Potensi Pemanfaatan Jasa Lingkungan a Pemanfaatan Jasa Wisata Alam
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 18
Direktorat Jenderal PHKA, 2014. Jumlah tersebut relatif meningkat per tahun selama 2010-2014 Tabel 8. Dengan diberlakukannya Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, ODTWA di kawasan
konservasi tersebut mampu menghasilkan PNBP pada tahun 2014 sebesar Rp. 68.160.229.054.
Tabel 8 Jumlah Kunjungan Wisatawan Manca Negara dan Wisatawan
Nusantara Tahun 2009-2014
Kawasan Konservasi
Jumlah Per Tahun orang 2009
2010 2011
2012 2013
2014
Wisatawan Mancanegara Wisman TN
84.640 75.638
129.089 142.031
216.846 240.505
TWA 38.897
38.540 149.604
219.369 264.409
274.711
Jumlah Wisman
123.537 114.178
278.693 361.400
481.255 515.216
Wisatawan Nusantara Wisnus TN
1.020.674 1.194.083
1.532.995 1.674.376
1.748.460 2.153.099
TWA 1.050.031
2.034.125 3.280.635
2.651.171 2.508.030
3.314.774
Jumlah Wisnus
2.070.705 3.228.208
4.813.630 4.325.547
4.256.490 5.467.873
Jumlah Wisman + Wisnus
2.194.242 3.342.386
5.092.323 4.686.947
4.737.745 5.983.089
Sumber: Laporan Statistik Direktorat PJLKKHL Tahun 2014
b Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015, secara keseluruhan ketersediaan air nasional mencapai 3.900
Milyar m
3
tahun, namun sebanyak 75 masih terbuang percuma. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, diperkirakan
kebutuhan air bersih akan terus meningkat sebesar 2 per tahun. Kebutuhan air rata-rata per tahun penduduk Indonesia mencapai 111
Miliar m
3
tahun. Selain itu berdasarkan informasi pengusaha air minum kemasan, saat ini kebutuhan air minum kemasan adalah 17 juta m
3
tahun
dan diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 5tahun.
Meskipun data menunjukkan bahwa ketersediaan air di Indonesia sangat berlimpah, namun antara ketersediaan dan kebutuhan air pada 5
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 19
pulau utama di Indonesia tidak sama. Pulau Jawa, Sulawesi, Bali dan
Nusa Tenggara diperkirakan akan mengalami defisit air Tabel 9
Tabel 9 Ketersediaan dan Kebutuhan Air di Indonesia
Pulau Ketersediaan Air
Juta m
3
Tahun Kebutuhan Air
Juta m
3
Tahun Jumlah SurplusDefisit
Surplus Defisit
Jumlah Juta m
3
Tahun Sumatera
111.178 49.583 Surplus
61.494 Jawa
38.569 164.672 Defisit
42.518 Bali
1.067 28.719 Defisit
27.652 Sulawesi
34.788 77.305 Defisit
42.518 Nusa Tenggara
4.251 8.797 Defisit
4.546 Papua
Surplus 349.279
Kalimantan NA
NA
Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat, 2015
Kawasan konservasi menyimpan potensi sumberdaya air, yang dapat dimanfaatkan massa airnya maupun aliran airnya untuk keperluan energi.
Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64Menhut- II2013 tentang Pemanfaatan Air dan Energi Air di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, maka pemanfaatan massa air dan aliran air di kawasan konservasi dapat
dilakukan secara legal melalui mekanisme perizinan. Izin pemanfaatan air di kawasan konservasi dapat dilakukan pada areal pemanfaatan ait yang
telah ditetapkan. Berdasarkan peraturan tersebut, volume air yang dapat dimanfaatkan baik untuk kegiatan komersial maupun non komersial
maksimum sebesar 50 dari debit air minimal di kawasan konservasi tersebut. Debit air diperoleh dari hasil inventarisasi sumberdaya air.
Menurut Darusman potensi air komersial pada Taman Nasional di Indonesia sekitar 6,5 milyar m
3
tahun. Besarnya potensi air tersebut masih bertambah dari potensi air di Taman Wisata Alam TWA, Suaka
Margasatwa SM dan Cagar Alam CA. Potensi air di kawasan konservasi mencapai 600 Milyar M
3
tahun.
Potensi air tersebut mempunyai nilai ekonomi yang luar biasa apabila dikelola dengan benar, baik air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih air
kemasan maupun PDAM, maupun air sebagai sumber energi pembangkit listrik. Hasil kajian nilai ekonomi potensi air di Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango untuk keperluan air minum masyarakat dan pertanian sebesar Rp 4,341 Milyartahun. Nilai ekonomi yang hampir sama juga
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 20
ditunjukkan dari potensi air di Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk air minum masyarakat sebesar Rp 3,433 Milyartahun dan untuk
keperluan pertanian sebesar Rp 1,593 Milyartahun. Sedangkan nilai ekonomi potensi air di Taman Wisata Alam Papandayan untuk air minum
sebesar Rp 1,623 Milyartahun dan untuk keperluan pertanian sebesar Rp 11,111 Milyartahun.
Selain pemanfaatan massa air, potensi air di kawasan konservasi juga dimanfaatkan untuk mikrohidro menghasilkan tenaga listrik dengan daya
kurang dari 1.000 kilowatt dan minihidro menghasilkan tenaga listrik dengan daya 1.000 – 10.000 kilowatt. Kementerian ESDM menyatakan
bahwa setiap meter kubik air yang memiliki perbedaan ketinggian 2 m, akan mampu menghasilkan energi listrik sekitar 19,6 watthour. Potensi
Tenaga Air dan gradien sungai yang dapat digunakan untuk
PLTMH tersebar
hampir di seluruh bagian hulu sungai-sungai Indonesia dengan
total perkiraan sampai 75.000 MW, sementara pemanfaatannya sampai tahun 2014 masih sekitar 9 dari total potensi
tersebut. Energi air termasuk jenis energi baru dan terbarukan. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf hidup masyarakat, terjadi pula peningkatan konsumsi listrik. Di sisi lain, belum semua masyarakat
Indonesia dapat menikmati listrik, terutama di daerah-daerah remote area. Sementara pasukan listrik yang bersumber dari energi fosil cenderung
menurun dan tidak adanya penambahan temuan cadangan minyak dan gas bumi baru, sehingga pembangkit listrik tenaga minihidro dan
mikrohidro sebagai salah satu jenis energi baru dan terbarukan berpeluang
untuk dikembangkan.
Dalam perencanaan
nasional Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohydro PLTMH bersama dengan
Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA direncanakan memiliki kapasitas terpasang tahun 2015 sebesar 8.342 MW dan meningkat menjadi 10.622
MW tahun 2019, dengan rencana tambahan pembangkit sebesar 2.510,7 MW selama 5 tahun. Pada kawasan konservasi selama tahun 2015-2019
akan ditargetkan sebanyak 50 unit izin pemanfaatan energi air IPA dan IUPA yang setara dengan 200 MW.
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 21
c Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu Lempeng tektonik Eurosia, Hindia-Australia, dan Pasifik. Sebagai
akibatnya, Indonesia memiliki ancaman bahaya geologi geo-hazard yang tinggi karena merupakan wilayah cincin api ring of fire, namun juga
menjadi negara yang kaya akan keanekaragaman energi. Kebutuhan konsumsi listrik dalam negeri terus meningkat seiring terus
meningkatnya taraf hidup dan pertumbuhan ekonomi, di lain pihak pasokan listrik yang tersedia terus menurun, sehingga jika antara
pertumbuhan konsumsi tidak disertai dengan pertumbuhan pasokan yang memadai, maka Indonesia akan mengalami krisis energi. Diperkirakan
pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami krisis energi sebesar 69 GW. Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan energi nasional masih
mengandalkan energi fosil, terutama minyak dan gas bumi migas. Minyak bumi yang telah lebih dari 100 tahun menjadi tumpuan ekonomi
Indonesia, dari waktu ke waktu cadangannya mulai menipis. Jumlah cadangan minyak bumi Indonesia sampai akhir tahun 2014 hanya sekitar
0,20 dari cadangan minyak dunia. Sejak tahun 1995 produksi minyak bumi Indonesia menurun, dari sekitar 1,6 juta bpd, menjadi sekitar 789
ribu bpd tahun 2014. Pada periode 2010-2013 Indonesia lebih banyak memproduksikan minyak bumi dibandingkan menemukan cadangan
minyak. Padahal idealnya setiap 1 barel minyak yang diproduksikan harus dikompensasi dengan penemuan cadangan sejumlah 1 barel.
Sampai akhir tahun 2014, menurut Kementerian ESDM cadangan terbukti minyak bumi sebesar 3,6 milliar barel dan dengan tingkat produksi
saat ini maka umur cadangan tersebut hanya sekitar 13 tahun. Cadangan terbukti gas bumi sampai akhir tahun 2014 sebesar 100,3 TCF dan akan
bertahan selama 34 tahun. Usia cadangan migas tersebut diasumsikan apabila tidak ada penemuan cadangan migas baru. Dalam 5 tahun
terakhir, cadangan terbukti migas mengalami penurunan. Sementara itu, masih ada potensi energi lain namun pemanfaatannya
belum optimal, yaitu energi baru dan terbarukan. Menurut Kementerian
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 22
ESDM 2015 beberapa jenis energi baru dan terbarukan yang potensi untuk dikembangkan antara lain energi air, panas bumi, biomassa, surya,
angin dan hybrid serta gelombang laut. Diantara potensi energi tersebut, yang mendapat perhatian cukup besar dari banyak kalangan adalah
energi panas bumi. Indonesia memiliki sumber panas bumi yang sangat melimpah,
tersebar sepanjang jalur sabuk gunung api mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku serta merupakan
potensi panas bumi terbesar di dunia. Potensi panas bumi Indonesia merupakan nomor 2 terbesar di dunia 13 potensi dunia. Namun,
kapasitas terpasang PLTP di Indonesia masih rendah yaitu hanya 4,9. Sebagai perbandingan, Filipina meskipun potensinya lebih kecil namun
pemanfaatan potensi panas buminya mencapai 46,2. Mengacu pada hasil survey panas bumi di Indonesia yang telah
dilakukan oleh Badan Geologi, hingga tahun 2014 telah teridentifikasi sebanyak 299 titik potensi panas bumi. Potensi titik tersebut tersebar di
hutan konservasi 48 titik, hutan lindung 56 titik, hutan produksi 50 titik dan APL 145 titik Tabel 8. Potensi panas bumi di kawasan konservasi
dapat menghasilkan energi listrik sebesar 6,16 GW atau 22 dari potensi energi listrik yang bersumber dari panas bumi yang ada pada kawasan
hutan di Indonesia. Beberapa kawasan konservasi tersebut antara lain Taman Nasional
TN Gunung Leuser, TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN halimun Salak, TN Gunung Ciremai, TN Bogani Nani
Wartabone, TN Rinjani, TWA Dataran Tinggi Dieng, TWA Danau Buyan Tamblingan, TWA Ruteng, SM Dataran Tinggi Yang, CA Malampah
Alahan Panjang, CA Gunung Simpang, CA Kawah Kamojang, CA Telaga Bodas, CA Gunung Ambang dan CA Gunung Lokon.
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 23
Tabel 10 Potensi distribusi titik panas bumi pada kawasan hutan di
Indonesia
Pulau Hutan Konservasi
Hutan Lindung Hutan Produksi
Areal Penggunaan Lain
APL Total
Jml Titik
Potensi Potensi
MW Jml
Titik Potensi
Potensi MW
Jml Titik
Potensi Potensi
MW Jml
Titik Potensi
Potensi MW
Jml Titik
Potensi Potensi
MW Sumatera
23 3.258
15 2.316
6 741
46 6.445
90 12.760
Jawa Bali 11
2.100 13
2.996 9
2.024 44
2.951 77
10.071 NTB NTT
2 85
3 378
3 279
14 709
22 1.451
Maluku Papua
2 165
7 155
20 599
4 227
33 1.146
Sulawesi 10
549 15
521 6
185 34
1.789 65
3.044 Kalimantan
- 3
25 6
65 3
55 12
145 Jumlah
48 6.157
56 6.391
50 3.893
145 12.176
299 28.617
Persentase 16
22 19
22 17
14 48
43 100
100
Sumber: Kementerian ESDM, 2014
d Pemanfaatan Jasa Lingkungan Karbon
Pemerintah Indonesia, pada tingkat nasional dan internasional, berkomitmen
untuk mengatasi
tantangan perubahan
iklim dan
memanfaatkan imbalan karbon hutan. Sektor kehutanan dengan skema REDD+ Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation
Plus merupakan salah satu cara pemenuhan harapan tersebut. Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation
merupakan isu yang cukup mendapat perhatian dalam pembahasan isu perubahan iklim. Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam proses
pembahasan pada pertemuan COP ke 11 di Montreal tahun 2005. Terdapat 5 opsi kebijakan internasional terkait dengan REDD, yaitu:
1 Sistem kredit karbon sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto Compliance market, yang pelaksanaannya berbasis proyek atau
wilayah geografis nasional atau sub nasional 2 Sistem kredit karbon REDD yang diatur dalam protokol tersendri di
bawah UNFCCC 3 Mekanisme kompensasi REDD yang berbasis pendanaan bukan
pasar 4 Sistem pendanaan berbasis pasar sukarela voluntary market
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 24
5 Sistem kredit karbon REDD yang mengikuti kerangka UNFCCC dengan model pelaporan yang sudah diadop oleh beberapa negara.
Dari semua opsi tersebut, opsi yang dianggap paling bermanfaat bagi negara berkembang adalah REDD yang berbasis pasar dengan aturan
yang mengikat Compliance rules sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto atau melalui protokol tersendiri di bawah UNFCCC yang pelaksanaannya
tidak berbasis proyek tetapi pada tingkat wilayah geografis tertentu. Implementasi penuh REDD melalui sejumlah tahapan, yaitu:
1 Tahap pelingkupan 2008. Pada tahap ini yang diperlukan adalah dukungan politis, analisis situasi dan penyebab, membuat design
program dan hipothesis, dan mengidentifikasi mitra; 2 Tahap pengembangan 2008-2010. Pada tahap ini dibangun
skenario baseline dan pendekatan monitoring, penyempurnaan strategi untuk REDD, legalitas REDD, dukungan para pihak, sumber
pendanaan, dan business plan. 3 Tahap demonstrasi 2010-2015 dan tahap implementasi mulai tahun
2013. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan merupakan
mekanisme internasional
berupa pemberian
insentif terhadap
keberhasilan negara berkembang dalam mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ meliputi kegiatan konservasi,
pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan yang dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman.
Di Indonesia, REDD+ mulai menarik perhatian banyak pihak sejak tahun 2007 dengan diselenggarakannya Conference of Parties COP 13
on Climate Change di Bali. Pada tahun 2009 dalam rangka mitigasi perubahan iklim, Pemerintah Indonesia berkomitmen pada COP 15 untuk
mentargetkan penurunan emisi karbon sebesar 26 pada tahun 2020 apabila dilakukan dengan usaha Pemerintah Indonesia sendiri, namun
apabila ada bantuan dari luar negeri maka pengurangan emisi karbon sebesar 41 dan disertai dengan peningkatan ekonomi sebesar 7.
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 25
Menurut IPCC Fourth Assessment Report 2007, sektor yang paling besar menyumbang emisi Gas Rumah Kaca GRK adalah sektor energi
yang menggunakan bahan bakar fosil sebesar 25,9, sektor industri sebesar 19,4, sektor kehutanan sebesar 17,4, sektor pertanian
sebesar 13,5, sektor transportasi sebesar 13,1, kegiatan pemukiman sebesar 7,9 dan limbah sebesar 2,8 Gambar 4
Gambar 4 Emisi dari berbagai sektor Sumber: IPCC Fourth Assessment
Report, 2007
Sektor kehutanan dianggap sebagai salah satu sumber pengemisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar yaitu menyumbang 17,4 dari emisi
GRK global. Berdasarkan laporan tersebut, sekitar 75 dari emisi tersebut berasal dari negara tropis dan umumnya merupakan hasil dari
konversi hutan ke penggunaan lain deforestasi dan degradasi hutan. Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari
deforestasi konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan dan prasarana wilayah dan
degradasi penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Menurut WRI
2002 deforestasi mengemisi 8 Giga ton CO
2
per tahun. Di sisi lain, meskipun sektor kehutanan dianggap ikut menyumbang
emisi GRK, keberadaan hutan dalam konteks perubahan iklim global juga berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon Carbon sink.
Vegetasi dan tanah mampu menyimpan 7.500 Giga Ton CO
2
dua kali
Energi Fosil: 25,9
Industri: 19,40
Kehutanan: 17,40
Pertanian: 13,50
Transportasi: 13,50
Pemukiman: 7,90
Limbah: 2,80
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 26
CO
2
yang ada di atmosfir. Hutan mampu menyimpan 4.500 Giga Ton CO
2
lebih besar daripada di atmosfir. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40 dari hutan dunia. Tegakan di hutan tropis dapat
menahan karbon sekitar 50 lebih besar dari kapasitas tegakan di luar hutan tropis. Kawasan konservasi di Indonesia menyimpan karbon kurang
lebih 625 Giga Ton CO
2
. Beberapa kajian menunjukkan potensi karbon carbon sink pada
beberapa kawasan konservasi. Sebagai contoh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh pada zona inti dan zona pemanfaatan menyimpan potensi
karbon masing-masing sebesar 380,17 ton CO
2
Ha dan 274,84 ton CO
2
Ha. Mangrove primer di Taman Nasional Sembilang menyimpan potensi karbon sebesar 141 ton CO
2
Ha. Zona Pemanfaatan di Taman Nasional Kelimutu menyimpan potensi karbon 258,18 ton CO
2
Ha. Taman Nasional Bantimurung menyimpan potensi karbon pada zona inti, zona
rimba dan zona pemanfaatan masing-masing 89,035 ton CO
2
Ha, 95,815 ton CO
2
Ha dan 161,2 ton CO
2
Ha. Taman Nasional Ujung Kulon menyimpan potensi karbon 87.136 ton CO
2
Ha. Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya menyimpan potensi karbon sebesar 501,6 ton CO
2
Ha. Diperkirakan Kawasan konservasi di Indonesia menyimpan karbon kurang
lebih 625 Giga Ton CO
2
. Berdasarkan ekstraksi dari isu-isu strategis di atas, serta hasil-hasil
identifikasi, monitoring dan evaluasi, maka lingkungan strategis Direktorat PJLHK dapat dipetakan menurut kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman yang ada Gambar 5.
Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 27
Kekuatan: Kelemahan
1. Para pihak di lingkup internal maupun eksternal
mengharapkan diupayakannya
optimalisasi pemanfaatan
nilai keekonomian
kawasan konservasi 2. Dukungan
sejumlah peraturan
perundangan. 3. Potensi jasa lingkungan wisata alam,
Air, karbon hutan dan panas bumi yang dapat dimanfaatkan berada di 51
TN dan 115 TWA
1.
Kerangka kerja pemanfaatan jasa lingkungan berkelanjutan belum lengkap
2.
Ketersediaan data dan informasi untuk mendukung promosi dan pemasaran Konservasi
Alam belum optimal.
3.
Sarana dan prasarana pengelolaan jasa lingkungan belum memadai
4. Sebagian besar kawasan TN dan TWA
belum memiliki desain tapak dan atau penetapan areal pemanfaatan air
5.
Kewenangan internal di Kementerian LHK dan antara Kementerian LHK dengan Pemda dan
sektor lain
belum sinergis
di bidang
pemanfaatan jasa lingkungan
6.
Masih adanya pola pikir konservatif bahwa pemanfaatan
jasa lingkungan
merupakan bentuk eksploitasi ekstraktif pada sumberdaya
alam hayati
Peluang Ancaman
1. Minat masyarakat untuk bergaya hidup
back to nature
semakin meningkat.
2. Kesempatan masyarakat sekitar TN dan TWA untuk terlibat dalam usaha
jasa lingkungan cukup tinggi.
3.
Event-event internasional dan atau nasional sebagai upaya promosi dan
pemasaran jasa lingkungan telah terjadwal sehingga membuka peluang
investasi.
4.
Kebijakan nasional mengedepankan ketahanan pangan, air dan energi
1.
Persaingan wisata alam dengan negara lain cukup tinggi.
2.
Estimasi Indonesia menghadapi krisis air dan krisis energi pada tahun 2025
Gambar 5 Pemetaan Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman