sektor kehutanan, maka proyek CDM membuka kemungkinan yang luas dalam mengurangi dan mencegah emisi gas rumah kaca. Sedangkan REDD hanya
mencakup sektor kehutanan saja dengan mengurangi emisi melalui penekanan deforestasi dan degradasi hutan.
B. Peran Masyarakat Internasional dalam Pelestarian Hutan dan
Perdagangan Karbon
Hutan yang seperti telah diketahui memiliki peranan penting bagi kelangsungan hidup manusia. Kesadaran akan pentingnya peran hutan dan
kesadaran adanya masalah pemanasan global dan perubahan iklim diakibatkan karena meningkatnya emisi gas rumah kaca mendorong masyarakat internasional
memikirkan strategi pelestarian hutan dan strategi mitigasinya, salah satunya melalui perdagangan karbon. Masyarakat internasional dalam hal ini yang
dimaksud adalah negara-negara di dunia. Biasanya pemerintah negara berkembang pemilik hutan memberikan
kesempatan kepada investor asing atau perusahaan dalam negeri yang mengelola kekayaan alam secara komersial. Hal ini dikarenakan prioritas yang tinggi
diberikan kepada pertumbuhan ekonomi maka lingkungan hidup dikorbankan dan akibatnya sumber daya alam seperti hutan tidak dikelola secara keberlanjutan dan
lingkungan hidup menjadi rusak.
160
Dalam hal pelestarian hutan, berbagai pertemuan telah dilakukan oleh negara-negara di dunia. Melalui pertemuan-pertemuan teersebut dihasilkanlah
160
Aleksius Jemadu, Politik Global Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008. Hal. 316.
Universitas Sumatera Utara
prinsip-prinsip sebagai acuan untuk melestarikan hutan. Pertemuan-pertemuan tersebut antara lain:
1. Kongres Kehutanan Sedunia VIII di Jakarta tahun 1978
Kongres bertemakan “Forest fot People” yang diselenggarakan pada tanggal 16-28 Oktober 1978 di jakarta ini dihadiri oleh 102 negara dan 19
organisasi internasional. Dalam kongres ini ditegaskan bahwa hutan diseluruh dunia harus dibina atas dasar kelestarian, demi kesejahteraan semua umat
manusia. Sebuah pernyataan politik yang sangat simpatik, tetapi tidak diikuti program aksi yang mengarah pada ikrar kongres tersebut.
Isu-isu pokok yang dibahas dalam kongres ini diantaranya adalah pentingnya mengelola hutan secara lebih efisien, rehabilitasi hutan-hutan yang
rusak dan tanah-tanah kritis, multiguna hutan, sumber kayu bakar, penyediaan pangan dan lapangan pekerjaan, terutama bagi masyarakat desa dan pembangunan
pedesaan, peningkatan pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pengawasan terhadap jasa-jasa dan dampak lingkungan, seperti perlindungan tata air, erosi, kesuburan
tanah, iklim mikro, dan wisata alam. Dampak kongres ini baru terlihat pada tahun 1985, ketika ekspor kayu
gelondongan dilarang. Pelarangan ini sebenarnya lebih bertujuan meningkatkan nilai tambah kayu. Namun kegiatan ini tidak disertai dengan tindakan kontrol
kelesarian yang memadai sehingga mengakibatkan pengurasan sumber daya kayu jenis-jenis komersial dan perusakan jenis lain yang saat itu dianggap kurang
bernilai ekonomi. Pada saat itu, belum muncul isu yang menyangkut aspek-aspek sosial budaya dari masyarakat yang tinggal didalam dan sekitar hutan atau
Universitas Sumatera Utara
masyarakat tradisional indigenous people. Masalah ini baru muncul pada paruh tengah dekade 1980-an dan selanjutnya bergema terus hingga puncaknya muncul
pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992.
161
2. Pertemuan di Yokohama tahun 1991
Pada tanggal 22-26 Juli 1991, para rimbawan senior dunia berkumpul di Yokohama, dan menghasilkan Deklarasi Kehutanan Yohohama. Beberapa isu
pokok dalam deklarasi tersebut antara lain adalah perlunya pengelolaan hutan tropis secara lestari, baik untuk kepentingan industri perkayuan, pemanfaatan
hasil hutan non-kayu, konservasi keanekaragaman hayati, nilai-nilai lingkungan dan kemanusiaan, serta pengakuan akan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal
dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk pembangunan pedesaan.
162
3. Kongres Kehutanan Sedunia X di Paris tahun 1991
Pada tahun 1991 diselenggarakan Kongres Kehutanan Dunia ke-10 di Paris yang menghasilkan Sembilan butir keputusan, antara lain tentang
penghijauan bumi, pengendalian emisi gas polutan dan emisi rumah kaca, pengembangan perdagangan sesuai kesepakatan GATT, kerja sama tingkat politik
untuk penanganan hutan dan pengelolaan daerah aliran sungai utama, perlunya mobilisasi dana-dana internasional ke negara-negara berkembang, penguatan
penelitian, percobaan lapangan, pelatihan dan tukar-menukar informasi, serta penguatan koordinasi antar lembaga internasional. Hasil-hasil kesepakatan
termasuk hasil kerja dan usulan dari Komisi Bruntland, kemudian dibawa dan
161
Wiratno, dkk.,
Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional,
Jakarta, The Gibbon Foundation Indonesia dan PILI-NGO Movement, 2004. Hal. 47-48.
162
Ibid. Hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
dipadukan dengan rekomendasi-rekomendasi lain dalam United Nation
Conference on Environment and Development UNCED tahun 1992.
163
4. United Nation Conference on Environment and Development UNCED di Rio
de Jeneiro tahun 1992 Dalam
United Nation Conference on Environment and Development
UNCED atau KTT Bumi 1992 seperti telah disebutkan bahwa salah satu pembahasan dalam konferensi ini adalah mengenai kehutanan. Hasilnya
adalah Forestry Principles yang telah berhasil disepakati dalam dokumen “Non- Legally Binding Authoritative Statement of Principles for Global Consensus on
the Management, Conservation and Sustainable Development of All Types of Forests
”. Dalam dokumen ini berisi 15 prinsip yang berkaitan dengan masalah pengelolaan hutan. Dokumen ini juga memuat pedoman yang tidak bersifat
mengikat nonlegally binding dan berlaku untuk semua jenis hutan, terdapat pula prinsip-prinsip lainnya yaitu menyangkut perdaagangan kayu, penghapusan
hambatan-hambatan tarif, dan perbaikan akses ke pasaran.
164
Kelima belas prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
165
1. Negara memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola hutannya dengan
tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. 2.
Sumber daya hutan dikelola secara lestari untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
163
Wiratno, Loc. Cit.
164
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia, Sebuah Pengantar, Jakarta, Sinar Grafika, 2006. Hal. 60.
165
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2002. Hal. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
3. Kebijaksanaan nasional harus mencerminkan pengelolaan hutan secara
berkelanjutan, temasuk di dalamnya konvensi lahan hutan bagi pembangunan sosial ekonomi, sesuai dengan tata guna lahan yang
rasional. 4.
Kebijaksanaan dan strategi nasional harus mampu meningkatkan upaya pembangunan, kelembagaan dan program pengelolaan hutan.
Kebijaksanaan dan strategi tersebut harus memperhatikan kelangsungan ekosistem hutan dan sumber daya hutan serta mempertimbangkan faktor-
faktor di luar sektor kehutanan. 5.
Dalam rangka pengelolaan dan pembangunan hutan, langkah yang harus ditempuh antara lain: a peningkatan perlindungan dalam memelihara nilai
dan fungsi hutan, b penyediaan informasi yang akurat dan teratur bagi masyarakat dan pengambil keputusan, c peningkatan peran serta semua
pihak yang berkepentingan, d peningkatan peran serta wanita dalam pembangunan hutan, e peningkatan kerja sama internasional di bidang
kehutanan. 6.
Keputusan dalam pengelolaan hutan terlanjutkan didasarkan atas hasil telaah yang meliputi nilai-nilai ekonomi dan non ekonomi hasil hutan,
jasa, dan lingkungan hidup. 7.
Pengelolaan hutan harus terpadukan dalam pembangunan wilayah sehingga dapat memelihara keseimbangan ekoligi dan manfaat yang
lestari. Kebijaksanaan nasional harus menjamin diberlakukannya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan AMDAL
Universitas Sumatera Utara
8. Pelaksanaan kebijaksanaan dan program nasional pengelolaan hutan
terlanjutkan, harus didukung pendanaan internasional, kerjasama teknik dan penyempurnaan sistem pemasaran hasil hutan olahan.
9. Peranan hutan tanaman ditingkatkan melalui reboisasi dan penghijauan,
baik dengan tanaman asli maupun tanaman eksotik, dalam rangka mempertahankan hutan dan memperluas lahan hutan untuk memenuhi
kebutuhan kayu bagi industri, kebutuhan kayu bakar, kebutuhan lingkungan hidup dan memperluas kesempatan kerja.
10. Peranan hutan alam harus ditingkatkan sebagai penghasil barang dan jasa.
11. Kebijaksanaan pengelolaan hutan harus memperhatikan aspek produksi,
konsumsi, pendauran, manfaat hasil hutan, dan kepentingan masyarakat sekitar hutan.
12. Inventarisasi, evaluasi dan penggunaan IPTEK harus dilakukan secara
efektif. Kerjasama internasional dalam rangka tukar-menukar hasil penelitian dan pengembangan pemanfaatan hasil hutan non kayu perlu
ditingkatkan. 13.
Perdagangan bebas tentang hutan harus difasilitasi. 14.
Peraturan Unilateral tentang perdagangan kayu, yang tidak sesuai dengan kewajiban dan perjanjian internasional, harus dihapuskan.
15. Pencemaran udara yang berasal dari kegiatan pemanfaatan hutan harus
dicegah. Forestry Principles
merupakan pedoman yang bertujuan meningkatkan pengelolaan, konservasi, dan pembangunan hutan berkelanjutan serta memberikan
Universitas Sumatera Utara
pembekalan bagi berbagai fungsi dan kegunaan hutan. Dokumen tersebut menegaskan pernyataan otoritatif soft law yang tidak mengikat secara hukum
tentang prinsip-prinsip untuk konsensus global tentang pengelolaan, konservasi dan pembangunan berkelanjutan semua tipe hutan, dalam arti semua negara atau
bangsa bertanggungjawab atas kelestarian fungsi dan kegunaan hutannya, bukan hanya menyandarkan pada negara-negara tropik yang selalu menjadi fokus
perhatian dengan hutan tropisnya sebagai paru-paru dunia. Selain prinsip-prinsip kehutanan tersebut, telah disepakati program-
program dalam Agenda 21 mengenai deforestasi yang menyangkut 4 bidang yaitu fungsi hutan, peningkatan perlindungan, pemanfaatan dan konservasi hutan,
efisiensi pemanfaatan dan telaahan mengenai nilai dan jasa hasil hutan, serta peningkatan kemampuan perencanaan, monitor dan evaluasi.
166
5. Protokol Kyoto 1997
Dalam kesepakatan Protokol Kyoto disepakati tentang perlunya melindungi dan mengonservasi tempat penyimpanan karbon termasuk hutan.
Protokol juga berisikan target penurunan wajib emisi dari negara-negara maju dan memuat Clean Development Mechanism CDM yang memungkinkan negara-
negara tersebut mendapatkan kredit karbon di negara-negara berkembang jika mereka gagal dalam penurunan emisi. Namun dalam Protokol Kyoto ini belum
ada kesepakatan mengenai pemberian kompensasi terhadap negara-negara berkembang yang mampu menekan deforestasi di negaranya. Walaupun demikian
166
Supriadi, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Protokol Kyoto dapat menjadi pijakan awal dari kesepakatan tentang perlunya penyelamatan hutan.
167
6. Pertemuan CoP 11 di Montreal tahun 2005
Usul memberikan insentif positif bagi negara-negara pemilik hutan yang mampu mengurangi dampak deforestation baru muncul ketika Koalisi Pemilik
Hutan Tropis Coalition for Rain Forest Nations yang dipelopori oleh Papua Nuginea dan Costarica sepakat mengajukan proposal tentang insentif untuk
avoided deforestation yang kemudian masuk dalam agenda CoP ke 11di Montreal
dengan nama Reducing Emission From Deforestation in Developing Countries dengan mengunakan pendekatan emisi nasional, hampir sama dengan Papua
Nuginea dan Costarica, Brasil pun memberikan usul agar adanya kompensasi bagi negara yang mampu mencegah deforestasi.
Proposal ini banyak disambut baik oleh negara-negara para pihak, teruatama karena adanya fokus baru, yang memecahkan berbagai permasalah dari
diskusi mengenai isu penghindaran deforestation yang ada sebelumnya lebih berfokus pada tingkatan proyek atau pendekatan sub-nasional. CoP merujuk isu
tersebut kepada Badan Tambahan untuk Masukan Ilmiah dan Teknis Subsidiary Body for Scientificand Technica AdviceSBSTA
, yang telah banyak menerima usulan dan mengadakan dua lokakarya FCCCSBSTA200610 dan
FCCCSBSTA20073, namun sampai pada Cop ke 12 di Nairobi, Kenya, negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Kyoto gagal mendesak negara-
negara maju untuk mengurangi emisinya sesuai dengan target yang ditentukan.
167
Hendrik Manullang, Politik Lingkungan: Analisa Reducing Emission from Deforestation Degradation REDD Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia,
Medan, Skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, 2010.
Hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
Pada CoP ke 12 ini dapat dikatakan tidak ada sebuah kemajuan. Namun kesimpulan yang diperoleh SBSTA menjadi sesuatu yang penting bagi
perkembangan pencegahan deforestation. Temuan tersebut disampaikan oleh ketua SBSTA pada CoP ke 13 di Bali.
168
7. Pertemuan CoP 13 di Bali tahun 2007
Pada pertemuan CoP ke 13 yang berlangsung pada Desember 2007 di Bali, Indonesia selaku tuan rumah penyelenggaraan dan didorong oleh kesadaran
sebagai negara pemilik hutan terbesar ke 3 di dunia dan juga nomor 2 sebagai negara penghasil emisi karbon dari proses deforestasi mengusulkan sebuah
mekanisme baru mengenai pengurangan dampak pemanasan global melalui pencegahan deforestasi.
Berbeda dengan apa yang diusulkan oleh Papua Nuginea dan Costarica pada CoP ke 11 di Monteral. Dalam usulannya Indonesia menambahkan lagi poin
tentang pencegahan degradation maka program yang diusulkan oleh Indonesia disebut dengan Reducing Emission from Deforestation and Degradation. REDD
ini berhasil menjadi salah satu program yang disepakati dalam CoP ke 13 yang kesepakatan tersebut tertuang dalam Bali Road Map.
169
Sebagian manfaat hutan dalam paradigma baru adalah menyimpan karbon atau dapat sebagai rosot penimbunan zat karbon dan pengaturan kadar CO
2
dalam udara.
170
Mekanisme perdagangan karbon lahir sebagai solusi alternatif penaatan komitmen negara-negara di dunia dalam mereduksi emisi gas rumah
168
Ibid. Hal. 29.
169
Ibid. Hal. 30.
170
Otto Soemarwoto, Kemana Harus Melangkah?: Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan Indonesia
. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2003. Hal. xiii
Universitas Sumatera Utara
kaca dan proses yang sangat panjang. Istilah reduksi emisi karbon bukan hanya berarti pengurangan kadar karbon yang sudah ada saat ini di udara, tetapi
merupakan upaya menekan bertambahnya emisi gas rumah kaca akibat penggunaan bahan bakar fosil. Jadi, angka-angka tersebut pada dasarnya adalah
jumlah karbon yang diemisikan jika tanpa proyek CDM.
171
Deforestasi dan emisi telah menjadi bagian penting dari diskusi ilmiah dan politik sejak awal negosiasi UNFCCC dan Protokol Kyoto. Semua negara yang
menandatangani UNFCCC negara pihak UNFCCCCoP sepakat untuk melindungi dan mengonservasi penyimpanan karbon termasuk hutan, tetapi
sejauh ini efeknya masih kecil. Pada saat CoP membuat Protokol Kyoto pada tahun 1997, yang membuat target penurunan emisi wajib untuk negara-negara
industri, mereka juga membuat mekanisme pembangunan bersih CDM yang memungkinkan negara-negara dengan target tersebut mendapatkan kredit karbon
untuk proyek-proyek di negara berkembang. Mengenai apakah deforestasi akan dimasukkan pada CDM merupakan
topik kontroversial karena terdapat banyak permasalahan yang terkait dengan pendekatan berbasis proyek, seperti ketidakpastian mengenai dasar baseline,
pemindahan di luar lokasi proyek, kemampuan untuk mencapai tujuan keanekaragaman hayati apabila terjadi kebocoran leakage, dan kekhawatiran
akan disepelekannya upaya untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil apabila terdapat kredit dalam jumlah besar dengan murah. Oleh karena itu, penghindaran
deforestasi tidak disertakan dalam Protokol Kyoto.
172
Dalam CDM, pendanaan digunakan untuk kegiatan aforestasi dan reforestasi.
173
171
Siti Khairunissa, Op. Cit. Hal. 55.
172
Climate Action Network CAN, “Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi REDD”, http:webcache.googleusercontent.comsearch?q=cache:onGKex3M
Universitas Sumatera Utara
C. Aspek Hukum Internasional dalam ERPA Emission Reduction Purchase