa rumah atau cluster yang dikelilingi dengan pertanian dan peternakan yang dimiliki oleh sebuah keluarga besar. Meski dikelilingi oleh pertanian dan peternakan, homestead tidak didirikan dengan cara tradisional, homestead lebih bercita rasa agrikultur yang modern dan urban. 66 Dan homestead yang menjadi partisipan penelitian ini bernama Green Family. Saat mewawancarai beberapa partisipan dan mengikuti sebuah diskusi komunitas hijau, nama dan profil Green Family disebutkan sebagai role model. Impian ideal bagaimana gaya hidup hijau itu sebaiknya dijalankan. Dalam diskusi “Menjaga Lingkungan dari Meja Makan”, Ibu Marni menyebut pendiri Green Family ini sebagai tokoh yang sangat mengagumkan. Pendiri sekaligus kepala keluarga Green Family adalah Pak Iman. Ibu Marni menyebut ia sebagai seorang yang sangat kaya namun memilih untuk menempuh hidup yang sederhana karena kecintaannya kepada alam. Green Family adalah sebuah keluarga besar, Pak Iman beserta istri dengan 2 orang anak, 2 menantu dan beberapa cucu. Sejak tahun 2006 66 Dalam https:en.wikipedia.orgwikiHomestead, dibaca tanggal 10 April 2016. 92 keluarga ini datang ke Yogyakarta dan mulai mendirikan Green Family di atas tanah seluas 3 ha di sebuah desa di wilayah selatan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pak Iman adalah seorang keturunan Indonesia dan Inggris yang menikah dengan warga negara Indonesia. Awalnya ia mempelajari pertanian model permaculture di Australia, kemudian mulai membangunnya di Bali. Dengan konsep yang sama ia mendirikan Green Family Institute. Membeli tanah di desa dan membangun homestead bagi keluarga besarnya, salah satu diantaranya adalah Pak Soleh. Hal utama yang membuat Pak Iman beserta Green Family dikagumi banyak aktivis hijau adalah kemandirian homestead ini memenuhi segala kebutuhan untuk hidup sejahtera dan ramah lingkungan. Mulai dari membangun rumah sendiri, membangun pertanian organik, pengolahan makanan organik, peternakan sapi dan unggas, warung yang menjual produk organik, serta instalasi energi gas, listrik dan air. Kemandirian itu bahkan diwujudkan melalui reservasi areal hutan pribadi dan musholla keluarga. Bahkan mereka sedang mempersiapkan sekolah privat untuk anak-anak mereka, yang saat wawancara dilakukan bangunannya sedang dalam tahap perencanaan. “Bangunan-bangunan di sini belinya second hand, sebisa mungkin nggak beli yang baru, kayunya yang biasa-biasa saja, nggak ada ukirannya, kalau orang lihat Joglo-nya ini bukan yang istimewa karena kayunya beda-beda, ada mahoni dan sebagainya. Biasanya orang nggak mau ngambil joglonya ini, 93 cuman ya yang penting joglo kan, kenapa harus yang cantik yang bagus. Kalau kita sudah nyaman tinggal di dalamnya ya sudah orang mau bilang apa. Waktu gempa tahun 2006 rumah- rumah yang tingkat yang kongkrit pada rubuh, rumah ini enggak, kenapa semua harus beli yang modern rumahnya, yang strukturnya mahal-mahal semua.” Pak Soleh, wawancara, tanggal 7 April 2016 Pak Soleh menegaskan bangunan-bangunan di Green Family itu ramah lingkungan melalui 2 unsur. Yang pertama adalah unsur bekas atau second hand bahan bangunannya. Yang kedua adalah model rumah tradisional Joglo yang didesain ulang sehingga terlihat lebih modern dan nyaman. Menyatakan bahan bangunan berasal dari bahan bekas adalah penting bagi Pak Soleh, karena menekankan pada pola hidup hijau yang tidak menebang pohon dan hanya memakai kayu-kayu bekas yang sudah terlanjur ditebang dan sudah dipakai. Yang lebih penting lagi adalah dengan menyebutkan hal ini Pak Soleh ingin menyatakan bahwa hidup hijau itu tidak membutuhkan biaya mahal. Berulang kali Pak Soleh mempertanyakan “mahalnya dimana hidup hijau itu?” seperti yang “dituduhkan” oleh pengkritik hidup hijau. Menurutnya Green Family bahkan membangun joglo dan rumah-rumah mereka dari kayu-kayu bekas yang tidak akan dibeli oleh orang lain untuk membangun rumah. Menurutnya rumah-rumah modern justru lebih mahal. Kemandirian keluarga ini dalam mengusahakan kebutuhan pangan didapat dari sistem pertanian permaculture atau permanent agriculture 94 yang mulai dikembangkan sejak tahun 1978 di Australia dengan prinsip pertanian secara natural dengan beragam jenis tanaman. “Tanaman kita di bawah nggak ada yang 1 jenis tanaman, nanamnya itu harus macam-macam, ada padi, cabe, tomat, matahari, sawi, prey. Kamu pernah dengar nggak kabarnya di hutan ada hama? Enggak pernah, karna mereka tanamannya macam-macam, mereka kan melindungi satu dengan yang lain. Jadi kalo bikin kebun yang paling baik itu adalah bikin ekosistem. Begitu bikin ekosistem yang terjadi adalah ada kupu, ada belalang, ada semut, ada macam-macam, sehingga rantai makanannya berjalan, keseimbangan ada, yang satu makan yang satu, sudah, nggak harus semprot, nggak harus pake urea dan sebagainya, itu yang dilatih di permaculture course. Bikin area, yang pertama rumah sama kebun, yang kedua binatang ternak, yang ketiga itu soft forest, itu tanaman lunak, keempat itu tanaman keras, wild forest. Kalau tata letak seperti itu dilakukan di semua Indonesia, nggak ada orang kelaparan, nggak butuh uang orang, karna sudah benar-benar bagus nih.” Menurut Pak Soleh, pertanian adalah misi utama keluarga ini. Pertanian permaculture yang dikembangkan memuat 2 misi, yakni menjaga lingkungan hidup dan memberi inspirasi. Inspirasi ini ditujukan kepada petani-petani konvensional dan anak-anak petani yang dianggap tidak suka bertani “Kita coba meng-courage anak-anak muda supaya jangan ke kota, jadilah petani. Kalau ada suatu kelompok ingin menguasai negara lain itu gampang kok, kuasailah sumber pangannya. Indonesia ini nggak ada sumber pangan, kemarin aja Dirjen Pangan kesini nangis-nangis karna dia bilang 98 orang Indonesia impor terigu kok, hanya 2 orang Indonesia makan hasil Indonesia. Dan petani sekarang banyak yang sakit, ya iya