Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan

16 5 Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. 6 Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang. Ketentuan Pasal 22E UUD 1945 dijabarkan kedalam beberapa undang-undang, yaitu: Undang-undang No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, Undang-undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan Undang-undang No.42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.15 Tahun 2011 disebutkan bahwa Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 Undang-undang No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum mengatur mengenai asas penyelenggara pemilu sebagai pedoman pada asas: mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.

1. Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan

Pemilu anggota lembaga perwakilan secara khusus di atur dalam Undang- undang No.8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang- undang ini merupakan elaborasi dari Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di NKRI dalam 17 menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut. Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.15 Tahun 2011 mengatur pemilihan lembaga perwakilan bahwa Pemilu adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah KabupatenKota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Pemilu lembaga perwakilan ini dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Fungsi sistem pemilu adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota DPR. Sistem pemilu lembaga legislatif dibedakan atas dua macam, yaitu: 1 sistem pemilihan mekanis, dan 2 sistem pemilihan organis: a. Sistem pemilihan mekanis. Dalam sistem ini rakyat dipandang sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dalam masing-masing mengeluarkan satu suara dalam tiap pemilihan untuk satu lembaga perwakilan. Dalam pelaksanaannya sistem pemilihan mekanis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu sistem perwakilan distrik dan sistem perwakilan proporsional. 1 Sistem Perwakilan Distrik. Disebut sistem distrik, karena wilayah Negara dibagi dalam distrik-distrik daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota DPR yang dikehendaki. Sistem ini bisa disebut sistem mayoritas, karena untuk menentukan siapa saja yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh perolehan suara terbanyak suara mayoritas, dan tidak perlu mayoritas mutlak. Wakil terpilih diberi mandate untuk mewakili aspirasi seluruh rakyat di distrik yang bersangkutan, atau dikenal dengan istilah the winner takes all. Pemilu dilaksanakan sekali, suara- suara yang tidak terpilih di satu distrik pemilihan tidak digabungkan dengan suara yang diperoleh dari distrik pemilihan yang lain. Akibatnya sistem ini mempunyai kecenderungan untuk terjadinya penyederhanaan partai. Sistem ini ditentukan atas kesatuan geografis dimana setiap geografis yang disebut distrik hanya memilih seorang wakil. Negara membagi wilayahnya ke dalam sejumlah besar distrik-distrik dan jumlah distrik sama dengan jumlah anggota parlemen. 18 Partai yang mendapat suara terbanyak di dalam setiap distrik berhak mengisi kursi parlemen dari distrik yang bersangkutan sehingga calon anggota dari partai yang mendapat suara terbanyak itulah menjadi anggota parlemen. Suara yang diperoleh partai lain yang tidak menang menjadi terbuang, karena berapapun jumlah suara itu tidak akan ada wakilnya di parlemen berhubung kursi yang diperebutkan hanya satu 2 Sistem Perwakilan Proporsional. Disebut juga sistem perwakilan berimbang. Sistem proporsional menetapkan bahwa dalam satu daerah pemilihan dapat dipilih beberapa orang wakil sesuai dengan jumlah penduduknya. Dalam sistem ini, kursi yang ada di parlemen pusat diperebutkan dalam suatu pemilu sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh partai tersebut. Sistem proporsional dapat dilaksanakan dengan dua metode, yaitu Hare system dan List system. Hare system, adalah suatu sistem bahwa pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari daerah pemilihan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya, dan seterusnya. Sistem ini menghendaki suatu penghitungan yang akurat. List system, adalah memilih diantara daftar-daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu. b. Sistem Pemilihan Organis. Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis rumah tangga, keluarga, fungsi tertentu ekonomi, industri, lapisan-lapisan sosial buruh, tani, cendekiawan dan lembaga-lembaga sosial universitas. Persekutuan hidup inilah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih hak untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat. Menurut sistem ini, partai-partai tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungannya sendiri. Sistem pemilu legislatif yang diterapkan saat ini banyak menimbulkan problematika di masyarakat, money politic, mobilisasi massa pelibatan anak-anak, kecurangan dalam pelaksanaan pemilu, hingga menghalalkan segala cara untuk 19 memenangkan pemilu, dan irrasionalitas dari para caleg dalam ikhtiar pemilu, hingga menghilangkan prinsip keadilan dan kesetaraan. Tidak sedikit gejolak kerusuhan, pertikaian, dan pertengkaran diantara masyarakat seolah-olah menjadi pembisa aan dikalangan masyakat sebagai faktor dari sitem pemilu yang dianut. Indikator permasalahan tersebut dapat dianalisis dari sistem pemilu yang dianut, yaitu sistem partai politik dan sistem pemilu yang tidak berimbang. Pelaksanaan pemilu 2014, dengan jumlah parpol cukup banyak menjadikan parpol sebagai alat untuk memenangkan kepentingannya, bukan berdasar kepada asas demokratisasi dan pluralisme, tetapi lebih kepada kepentingan syahwat politik, bukan pada kepentingan rakyat, tetapi kepada kelompok dan individu masing-masing. Reynold dan Ben Reilly, dkk dan Surbakti, dkk memberikan pandangan tentang sistem pemilu legislatif. Dikatakan bahwa Sistem pemilu legislatif dalam pemilihan umum dibagi atas tiga sistem utama, yaitu: 1 sistem mayoritarian. Sistem mayoritarian merupakan sistem yang menyediakan satu kursi atau single constituency dalam daerah pemilihan, dan ditentukan oleh perolehan suara terbanyak; 2 sistem proporsional, yaitu kebalikan dari sistem mayoritarian. Setiap daerah pemilihan tersedia banyak kursi dengan perolehan kursi parpol secara proporsional dengan ketentuan jumlah suara terbanyak; dan 3 sistem semiproporsional merupakan gabungan kedua sistem diatas. 31

2. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

Dokumen yang terkait

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMILIHAN UMUM SERENTAK DI NEGARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK)

0 4 17

Implikasi putusan mahkamah konstitusi terkait dengan penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan: studi kasus putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana

0 20 0

Relavansi pemilihan umum serentak presiden dengan legislatif terhadap penguatan sistem presidensial di indonesia (analisis putusan mahkamah konstitusi republik indonesia nomor 14/PUU-XI/2013)

1 12 0

Relavansi pemilihan umum serentak presiden dengan legislatif terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia (analisis putusan mahkamah konstitusi republik Indonesia nomor 14/PUU-XI/2013)

1 11 90

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PREDIEN

0 8 55

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUUXI/ 2013 TERKAIT PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF DEMOKRASI.

1 2 13

TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH.

0 0 97

IMPLIKASI YURIDIS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KOINSTITUSI TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019

0 0 14

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14 PUU-XI2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SECARA SERENTAK

0 0 14

JURNAL ILMIAH AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14PUU-XI2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK TERHADAP PRESIDENTIAL THRESHOLD

0 0 20