Potensi Pemanfaatan Jasa Lingkungan a Pemanfaatan Jasa Wisata Alam

Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 18 Direktorat Jenderal PHKA, 2014. Jumlah tersebut relatif meningkat per tahun selama 2010-2014 Tabel 8. Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada Kementerian Kehutanan, ODTWA di kawasan konservasi tersebut mampu menghasilkan PNBP pada tahun 2014 sebesar Rp. 68.160.229.054. Tabel 8 Jumlah Kunjungan Wisatawan Manca Negara dan Wisatawan Nusantara Tahun 2009-2014 Kawasan Konservasi Jumlah Per Tahun orang 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Wisatawan Mancanegara Wisman TN 84.640 75.638 129.089 142.031 216.846 240.505 TWA 38.897 38.540 149.604 219.369 264.409 274.711 Jumlah Wisman 123.537 114.178 278.693 361.400 481.255 515.216 Wisatawan Nusantara Wisnus TN 1.020.674 1.194.083 1.532.995 1.674.376 1.748.460 2.153.099 TWA 1.050.031 2.034.125 3.280.635 2.651.171 2.508.030 3.314.774 Jumlah Wisnus 2.070.705 3.228.208 4.813.630 4.325.547 4.256.490 5.467.873 Jumlah Wisman + Wisnus 2.194.242 3.342.386 5.092.323 4.686.947 4.737.745 5.983.089 Sumber: Laporan Statistik Direktorat PJLKKHL Tahun 2014 b Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2015, secara keseluruhan ketersediaan air nasional mencapai 3.900 Milyar m 3 tahun, namun sebanyak 75 masih terbuang percuma. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk, diperkirakan kebutuhan air bersih akan terus meningkat sebesar 2 per tahun. Kebutuhan air rata-rata per tahun penduduk Indonesia mencapai 111 Miliar m 3 tahun. Selain itu berdasarkan informasi pengusaha air minum kemasan, saat ini kebutuhan air minum kemasan adalah 17 juta m 3 tahun dan diproyeksikan akan mengalami peningkatan sebesar 5tahun. Meskipun data menunjukkan bahwa ketersediaan air di Indonesia sangat berlimpah, namun antara ketersediaan dan kebutuhan air pada 5 Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 19 pulau utama di Indonesia tidak sama. Pulau Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara diperkirakan akan mengalami defisit air Tabel 9 Tabel 9 Ketersediaan dan Kebutuhan Air di Indonesia Pulau Ketersediaan Air Juta m 3 Tahun Kebutuhan Air Juta m 3 Tahun Jumlah SurplusDefisit Surplus Defisit Jumlah Juta m 3 Tahun Sumatera 111.178 49.583 Surplus 61.494 Jawa 38.569 164.672 Defisit 42.518 Bali 1.067 28.719 Defisit 27.652 Sulawesi 34.788 77.305 Defisit 42.518 Nusa Tenggara 4.251 8.797 Defisit 4.546 Papua Surplus 349.279 Kalimantan NA NA Sumber: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan rakyat, 2015 Kawasan konservasi menyimpan potensi sumberdaya air, yang dapat dimanfaatkan massa airnya maupun aliran airnya untuk keperluan energi. Sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.64Menhut- II2013 tentang Pemanfaatan Air dan Energi Air di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, maka pemanfaatan massa air dan aliran air di kawasan konservasi dapat dilakukan secara legal melalui mekanisme perizinan. Izin pemanfaatan air di kawasan konservasi dapat dilakukan pada areal pemanfaatan ait yang telah ditetapkan. Berdasarkan peraturan tersebut, volume air yang dapat dimanfaatkan baik untuk kegiatan komersial maupun non komersial maksimum sebesar 50 dari debit air minimal di kawasan konservasi tersebut. Debit air diperoleh dari hasil inventarisasi sumberdaya air. Menurut Darusman potensi air komersial pada Taman Nasional di Indonesia sekitar 6,5 milyar m 3 tahun. Besarnya potensi air tersebut masih bertambah dari potensi air di Taman Wisata Alam TWA, Suaka Margasatwa SM dan Cagar Alam CA. Potensi air di kawasan konservasi mencapai 600 Milyar M 3 tahun. Potensi air tersebut mempunyai nilai ekonomi yang luar biasa apabila dikelola dengan benar, baik air untuk pemenuhan kebutuhan air bersih air kemasan maupun PDAM, maupun air sebagai sumber energi pembangkit listrik. Hasil kajian nilai ekonomi potensi air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango untuk keperluan air minum masyarakat dan pertanian sebesar Rp 4,341 Milyartahun. Nilai ekonomi yang hampir sama juga Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 20 ditunjukkan dari potensi air di Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk air minum masyarakat sebesar Rp 3,433 Milyartahun dan untuk keperluan pertanian sebesar Rp 1,593 Milyartahun. Sedangkan nilai ekonomi potensi air di Taman Wisata Alam Papandayan untuk air minum sebesar Rp 1,623 Milyartahun dan untuk keperluan pertanian sebesar Rp 11,111 Milyartahun. Selain pemanfaatan massa air, potensi air di kawasan konservasi juga dimanfaatkan untuk mikrohidro menghasilkan tenaga listrik dengan daya kurang dari 1.000 kilowatt dan minihidro menghasilkan tenaga listrik dengan daya 1.000 – 10.000 kilowatt. Kementerian ESDM menyatakan bahwa setiap meter kubik air yang memiliki perbedaan ketinggian 2 m, akan mampu menghasilkan energi listrik sekitar 19,6 watthour. Potensi Tenaga Air dan gradien sungai yang dapat digunakan untuk PLTMH tersebar hampir di seluruh bagian hulu sungai-sungai Indonesia dengan total perkiraan sampai 75.000 MW, sementara pemanfaatannya sampai tahun 2014 masih sekitar 9 dari total potensi tersebut. Energi air termasuk jenis energi baru dan terbarukan. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, peningkatan taraf hidup masyarakat, terjadi pula peningkatan konsumsi listrik. Di sisi lain, belum semua masyarakat Indonesia dapat menikmati listrik, terutama di daerah-daerah remote area. Sementara pasukan listrik yang bersumber dari energi fosil cenderung menurun dan tidak adanya penambahan temuan cadangan minyak dan gas bumi baru, sehingga pembangkit listrik tenaga minihidro dan mikrohidro sebagai salah satu jenis energi baru dan terbarukan berpeluang untuk dikembangkan. Dalam perencanaan nasional Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohydro PLTMH bersama dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air PLTA direncanakan memiliki kapasitas terpasang tahun 2015 sebesar 8.342 MW dan meningkat menjadi 10.622 MW tahun 2019, dengan rencana tambahan pembangkit sebesar 2.510,7 MW selama 5 tahun. Pada kawasan konservasi selama tahun 2015-2019 akan ditargetkan sebanyak 50 unit izin pemanfaatan energi air IPA dan IUPA yang setara dengan 200 MW. Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 21 c Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama, yaitu Lempeng tektonik Eurosia, Hindia-Australia, dan Pasifik. Sebagai akibatnya, Indonesia memiliki ancaman bahaya geologi geo-hazard yang tinggi karena merupakan wilayah cincin api ring of fire, namun juga menjadi negara yang kaya akan keanekaragaman energi. Kebutuhan konsumsi listrik dalam negeri terus meningkat seiring terus meningkatnya taraf hidup dan pertumbuhan ekonomi, di lain pihak pasokan listrik yang tersedia terus menurun, sehingga jika antara pertumbuhan konsumsi tidak disertai dengan pertumbuhan pasokan yang memadai, maka Indonesia akan mengalami krisis energi. Diperkirakan pada tahun 2020 Indonesia akan mengalami krisis energi sebesar 69 GW. Sampai saat ini pemenuhan kebutuhan energi nasional masih mengandalkan energi fosil, terutama minyak dan gas bumi migas. Minyak bumi yang telah lebih dari 100 tahun menjadi tumpuan ekonomi Indonesia, dari waktu ke waktu cadangannya mulai menipis. Jumlah cadangan minyak bumi Indonesia sampai akhir tahun 2014 hanya sekitar 0,20 dari cadangan minyak dunia. Sejak tahun 1995 produksi minyak bumi Indonesia menurun, dari sekitar 1,6 juta bpd, menjadi sekitar 789 ribu bpd tahun 2014. Pada periode 2010-2013 Indonesia lebih banyak memproduksikan minyak bumi dibandingkan menemukan cadangan minyak. Padahal idealnya setiap 1 barel minyak yang diproduksikan harus dikompensasi dengan penemuan cadangan sejumlah 1 barel. Sampai akhir tahun 2014, menurut Kementerian ESDM cadangan terbukti minyak bumi sebesar 3,6 milliar barel dan dengan tingkat produksi saat ini maka umur cadangan tersebut hanya sekitar 13 tahun. Cadangan terbukti gas bumi sampai akhir tahun 2014 sebesar 100,3 TCF dan akan bertahan selama 34 tahun. Usia cadangan migas tersebut diasumsikan apabila tidak ada penemuan cadangan migas baru. Dalam 5 tahun terakhir, cadangan terbukti migas mengalami penurunan. Sementara itu, masih ada potensi energi lain namun pemanfaatannya belum optimal, yaitu energi baru dan terbarukan. Menurut Kementerian Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 22 ESDM 2015 beberapa jenis energi baru dan terbarukan yang potensi untuk dikembangkan antara lain energi air, panas bumi, biomassa, surya, angin dan hybrid serta gelombang laut. Diantara potensi energi tersebut, yang mendapat perhatian cukup besar dari banyak kalangan adalah energi panas bumi. Indonesia memiliki sumber panas bumi yang sangat melimpah, tersebar sepanjang jalur sabuk gunung api mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, dan Maluku serta merupakan potensi panas bumi terbesar di dunia. Potensi panas bumi Indonesia merupakan nomor 2 terbesar di dunia 13 potensi dunia. Namun, kapasitas terpasang PLTP di Indonesia masih rendah yaitu hanya 4,9. Sebagai perbandingan, Filipina meskipun potensinya lebih kecil namun pemanfaatan potensi panas buminya mencapai 46,2. Mengacu pada hasil survey panas bumi di Indonesia yang telah dilakukan oleh Badan Geologi, hingga tahun 2014 telah teridentifikasi sebanyak 299 titik potensi panas bumi. Potensi titik tersebut tersebar di hutan konservasi 48 titik, hutan lindung 56 titik, hutan produksi 50 titik dan APL 145 titik Tabel 8. Potensi panas bumi di kawasan konservasi dapat menghasilkan energi listrik sebesar 6,16 GW atau 22 dari potensi energi listrik yang bersumber dari panas bumi yang ada pada kawasan hutan di Indonesia. Beberapa kawasan konservasi tersebut antara lain Taman Nasional TN Gunung Leuser, TN Batang Gadis, TN Kerinci Seblat, TN Bukit Barisan Selatan, TN halimun Salak, TN Gunung Ciremai, TN Bogani Nani Wartabone, TN Rinjani, TWA Dataran Tinggi Dieng, TWA Danau Buyan Tamblingan, TWA Ruteng, SM Dataran Tinggi Yang, CA Malampah Alahan Panjang, CA Gunung Simpang, CA Kawah Kamojang, CA Telaga Bodas, CA Gunung Ambang dan CA Gunung Lokon. Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 23 Tabel 10 Potensi distribusi titik panas bumi pada kawasan hutan di Indonesia Pulau Hutan Konservasi Hutan Lindung Hutan Produksi Areal Penggunaan Lain APL Total Jml Titik Potensi Potensi MW Jml Titik Potensi Potensi MW Jml Titik Potensi Potensi MW Jml Titik Potensi Potensi MW Jml Titik Potensi Potensi MW Sumatera 23 3.258 15 2.316 6 741 46 6.445 90 12.760 Jawa Bali 11 2.100 13 2.996 9 2.024 44 2.951 77 10.071 NTB NTT 2 85 3 378 3 279 14 709 22 1.451 Maluku Papua 2 165 7 155 20 599 4 227 33 1.146 Sulawesi 10 549 15 521 6 185 34 1.789 65 3.044 Kalimantan - 3 25 6 65 3 55 12 145 Jumlah 48 6.157 56 6.391 50 3.893 145 12.176 299 28.617 Persentase 16 22 19 22 17 14 48 43 100 100 Sumber: Kementerian ESDM, 2014 d Pemanfaatan Jasa Lingkungan Karbon Pemerintah Indonesia, pada tingkat nasional dan internasional, berkomitmen untuk mengatasi tantangan perubahan iklim dan memanfaatkan imbalan karbon hutan. Sektor kehutanan dengan skema REDD+ Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus merupakan salah satu cara pemenuhan harapan tersebut. Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation merupakan isu yang cukup mendapat perhatian dalam pembahasan isu perubahan iklim. Indonesia telah berpartisipasi aktif dalam proses pembahasan pada pertemuan COP ke 11 di Montreal tahun 2005. Terdapat 5 opsi kebijakan internasional terkait dengan REDD, yaitu: 1 Sistem kredit karbon sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto Compliance market, yang pelaksanaannya berbasis proyek atau wilayah geografis nasional atau sub nasional 2 Sistem kredit karbon REDD yang diatur dalam protokol tersendri di bawah UNFCCC 3 Mekanisme kompensasi REDD yang berbasis pendanaan bukan pasar 4 Sistem pendanaan berbasis pasar sukarela voluntary market Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 24 5 Sistem kredit karbon REDD yang mengikuti kerangka UNFCCC dengan model pelaporan yang sudah diadop oleh beberapa negara. Dari semua opsi tersebut, opsi yang dianggap paling bermanfaat bagi negara berkembang adalah REDD yang berbasis pasar dengan aturan yang mengikat Compliance rules sebagai kelanjutan dari Protokol Kyoto atau melalui protokol tersendiri di bawah UNFCCC yang pelaksanaannya tidak berbasis proyek tetapi pada tingkat wilayah geografis tertentu. Implementasi penuh REDD melalui sejumlah tahapan, yaitu: 1 Tahap pelingkupan 2008. Pada tahap ini yang diperlukan adalah dukungan politis, analisis situasi dan penyebab, membuat design program dan hipothesis, dan mengidentifikasi mitra; 2 Tahap pengembangan 2008-2010. Pada tahap ini dibangun skenario baseline dan pendekatan monitoring, penyempurnaan strategi untuk REDD, legalitas REDD, dukungan para pihak, sumber pendanaan, dan business plan. 3 Tahap demonstrasi 2010-2015 dan tahap implementasi mulai tahun 2013. Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan merupakan mekanisme internasional berupa pemberian insentif terhadap keberhasilan negara berkembang dalam mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ meliputi kegiatan konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan cadangan karbon hutan yang dapat dilakukan melalui kegiatan penanaman. Di Indonesia, REDD+ mulai menarik perhatian banyak pihak sejak tahun 2007 dengan diselenggarakannya Conference of Parties COP 13 on Climate Change di Bali. Pada tahun 2009 dalam rangka mitigasi perubahan iklim, Pemerintah Indonesia berkomitmen pada COP 15 untuk mentargetkan penurunan emisi karbon sebesar 26 pada tahun 2020 apabila dilakukan dengan usaha Pemerintah Indonesia sendiri, namun apabila ada bantuan dari luar negeri maka pengurangan emisi karbon sebesar 41 dan disertai dengan peningkatan ekonomi sebesar 7. Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 25 Menurut IPCC Fourth Assessment Report 2007, sektor yang paling besar menyumbang emisi Gas Rumah Kaca GRK adalah sektor energi yang menggunakan bahan bakar fosil sebesar 25,9, sektor industri sebesar 19,4, sektor kehutanan sebesar 17,4, sektor pertanian sebesar 13,5, sektor transportasi sebesar 13,1, kegiatan pemukiman sebesar 7,9 dan limbah sebesar 2,8 Gambar 4 Gambar 4 Emisi dari berbagai sektor Sumber: IPCC Fourth Assessment Report, 2007 Sektor kehutanan dianggap sebagai salah satu sumber pengemisi Gas Rumah Kaca yang cukup besar yaitu menyumbang 17,4 dari emisi GRK global. Berdasarkan laporan tersebut, sekitar 75 dari emisi tersebut berasal dari negara tropis dan umumnya merupakan hasil dari konversi hutan ke penggunaan lain deforestasi dan degradasi hutan. Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan dan prasarana wilayah dan degradasi penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah dan perambahan. Menurut WRI 2002 deforestasi mengemisi 8 Giga ton CO 2 per tahun. Di sisi lain, meskipun sektor kehutanan dianggap ikut menyumbang emisi GRK, keberadaan hutan dalam konteks perubahan iklim global juga berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon Carbon sink. Vegetasi dan tanah mampu menyimpan 7.500 Giga Ton CO 2 dua kali Energi Fosil: 25,9 Industri: 19,40 Kehutanan: 17,40 Pertanian: 13,50 Transportasi: 13,50 Pemukiman: 7,90 Limbah: 2,80 Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 26 CO 2 yang ada di atmosfir. Hutan mampu menyimpan 4.500 Giga Ton CO 2 lebih besar daripada di atmosfir. Hutan tropis dapat menyimpan karbon sekitar 40 dari hutan dunia. Tegakan di hutan tropis dapat menahan karbon sekitar 50 lebih besar dari kapasitas tegakan di luar hutan tropis. Kawasan konservasi di Indonesia menyimpan karbon kurang lebih 625 Giga Ton CO 2 . Beberapa kajian menunjukkan potensi karbon carbon sink pada beberapa kawasan konservasi. Sebagai contoh, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh pada zona inti dan zona pemanfaatan menyimpan potensi karbon masing-masing sebesar 380,17 ton CO 2 Ha dan 274,84 ton CO 2 Ha. Mangrove primer di Taman Nasional Sembilang menyimpan potensi karbon sebesar 141 ton CO 2 Ha. Zona Pemanfaatan di Taman Nasional Kelimutu menyimpan potensi karbon 258,18 ton CO 2 Ha. Taman Nasional Bantimurung menyimpan potensi karbon pada zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan masing-masing 89,035 ton CO 2 Ha, 95,815 ton CO 2 Ha dan 161,2 ton CO 2 Ha. Taman Nasional Ujung Kulon menyimpan potensi karbon 87.136 ton CO 2 Ha. Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya menyimpan potensi karbon sebesar 501,6 ton CO 2 Ha. Diperkirakan Kawasan konservasi di Indonesia menyimpan karbon kurang lebih 625 Giga Ton CO 2 . Berdasarkan ekstraksi dari isu-isu strategis di atas, serta hasil-hasil identifikasi, monitoring dan evaluasi, maka lingkungan strategis Direktorat PJLHK dapat dipetakan menurut kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang ada Gambar 5. Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 27 Kekuatan: Kelemahan 1. Para pihak di lingkup internal maupun eksternal mengharapkan diupayakannya optimalisasi pemanfaatan nilai keekonomian kawasan konservasi 2. Dukungan sejumlah peraturan perundangan. 3. Potensi jasa lingkungan wisata alam, Air, karbon hutan dan panas bumi yang dapat dimanfaatkan berada di 51 TN dan 115 TWA 1. Kerangka kerja pemanfaatan jasa lingkungan berkelanjutan belum lengkap 2. Ketersediaan data dan informasi untuk mendukung promosi dan pemasaran Konservasi Alam belum optimal. 3. Sarana dan prasarana pengelolaan jasa lingkungan belum memadai 4. Sebagian besar kawasan TN dan TWA belum memiliki desain tapak dan atau penetapan areal pemanfaatan air 5. Kewenangan internal di Kementerian LHK dan antara Kementerian LHK dengan Pemda dan sektor lain belum sinergis di bidang pemanfaatan jasa lingkungan 6. Masih adanya pola pikir konservatif bahwa pemanfaatan jasa lingkungan merupakan bentuk eksploitasi ekstraktif pada sumberdaya alam hayati Peluang Ancaman 1. Minat masyarakat untuk bergaya hidup back to nature semakin meningkat. 2. Kesempatan masyarakat sekitar TN dan TWA untuk terlibat dalam usaha jasa lingkungan cukup tinggi. 3. Event-event internasional dan atau nasional sebagai upaya promosi dan pemasaran jasa lingkungan telah terjadwal sehingga membuka peluang investasi. 4. Kebijakan nasional mengedepankan ketahanan pangan, air dan energi 1. Persaingan wisata alam dengan negara lain cukup tinggi. 2. Estimasi Indonesia menghadapi krisis air dan krisis energi pada tahun 2025 Gambar 5 Pemetaan Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman

2. Permasalahan Pemanfaatan Jasa Lingkungan

Jasa Lingkungan telah dapat dimanfaatkan di kawasan konservasi melalui skema perizinan, namun perizinan tersebut masih terdapat beberapa kendalapermasalahan, yaitu: a. Permasalahan terkait kondisi pemungkin untuk perizinan: 1 Sarana dan prasarana wisata alam di kawasan konservasi belum memadai 2 Kawasan konservasi merupakan kawasan yang open akses, sehingga di beberapa lokasi terjadi kebocoran pengunjung. Renstra Direktorat PJLHK 2015-2019 28 3 Dokumen Rencana Pengelolaan dan BlokingZonasi pada sejumlah Taman Nasional dan Taman Wisata Alam belum disahkan dan atau belum disusun. 4 Sebagian besar Taman Nasional dan Taman Wisata Alam belum mempunyai desain tapak dan penetapan areal pemanfaatan air. 5 Beberapa peraturan terkait pemanfaatan jasa lingkungan menimbulkan multi tafsir dalam penerapan di lapangan. b. Permasalahan terkait kebijakan pengelolaan 1 Sejumlah MoU bidang pemanfaatan air di kawasan konservasi belum dikonversi menjadi Izin Pemanfaatan Air IPA, Izin Usaha Pemanfaatan Air IUPA, Izin Pemanfaatan Energi Air IPEA dan Izin Usaha Pemanfaatan Energi Air IUPEA. 2 Pelaksanaan pemanfaatan jasa lingkungan geothermal di kawasan konservasi belum dapat dilaksanakan karena masih menunggu peraturan turunan dari UU Nomor 21 Tahun 2014. 3 Kelembagaan dalam rangka pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional belum terbentuk. 4 Adanya harapan yang terlalu tinggi dan perbedaan persepsi pada semua pemangku kepentingan baik di dalam negeri maupun internasional dalam rangka pelaksanaan REDD+. 5 Panduan dan framework untuk pelaksanaan REDD+ belum ada. 6 Rendahnya kapasitas dan lemahnya pemerintahan di tingkat daerah untuk mengimplementasikan kegiatan-kegiatan REDD+. 7 Diperlukan konsistensi antara Rencana Aksi Perubahan Iklim di tingkat nasional dan daerah RAN-GRK dan RAD-GRK dan strategi REDD+ 8 Tata batas kawasan yang belum selesai