6
Tigabinanga Kabupaten Karo dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
Dalam penelitian ini ada alasan yang kuat yang melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian yaitu karena penulis melihat bahwa tingkat pemilihan
khususnya pada pemilih pemula sangat signifikan. Maka dari itu penulis menjadi tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang perilaku pemilih pemula itu sendiri.
Selain itu penulis memilih Kecamatan Tigabinanga sebagai lokasi penelitian karena jumlah pemilih pemula yang ada di Kecamatan Tigabinanga cukup banyak yaitu
berjumlah 9505 orang dan mereka cukup antusias dalam mengikuti pemilihan gubernur Sumatera Utara karena peristiwa ini adalah pengalaman pertama bagi
mereka dapat menggunakan hak politik mereka. Dan mengapa penulis memilih Pemilihan Gubernur Sumatera Utara karena Pemilihan Sumatera Utara baru saja
berlangsung dan bagaimana perilaku dari pemilih pemula yang cukup antusias dalam mengikuti pemulihan ini ini menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk diteliti.
Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, penulis dalam hal ini terdorong untuk mengkaji lebih dalam dan memfokuskan pada perilaku pemilih
pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo. Untuk itu penulis melakukan penelitian dengan judul
“Perilaku Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013
Studi Kasus Di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo”
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah itu merupakan suatu pertanyaan yang akan dicarikan jawabannya melalui pengumpulan data bentuk-bentuk rumusan masalah penelitian
Universitas Sumatera Utara
7
ini berdasarkan penelitian menurut tingkat eksplanasi.
5
Dari uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang akan penulis teliti secara rinci adalah :
Bagaimana perilaku pemilih pemula pada pemilihan gubernur Sumatera Utara tahun 2013 di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo.
1.3. Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan batasan masalah agar dalam penjelasannya nanti akan lebih mudah, terarah dan sesuai dengan yang diharapkan
serta terorganisir dengan baik. Pembuatan skripsi ini dibatasi pada masalah berikut : Apakah ada pengaruh kampanye, identifikasi kepartaian dan orientasi terhadap
kandidat dalam menentukan pilihan bagi pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pengaruh kampanye kandidat, identifikasi kepartaian dan
orientasi terhadap perilaku memilih pemilih pemula di Kecamatan Tigabinanga pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan dan
dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama kuliah pada permasalahan
5
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: CV. Alfabeta, 2008, Hal. 56
Universitas Sumatera Utara
8
dan kondisi di masyarakat, sehingga mendapatkan suatu pengalaman antara teori dengan kenyataan di lapangan.
b. Bagi civitas akademika, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Ilmu Politik.
2. Manfaat Praktis a.
Bagi peneliti Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan tentang bagaimana
perilaku politik para pemilih pemula pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
b. Bagi pemilih pemula generasi muda
Para generasi muda mengetahui pentingnya partisipasi mereka dalam pemilu yang demokratis.
c. Bagi aktivis partai politik dan tokoh politik
Agar mereka lebih meningkatkan peran serta pemilih pemula pada kegiatan partai politik pada masa yang akan datang.
d. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik FISIP
Bermanfaat untuk menambah kepustakaan dan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian yang sejenis.
e. Bagi masyarakat
Dapat bermanfaat dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat umum yang tertarik terhadap ilmu Politik dan menambah
pengetahuan tentang pentingnya perilaku politik pemilih pemula.
Universitas Sumatera Utara
9
1.5. Kerangka Teori 1.5.1. Perilaku Memilih
Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan proses pemilu. Menurut Jack Plano, perilaku memilih adalah salah satu
bentuk perilaku politik yang terbuka.
6
Sementara itu, Huntington dan Nelson menyebutkan perilaku memilih sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian
suara votes, bantuan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi
proses pemilihan umum.
7
Selanjutnya perilaku memilih disini dikaitkan dengan proses pemungutan atau pemberian suara Voting dalam suatu pemilihan umum pemilu. Voting
merupakan kegiatan pengambilan keputusan dengan satu orang satu suara dalam pemilu yang diselenggarakan. Sedangkan menurut Haryanto, Voting adalah kegiatan
warga negara yang mempunyai hak untuk memilih dan didaftar sebagai seorang pemilih, memberikan suaranya untuk memilih atau menentukan wakil-wakilnya.
8
Pemberian suara kepada salah satu kontestan merupakan suatu kepercayaan untuk membawa aspirasi pribadi, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Kepercayaan yang diberikan, juga karena adanya kesesuaian nilai yang dimiliki arah tempat memberikan suara. Nilai yang dimaksud disini adalah preferensi yang
dimiliki organisasi terhadap tujuan tertentu atau cara tertentu melaksanakan sesuatu. Jadi kepercayaan pemberi suara akan ada, jika seseorang telah memahami makna
nilai yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan. Untuk penelitian ini, konsep
6
Jack Plano. Kamus Analisa Politik. Jakarta: Rajawali, 1985. hal. 161
7
Huntington Samuel P. Dan Joan Nelson. Partisipasi Politik Di Negara Berkembang. Jakarta. Rineka Cipta. 1990.
8
Haryanto. Partai Politik: Suatu Tinjauan Umum. Yogyakarta: Liberty. 1984. hal. 110
Universitas Sumatera Utara
10
perilaku memilih yang digunakan dibatasi hanya sebagai bentuk pemberian suara voting dalam sebuah pemilihan umum.
Perilaku pemilih erat kaitannya dengan bagaimana individu berprilaku dan berinteraksi dalam sebuah pemilihan umum, terutama terkait dengan ketertariakan
dan pilihan politik mereka terhadap suatu partai politik yang akan dipilihnya. Dalam berperilaku secara umum dapat dibagi menjadi dua macam perilaku, yaitu perilaku
yang baik atau yang normal dan perilaku yang tidak baik atau menyimpang. Dalam kaitannya dengan pemilihan umum, perilaku normal adalah perilaku politik yang
mengikuti tata cara dan aturan main dalam berpolitik, sementara perilaku politik menyimpang adalah pola perilaku politik yang tidak mengikuti aturan main. Bahkan
dalam hal ini mungkin mereka melakukan berbagai prilaku yang membuat pihak atau orang lain terganggu dan terintimidasi. Sebagai contoh adalah perilaku
kekerasan politik yang sering terjadi di tengah kampanye pemilu, seperti bentriok antara pendukung parpol, intimidasi pendukung partai politik lain.
Menurut Kartini Kartono, perilaku normal adalah perilaku yang dapat diterima oleh masyarakat umum atau sesuai dengan pola kelompok masyarakat
setempat, sehingga tercapai relasi personal da interpoersonal yang memuaskan. Sedangkan perilaku menyimpang abnorma adalah perilaku yang tidak sesuai atau
tidak dapat diterima oleh masyarakat umum dan tidak sesuai dengan norma masyarakat.
9
Menurut pendapat Ramlan Surbakti, perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-lembaga pemerintah dan diantara
9
Kartini-Kartono, Patologi Sosial 2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010. Hal. 3
Universitas Sumatera Utara
11
kelompok dan individu dalam masyarakat, dalam rangka proses pembuatan pelaksanaan dan penegakan keputusan politik.
10
Tidak semua individu atau kelompok masyarakat itu mengerjakan kegiatan politik. Karena ada pihak yang memerintah dan ada pula yuang mentaati perintah,
yang satu mempengaruhi dan yang lain menentang dan hasilnya berkompromomi. Yang lain menjanjikan, yang lain kecewa karena janji tidak dipenuhi, berunding dan
tawar menawar, yang satu memaksakan keputusan berhadapan dengan pihak lain yang mewakili kepentingan rakyat yang berusaha membebaskan. Yang satu
menutupi kenyataan yang sebenarnya yang merugikan masyarakat, sementara pihak lain berusaha memaparkan kenyataan yang sebenarnya dan mengajukan
tuntutan, memperjuangkan kepentingan, mencemaskan apa yang terjadi. Perilaku politik menurut pendapat Ramlan Surbakti dibagi 2 dua, yaitu :
11
1. Perilaku politik lembaga dan para pejabat pemerintah yang bertanggung
jawab membuat, melaksanakan dan menegakan keputusan politik. 2.
Perilaku politik warga negara maupun individu kelompok yang berhak mempengaruhi pemerintah dalam melaksanakan fungsinya karena pa yang
dilakukan pemeritnah menyangkut kehidupan warga negara tersebut. Salah satu perilaku politik yang dilakukan masyarakat adalah dalam benruk
pemilihan umum. Dalam pemilihan umum masyarakat berpartisipasi untuk memilih para wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.
10
Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. 1992. Hal. 12
11
Ramlan Surbakti. Op. Cit, Hal. 15
Universitas Sumatera Utara
12
1.5.2. Teori Perilaku Memilih
Isu-isu dan kebijakan politik sangat menentukan perilakau pemilih, namun terdapat faktor-faktor lain yang juga berpengaruh. Para pemilih dapat saja memilih
seorang calon baik calon kepala daerah maupun calon anggota dewan, karena dianggap sebagai refresentatif dari keagamaan. Namun dapat juga ia memilih karena
ikatan kepartaian dan juga mewakili kelompoknya. Atau ada juga pemilih yang memilih calon karena ikatan emosional misalnya taat dan kepatuhan terhadap
seseorang dengan ikatan loyalitas terhadap figur bersangkutan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan tersebut, diperlukan dalam rangka
calon dalam menyusun strategi pemasaran dirinya atau juga programnya. Informasi mengenai berbagai variabel tersebut jelas berguna dalam menyusun strategi
komunikasi, manejmen kandidat, dan penyusunan isu serta kebijakan yang akan ditawarkan kepada para pemilih. Efektivitas dan efisiensi penyampaian pesan-pesan
politik tersebut sangat tergantung pada pemahaman si calon tentang perilaku pemilih di daerah yang akan diwakili atau dipimpinnya. Ini jelas bahwaakan membuat
strategi misalnya siapa, apa dan bagaimana menarik massa akan ditentukan oleh perilaku pemilih. Singkatnya, perilaku pemilih dimana masyarakat yang akan di
wakili atau akan dipimpin menjadi informasi penting dalam merencanakan kampanye dan alokasi sumber daya yang dimiliki seseorang mengkajinya yakni
pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis, pendekatan rasionalias.
1.5.2.1. Pendekatan Sosiologis
Subkultur tertentu memiliki kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada perilaku tertentu. Kognisi yang sama antar anggota subkultur terjadi
Universitas Sumatera Utara
13
karena sepanjang hidup mereka dipengarui lingkungan fisik dan sosio kultural yang relatif sama. Mereka dipengaruhi oleh kelompok-kelompok referensi yang sama.
Karena itu, mereka memiliki kepercayaan, nilai, dan harapan yang juga relatif sama, termasuk dalam kaitannya dengan preferensi pilihan politik. Dengan
pendekatan ini, para anggota subkultur yang sama cenderung mempunyai prefensi politik yang sama pula.
Kepercayaan, nilai, dan harapan masing-masingnya sering juga disebut sebagai unsur kognitif, afektif, dan konatif, akan menunjukan arah perilaku
seseorang. Kepercayaan mengacu kepada apa yang diterima sebagai benar atau tidak benar tentang sesuatu. Kepercayaan didasarkan pada pengalaman masa lalu
pengetahuan dan informasi sekarang, dan persepsi yang sinambung. Nilai melibatkan kesukaan dan ketidaksukaan, cinta dan kebencian, hasrat dan ketakutan seseorang.
Sementara itu, pengharapan mengandung citra seseorang tentang akan separti apa keadaannya setelah tindakan. Pengharapan diutarakan dalam pertimbangan : apa
yang terjadi dimasa lalu, seperti apa keadaan sekarang, dan apa kiranya yang akan terjadi jika dilakukan tindakan tertentu.
Pendekatan sosiologis menjelaskan, karakteristik dan pengelompokan sosial merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih dan pemberian suara pada
hakikatnya adalah pengalaman kelompok. Model ini dikenal sebagai model perilaku memilih Mazhab Columbia.
12
Cikal-bakalnya berasal dari Eropa, model ini kemudian dikembangkan oleh para sosiolog Amerka Serikat yang mempunyai latar belakang Eropa, khususnya di
Univesitas Columbia. Menurut Mazhab Columbia, pendekatan sosiologis pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan sosial-usia,
12
Adnan Nursal. Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004.
Universitas Sumatera Utara
14
jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal, dan lainnya memberi pengaruh cukup signifikan
terhadap pembentukan perilaku pemilih. Kelompok-kelompok sosial itu memiliki peranan besar dalam membentuk
sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Dalam banyak penelitian, faktor agama, aspek geografis kedaerahan, dan faktor kelas atau status ekonomi khususnya di
negara-negara maju memang mempunyai korelasi nyata dengan perilaku pemilih. Menurut Bone dan Ranney, ada 3 tiga tipe utama pengelompokan sosial, yaitu :
13
1. Kelompok Kategorial
Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter khas, tetapi tidak mengorganisasikan aktifitas politik dan tidak
menyadari identifikasi dan tujuan kelompoknya. Setiap kelompok memiliki karakteristik politik yang berbeda. Secara umum, perbedaan perilaku politik setiap
kategori terjadi karena masing-masing kategori memberi reaksi yang berbeda terhadap berbagai faktor berikut :
a. Peristiwa politik, misalnya dampak kebijakan pemerintah menghapuskan
subsidi makanan pokok lebih dirasakan para ibu dibandingkan kaum laki-laki karena, dalam kultur Indonesia, umumnya alokasi pengeluaran untuk bahan
pokok diatur kaum ibu. Karena itu, kaum ibu lebih peka dengan isu-isu tersebut dibandingkan demngan kaum lelaki.
b. Pengalaman politik, misalnya bagaimana heroisme dan pahit-getir
mempertahankan kemerdekaan, lebih dirasakan oleh pemilih usia tua dibandingkan dengan pemilih pemula. Karena itu, para pemilih yang berusia
relatif tua lebih reaktif terhadap isu yang berkaitan dengan nasionalisme.
13
Firmansyah. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.
Universitas Sumatera Utara
15
c. Peran-peran sosial, misalnya, masih adanya anggapan bahwa masalah politik
adalah urusan kaum laki-laki, terutama didaerah-daerah dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, hingga pola pilihan politik ditentukan oleh
para suami dan istri mengikuti pilihan suaminya.
2. Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder terdiri dari orang-orang, yang memiliki ciri yang sama yang menyadari tujuan dan indentifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian
membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok sekunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial.
Kekuatan pengaruh kelompok sekunder kepada para anggotanya tergantung pada empat faktor psikologis.
Pertama , kuat-lemahnya identifikasi individual terhadap kelompok. Jika
identifikasi seseorang dengan kelompoknya kuat, maka pengaruh kelompok terhadap
individual tersebut akan kuat pula. Kedua, berkaitan dengan lamanya seseorang
menjadi anggota kelompok : semakin lama seseorang menjadi anggota suatu kelompok, kian kuat keterlibatan psikologis yang bersangkutan dengan kelompok
tersebut. Ketiga, pengutamaan politik bagi para pemimpin suatu kelompok : semakin
penting makna politik, maka semakin kuat para pemimpin tersebut mendesakkan
tindakan politis tertentu untuk meningkatan loyalitas kelompok. Keempat, tingkat
kepentingan politik bagi anggota-anggota individual.
3. Kelompok Primer
Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh
Universitas Sumatera Utara
16
yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang, khususnya dari keluarga dan teman-teman dekat.
1.5.2.2. Pendekatan Psikologis
Meskipun sangat berguna dalam menyujsun strategis kampanye, pendekatan sosiologis tidak memuaskan semua pakar politik. Kelemahan pendekatan sosiologis
antara lain terletak pada sulitnya mengukur secara tepat indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, dan agama. Secara materi patut dipersoalkan apakah benar
variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok- kelompok primer atau sekunder itu memberi sumbangan pada prilaku pemilih.
Tidakkah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih jika ada proses sosialisasi? Untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan bukan
karakteristik sosiologis. Karena kelemahan itu, muncul model perilaku pemilih berdasarkan
pendekatan psikologis. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya. Sikap itu terbentuk melalui sosisalisasi yang berlangsung lama, bahkan bisa jadi
sejak seorang calon pemilih masih berusia dini. Pada usia dini, seorang calon pemilih telah menerima “pengaruh” politik dari orang tuanya, baik dari komunikasi langsung
maupun dari pandangan politik yang diekpresikan orang tuanya. Sikap tersebut menjadi lebih mantap ketika menghadapi pengaruh berbagai kelompok acuan seperti
pekerjaan, kelompok pengajian, dan sebagainya. Proses panjang sosialisasi itu kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi
kemasyarakatan lainnya. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan
orang lain tanpa disadari. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain yang
Universitas Sumatera Utara
17
dianggapnya ideal dalam suatu segi. Bagi seorang anak, misalnya identifikasi dengan orang tuannya bukan sekedar untuk menjadi seperti ayah dan ibu secara lahiriah saja,
melaikkan justru secara batiniah. Tujuannya tak lain untuk memperoleh sistem, norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal. Nyata bahwa saling hubungan sosial
yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi.
Kuatnya pengaruh identifikasi terhadap perilaku pemilih berkaitan dengan fungsi sikap. Menurut Greenstein, seperti dikutip Agger, sikap memiliki 3 tiga
fungsi.
14
Pertama, fungsi kepentingan, bahwa penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua,
fungsi penyesuaian diri, bahwa seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok
panutannya. Ketiga, fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, bahwa upaya untuk
mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujudmekanisme pertahanan dan eksternalisasi seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan
identifikasi. Lebih lanjut, Agger menguraikan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dari masa kanak-kanak saat dimana seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orang tua dan kerabat dekat.
Lalu, seseorang mendapat pengaruh politik dari berbagai kelompok dari dunia di luar keluarga seperti kelompok sebaya, teman sekolah, dan sebagainya. Kemudian sikap
politik terbentuk oleh kelompok acuan seperti pekerjaan, masjid, partai politik, dan sebagainya. Proses sosialisasi inilah yang membentuk ikatan psikologis seseorang
dengan partai politik tertentu yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.
14
Agger, B, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2005.
Universitas Sumatera Utara
18
Identifikasi partai merupakan faktor yang penting untuk memahami perilaku pemilih. Akan tetapi, dengan teori identifiksi partai, seolah-olah semua pemilih
relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu memilih partai atau kandidat yang sama. Orang tersebut seolah-olah bergeming atau
tidak terpengaruh oleh perubahan dunia sekitar. Dengan sendirinya pula, seolah-olah seseorang tidak terpengaruh komunikasi politik menjelang dan saat kampanye
politik. Berdasarkan konsep tindakan komunikasi, para pemilih yang dipengaruhi
oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif. Konsep ini juga mengaitkan pendekatan sosiologis dengan pendekatan psikologis.
Identifikasi partai berkaitan dengan pengelompokan sosial.
15
Asumsinya adalah bahwa manusia beraksi terhadap rangsangan secara pasif dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk oleh faktor-faktor jangka panjang,
terutama faktor sosial. Pengelompokan sosial dan demografi berkolerasi dengan proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan demografi
dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam proses pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai, terutama pada
awal sosialisasi. Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses
tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi partai. Sebagian anggota kelompok etnis dan agama tertentu, misalnya, memiliki
hubungan emosional yang kuat dan panjang dengan partai tertentu. Contoh lainnya, suatu kelompok masyarakat dengan proses tertentu, dapat memiliki ikatan emosional
dengan tokoh tertentu, dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh tertentu yang
15
Firmansyah. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Universitas Sumatera Utara
19
menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan, jika tidak ada proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Hanya saja,
perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep perilaku pemilih. Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan tindakannya pada
identifikasi partai cenderung berkurang.
1.5.2.3. Pendekatan Rasional
Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari suatu pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja mengubah
preferensi pilihan politik seseorang. Komunikasi politik, dengan substansi dan strategi yang tepat mungkin saja mempengaruhi pilihan seseorang. Pengubahan ini,
meskipun harus melalui usaha yang keras, bukan hal yang mustahil. Dengan kata lain, perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor karakteristik sosial dan
identifikasi partai. Perilaku pemilih di Inggris tampaknya merupakan salah satu bukti adanya
peluang untuk mempengaruhi pemilih diluar “jalur” karakteristik sosial dan identifikasi. Kavanagh mengemukakan, dewasa ini perilaku pemilih Inggris lebih
sulit diprediksi karena tiga alasan. Pertama, menurunnya jumlah orang yang mengidentifikasi diri mereka secara kuat dengan partai-partai. Kedua, loyalis kelas
melemah, dan kelas pekerja berkurang jumlahnya. Ketiga, terjadi perubahan sosial,
yang antara lain ditandai dengan perubahan pekerjaan dan pemukiman. Dengan tiga faktor tersebut, dukungan para pemilih ke pada partai-partai
bersifat ‘mudah menguap’ volatil. Survei jajak pendapat membuktikan, rating dukungan kepada suatu partai pada awal pekan kampanye bisa berubah secara
signifikan pada akhir pekan. Ini mengindikasikan kampanye memberikan andil
Universitas Sumatera Utara
20
dalam perilaku pemilih. Pilihan isu yang merupakan “mainan” utama juru kampanye tak bisa diabaikan.
Hanya saja, pilihan isu politik tidak serta merta menjadi daya pikat kuat dan satu-satunya faktor yang mustahak. Satu dan lain hal ialah karena adanyanya
skeptisisme tentang kemampuan para kandidat untuk menghela dan mewujudkan isu dalam agenda pemerint
ahan bila kelak terpilih. Walhasil, “pesona” kandidat juga menjadi faktor penting dalam menentukan perilaku pemilih.
Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau
kebiasaan, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan umum, menurut fikiran dan pertimbangan yang logis. Ciri-ciri pemberi suara yang rasional
itu meliputi lima hal : 1
Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif 2
Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja, atau lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain
3 Menyusun alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai daripada B,
dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C. 4
Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi 5
Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif- alternatif yang sama.
Apakah para pemilih benar-benar rasional? Secara hipotesis dapat dikatakan, pemilih rasional yang memenuhi syarat sangat kecil jumlahnya. Rasionalitas yang
terjadi ketika seseorang membeli produk konsuntif amat jarang terjadi ketika ia mempertimbangkan pilihan politiknya. Hal ini disebabkan karena tidak ada insentif
Universitas Sumatera Utara
21
yang memadai untuk mencari informasi maksimal sebagai input untuk mengambil keputusan.
Seseorang memiliki motivasi memadai untuk mencari atau mengolah informasi tentang merek pesawat televisi yang akan dibelinya. Sebaliknya, tidak
banyak pemilih yang memiliki perhatian penuh terhadap tawaran partai-parati atau kandidat politik. Masyarakat awam diberbagai pelosok negeri, dimanapun didunia
ini, jarang mendiskusikan isu politik dan kandidat legislative secara mendalam. Konsep Kristiadi mengenai pemberi suara responsip, agaknya dapat
menjelaskan perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis.
16
Bahwa perilaku pemberi suara yang responsip tidak permanen, tetapi berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peristiwa politik.
Dengan demikian, para pemilih sanagat dikondisikan oleh berbagai rangsangan luar. Apa yang mereka pilih pada hari pemilihan ditentukan oleh
rangsangan yang diberikan oleh pemimpin politik, partai dan kandidat. Karakter pemberi suara responsip adalah sebagai berikut :
1 Walaupun dipengaruhi karakteristik sosial dan demografis tapi pengaruhnya
tidak deterministik, 2
Pemberi suara responsip memiliki kesetian kepada partai, tetapi afiliasi ini tidak menentukan perilaku pilihan,
3 Pemberi suara yang responsip lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka
pendek yang penting dalam suatu pemilihan umum tertentu ketimbang kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai yang lebih
penting daripada semua pemilihan umum.
16
J Kristiadi, 1996, Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih, dalam PRISMA No.3.
Universitas Sumatera Utara
22
Sekali lagi, penjelasan ini berguna untuk mejelaskan perbedaan pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis. Tetapi penjelasan ini-dan juga
pendekatan rasional secara umum-perlu diberi catatan tambahan dengan merujuk kepada Popkin. Bahwa para pemilih memang menyerap informasi tetapi mereka
tidak mencari dan mengolah informasi dengan aktif. Mereka mendapat informasi sebagai produk sampingan dari berbagai aktifitas
sehari-hari. Mereka tidak memperoleh informasi yang cukup. Mereka juga tidak memiliki waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diresapnya. Fenomena
inilah yang dipostulatkan Popkin sebagai hukum low-information rationality rasionalitas berdasarkan informasi terbatas atau gut-rationality logika perut.
Walaupun ketiga pendekatan tersebut telah menjadi pakem yang menjadi acuan dalam meneliti dan memahami perilaku pemilih dinegara-negara seperti
Amerika, Eropa dan Asia. Tetapi pendekatan ini, tampaknya tidak dapat secara persis dapat diterapkan untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia, karena
beberapa alasan, antara lain : Pertama, mazhab sosiologi terlalu menekankan
peranan kelas Marxian dan Weberian, sebagai faktor yang menentukan prefrensi politik. Mazhab ini juga percaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan
pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang berlainan karena kepentingan
ekonomi tertentu. Hal itu jelas tidak dikenal di Indonesia. Kalaupun terdapat “kelas- kelas” dalam masyarakat, mereka lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang
berkuasa birokrat dengan yang dikuasai rakyat, serta pengelompokan berdasarkan
primordial. Kedua, mazhab psikologis menitik beratkan identifikasi kepartaian,
khususnya sikap seseorang terhadap isu-isu politik, calon presiden atau anggota parlemen. Ini kurang relevan karena kehidupan politik di Indonesia belum
Universitas Sumatera Utara
23
memungkinkan berkembangnya isu-isu politik yang dapat menjadi pilihan alternatif, mengingat masih dimungkinkannya dominasi isu politik oleh kekuatan sosial politik
tertentu. Ketiga, mazhab ekonomis atau rasionalitas perilaku pemilih dalam Pemilu,
kurang realistis mengingat sebagian besar masyarakat belum mengenal dengan baik calon-calon anggota parlemen dan isu-isu politik yang berkembang sehingga tidak
mungkin melakukan penelitian mengenai keuntungan dan kerugian yang diperoleh karena pemilu lebih dipusatkan kepengenalan tanda gambar.
Mazhab Sosiologis digunakan untuk meneliti pemilahan masyarakat yang secara besar dibagi dua kelompok yaitu penguasa pimpinan dan yang dikuasai
anggota masyarakat. Selain itu pengelompokan masyarakat dari aspek tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal desa dan kota, dan lain-lain dapat membantu
menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia. Sementara itu, dengan penggunaan mazhab psikologis diharapkan dapat
memberikan prespektif internalisasi dan sosialisasi nilai budaya, adat istiadat dan kebiasaan yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan
mempengaruhi perilaku pemilih. Penggabungan kedua pendekatan ini selanjutnya disebut pendekatan sosio cultural.
Mazhab rasionalitas dapat memberikan kontribusi tentang berkembangnya praktek politik uang yang sering dilakukan oleh si calon dalam mempengaruhi
massa. Untuk itu dapat diketahui apakah politik uang ini merupakan juga budaya si pemilih dalam menjelang pemilu, atau itu merupakan imbas dari globalisasi yang
kesemuanya diukur dari uang, atau juga dapatdiketahui apakah politik uang hanyamerupakan fenomena dari masyarakat dari negara yang sedang berkembang
saja dengan penduduknya yang rata-rata miskin.
Universitas Sumatera Utara
24
1.5.3. Pemilih dan Pemilih Pemula
Pengertian pemilih dalam penelitian ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dimana dijelaskan bahwa pemilih
adalah Warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilihhak bersuara dengan memilih wakil rakyat yang dipercayai untuk duduk di lembaga pemerintahan.
17
Syarat menjadi pemilih menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1-3 adalah : 1.
WNI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau sudahpernah menikah.
2. Tidak sedang terganggu jiwaingatannya.
3. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 4.
Terdaftar sebagai pemilih. 5.
Perubahan status dari anggota TNI atau Polri menjadi sipilpurnatugas sehingga punya hak pilih
6. Apabila telah terdaftar dalam Daftar Pemilih namun tidak lagi memenuhi
syarat, maka ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya. 7.
Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Berdomisili di daerah tersebut sekurang-kurangnya 6 enam bulan sebelum
disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk KTP.
Kategori tentang pemilih pemula menggunakan pengertian dari Kemitraan Partnership for Governance Reforms yang menyebutkan bahwa pemilih pemula
17
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
Universitas Sumatera Utara
25
adalah pemilih yang mengikuti pemilu untuk pertama kali yang berusia muda sekitar 17-22 tahun maupun yang belum berumur 17 tahun tapi sudah pernah menikah.
1.5.4. Isu Dalam Kampanye Politik
Kampanye politik adalah sebuah upaya yang terorganisir bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dan kampanye politik
selalu merujuk pada kampanye pada pemilihan umum. Sedangkan kampanye dipilih sebagai salah satu variabel yang menjadi faktor
utama pemilih menentukan pilihannya pada pemilihan umum karena pada dasarnya kampanye merupakan salah satu langkah kritis dalam pemilu. Dalam langkah ini,
kampanye dapat mempengaruhi perilaku memilih seseorang, dimana kampanye berperan dalam menyampaikan isu-isu maupun program yang akan diangkat oleh
partai ataupun tokoh tertentu. Kampanye pemilu menurut Santoso Sastropoetra pada dasarnya adalah
“penyebaran pesan dan mempunyai keinginan untuk membentuk dan mengubah sikap, pendapat dan tingkah laku dari sesama manusia yang menjadi objeknya”.
Disamping itu kampanye pemilu adalah bentuk komunik asi politik yang “halal”
diselenggarakan oleh setiap partai politik.
18
Sebagai suatu bentuk komunikasi, menurut A. W. Widjaja dalam kampanye terdapat sejumlah unsur dan komponen yang memungkinkan bagi terjadinya
komunikasi. Unsur
dan komponen
tersebut adalah
sumber source,
komunikatorpenyampai pesan communicator, pesan message, saluran chanel, komunikanpenerima pesan communican dan hasil effect. Sumber dapat dianggap
18
Sastropoetro, Santoso. R.A. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi, dan Disiplin Dalam Pembangunan Nasional. Bandung : Alumni. 1986.
Universitas Sumatera Utara
26
sebagai lembaga tetap atau partai politik peserta pemilu, sedangkan hasil akan terlihat pada perilaku pemberian suara.
19
Pesan dari kampanye adalah penonjolan ide bahwa sang kandidat atau calon ingin berbagi dengan pemilih. Pesan sering terdiri dari beberapa poin berbicara
tentang isu-isu kebijakan. Poin ini akan dirangkum dari ide utama dari kampanye dan sering diulang untuk menciptakan kesan abadi kepada pemilih. Dalam banyak
pemilihan, para kandidat partai politik akan selalu mencoba untuk membuat para kandidat atau calon lain menjadi tanpa pesan berkaitan dengan kebijakannya atau
berusaha untuk pengalihan pada pembicaraan yang tidak berkaitan dengan poin kebijakan atau program.
Menurut Lock dan Harris, kampanye politik bertujuan untuk pembentukan image politik. Untuk itu Partai politik harus menjalin hubungan internal dan
eksternal.
20
Hubungan Internal adalah suatu proses antara anggota-anggota partai dengan
pendukung untuk
memperkuat ikatan
ideologis dan
identitas partai Hubungan eksternal dilakukan untuk mengkomunikasikan image yang akan
dibangun kepada pihak luar partai termasuk media massa dan masyarakat. Kampanye politik harus dilakukan secara permanen ketimbang periodik.
Perhatian kampanye politik tidak hanya terbatas menjelang pemilu tetapi sebelum dan sesudah Pemilu juga berperan penting. Sebagian besar strategis kampanye
menjatuhkan kandidat atau calon lain yang lebih memilih untuk menyimpan pesan secara luas dalam rangka untuk menarik pemilih yang paling potensial. Sebuah pesan
yang terlalu sempit akan dapat mengasingkan para kandidat atau calon dengan para pemilihnya atau dengan memperlambat dengan penjelasan rinci programnya. Dalam
tekhnik kampanye politik kemenangan kandidat atau calon yang dilakukan di dalam
19
A.W. Widjaja. Komunikasi dan Hubungan Masyarakat,. Jakarta. PT. Bumi Aksara. 2002.
20
Lock A and Phill Harris, Political Marketing – Vive La Difference, European Journal of Marketing,
1996.
Universitas Sumatera Utara
27
jajak pendapatkan hanya dipergunakan sebagai agenda politik di kantor staf pemenangan kandidat atau calon.
1.5.5. Identifikasi Kepartaian
Identifikasi kepartaian dipilih sebagai variabel penentu seorang pemilih menentukan pilihannya pada pemilihan umum, karena sebagai sebuah negara yang
terdiri dari berbagai kelompok masyarakat atau etnis yang berbeda, maka pemilih di Indonesia, seperti dijelaskan diatas, memiliki kecenderungan-kecenderungan tertentu
untuk mendasari hubungannya dengan sifat yang emosional dengan orang lain seperti keluarga, tokoh bahkan organisasi tertentu.
Identifikasi kepartaian diartikan sebagai bentuk perasaan seseorang secara personal terhadap partai yang dipilihnya. Faktor identifikasi kepartaian adalah faktor
jangka panjang yang penting dalam mempengaruhi pemberian suara pada pemilu. Metode Michigan menekankan pada aspek psikologis dari identifikasi kepartaian
bahwa orang belajar mengidentifikasi partai politik melalui proses sosialisasi gradual, kemudian pembentukan identifikasi kepartaian tersebut dianggap sama
dengan cara seseorang mengembangkan afiliasi keagamaan pada masa kanak-kanak. Lebih lanjut Campbell menyatakan bahwa pemilih mengidentifikasikan diri mereka
dan ini mempengaruhi serta menentukan perilaku pemilih.
1.5.6. Orientasi Terhadap Kandidat
Orientasi terhadap kandidat dipilih sebagai variabel karena dalam pelaksanaan pemilihan langsung seperti yang dilaksanakan pada Pemilihan Gubernur
dan Wakil Gubernur Sumatera Utara 2013 ini, pengenalan diri kandidat sangat dibutuhkan agar pemilih bisa mengenal kandidat tersebut dan nantinya akan
Universitas Sumatera Utara
28
terpengaruh untuk memilih kandidat itu. Popularitas dan reputasi seorang kandidat memegang kunci penting dalam hal ini.
Dalam metode Michigan, orientasi terhadap kandidat menjadi variabel dominan dalam memilih. Pengetahuan pemilih terhadap keberadaan kandidat akan
berdampak pada hasil yang diperoleh kandidat tersebut dalam pemilihan. Biasanya pemilih akan memilih kandidat yang mereka kenal dan itu berarti popularitas
dibutuhkan agar masyarakat dapat memilih kandidat itu, selain itu reputasi dan kemampuan capability kandidat juga memegang peranan penting.
Orientasi terhadap kandidat menjadi penting dalam sistem pemilihan langsung. Biasanya kandidat yang memiliki reputasi yang baik dihadapan
pemilihnya akan berpeluang dipilih. Apalagi kandidat yang berasal dari partai yang memerintah akan memiliki peluang yang lebih besar menempati jabatan-jabatan
politik tertentu dibanding partai oposisi.
1.5.7. Pemilihan Umum Pemilu 1. Pengertian Pemilihan Umum Pemilu
Berdasarkan UUD 1945 Bab I Pasal 1 ayat 2 kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam demokrasi moderen
yang menjalankan kedaulatan itu adalah wakil-wakil rakyat yang ditentukan sendiri oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang berwenang mewakili rakyat maka
dilaksanakanlah pemilihan umum. Pemilihan umum adalah suatu cara memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dilembaga perwakilan rakyat serta salah satu
pelayanan hak-hak asasi warga negara dalam bidang politik.
21
21 Syarbaini, Syahrial. Sosiologi dan Politik. Bogor : Ghalia Indonesia. 2002. Hal. 80
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam Undang-Undang Repubilik Indonesia Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum dinyatakan bahwa pemilihan umum, adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NegaraKesatuan Republik Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum pemilu merupakan salah satu hak asasi warga negara yang
sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilu. Sesuai dengan asas bahwa
rakyatlah yang berdaulat maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah suatu pelanggaran suatu hak asasi apabila pemerintah
tidak mengadakan pemilu atau memperlambat pemilu tanpa persetujuan dari wakil- wakil rakyat.
22
Dari pengertian diatas bahwa pemilu adalah sarana mewujudkan pola kedaulatan rakyat yang demokratis dengan cara memilih wakil-wakil rakyat,
Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Karena pemilu merupakan hak asasi manusia maka pemilu
2009 warga negara yang terdaftar pada daftar calon pemilih berhak memilih langsung wakil-wakilnya Presiden dan Wakil Presidennya dan juga memilih
langsung kepala daerah, kemudian dijabarkan dalam UU RI Nomor 22 tahun 2007 bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat sesuai dengan
amanat konstitusional yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui pemilu
dan hasilnya, masyarakat mengharapkan perubahan yang berarti untuk memperbaiki kehidupan mereka sehari-hari.
22
Kusnardi Moh. Dan Harmailiy Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : Sinar Bakti. 1994. Hal. 329
Universitas Sumatera Utara
30
2. Asas Pemilihan Umum
Berdasarkan pasal 22 E ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Pengertian asas pemilu adalah : a.
Langsung Yaitu rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. b.
Umum Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal dalam
usia, yaitu sudah berumur 17 tahun atau telah pernah kawin, berhak ikut memilih dalam pemilu. Warga negara yang sudah berumur 21 tahun berhak
dipilih dengan tanpa ada diskriminasi pengecualian c.
Bebas Setiap warga negara yang memilih menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapapundengan apapun. Dalam melaksanakan haknya setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan
kehendak hati nurani dan kepentingannya. d.
Rahasia Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan
diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada
siapapun suarnanya akan di berikan. e.
Jujur Dalam penyelenggaraan pemilu setiap penyelenggarapelaksana pemilu,
pemerintah dan partai politik peserta pemilu, pengawas, dan pemantau pemilu,
Universitas Sumatera Utara
31
termasuk pemilih serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. f.
Adil Berarti dalam penyelenggaraan pemilu setiap pemilih dan parpol peserta pemilu
mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
3. Sistem Pemilihan Umum
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu :
“single-member constituency satu daerah pemilihan memilih satu wakil ; biasanya disebut Sistem Distrik dan multi-member constituency satu daerah pemilihan
memilih beberapa wakil ; biasanya dinamakan Proportional Representation atau Sitem Perwakilan Berimbang”.
23
a. Single
– Member Constituency Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang
diliputi mempunyai satu wakil dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk keperluan itu daerah pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat
dalam Dewan Perwakilan Rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Dalam pemilihan umum legislatif tahun 2009, untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah pesertanya
perseorangan menggunakan sistem distrik.
23
Rahman H, A. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta : Graha Ilmu. 2007. Hal. 151.
Universitas Sumatera Utara
32
b. Multi
– Member Constituency Sitem Perwakilan Berimbang
Satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan proportional representation atau sitem perwakilan berimbang. Sistem ini dimaksud
untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah
sesuaidenganjumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini diperlukan suatu pertimbangan.
24
Dengan adanya sistem pemilihan umum yang terbuka inilah diharapkan dapat memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas dan benar-benar mewakili
aspirasi, keragaman, kondisi, serta keinginan dari rakyat yang memilihnya.
4. Macam-Macam Pemilihan Umum a. Pemilihan umum legislatif
Pemilu legislatif adalah pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota, yang pelaksanaanya di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum KPU yang bersifat nasional, tetap, mandiri, yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu dan waktu pemilihanya dilakukan secara serentak di seluruh
wilayah negara kesatuan republik Indonesia.
b. Pemilihan umum presiden dan wakil presiden