199
lanjut kondisi semacam ini menyebabkan tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi masyarakat, keadilan bagi masyarakat akan tergadaikan demi kepentingan politik
praktis Presiden terpilih dan elit-elit koalisi partai pendukungnya. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu
Legislatif juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.
282
Kondisi ini jelas sesuai dengan prinsip persatuan dan persaudaraan, sebab tujuan dari pemilu serentak adalah mengurai
konflik di masyarakat dan efektifitas anggaran pemilu. Dalam prinsip persatuan dan persaudaraan yang diutamakan adalah rasa memahami dan menghormati antar
seluruh elemen bangsa, selain itu tidak menghendaki adanya perselisihan ataupun perpecahan baik kalangan umat Islam maupun kalangan non Islam.
b. Penundaan Keberlakuan Putusan Pemilu 2019 Demi Prinsip Persatuan
dan Persaudaraan
Menurut MK bahwa pemberlakuan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu legislatif secara serentak mulai diselenggarakan pada tahun 2019 dan tahun-tahun
seterusnya, sebagaimana dipertimbangkan berikut ini:
283
1. Bahwa tahapan penyelenggaraan Pemilu tahun 2014 telah dan sedang berjalan
mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Pemilu, baik Pilpres maupun Pemilu Legislatif,
telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan- persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta
pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres dan ketentuan-ketentuan lain yang
berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat, terutama karena
kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan Pemilu pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum
yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945
282
Putusan MK No.14PUU-XI2013, Loc.Cit.
283
Putusan MK No.14PUU-XI2013, hlm.85-87
200
2. Selain itu, dengan diputuskannya Pasal 3 ayat 5 UU Pilpres dan ketentuan-
ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres maka diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan
Pilpres dan Legislatif secara serentak. Berdasarkan Pasal 22E ayat 6 UUD 1945, ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu haruslah diatur dengan undang-undang. Jika
aturan baru tersebut dipaksakan untuk dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pemilu Legislatif secara serentak pada tahun 2014,
maka menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak memungkinkan atau sekurang-kurangnya tidak cukup memadai untuk membentuk
peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif
3. Langkah membatasi akibat hukum yang timbul dari pernyataan
inkonstitusionalitas atau bertentangan dengan UUD 1945 suatu Undang-undang pernah dilakukan MK dalam Putusan No.012-016-019PUU-IV2006, bertanggal
19 Desember 2006. Menurut putusan MK tersebut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling
lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut; dan juga dalam Putusan No.026PUU-III2005, bertanggal 22 Maret 2006 mengenai Pengujian
Undang-undang No.13 Tahun 2005 tentang Anggaran Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2006, yang hanya membatasi akibat hukum yang timbul dari
putusan MK sepanjang menyangkut batas tertinggi Anggaran Pendidikan;
4. Merujuk pada Putusan No.012-016-019PUU-IV2006 dan Putusan No.026PUU-
III2005 tersebut, maka dalam perkara ini pembatasan akibat hukum hanya dapat dilakukan dengan menangguhkan pelaksanaan putusan a quo sedemikian rupa
sampai telah terlaksananya Pilpres dan Pemilu Legislatif tahun 2014. Selanjutnya, penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu legislatif harus mendasarkan pada putusan a
quo dan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Legislatif secara terpisah. Selain itu, MK berpendapat memang diperlukan waktu untuk
menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan
melaksanakan agenda penting ketatanegaraan; 5.
Meskipun MK menjatuhkan putusan mengenai Pasal 3 ayat 5, Pasal 12 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 14 ayat 2, dan Pasal 112 UU 422008, namun menurut MK
201
penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Legislatif tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap
dinyatakan sah dan konstitusional. Dalam perspektif ketatanegaraan Islam bahwa pertimbangan MK terkait
penundaan keberlakuan bertujuan untuk menata sistem sosial kemasyaratan agar tetap menjaga persatuan dan persaudaraan. Penundaan keberlakuan merupakan
bentuk pembatasan akibat hukum berupa penangguhan tidak mengikatnya norma hukum yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sedemikian rupa
dengan memberi waktu yang cukup bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan agar sesuai dengan UUD 1945. Artinya putusan tersebut
merupakan jalan tengah karena memberikan penundaan keberlakuan guna menata sistem pemilu serentak, memberi jeda waktu cukup panjang, sehingga para peserta
Pemilu sudah mempersiapkan diri menghadapi Pemilu serentak pada 2019. Jika pemilu serentak dilaksanakan pada 2014 ini tentu akan berantakan, yang
lebih lanjut akan berakibat pada konflik politik dan merusak sendi persatuan dan persaudaraan, dan keadaan ini yang justru tidak dikehendaki dalam ketatanegaraan
Islam. Lebih lanjut akan berakibat rusaknya tatanan “Bhineka Tunggal Ika” sebagai
dasar kebangsaan sebagai simpul persatuan Indonesia, suatu konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman, dan keragaman dalam persatuan
unity in diversity, dan diversity in unity. Penundaan keberlakuan ini dilakukan karena semua sistem, mulai dari perangkat undang-undang hingga infrastruktur dan
mekanisme sudah disusun sesuai dengan kehendak masyarakat dan rasa keadilan masyarakat. Senada dengan pendapat tersebut, Lukman Hakim Saifuddin melihat
bahwa MK memiliki tingkat kearifan tersendiri dalam mempertimbangkan realitas kesiapan berbagai pihak. Tidak hanya KPU sebagai penyelenggara pemilu,
melainkan juga kesiapan partai-partai politik, dan yang lebih penting lagi kesiapan masyarakat dalam menghadapi Pemilu.
202
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini terbagi dalam dua hal, mengenai penerapan Siyasah Syari’ah dan kesesuaian Putusan MK dengan Siyasah Syari’ah, meliputi:
1. Penerapan Siyasah Syari’ah dalam Putusan MK
Putusan MK No.14PUU-XI2013 perihal pengujian materiil Undang- undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil telah
menerapkan Siyasah Syari’ah, melalui berbagai putusan MK umat Islam di
Indonesia bisa menggugat keabsahan tafsiran hukum Islam versi pemerintah bahkan menerapkan prinsip nilai-nilai
Siyasah Syari’ah dalam berbagai putusan MK. MK sebagai tempat untuk menetapkan pada tataran apa hukum Islam
harusnya diterapkan, difasilitasi, atau dipaksakan oleh institusi negara. Siyasah Syari’ah dapat dijadikan salah satu tolok ukur dalam menguji
sebuah undang-undang, sebab Siyasah Syari’ah merupakan nilai-nilai yang hidup
dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang
ideal dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara, selain itu dapat dimaknai sebagai nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan yang telah
dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara. Pandangan lain menyebutkan bahwa
Siyasah Syari’ah merupakan living law dan tidak ada keraguan terhadap legitimasi para penguasa Imam atau Khalifah yang memberlakukan hukum.
Dalam putusan MK No.14PUU-XI2013, prinsip Siyasah Syari’ah yang dijadikan
tolok ukur adalah prinsip keadilan dan prinsip persatuan dan persaudaraan. Prinsip keadilan adalah hak dan perlakuan yang sama antara yang satu dan
yang lainnya, selain itu dalam konteks yang lain keadilan difungsikan agar permusuhan dan dendam tidak berkelanjutan diantara pihak-pihak yang
bersengketa, sehingga hubungan sosial dan silaturahim mereka tetap harmonis. Prinsip keadilan ini sangat penting dalam peraturan perundang-undangan, semua
warga baik muslim maupun non muslim harus dilindungi dan diperlakukan secara