Konsep Perdagangan Karbon Dalam Pengaturan Hukum Internasional

C. Konsep Perdagangan Karbon Dalam Pengaturan Hukum Internasional

Dalam Pasal 38 1 Statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa sumber hukum internasional adalah: 121 1. Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. 2. Kebiasaan internasional yang bersifat umum dan yang diterima sebagai hukum. 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab. 4. Keputusan pengadilan dan ajaran sarjana doktrin sebagai sumber hukum tambahan. Perjanjian internasional 122 adalah sumber hukum yang utama dan sempurna karena dibuat berdasarkan perjanjian oleh negara-negara dan dibuat secara tertulis sehingga lebih menjamin kepastian hukum. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk pengertian perjanjian internasional, antara lain deklarasi, konvensi, protokol, persetujuan agreement. 123 Perbedaan diantaranya telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Perangkat-perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan perdagangan karbon dapat ditabulasikan sebagai berikut: 121 Rosmi Hasibuan, Hukum Internasional, Op. Cit. Hal. 27. 122 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Perjanjian internasional harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota mayarakat internasional dan antara organisasi internasional satu sama lain. Ibid. Hal. 28. 123 Rosmi Hasibuan , Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Tabel 3.2. Perangkat-Perangkat Hukum Internasional Yang Berkaitan Dengan Perdagangan Karbon No. Perangkat Hukum Internasional Pasal 1. United Nation Framework Convention on Climate Change 1. Tujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca: a. Pasal 2 2. Prinsip dasar konvensi: a. Common But Differentiated Responsibility CBDR, Pasal 3.1 2. Protokol Kyoto 1. Target penurunan emisiQuantified Emission Limitation and Reduction Objectives QELROs: Pasal 3 dan Pasal 4 2. Mekanisme Fleksibel Flexible Mechanism a. Emission Trading , Pasal 17 b. Joint Implementation , Pasal 6 c. Clean Development Mechanism, Pasal 12 3. Bentuk partisipasi negara berkembang dan implikasi finansial yang ditimbulkan: a. Pasal 10 b. Pasal 11 Sumber: United Nations Framework Convention on Climate Change 1992, Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change 1997 Penurunan gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global sudah digagas sejak pertemuan KTT Bumi di Rio De Jeneiro, Brazil, tahun 1992. Hal ini tampak pada tujuan dari konvensi yang termaktub pada Pasal 2 United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC tersebut yang telah dijelaskan pada bab 2 sub bagian C yakni menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca. Guna mencapai tujuan tersebut, deiterapkan salah satu prinsip dasar konvensi yang juga mendasari perdagangan karbon yakni Common But Universitas Sumatera Utara Differentiated Responsibility CBDR 124 pada Pasal 3.1 UNFCCC yang menyebutkan bahwa: “The Parties should protect the climate system for the benefit of present and future generations of humankind, on the basis of equity and in accordance with their common but differentiated responsibilities and respective capabilities. Accordingly the developed country Parties should take the lead in combating climate change and the adverse effect thereof.” 125 Prinsip CBDR mencakup dua elemen fundamental. Pertama, tanggung jawab yang sama dari semua negara atas lingkungan baik pada level nasional maupun global. Kedua, perlu mempertimbangkan situasi yang berbeda yang berkaitan dengan kontribusi historis setiap negara terhadap perkembangan masalah lingkungan tertentu dan memperhatikan kemampuan masing-masing negara untuk mencegah, mengurangi atau mengontrol ancaman yang terjadi. 126 124 Marie-Claire Cordonier Segger dan Rajat Rana dari Centre for International Sustainable Development Law CISDL menyebut prinsip CBDR ini the principle of common but differentiated obligations . Secara historis prinsip ini berkembang dari gagasan common heritage of mankind atau warisan bersama umat manusia dan merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip umum keadilan dalam hukum internasional. Prinsip ini mengakui bahwa semua negara memiliki tanggung jawab yang sama terhadap lingkungan hidup tapi secara historis ada perbedaan kontribusi antara negara maju dan negara berkembang dalam mengatasi masalah lingkungan global dan juga mengakui adanya perbedaan dalam kapasitas ekonomi dan teknologi masing- masing dalam menangani masalah-masalah ini. Deklarasi Rio menyebutkan bahwa dengan melihat perbedaan kontribusi terhadap degradasi lingkungan global, negara pihak memiliki tanggung jawab yang sama namun secara khusus harus dibedakan sesuai kemampuan. Negara maju mengakui tanggung jawab yang mereka emban dalam upaya internasional memenuhi pembangunan berkelanjutan dengan melihat tekanan yang dilakukan masyarakat negara maju terhadap lingkungan global dan sumber daya teknologi dan finansial yang mereka miliki. Lihat pada: Bernadinus Steni, “Prinsip-Prinsip Konvensi”, sebagaimana dimuat dalam http:reddandrightsindonesia.wordpress.com20110316prinsip-prinsip-konvensi , diakses pada 24 Februari 2014. 125 “United Nations Framework Convention on Climate Change”, article 3.1. 126 Bernadinus Steni, “Prinsip-Prinsip Konvensi”, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan prinsip tersebut tampak bahwa terdapat perbedaan kewajiban antara negara-negara industrinegara maju dengan negara-negara berkembang. 127 Negara-negara maju wajib melakukan langkah-langkah dan intervensi kebijakan yang relevan untuk mencapai target yang ditetapkan. 128 Deklarasi Rio menjadi instrumen internasional pertama yang secara spesifik menerapkan prinsip CBDR. Konvensi merumuskan bahwa berdasarkan tanggungjawab dan beban pengurangan emisi yang ditetapkan, semua negara yang terikat konvensi, dengan penekanan terutama negara-negara maju. Lalu pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang barulah negosiasi negosiasi untuk mencapai tujuan UNFCCC mencapai kesepakatan dengan dibentuknya Protokol Kyoto. Dalam Protokol Kyoto terdapat target penurunan emisi yang dikenal dengan nama Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives QELROs yang dijelaskan dalam Pasal 3 dan 4 Protokol Kyoto: Article 3: “The Parties included in Annex I shall, individually or jointly, ensure that their aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts, calculated pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in accordance with the provision of this Article, with a view to reducing their overall emissions of such gases by at least 5 per cent below 1990 levels in the commitment period 2008 to 2012.” Article 4: “Any Parties included in Annex I that have reached an agreement to fulfil their commitments under Article 3 jointly, shall be deemed to have met those commitments provided that their total combined aggregate anthropogenic carbon dioxide equivalent emissions of the greenhouse gases listed in Annex A do not exceed their assigned amounts calculated pursuant to their quantified emission limitation and reduction commitments inscribed in Annex B and in accordance with the provisions 127 Pan Mohamad Faiz, Perubahan Iklim dan Perlindungan Terhadap Lingkungan: Suatu Kajian Berprespektif Hukum konstitusi , Op. Cit. Hal. 4. 128 Aditya Ramandika, Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit Pada Skema Clean Development Mechanism Dalam Prespektif Hukum Perdata Indonesi , Op. Cit, hal 63. Universitas Sumatera Utara of Article 3. The respective emission level allocated to each of the Parties to the agreement shall be set out in that agreement.” Protokol Kyoto sepeti telah disebutkan dalam bab sebelumnya, bahwa di dalamnya terdapat 3 mekanisme yang disebut dengan mekanisme fleksibel Flexible Mechanism yang memungkinkan negara-negara di dunia bekerja sama dalam perdagangan karbon baik antar negara maju maupun negara maju dengan negara berkembang. 1. Emission Trading Jika sebuah negara maju mengemisikan gas rumah kaca di bawah jatah yang diizinkan, maka negara tersebut dapat menjual volume gas rumah kaca yang tidak diemisikannya kepada negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Skema ini selanjutnya dikenal dengan nama perdagangan emisi Emission Trading . 129 Komoditas yang diperdagangkan berupa unit jatah emisi Assignment Amount UnitAAU . 130 Namun demikian, jumlah gas rumah kaca yang dapat diperdagangkan dibatasi sehingga negara-negara pembeli tetap harus memenuhi kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protokol Kyoto. Demikian ketentuan Pasal 17 Protokol Kyoto: “The conference of the Parties shall define the relevant principles, modalities, rules, and guidelines, in particular for verification, reporting, and accountability for emission trading. The Parties included in Annex B may participate in emissions trading for the purposes of fulfilling their commitments under article 3. Any such trading shall be supplemental to 129 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang,Op. Cit, hal 57. 130 Assigned Amount Unit AAU adalah unit yang digunakan dalam Protokol Kyoto setara dengan 1 metrik ton CO 2 . Setiap anggota Annex I mengeluarkan AAU sampai dengan tingkat jumlah yang ditetapkan. Sebagaimana dimuat dalam Rufi’ie, Glossary of Climate Change Acronyms Istilah dan Singkatan Dalam Perubahan Iklim , Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan, 2006. Hal. 1. Universitas Sumatera Utara domestic actions for the purpose of meeting quantified emission limitation and reduction commitments under that article.” 131 Mekanisme ini berdasarkan tanggungjawab penjual, dimana pihak yang menjual AAU kepada pihak lain bertanggungjawab untuk segala kekurangan yang terjadi selama proses transfer. Ketentuan ini dilakukan agar membantu mencegah penjualan secara berlebihan dari unit jatah emisi AAU. 132 Emission Trading dapat menciptakan pasar untuk hak mengemisikan gas rumah kaca diantara negara-negara maju yang termasuk dalam Annex B Protokol Kyoto yang terdiri dari negara-negara OECD. 133 2. Joint Implementation Joint Implementation yang diatur dalam Pasal 6 Protokol Kyoto: ”For the purpose of meeting its commitments under Article 3, any Party included in Annex I may transfer to, or acquire from, any other such Party emission reduction units resulting from projects aimed at reducing anthropogenic emissions by sources or enhancing anthropogenic removals by sinks of greenhouse gases in any sector of the economy, provided that: a Any such project has the approval of the Parties involved; b Any such project provides a reduction in emissions by sources, or an enhancement of removals by sinks, that is additional to any that would otherwise occur; c It does not acquire any emission reduction units if it is not in compliance with its obligations under Articles 5 and 7; and d The acquisition of emission reduction units shall be supplemental to domestic actions for the purposes of meeting commitments under Article 3.” 134 JI merupakan salah satu mekanisme fleksibel Protokol Kyoto yang memberikan kesempatan bagi negara-negara Annex I Protokol Kyoto untuk 131 “Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change”, Article 17. 132 Deborah Stowell, Climate Trading: Development Kyoto Protocol Markets, New York, Palgrave Macmillan, 2005. Hal. 54. 133 Aditya Ramandika, Perjanjian Jual Beli Karbon Kredit Pada Skema Clean Development Mechanism Dalam Prespektif Hukum Perdata Indonesia , Op. Cit, hal 73. 134 “Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change”, Article 6. Universitas Sumatera Utara melakukan pengurangan atau pembatasan emisi agar memperoleh ERU Emission Reduction Unit 135 dari proyek pengurangan emisi atau penyerapan emisi dari pihak negara maju ke negara maju lainnya. Joint Implementation menyediakan beberapa cara yang fleksibel dan efisien bagi negara-negara maju dalam memenuhi komitmen mereka di bawah Protokol Kyoto, sementara negara tuan rumah tempat proyek dilakukan mendapat benefit dari investasi asing dan transfer teknologi. Proyek harus mendapat persetujuan dari negara tuan rumah proyek host country dan peserta proyek swasta harus mendapat pengesahan dari negara pihak untuk bisa berpartisipasi dalam proyek. 136 Prosedur untuk pengembangan proyek Joint Implementation harus sederhana dan cepat, dengan kesepakatan antara pihak menjadi inti prosedurnya. Kegiatan Joint Implementation akan didanai oleh sektor swasta untuk mengahsilkan ERU. 137 3. Clean Development Mechanism Dalam Protokol Kyoto, Clean Development Mechanism Mekanisme Pembangunan Bersih yakni suatu mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dimana negara-negara berkembang dapat turut berpartisipasi bekerjasama 135 ERU Emission Reduction Unit Unit pengurangan emisi. Unit ini didapatkan dari pengurangan emisi atau penghilangan emisi dari proyek JI. Unit pengurangan emisi merupakan unit dalam protocol Kyoto yang nilainya setara dengan 1 metric ton CO 2 . Sebagaimana dimuat dalam Machfudh, Istilah-Istilah Dalam, REDD+ dan Perubahan Iklim, Op. Cit. Hal. 30. 136 Bernadinus Steni, Perubahan Iklim, REDD, dan Perdebatan Hak: Dari Bali Sampai Copenhagen, Op. Cit. Hal. 22. 137 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Op. Cit. Hal. 48. Universitas Sumatera Utara dengan negara maju. Mekanisme yang terdapat dalam Pasal 12 Protokol Kyoto yang menyatakan bahwa: “The purpose of the clean development mechanism shall to be assist parties not included in Annex I in achieving sustainable development and in contributing to the ultimate of the convention, and to assist Prties included in Annex I in achieving compliance with their quantified emission limitation and reduction under commitments under Article 3 138 Perdagangan karbon yang dilakukan oleh negara-negara maju dan negara-negara berkembang didasarkan pada prinsip CBDR yang telah dijelaskan di atas. Proyek CDM harus melalui kualifikasi yang ketat, registrasi publik dan proses penerbitan CER yang dirancang untuk memastikan pengurangan emisi yang nyata, terukur dan dapat diverifikasi yang melampaui apa yang terjadi tanpa proyek atau Business as Usual BAU yang kemudian sifatnya menjadi additionality . 139 Prinsip dasar yang harus dipenuhi proyek CDM yaitu: 1. Prinsip Additionality Prinsip additionality atau prinsip nilai tambah, yaitu bahwa proyek CDM ini haruslah memberikan nilai tambah yang signifikan baik terhadap lingkungan maupun terhadap perekonomian. Prinsip ini merupakan syarat yang sangat penting agar proyek dapat dinyatakan sebagai CDM. Pada syarat ini, pengembang proyek harus dibandingkan tanpa adanya proyek BAU. Selisih yang dihasilkan 138 “Kyoto Protocol To The United Nations Framework Convention On Climate Change”, Article 12.2. 139 Bernadinus Steni, Perubahan Iklim, REDD, dan Perdebatan Hak: Dari Bali Sampai Copenhagen, Op. Cit. Hal. 21. Universitas Sumatera Utara antara skenario BAU dan pengurangan emisi hasil proyek CDM inilah yang kemudian akan menerbitkan CER. 140 2. Prinsip Eligibility Prinsip ini merupakan hal penting untuk menghindari terjadinya investasi pada proyek yang tidak mendukung terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Hal yang dimaksudkan yaitu seperti proyek pemanfaatan tenaga nuklir, pembangkit listrik tenaga air dengan skala makro masih banyak ditentang oleh banyak pihak sebagai proyek CDM. 141 Untuk dapat melaksanakan proyek CDM, negara berkembang harus memenuhi 2 syarat utama, yaitu: 142 b. Harus meratifikasi Protokol Kyoto Sebagai contoh, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada 28 Juli tahun 2004 melalui Undang-Undang No. 17 tahun 2004. Dengan demikian Indonesia telah menjadi negara anggota peratifikasi Protokol Kyoto dan bisa melaksanakan kebijakan yang terkait dengan CDM. c. Negara tersebut harus telah mendirikan DNA Designated National Authority DNA merupakan sebuah badan berwenang yang menangani proyek CDM di sebuah negara berkembang. Seperti di Indonesia, badan berwenang CDM bernama Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih Komnas MPB. Komnas MPB didirikan pada 21 Juli 2005 dan terdiri dari 10 anggota. Kesepuluh anggota Komnas MPB tersebut diantaranya: Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Departemen 140 Ibid. Hal. 81. 141 Dayita Putri K, Loc. Cit. 142 Ibid. Hal. 12. Universitas Sumatera Utara Kehutanan, Departemen Perindustrian, Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, dan Bappenas. Dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup menjadi ketua Komnas MPB. Pasal 10 dan 11 Potokol Kyoto berturut-turut membahas tetang bentuk partisipasi negara berkembang dan implikasi finansial yang ditimbulkannya. Partisipasi yang dimaksud disini adalah kewajiban umum dalam hal pelaporan dan penyampaian informasi yang terkait dengan emisi dan kebijakan-kebijakan nasional. Sedangkan implikasi finansial dalam penerapan Pasal 10 seperti yang tertuang dalam Pasal 11 didasarkan atas beberapa Pasal dalam konvensi terkait kepemimpinan negara maju untuk mengatasi perubahan iklim juga menyediakan dana adaptasi bagi negara yang sangat rentan, juga disertai memberi kemudahan dalam alih teknologi dan pengetahuan. 143 Dalam hal ini negara non Annex I yakni negara tuan rumah memiliki hak prerogatif untuk menentukan apakah suatu proyek Clean Development Mechanism telah sesuai dengan tujuan mereka atau tidak. 144 Proyek-proyek Clean Development Mechanism harus disetujui oleh negara tuan rumah. Persetujuan negara tuan rumah merupakan suatu komponen kunci untuk memastikan pemerintah masih memegang kedaulatan atas sumber daya alamnya. Selain menyetujui pembangunan proyek yang ditawarkan di bawah CDM, negara tuan rumah juga bertanggungjawab mengonfirmasi apakah proyek kegiatan CDM akan membantunya mencapai kriteria pembangunan berkelanjutan atau tidak. 143 Daniel Murdiyarso, Protokol Kyoto Implikasinya Bagi Negara Berkembang, Op.Cit. Hal. 97-98. 144 Baker McKenzie, Legal Issues Guidebook to the Clean Development Mechanism, Denmark, UNEP Risoe Center, 2004. Hal. 49. Universitas Sumatera Utara Untuk mencapai tujuan CDM, maka proyek-proyek CDM harus memberikan keuntungan juga bagi masyarakat lokal dalam hal lingkungan sosial dan ekonomi. Sebagai jaminan adanya dampak positif proyek CDM bagi masyarakat lokal, maka diharuskan adanya partisipasi dari masyarakat di sekitar proyek CDM. Partisipasi masyarakat yang merupakan proses publik yang menjadi salah satu syarat CDM ini harus dilakukan sejak tahap awal perencanaan kegiatan CDM hingga proses monitoringnya. Pemilik proyek diharuskan menjalani proses publik yang transparan dan objektif untuk mendapatkan opini-opini dari masyarakat mengenai kegiatan proyek tersebut. 145 Namun penerapan hukum internasional memiliki kelemahan, hal ini dikarenakan beberapa hanya mengikat bagi yang menandatangani perjanjian internasional tersebut dan beberapa perjanjian sifatnya tidak mengikat atau dikenal dengan soft law, misalnya resolusi, deklarasi, rencana aksi dan lain-lain. Bahkan perjanjian internasional yang sifatnya mengikat sekalipun seperti konvensi yang kemudian aturan-aturanya diturunkan lebih rinci ke dalam protokol, sesungguhnya tidak langsung mengikat kecuali dalam keadaan politik tertentu, sebab ketiadaan sanksi bagi ketidaktaatan. Kelemahan lain dalam penerapan hukum internasional terutama dalam konteks perdagangan karbon adalah sistem hukum internasional tidak mencakup kewajiban individu bukan negara untuk melakukan perdagangan karbon. Jadi tidak ada kewajiban bagi entitas-entitas privat yang melakukan perdagangan karbon. 146 145 Chandra Panjiwibowo, Mencari Pohon Uang: CDM Kehutanan di Indonesia. Op. Cit. Hal 18. 146 Feby Ivalerina, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara 79 BAB IV ASPEK HUKUM KERJASAMA INTERNASIONAL TERKAIT PERDAGANGAN KARBON DALAM UPAYA MENANGGULANGI DAMPAK PEMANASAN GLOBAL MENURUT ERPA EMISSION REDUCTION PURCHASE AGREEMENT

A. Peran Hutan Dalam Perdagangan Karbon