19
menjadi ikon partai tertentu. Ikatan itu seringkali tak tergoyahkan, jika tidak ada proses sosialisasi simbol-simbol yang panjang dari partai lainnya. Hanya saja,
perilaku reaktif hanyalah sebatang pohon dari sebuah hutan konsep perilaku pemilih. Diberbagai belahan dunia, proporsi pemilih yang mendasarkan tindakannya pada
identifikasi partai cenderung berkurang.
1.5.2.3. Pendekatan Rasional
Pada kenyataannya, sebagian pemilih mengubah pilihan politiknya dari suatu pemilu ke pemilu lainnya. Peristiwa-peristiwa politik tertentu bisa saja mengubah
preferensi pilihan politik seseorang. Komunikasi politik, dengan substansi dan strategi yang tepat mungkin saja mempengaruhi pilihan seseorang. Pengubahan ini,
meskipun harus melalui usaha yang keras, bukan hal yang mustahil. Dengan kata lain, perilaku pemilih bukan hanya ditentukan oleh faktor karakteristik sosial dan
identifikasi partai. Perilaku pemilih di Inggris tampaknya merupakan salah satu bukti adanya
peluang untuk mempengaruhi pemilih diluar “jalur” karakteristik sosial dan identifikasi. Kavanagh mengemukakan, dewasa ini perilaku pemilih Inggris lebih
sulit diprediksi karena tiga alasan. Pertama, menurunnya jumlah orang yang mengidentifikasi diri mereka secara kuat dengan partai-partai. Kedua, loyalis kelas
melemah, dan kelas pekerja berkurang jumlahnya. Ketiga, terjadi perubahan sosial,
yang antara lain ditandai dengan perubahan pekerjaan dan pemukiman. Dengan tiga faktor tersebut, dukungan para pemilih ke pada partai-partai
bersifat ‘mudah menguap’ volatil. Survei jajak pendapat membuktikan, rating dukungan kepada suatu partai pada awal pekan kampanye bisa berubah secara
signifikan pada akhir pekan. Ini mengindikasikan kampanye memberikan andil
Universitas Sumatera Utara
20
dalam perilaku pemilih. Pilihan isu yang merupakan “mainan” utama juru kampanye tak bisa diabaikan.
Hanya saja, pilihan isu politik tidak serta merta menjadi daya pikat kuat dan satu-satunya faktor yang mustahak. Satu dan lain hal ialah karena adanyanya
skeptisisme tentang kemampuan para kandidat untuk menghela dan mewujudkan isu dalam agenda pemerint
ahan bila kelak terpilih. Walhasil, “pesona” kandidat juga menjadi faktor penting dalam menentukan perilaku pemilih.
Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan mendapat informasi yang cukup. Tindakan mereka bukanlah karena faktor kebetulan atau
kebiasaan, bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan untuk kepentingan umum, menurut fikiran dan pertimbangan yang logis. Ciri-ciri pemberi suara yang rasional
itu meliputi lima hal : 1
Dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif 2
Dapat membandingkan apakah sebuah alternatif lebih disukai, sama saja, atau lebih rendah dibandingkan dengan alternatif lain
3 Menyusun alternatif dengan cara transitif : jika A lebih disukai daripada B,
dan B lebih baik daripada C, maka A lebih disukai daripada C. 4
Memilih alternatif yang tingkat preferensinya lebih tinggi 5
Selalu mengambil keputusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif- alternatif yang sama.
Apakah para pemilih benar-benar rasional? Secara hipotesis dapat dikatakan, pemilih rasional yang memenuhi syarat sangat kecil jumlahnya. Rasionalitas yang
terjadi ketika seseorang membeli produk konsuntif amat jarang terjadi ketika ia mempertimbangkan pilihan politiknya. Hal ini disebabkan karena tidak ada insentif
Universitas Sumatera Utara
21
yang memadai untuk mencari informasi maksimal sebagai input untuk mengambil keputusan.
Seseorang memiliki motivasi memadai untuk mencari atau mengolah informasi tentang merek pesawat televisi yang akan dibelinya. Sebaliknya, tidak
banyak pemilih yang memiliki perhatian penuh terhadap tawaran partai-parati atau kandidat politik. Masyarakat awam diberbagai pelosok negeri, dimanapun didunia
ini, jarang mendiskusikan isu politik dan kandidat legislative secara mendalam. Konsep Kristiadi mengenai pemberi suara responsip, agaknya dapat
menjelaskan perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis.
16
Bahwa perilaku pemberi suara yang responsip tidak permanen, tetapi berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan peristiwa politik.
Dengan demikian, para pemilih sanagat dikondisikan oleh berbagai rangsangan luar. Apa yang mereka pilih pada hari pemilihan ditentukan oleh
rangsangan yang diberikan oleh pemimpin politik, partai dan kandidat. Karakter pemberi suara responsip adalah sebagai berikut :
1 Walaupun dipengaruhi karakteristik sosial dan demografis tapi pengaruhnya
tidak deterministik, 2
Pemberi suara responsip memiliki kesetian kepada partai, tetapi afiliasi ini tidak menentukan perilaku pilihan,
3 Pemberi suara yang responsip lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jangka
pendek yang penting dalam suatu pemilihan umum tertentu ketimbang kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai yang lebih
penting daripada semua pemilihan umum.
16
J Kristiadi, 1996, Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih, dalam PRISMA No.3.
Universitas Sumatera Utara
22
Sekali lagi, penjelasan ini berguna untuk mejelaskan perbedaan pendekatan rasional dengan pendekatan sosiologis dan psikologis. Tetapi penjelasan ini-dan juga
pendekatan rasional secara umum-perlu diberi catatan tambahan dengan merujuk kepada Popkin. Bahwa para pemilih memang menyerap informasi tetapi mereka
tidak mencari dan mengolah informasi dengan aktif. Mereka mendapat informasi sebagai produk sampingan dari berbagai aktifitas
sehari-hari. Mereka tidak memperoleh informasi yang cukup. Mereka juga tidak memiliki waktu untuk memeriksa akurasi informasi yang diresapnya. Fenomena
inilah yang dipostulatkan Popkin sebagai hukum low-information rationality rasionalitas berdasarkan informasi terbatas atau gut-rationality logika perut.
Walaupun ketiga pendekatan tersebut telah menjadi pakem yang menjadi acuan dalam meneliti dan memahami perilaku pemilih dinegara-negara seperti
Amerika, Eropa dan Asia. Tetapi pendekatan ini, tampaknya tidak dapat secara persis dapat diterapkan untuk memahami perilaku pemilih di Indonesia, karena
beberapa alasan, antara lain : Pertama, mazhab sosiologi terlalu menekankan
peranan kelas Marxian dan Weberian, sebagai faktor yang menentukan prefrensi politik. Mazhab ini juga percaya bahwa kelas merupakan basis atau landasan
pengelompokan politik, sebab partai-partai politik tumbuh dan berkembang berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang berlainan karena kepentingan
ekonomi tertentu. Hal itu jelas tidak dikenal di Indonesia. Kalaupun terdapat “kelas- kelas” dalam masyarakat, mereka lebih merupakan pemilahan dari kelompok yang
berkuasa birokrat dengan yang dikuasai rakyat, serta pengelompokan berdasarkan
primordial. Kedua, mazhab psikologis menitik beratkan identifikasi kepartaian,
khususnya sikap seseorang terhadap isu-isu politik, calon presiden atau anggota parlemen. Ini kurang relevan karena kehidupan politik di Indonesia belum
Universitas Sumatera Utara
23
memungkinkan berkembangnya isu-isu politik yang dapat menjadi pilihan alternatif, mengingat masih dimungkinkannya dominasi isu politik oleh kekuatan sosial politik
tertentu. Ketiga, mazhab ekonomis atau rasionalitas perilaku pemilih dalam Pemilu,
kurang realistis mengingat sebagian besar masyarakat belum mengenal dengan baik calon-calon anggota parlemen dan isu-isu politik yang berkembang sehingga tidak
mungkin melakukan penelitian mengenai keuntungan dan kerugian yang diperoleh karena pemilu lebih dipusatkan kepengenalan tanda gambar.
Mazhab Sosiologis digunakan untuk meneliti pemilahan masyarakat yang secara besar dibagi dua kelompok yaitu penguasa pimpinan dan yang dikuasai
anggota masyarakat. Selain itu pengelompokan masyarakat dari aspek tingkat pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal desa dan kota, dan lain-lain dapat membantu
menjelaskan perilaku pemilih di Indonesia. Sementara itu, dengan penggunaan mazhab psikologis diharapkan dapat
memberikan prespektif internalisasi dan sosialisasi nilai budaya, adat istiadat dan kebiasaan yang membentuk budaya politik masyarakat yang pada gilirannya akan
mempengaruhi perilaku pemilih. Penggabungan kedua pendekatan ini selanjutnya disebut pendekatan sosio cultural.
Mazhab rasionalitas dapat memberikan kontribusi tentang berkembangnya praktek politik uang yang sering dilakukan oleh si calon dalam mempengaruhi
massa. Untuk itu dapat diketahui apakah politik uang ini merupakan juga budaya si pemilih dalam menjelang pemilu, atau itu merupakan imbas dari globalisasi yang
kesemuanya diukur dari uang, atau juga dapatdiketahui apakah politik uang hanyamerupakan fenomena dari masyarakat dari negara yang sedang berkembang
saja dengan penduduknya yang rata-rata miskin.
Universitas Sumatera Utara
24
1.5.3. Pemilih dan Pemilih Pemula
Pengertian pemilih dalam penelitian ini mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dimana dijelaskan bahwa pemilih
adalah Warga Negara Indonesia yang telah memiliki hak pilihhak bersuara dengan memilih wakil rakyat yang dipercayai untuk duduk di lembaga pemerintahan.
17
Syarat menjadi pemilih menurut UU No.12 Tahun 2003 Pasal 14 ayat 1-3 adalah : 1.
WNI yang pada hari pemungutan suara telah berusia 17 tahun atau sudahpernah menikah.
2. Tidak sedang terganggu jiwaingatannya.
3. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 4.
Terdaftar sebagai pemilih. 5.
Perubahan status dari anggota TNI atau Polri menjadi sipilpurnatugas sehingga punya hak pilih
6. Apabila telah terdaftar dalam Daftar Pemilih namun tidak lagi memenuhi
syarat, maka ia tidak dapat menggunakan hak pilihnya. 7.
Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
8. Berdomisili di daerah tersebut sekurang-kurangnya 6 enam bulan sebelum
disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk KTP.
Kategori tentang pemilih pemula menggunakan pengertian dari Kemitraan Partnership for Governance Reforms yang menyebutkan bahwa pemilih pemula
17
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD
Universitas Sumatera Utara