16
yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang, khususnya dari keluarga dan teman-teman dekat.
1.5.2.2. Pendekatan Psikologis
Meskipun sangat berguna dalam menyujsun strategis kampanye, pendekatan sosiologis tidak memuaskan semua pakar politik. Kelemahan pendekatan sosiologis
antara lain terletak pada sulitnya mengukur secara tepat indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, dan agama. Secara materi patut dipersoalkan apakah benar
variabel-variabel sosiologis seperti status sosial-ekonomi keluarga, kelompok- kelompok primer atau sekunder itu memberi sumbangan pada prilaku pemilih.
Tidakkah variabel-variabel itu baru dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih jika ada proses sosialisasi? Untuk itu, sosialisasilah yang sebenarnya menentukan bukan
karakteristik sosiologis. Karena kelemahan itu, muncul model perilaku pemilih berdasarkan
pendekatan psikologis. Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku politiknya. Sikap itu terbentuk melalui sosisalisasi yang berlangsung lama, bahkan bisa jadi
sejak seorang calon pemilih masih berusia dini. Pada usia dini, seorang calon pemilih telah menerima “pengaruh” politik dari orang tuanya, baik dari komunikasi langsung
maupun dari pandangan politik yang diekpresikan orang tuanya. Sikap tersebut menjadi lebih mantap ketika menghadapi pengaruh berbagai kelompok acuan seperti
pekerjaan, kelompok pengajian, dan sebagainya. Proses panjang sosialisasi itu kemudian membentuk ikatan yang kuat dengan partai politik atau organisasi
kemasyarakatan lainnya. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan
orang lain tanpa disadari. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain yang
Universitas Sumatera Utara
17
dianggapnya ideal dalam suatu segi. Bagi seorang anak, misalnya identifikasi dengan orang tuannya bukan sekedar untuk menjadi seperti ayah dan ibu secara lahiriah saja,
melaikkan justru secara batiniah. Tujuannya tak lain untuk memperoleh sistem, norma, sikap, dan nilai yang dianggapnya ideal. Nyata bahwa saling hubungan sosial
yang berlangsung pada identifikasi itu lebih mendalam daripada hubungan yang berlangsung melalui proses-proses sugesti maupun imitasi.
Kuatnya pengaruh identifikasi terhadap perilaku pemilih berkaitan dengan fungsi sikap. Menurut Greenstein, seperti dikutip Agger, sikap memiliki 3 tiga
fungsi.
14
Pertama, fungsi kepentingan, bahwa penilaian terhadap suatu objek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut. Kedua,
fungsi penyesuaian diri, bahwa seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh yang disegani atau kelompok
panutannya. Ketiga, fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri, bahwa upaya untuk
mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujudmekanisme pertahanan dan eksternalisasi seperti proyeksi, idealisasi, rasionalisasi, dan
identifikasi. Lebih lanjut, Agger menguraikan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan
melalui proses yang panjang. Proses ini dimulai dari masa kanak-kanak saat dimana seseorang pertama kali mendapat pengaruh politik dari orang tua dan kerabat dekat.
Lalu, seseorang mendapat pengaruh politik dari berbagai kelompok dari dunia di luar keluarga seperti kelompok sebaya, teman sekolah, dan sebagainya. Kemudian sikap
politik terbentuk oleh kelompok acuan seperti pekerjaan, masjid, partai politik, dan sebagainya. Proses sosialisasi inilah yang membentuk ikatan psikologis seseorang
dengan partai politik tertentu yang kemudian dikenal sebagai identifikasi partai.
14
Agger, B, Teori Sosial Kritis, Kritik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2005.
Universitas Sumatera Utara
18
Identifikasi partai merupakan faktor yang penting untuk memahami perilaku pemilih. Akan tetapi, dengan teori identifiksi partai, seolah-olah semua pemilih
relatif mempunyai pilihan yang tetap. Dari Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu memilih partai atau kandidat yang sama. Orang tersebut seolah-olah bergeming atau
tidak terpengaruh oleh perubahan dunia sekitar. Dengan sendirinya pula, seolah-olah seseorang tidak terpengaruh komunikasi politik menjelang dan saat kampanye
politik. Berdasarkan konsep tindakan komunikasi, para pemilih yang dipengaruhi
oleh faktor identifikasi partai ini digolongkan sebagai pemberi suara yang reaktif. Konsep ini juga mengaitkan pendekatan sosiologis dengan pendekatan psikologis.
Identifikasi partai berkaitan dengan pengelompokan sosial.
15
Asumsinya adalah bahwa manusia beraksi terhadap rangsangan secara pasif dan terkondisi. Perilaku pemberi suara dibentuk oleh faktor-faktor jangka panjang,
terutama faktor sosial. Pengelompokan sosial dan demografi berkolerasi dengan proses identifikasi partai. Ini tak lain karena karakter kelompok sosial dan demografi
dimana pemilih itu berada, memberi pengaruh sangat penting dalam proses pembentukan ikatan emosional pemilih dengan simbol-simbol partai, terutama pada
awal sosialisasi. Simbol-simbol kelompok dan ikatan-ikatan kesejarahan, dengan proses
tertentu, dapat melekat pada simbol-simbol partai sehingga terciptalah identifikasi partai. Sebagian anggota kelompok etnis dan agama tertentu, misalnya, memiliki
hubungan emosional yang kuat dan panjang dengan partai tertentu. Contoh lainnya, suatu kelompok masyarakat dengan proses tertentu, dapat memiliki ikatan emosional
dengan tokoh tertentu, dapat memiliki ikatan emosional dengan tokoh tertentu yang
15
Firmansyah. Marketing Politik : Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2008.
Universitas Sumatera Utara
19
menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan, jika tidak ada proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Hanya saja,
perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep perilaku pemilih. Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan tindakannya pada
identifikasi partai cenderung berkurang.
1.5.2.3. Pendekatan Rasional