Relavansi pemilihan umum serentak presiden dengan legislatif terhadap penguatan sistem presidensial di indonesia (analisis putusan mahkamah konstitusi republik indonesia nomor 14/PUU-XI/2013)

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Ahmad Bustomi Kamil NIM :1111048000046

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M.

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dengan dibatalkannya Pasal 3 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, berdampak pada diselenggarakannya Pemilihan Umum secara serentak antara Presiden dengan Legislatif untuk tahun 2019 dan seterusnya. Pemilihan Umum tersebut diproyeksikan membawa implikasi pada penguatan sistem presidensial di Indonesia. Namun apakah Pemilihan Umum serentak mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial, serta variabel apa saja yang mempengaruhi dalam rangka penguatan sistem presidensial.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus

(case approach). Menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan Putusan 14/PUU-XI/2013 untuk membuktikan relevansi Pemilihan Umum serentak terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemilihan Umum serentak Presiden dengan Legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia. Namun untuk memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya mengandalkan pemilu serentak tapi perlu didukung variabel lain dalam rangka memperkuat sistem presidensial di indonesia, seperti meningkatkan parliamentary

threshold, mengubah sistem kepartaian dan sistem pemilu legislatif atau

memperkokoh bangunan koalisi yang telah dibentuk dengan ketentuan yang lebih jelas dan baku.

Kata kunci: sistem pemerintah presidensial, coattail effect, parliamentary threshold, penguatan sistem presidensial.

Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. Nur Rohim Yunus, LLM.


(6)

v

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat yang tidak terhingga banyaknya, Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.

Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘alamin penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehingga dalam kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(7)

vi

memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan skripsi.

3. H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Nur Rohim Yunus, LLM. selaku dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan masukan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan skripsi ini 5. Kedua orang tua yang saya sangat cintai dan sayangi, Bapak Kamiludin

dan Ibu Rahyuni Thahir yang telah mendoakan, mendukung dan menjadi motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Hari-hari beliau sepenuhnya untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada kakak perempuan saya Ilan Kamilah serta adik-adik saya yakni Az-Zahra Nabilah Kamil dan Muhammad Ikhlasul Kamil yang telah menjadi inspirasi dan penyemangat, dan juga tidak lupa untuk keluarga besar yang selalu mendoakan Penulis agar penelitian ini terselesaikan.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum, Kelas B Ilmu Hukum Angkatan 2011, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara yang sekaligus menjadi keluarga yakni M. Rizki Firdaus, Azhar Nur Fajar Alam, Moh Hisyam Rafsanjani, Zaimi Multazim, Muhammad Reza Haryo


(8)

vii

8. Kawan-kawan AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum), PSHK (Pusat Studi Hukum Kelembagaan Negara) dan FKMB (Forum Komunikasi Mahasiswa Betawi).

Akhir kata, atas jasa dan bantuan para semua pihak yang terlibat serta juga memberikan masukan, semoga Alah memberikan balasan yang berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat serta para pembaca secara umunya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 09 Oktober 2015


(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ………... ... v

DAFTAR ISI ………... .... ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……… ... 1

B. BatasandanRumusanMasalah ... 6

C. TujuandanManfaatPenelitian ... 7

D. Tinjauan (Review) StudiTerdahulu………... . 8

E. KerangkaTeori………... 9

F. MetodePenelitian…………... ………... 12

G. SistematikaPenulisan ……….... ... 15

BAB II TEORI BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN

A. Paham Konstitusionalisme...……… ... …. 17 B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances..19


(10)

ix

b. Bentuk Pemerintahan Monarki ... 23

2. Sistem Pemerintahan ... 24

a. Sistem Pemerintahan Parlementer... 25

b. Sistem Pemerintahan Presidensial... 27

c. Sistem Pemerintahan Campuran ... 29

BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA A. Sistem Pemerintahan di Indonesia ... 31

1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945 2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 34

1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 34

2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 36

3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 37


(11)

x

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14/PUU-IX/2013 DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

A. Relevansi Pemilihan Umum serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ... 45 B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

14/PUU-XI/2013 ... 56 C. Implikasi Pemilihan Umum Serentak Terhadap Sistem Pemilihan Umum

di Indonesia ... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 66 B. Saran ... 68


(12)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya hidup dalam suasana bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).1 bellum

omnium contra omnes tercipta karna kondisi alamiah dimana manusia hidup

dalam situasi pranegara, jauh dari pemahaman tentang moral, institusi dan undang-undang.2 Hal inilah yang menurutnya mendorong manusia untuk mendirikan sebuah negara.

Sejak zaman dahulu, Motivasi paling umum yang mendorong manusia untuk hidup dalam suatu negara adalah motivasi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Negara menjadi wadah untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini terbukti dengan perkembangan pengorganisasian negara mulai dari

nachwachatersataat atau negara penjaga malam sampai pada doktrin walfare

state atau negara kesejahteraan yang menganjurkan tanggungjawab lebih kepada

negara untuk mengurusi kesejahteraan sosial.3

Secara umum unsur pokok terbentuknya sebuah negara yaitu: (1) Adanya rakyat (masyarakat) tertentu; (2) Adanya daerah (wilayah) tertentu; (3) Adanya pemerintahan yang berdaulat. Menurut Mahfud MD Pemerintahan adalah alat

1

Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012, Cet. Kesebelas), h. 83.

2

Otto Gusti Madung, Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis, (Ledalero: Maumere, 2013, Cet. Pertama), h. 34.

3

Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, Cet. Kedua), h. 2.


(13)

kelengkapan negara yang bertugas memimpin negara untuk mencapai tujuan negara. Oleh sebab itu pemerintah seringkali menjadi personifikasi negara.4

Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan untuk menjaga kestabilan negara. Sistem pemerintahan digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Di dalamnya terdapat sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan negara.

Menurut Carl J. Friedrich5 sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergatungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keselurahannya itu.

Adapun pengertian pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh organ kekuasaan di dalam negara yaitu legislataif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi dalam arti sempit, pemerintah (yang disebut bestuur) hanya mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat pusat sampai ke daerah.6

Karena itu apabila berbicara tentang sistem pemerintahan pada dasarnya adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara

4

Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001, Cet. Kedua), h. 64.

5

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Kedua), h. 147.

6


(14)

lembaga-lembaga negara menjalankan keuasaan negara itu, dalam rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat.7

Sri Soemantri8 memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan sistem hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan antara eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa inggris disebut cabinet

government system dan presidential government system atau the fixed executive

system.

Dalam perkembangan negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara didasarkan pada konstitusi.9 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis atau yang lazimnya disebut Undang-Undang Dasar. Melalui Undang-Undang Dasar kita dapat melihat negara mulai dari bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan dan jaminan hak asasi manusia.

Dalam konteks Indonesia, konstitusi tertulis tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Di dalamya memuat mengenai bentuk negara dan bentuk pemerintahan (Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945) serta sistem pemerintahan.

7

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 148.

8

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 148.

9

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2012, Cet. Kedua), h. 117.


(15)

Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial, sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh kalangan perancang Undang-Undang Dasar 1945. Ciri-ciri penting yang ada di sistem presidensial yakni10:

1. Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan; 2. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya presiden

bertanggungjawab kepada rakyat;

3. Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan parlemen;

4. Presiden memiliki masa jabatan tetap;

5. Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.

Akan tetapi, sistem presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen adalah tidak murni, karena Presiden dalam menjalankan pemerintahannya harus mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai lembaga parlemen yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR juga berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena tuduhan pelanggaran haluan negara.11

Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial.12 Hal ini dibuktikan dengan dimuatnya ciri-ciri pokok sistem presidensial ke dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945.

10

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, Cet. Kedua), h. 59-60.

11

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012, Cet. Kedua) h. 97-98.

12


(16)

Dengan demikian, jelaslah bahwa negara Indonesia di era reformasi ini menganut sistem presidensial. Karna ciri-ciri pokok sistem presidensial disebutkan secara tegas dalam UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 menempatkan presiden dalam posisi yang kuat dan strategis, karna presiden tidak dapat dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara limitatif oleh UUD NRI 1945 (Pasal 7A UUD NRI 1945).

Dalam hal pengisian jabatan Presiden, Pasal 6A ayat (2) menyebutkan

bahwa “Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan

umum”. Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Tata cara

pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka lahirlah Undang-Undang pelaksana Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 yang sekarang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menghendaki Pemilu Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut Pemilu Legislatif).

Terkait Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, telah dilakukan permohonan Pengujian Undang-Undang oleh Effendi Gazali pada tanggal 10 januari 2013 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pada intinya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa model pelaksanaan Pemilu


(17)

Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD untuk pemilihan umum seterusnya dilakukan secara serentak.13

Menurut Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan Pemilihan Presiden yang dilakukan setelah Pemilu Legislatif melemahkan sistem presidensial yang hendak dibangun oleh UUD NRI 1945. Negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik yang dilakukan dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintah, mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.

Oleh karena itu, Presiden pada faktanya sangat bergantung pada partai-partai yang mempunyai hak eksklusif dalam pencalonan Presiden (Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945) yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial yang dianut UUD NRI 1945.

Dari uraian di atas menarik untuk dikaji apakah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara serentak dengan pemilihan Anggota DPR,DPD, dan DPRD mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945.

B.Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya pembahasan yang akan dibahas dalam penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus

13

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, h. 88.


(18)

pada relevansi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara serentak dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan yang akan diteliti adalah :

a. Apakah Pemilhan Umum serentak mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945?

b. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden?

c. Apa implikasi pemilu serentak terhadap sistem pemilihan umum di indonesia?

C.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan, maka tujuan penulisan dalam skripisi ini adalah:

a. Untuk mengetahui apakah pemilihan umum secara serentak mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi republik Indonesia dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013.


(19)

c. Untuk mengetahui implikasi pemilihan umum serentak terhadap sistem pemilihan umum di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah: a. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum tata negara khsususnya mengenai relevansi pemilu serentak terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945 serta mengetahui dampak pemilu serentak terhadap kefektivitan pemerintahan. Selain itu dapat menambah pembendaharaan karya ilmiah dengan memberikan konstribusi bagi perkembangan hukum tata negara di Indonesia.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi pembaca khususnya mengenai relevansi pemilu serentak terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945.

D.Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Jurnal

Sodikin, Jurnal RechtVinding Volume 3 Nomor 1 April tahun 2014 yang berjudul “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan Sistem presidensial.

Hayat, Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 3, September 2014

yang berjudul “Korelasi Pemilu Serentak dengan Multi Partai Sederhana sebagai Penguatan Sistem Presidensial


(20)

Hukum Penelitian saya, Relevansi Pemilu Serentak Presiden dan Legislatif

Terhadap Penguatan Sistem Presdiensial di Indonesia.

Persamaan

Persamaan dari penelitian sebelumnya adalah sama-sama menganalisis apakah pemilu serentak presiden dengan legislatif berdampak pada penguatan sistem presidensial di Indonesia berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013.

Perbedaan

Sodikin: Jurnal ini lebih mempersoalkan mengenai ambang batas

(presidential threshold) sebagai bentuk

pelemahan sistem presidensil yang tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Hayat: Jurnal ini meneliti bahwa sistem multi partai sederhana mempunyai korelasi terhadap penguatan sistem presidensial. Penelitian ini berangkat dari perspektif efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, bahwa sistem multi partai sederhana sangat cocok diterapkan di dalam sistem presidensial

Penelitian saya: skripsi saya meneliti apakah pemilu serentak presiden dan legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial ditinjau dari teori pemisahan kekuasaan dengan prinsip

Checks and Balances dan ciri-ciri pokok sistem

presidensial yang menghendaki kedudukan antara eksekutif dan legslatif adalah sejajar.

E.Kerangka Teori

1. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum selalu terkait dengan ide negara hukum. Ide negara hukum muncul dari latar belakang terjadinya kesewenang-wenangan penguasa.14 Ide negara hukum sudah dikenal sekitar 500 SM oleh bangsa Yunani Kuno. Ide negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato

14

Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010, Cet. Pertama), h. 10.


(21)

dalam karyanya Politea (the Republic), Politicos (the Stateman), dan Nomoi

(the Law). Dan ide atau gagasan negara hukum mucul lagi di eropa barat

sekitar abad -17-18.

Ide negara hukum secara garis besar menghendaki adanya pembatasan kekuasaan negara berdasarkan hukum. Hukum memegang peranan tertinggi dalam kekuasaan negara, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaran kekuasaan negara. Hal ini sejalan dengan teori kedaulatan hukum yang mengatakan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja, tidak juga pada negara tetapi berada pada hukum.15

Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julis Stahl, dan lain-lain dengan menggunaka istilah Jerman yaitu Rechsstaat. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konseop negara hukum dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut Rechsstaat itu mencakup empat elemen penting yaitu16:

1. Perlindungan Hak Asasi Manusia. 2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang 4. Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebut dengan isitilah The Rule of Law, yaitu:

1. Supermacy of Law.

15

Hendra Nurthahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2008, Cet.Kedua), h. 37.

16

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h. 122.


(22)

2. Equality of Law.

3. Due Process od Law.

Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materil atau negara hukum modern. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara hukum materil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya.

2. Teori Pemisahan Kekuasaan

Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri

kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive

power), dan kekuasaan Federatif (federatif power).

Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif. Panadngan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion

of power di zaman sesudahnya.

Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mrncampuri urusan


(23)

masing-masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.

Dalam pandangannya sebagai berikut17 :

Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from

legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitratry control, for the judge would then be legislator. Were it joined with the executive power, the judge

might behave with violence and oppresion.”

Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.

Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebuut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip checks and balances.

F. Metode Penelitian

17

Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 25.


(24)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangun sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta doketrin (ajaran).18

2. Pendekatan penelitian

Sehubungan dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang digunakan adalah:

a. Pendekatan Sejarah;

b. Pendekatan Perundang-undangan. c. Pendekatan Comparatif (Perbandingan) 3. Sumber Penelitian (bahan yang dijadikan rujukan)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.19

1) Perundang-undangan terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

18

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. Pertama), h. 31.

19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Kelima), h. 141.


(25)

b) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pendadilan. Tentunya yang berkaitan dengan penelitian ini.20

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen/kepustkaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagai sumber seperti buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Analisis dan Pengolahan data

Adapun untuk menganalisis data kualitatif ini penulis menggunakan pola berpikir deduktif-induktif, yaitu deduktif-induktif ini digunakan untuk menjelaskan bab II dan bab III. Setelah dijelaskan tentang inti dari penelitian dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan konkret yang dihadapi.

6. Metode Penulisan

20


(26)

Dalam metode penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.

G.Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi ini, maka penulis memberikan sistematikanya secara garis besar. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi lima bab, dimana setiap bab akan dibahas secara rinci sebagai bagian dari keseluruhan penelitian ini dengan maksud untuk mempermudah memahami penulisan penelitian ini. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB 1 Pendahuluan

Merupakan pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh pembahasan. Dalam hal ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan, pokok permasalahan, metode pembahasan, serta sitematika penulisan penelitian ini.

BAB II Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Negara

Dalam bab ini akan membahas secara komprehensif mengenai kekuasaan negara, mulai dari paham konstitusionalisme, doktrin Pemisahan Kekuasaan dengan prinsip Checks and Balances. Serta juga membahas mengenai teori bentuk dan sistem pemerintahan


(27)

Dalam bab ini akan membahas mengenai sistem pemerintahan di Indonesia, kemudian dilanjutkan membahas mengenai kedudukan eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia serta pola hubungan antar kedua lembaga tersebut. Dan juga membahas megenai variabel yang mempengaruhi sistem presidensial BAB IV Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013

Bab ini merupakan inti dari penelitian ini yakni dengan melihat dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Konsitusi dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 serta menganalisis Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak.

BAB V Penutup

Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penullis mencoba menyimpulkan dan memberikan usulan-usulan mengenai permasalahan yang telah dibahas dalam penulisan penelitian ini.


(28)

17 BAB II

TEORI KEKUASAAN NEGARA

A. Paham Konstitusionalisme

Untuk mengetahui mengenai paham konstitusionalisme maka terlebih dahulu memahami apa itu konstitusi. Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia

berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin), “contitution” (bahasa Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constituonnel” (bahasa Perancis),

versfassung” (bahasa Jerman). Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis

yakni constituer yang berarti membentuk.1

Selama abad ke-16 dan abad ke-17 negara-negara bangsa (nation state) mendapat bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan berkuasa. Berbagai teori berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan kekuasaan yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini

mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in parliament’ yang pada dasarnya mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.2

Berawal dari kekuasaan yang liar dan tak terkendali, maka harus ada konstitusi baik itu dalam sebuah negara republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk membatasi kekuasaan, semua konstiusi menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan

1

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara; Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media Bandung, 2013, Cet. Pertama), h. 206.

2


(29)

dibatasi sebagaimana mestinya. Karena itu pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak umum materi konstitusi.3

Pada perkembangan selanjutnya istilah konstitusi pada umumnya dipergunakan untuk menujuk kepada segala peraturan mengenai ketatanegaraan suatu negara yang secara keseluruhan menggambarkan sistem ketatanegaraan.4 Konstitusi menjadi hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelengaraan negara.5 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.

Undang-undang dasar menempati tata urutan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam negara. Dalam undang-undang dasar termuat pemegang kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-hak rakyat.

Kebutuhan akan naskah undang-undang dasar merupakan suatu keniscayaan. Seluruh negara memiliki undang-undang dasar walaupun, sampai saat ini, Inggris dan Israel tidak dikenal memiliki suatu naskah undang-undang dasar tertulis. Undang-undang dasar di Inggris dan Israel tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan.6

3

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, h. 17.

4

A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara; Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 207.

5

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 117.

6

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2012, Cet. Kedua), h. 118.


(30)

Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai dasar hukum dalam penyelenggaraan negara. paham konstitusionalisme mengemban the limited state (negara terbatas), dimana dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan maka hal tersebut tersebut harus dinyatakan dan diatur secara tegas dalam pasal-pasal konstitusi. pada prinsipnya paham konstitusionalisme menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan.7

Pada prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu pertama, hubungan antara pemerintah dengan warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain. Oleh karena itu, biasanya konstitusi dimaksudkan mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan kekuasaaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembagan negara dengan warga negara.8

B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances

Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri kembali

dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang

7

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 119.

8

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 120.


(31)

berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif

(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan

federatif (federatif power).

Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman sesudahnya. Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.

Dalam pandangannya sebagai berikut9 :

Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from legislative

and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitratry control, for the judge would then be legislator. Were it joined with the executive power, the judge might behave with violence and

oppresion.”

Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri

9

Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, h. 25.


(32)

urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.

Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip checks and balances.10

C. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan

1. Bentuk Pemerintahan

Secara umum, seringkali terjadi pencampuran dalam menggunakan

istilah “bentuk pemerintahan” dan “sistem pemerintahan”. Padahal kedua

hal tersebut mempunyai perbedaan mendasar. Sri Soemantri melihat bentuk pemerintahan sebagai penggambaran struktur organisasi yang dipilih dalam menjalankan negara.11 Sedangkan sistem pemerintahan yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.12

10

Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

h. 35.

11

Hendra Nurtjhajo, Ilmu Negara; Pengembangan Teori bernegara dan Suplemen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, Cet. Pertama), h. 40.

12

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Cet. Pertama), h. 23.


(33)

Menurut Hanks Kelsen, bentuk pemerintahan diklasifikasikan menjadi republik dan monarki. Jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan maka bentuk pemerintahan tersebut disebut monarki. Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu maka bentuk pemerintahan tersebut disebut republik.13 a. Bentuk Pemerintahan Republik

Bentuk pemerintahan republik telah dikenal sejak masa pemerintahan Yunani klasik dan Romawi. Negara-negara kota (Polis atau City State) di Yunani seperti Athena dan Sparta adalah republik. Demikian pula Romawi, sebelum berkembang menjadi kerajaan atau kekaisaran, adalah republik. Meskipun secara konseptual pemerintahan Yunani klasik berbentuk republik, nama republik sendiri itu tidak dikenal meskipun tulisan Plato Politea disalin dengan nama republik.14

Pemahaman dan perwujudan bentuk republik berasal dari Romawi, yaitu bahasa Latin res publica yang berarti segala sesuatu berkenaan dengan (kepentingan) umum (rakyat). Baik di Yunani Klasik maupun Romawi bentuk republik tidak dikaitkan dengan jabatan presiden. Jabatan presiden yang dikaitkan dengan bentuk republik pertama kali digunakan setelah revolusi Amerika Serikat dan revolusi Perancis.

13

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 23.

14

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h. 42.


(34)

Secara asasi paham republik mengandung makna bahwa pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan dalam republik harus mencerminkan kehendak umum dan ditentukan berdasarkan kehendak umum (rakyat). Hal ini hanya dimungkinkan kalau kepala negara bukan raja. Raja yang turun-temurun tidak memungkinkan keikutsertaan umum (rakyat) untuk memilih dan dipilih sebagai kepala negara.15

Dalam konteks Indonesia, bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik. Bentuk pemerintahan tersebut dinyatakan secara tegas dalam

pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Negara indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Hal tersebut

dimaksudkan sebagai prasyarat bahwa pemerintahan yang dijalankan untuk kepentingan umum (rakyat).

b. Bentuk Pemerintahan Monarki

Bentuk pemerintahan kerajaan biasanya ditandai seorang raja, kaisar, sultan yang menjadi kepala negara. Jabatan tersebut diduduki secara turun-temurun dan dijabat seumur hidup. Contoh negara yang berbentuk kerajaan atau monarki adalah Inggris, Belanda, Nowergia, Swedia dan Thailand.

M. Solly Lubis mendefinisikan monarki atau kerajaan sebagai

pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh “satu” orang

15


(35)

yang menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang.16 Pengertian yang agak berbeda disampikan oleh A. Appodorai yang mengartikan monarki sebagai pemerintahan oleh seorang individu yang tidak tunduk pada pembatasan hukum apapun, melakukan segala sesuatu atas kehendak sendiri.

Dari perbedaan kedua pandangan tersebut maka monarki atau kerajaan dapat di bagi menjadi dua bentuk :

1) Monarki Absolute, dimana kekuasaan raja tidak dibatasi oleh apapun.

2) Monarki Konstititusional, dimana kekuasaan raja dibatasi oleh Konstitusi.

Dalam perkembangannya bentuk-bentuk kerajaan dengan kekuasaan absolut telah banyak berkembang menjadi pemerintahan kerajaan atau monarki yang tunduk pada hukum, tunduk pada kehendak rakyat, tunduk pada konstitusi (Monarki Konstitusional), seperti di Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Jepang dan Thailand. 2. Sistem Pemerintahan

Sri Soemantri17 memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan sistem hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan antara eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa

16

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Mandar Maju, 1990, Cet. Keempat), h. 55.

17

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, h. 148.


(36)

inggris disebut cabinet government system dan presidential government

system atau the fixed executive system.

Sejalan dengan pandangan di atas, Jimly Asshddiqie mengemukakan sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif. Cara pandang yang demikian sesuai dengan teori dichotomy, yaitu legislatif sebagai policy making (taak stelling) sedangkan eksekutif sebagai

policy executing (taat verwezenlijking).18

Dari penelusuran berbagai literatur terdapat varian sistem pemerintahan. Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga kategori: presidentialism, parliamentary system, dan semi-presidentialism. Lebih variatif lagi Denny Indrayana membuat kategorisasi sistem pemerintahan, yaitu sistem presidensial, sistem parlementer, sistem hibrid atau campuran, sistem kolegial dan sistem monarki.19

Meskipun terdapat banyak varian, sistem pemerintahan yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi pada sistem pemerintahan presidensial, sistem parlementer, dan sistem campuran. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia memperlihatkan bahwa sistem kolegial dan sistem monarki tidak pernah diterapkan.

a. Sistem Pemerintahan Parlementer

18

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 24.

19

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 25.


(37)

Tercatat dalam sejarah, Inggris merupakan tempat kelahiran sistem pemerintahan parlementer. Dari berbagai macam sistem pemerintahan yang dikemukakan tersebut, sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Sejak Perang Dunia II dua pertiga dari negara-negara dunia ketiga yang memilih sistem pemerintahan parlementer suskses dalam transisi demokrasi.

Sistem pemeritahan parlementer merupakan sistem yang

ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung jawab

kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih) kepada parlemen. Dengan argumentasi itu, sistem parlementer dilandaskan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi

(parliament is soverign) atau dalam bahasa A.V Dicey parliamentary

supremacy.20

Di dalam sistem pemerintahan parlementer tugas atau kekuasaan eksekutif diserahkan kepada badan yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini nantinya dipimpin oleh seorang perdana menteri yang mempertanggung jawabkan pemerintahannya kepada badan perwakilan rakyat atau parlemen. Jadi dalam sistem ini kepala negara tidak merupakan pimpinan yang nyata daripada pemerintahan, yang memikul segala pertanggung jawaban pemerintahan adalah kabinet.

20

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, 28.


(38)

Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut21: 1) Kepala negara hanya sebagai lambang/simbol negara yang hanya

mempunyai tugas-tugas yang bersifat fomal;

2) Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/nyata adalah perdana menteri sebagai pemimpin kekuasaan eksekutif beserta para menteri-menterinya. Perdana menteri bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat;

3) Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan terpilih atas dukungan mayoritas di parlemen;

4) Masa jabatan perdana menteri beserta kabinet ditentukan berdasarkan dukungan mayoritas di parlemen.

Dari kriteria di atas selain ada pemisahan antara kepala negara

(head of state) dan kepala pemerintahan (head of government),

karakter paling mendasar dalam sistem pemerintahan parlementer adalah tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif kepada dukungan parlemen. Apalagi, eksekutif tidak pilih langsung oleh pemilih sebagaimana pemilihan untuk anggota legislatif.

b. Sistem Pemerintahan Presidensial

Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan perkembangan sistem parlementer Inggris, sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Amerika

21Ni’matul Huda,


(39)

Serikat tidak hanya merupakan tanah kelahiran sistem presidensial, tetapi juga sebagai contoh ideal karena memenuhi hampir semua kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial.

Menurut Jimly Asshiddiqie ada beberapa ciri penting dalam sistem presidensial22:

1) Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan;

2) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya presiden bertanggungjawab kepada rakyat;

3) Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan parlemen;

4) Presiden memiliki masa jabatan tetap;

5) Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.

Berdasarkan karakter yang dikemukakan salah satu karakter yang utama adalah presiden memegang fungsi ganda yaitu sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Selain itu karakter sistem presidensial juga dapat dilihat dari pola hubungan antara lembaga eksekutif dengan legislatif. Pola yang bisa dilacak dengan adanya pemilihan umum yang terpisah antara untuk memilih presiden dan untuk memilih legislatif.

Pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan untuk memilih legilatif membawa dampak pada pemisahan kekuasaan

22

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, h. 59-60.


(40)

karena keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat. T. A.

Legowo mengungkapkan “...karena petinggi-petinggi eksekutif dipilih secara terpisah dengan legislatif, sistem presidensial membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan..”.23

c. Sistem Pemerintahan Campuran

Dalam sistem pemerintahan ini, badan eksekutif merupakan bagian dari badan legislatif. Misalnya di Swiss yang disebut

Bundesrat (badan eksekutif) adalah badan pekerja dari

Bundesversammlung (badan legislatif). Dalam sistem ini badan

legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Mekanisme kontrol terhadap badan legislatif dilakukan langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.24

Lembaga referendum yaitu suatu pemungutan suara secara langsung oleh rakyat yang berhak mengeluarkan suara untuk menentukan tentang pendapat rakyat. Hal ini diterapkan di Swiss dimana ada mekasnisme kontrol secara langsung dari rakyat yang mengontrol tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan dari badan legislatif, seperti Bundesversammlung yang ada di Swiss.

Referendum di Swiss ada dua macam yaitu25:

23

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 41.

24

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 56.

25Ni’matul Huda,


(41)

1) Referendum wajib, ini adalah referendum yang menentukan berlaku atau tidaknya suatu undang-undang atau suatu peraturan; 2) Referendum tidak wajib, ini adalah pemungutan suara yang dapat

dituntut oleh rakyat, untuk menentukan apakah suatu undang-undang yang telah berlaku itu akan boleh terus berlaku atau tidak, atau perlu diadakan perubahan-perubahan ataukah tidak.


(42)

31 BAB III

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

A. Sistem Pemerintahan di Indonesia

1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945

Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah Presiden, sedangkan para menteri hanyalah pembantu Presiden, dalam artian Presiden berperan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal ini tertuang dengan tegas di dalam:

a. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar dan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

b. Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, sedangkan ayat (2) berbunyi “Menteri-menteri

itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Hal ini memperkuat penjelasan bahwa Presiden dalam UUD 1945 memiliki kewenangan di dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, dengan kata lain bahwa menteri-menteri negara tersebut tidak bertanggung jawab


(43)

kepada Dewan Perwakilan Rakyat melainkan kepada Presiden sebagai pembantu Presiden.

c. Penjelasan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan Undang-Undang, Dia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair).

Dilihat dari Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa MPR memegang kedaulatan rakyat dan mengangkat Presiden dan secara otomatis maka pertanggung jawaban Presiden adalah kepada MPR selaku pemegang kedaulatan rakyat dan memilih Presiden. Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden bersama dengan DPR membentuk kekuasaan legislatif, dengan kata lain bahwa Presiden sendiri berhak menciptakan hukum untuk mengatur pertanggung jawaban kepada MPR atas dasar Pasal-Pasal yang bersangkutan, dan Presiden bekerja sama dengan DPR dalam menjalankan proses legislasi. Presiden dapat menolak Rancangan Undang-Undang hasil inisiatif dari DPR, maka artinya bahwa kekuasaan legislatif dalam pembentukan Undang-Undang bukan berada di tangan DPR melainkan berada di tangan Presiden. Kekuasaan Presiden itupun ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa Presiden memiliki kewenangan dalam mengangkat danm memberhentikan anggota-anggota Mahkamah Agung, sehingga itu menyatakan bahwa Presiden juga memiliki kekuasaan secara yudikatif.


(44)

Berdasarkan atas penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar (executive heavy) karena di samping memiliki kekuasaan eksekutif, juga memiliki kekuasaan dalam legislatif dan yudikatif sehingga mengakibatkan tidak adanya pemisahan kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945.

2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945

Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial, sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh kalangan perancang Undang-Undang Dasar 1945.1 Akan tetapi, sistem presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen adalah tidak murni, karena Presiden dalam menjalankan pemerintahannya harus mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai lembaga parlemen yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR juga berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena tuduhan pelanggaran haluan negara, lagi pula pengertian haluan negara itu sendiri bersifat sangat luas yaitu dapat pengertian politik dan hukum sekaligus.

Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945 (1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dengan kesepakatan memperkuat sistem pemerintahan presidensial maka ciri-ciri penting dalam sistem pemetintahan presidensial diakomodir kedalam UUD NRI 1945. Dalam

1

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam UUD 194, h. 59-60.


(45)

Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945 jelaslah bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial.

Menurut Dasril Radjab2 dari pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 bisa disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD NRI 1945 adalah sistem pemerintahan presidensial karena:

1. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus merangkap kepala pemerintahan yang memerintah penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari (Pasal 4 UUD NRI 1945);

2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka tidak bertanggung jawab kepada parlemen baik kepada DPR ataupun MPR (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945);

3. Presiden dan DPR menempati kedudukan yang sejajar sehingga Presiden tidak berwenang membubarkan parlemen (Pasal 7C UUD NRI 1945); 4. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat

(2) UUD NRI 1945;

5. Presiden melaksanakan tugas dan wewenangnya selama lima tahun atau dalam masa jabatan yang tetap (fixed term) (Pasal 7 UUD NRI 1945).

B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia

1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia

2

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 60.


(46)

Bila merujuk pada teori trias politica Montesquieu, dalam konteks Indonesia maka eksekutif dalam hal ini adalah Presiden. Dalam Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 mengatakan “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Maka dapat dipahami bahwa untuk melihat kewenangan yang dimiliki Presiden tidak hanya merujuk hanya pada BAB III UUD NRI 1945 tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara.

Berikut adalah kewewenangan yang dimiliki Presiden menurut UUD NRI 1945:

a. Kewenangan dalam bidang eksekutif meliputi:

1) Menjalankan pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945); 2) Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan

Undang-Undang (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945);

3) Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udaara (Pasal 10 UUD NRI 1945);

4) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat (1) UUD NRI 1945);

5) Membuat perjanjian internasional dengan persejtujuan DPR (Pasal 11 ayat (2) UUD NRI 1945);

6) Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD NRI 1945); 7) Mengankat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1) UUD NRI 1945);


(47)

8) Mengangkat dan memberhentikan mentri-menteri (Pasal 17 UUD NRI 1945);

9) Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain (Pasal 15 UUD NRI 1945). b. Kewenangan dalam bidang legislatif meliputi:

1) Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 5 ayat (1));

2) Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1)).

c. Kewenangan dalam bidang yudikatif meliputi:

1) Memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1));

2) Memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2)).

Dengan kewenangan Presiden yang diatur dalam UUD NRI 1945, menempatkan posisi yang kuat dan strategis bagi Presiden. Selain karna mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat (dipilih secara langsung oleh rakyat), presiden tidak dapat dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara limitatif oleh UUD NRI 1945 (Pasal 7A UUD NRI 1945).

2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia

Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan adalah sistem hubungan mengenai eksekutif dan legislatif. Maka dalam konteks Indonesia pemegang kekuasaan legislatif yakni membuat


(48)

undang-undang adalah DPR. hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam Pasal 20

ayat (1) UUD NRI 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang”.

Pasca Amandemen UUD 1945, selain dikembalikannya fungsi legislasi kepada DPR, peningkatan peran DPR tidak hanya pada fungsi legislasi tapi juga menyangkut fungsi pengawasan dan fungsi anggaran

(budget).3 Dalam menjalankan fungsinya tersebut DPR mempunyai hak

interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Selain dari kewenangan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran

(budget), DPR mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian

Presiden kepada MPR (Pasal 7A UUD NRI 1945). Hal ini merupakan bagian prinsip checks and balances atas peran Presiden yang tidak hanya penting dan strategis tapi juga merupakan penerima mandat langsung dari rakyat karna Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia

Hubungan Presiden dan DPR menjadi salah satu penentu dianutnya sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini mempresentasikan hubungan lembaga eksektuif dan legislatif. Meskipun terdapat lembaga negara lain yang digolongkan menjadi lembaga legislatif yaitu MPR dan DPD, namun yang memegang kekuasaan legislatif secara nyata hanyalah DPR menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945.

3

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Deomkrasi: Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan Ham, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005, Cet. Kedua), h. 63.


(49)

Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (checks

and balances). Menurut UUD NRI 1945 dalam hal tertentu kebijakan

Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan duta dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan perang, membuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas harus dengan persetujuan DPR.

Disisi lain, DPR dalam menjalankan fungsinya seperti fungsi membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama-sama serta disetujui bersama dengan Presiden meskipun kekuasaan membentuk Undang-Undang ada di tangan DPR. Dalam fungsi anggaran dalam hal ini menentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden mengajukan rancangan APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat persetujuan DPR, apabila rancangan tidak mendapat persetujuan DPR maka Presiden menjalankan APBN tahun sebelumnya.

Dari pola hubungan diatas menunjukan adanya prinsip checks and

balances diantara kedua lembaga tersebut. Dengan adanya prinsip checks

and balances ini kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara atau pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan


(50)

lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.4

C. Variabel yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial

Karateristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is not dependent on legislative). karna baik presiden mapupun anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan karateristik tersebut disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial dalam hal stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada legislatif, namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan

(divide government) dapat beriimplikasi deadlock.5

Menurut Scott Maniwaring pemerintahan yang terbelah (divide government) terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai-partai yang berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat, bisa saja lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik dengan presiden.6

Berikut adalah variabel yang mempengaruhi sistem presdiensial : 1. Sistem Multipartai dalam Sistem Presidensial;

2. Koalisi dalam Sistem Presidensial.

4Ni’matul Huda,

Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014, Cet. Pertama), h. 143.

5

Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,

Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, artikel diakses pada 18 Agustus 2015 dari

http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf, h. 2.

6Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Probl

ematika Koalisi dalam Sistem


(51)

1. Sistem Multipartai dalam Sistem Pemerintahan Presidensial

Para ahli perbandingan politik, seperti Scott Mainwaring maupun Juan J. Linz, sudah pernah mengingatkan bahwa secara teoritis sistem

presidensial dan sistem multipartai adalah “kombinasi yang sulit” dan

berpeluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif.7 Scott Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif sering timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu. Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilisasi demokrasi.8

Dalam sistem presidensial multipartai, presiden yang terpilih cenderung akan tidak memiliki dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya partai yang ikut pemilu (termasuk partai presiden) membuat sangat sulit bagi satu partai memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada minoritasnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah pemenang pemilu.9 Hal ini terjadi pemilu presiden tahun 2004 dimana presiden terpilih yakni SBY-JK hanya didukung 12 persen dari suara di DPR. walaupun pada akhirnya merangkul beberapa partai politik untuk mendapatkan dukungan mayoritas di DPR.10

7Ni’matul Huda,

Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan, h. 170.

8Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koal

isi dalam Sistem

Presidensial”, h. 118.

9Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,

Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.

10Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem


(52)

Sistem Multipartai mulai diterapkan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Pada awal kemunculan sistem multipartai yang ditandai lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, memberikan peluang besar bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik. Hal ini terbukti dengan bermunculannya ratusan partai politik dan 48 diantaranya dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999.11 Ditambah lagi sistem pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem proporsional yang cenderung menghasilkan terfragmentasinya partai politik di parlemen.

Sistem multipartai tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi kinerja pemerintah terkait pelaksanaan sistem pemerintahan. Misalnya dalam fungsi legislasi, banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya konsolidasi antar partai politik.12 Hal tersebut terjadi karna banyaknya kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi tidak efektinya sistem pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Saiful Mujani13 bahwa kesulitan sistem pemerintahan presidensial bukan saja pada tidak mudahnya konsesus antara dua lembaga, antara eksekutif dan legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan dilembaga legislatif itu sendiri. 2. Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial

12Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 119

13

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem Presidensial”, h. 118.


(53)

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karateristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is

not dependent on legislative). karna baik presiden mapupun anggota

legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan karateristik tersebut disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial dalam hal stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada legislatif, namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan (divide

government) yang dapat beriimplikasi deadlock.14

Menurut Scott Maniwaring15 pemerintahan yang terbelah (divide government) terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai-partai yang berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat, bisa saja lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik dengan presiden Hal ini diperparah jika sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai.

Oleh karnanya untuk mendapatkan dukungan di parlemen dan terhindar dari divide government (pemerintahan yang terbelah), hal yang biasa dilakukan dalam sistem pemerintahan presidensial adalah koalisi. Dalam praktik, koalisi merupkan cara paling umum dilakukan pemerintah yang mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Seperti yang

14

Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu

Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.

15Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem


(1)

IkhtIsar Putusan

PErkara nOMOr 14/Puu-XI/2013

tEntanG

kOnstItusIOnaLItas PEnYELEnGGaraan PEMILIhan uMuM

PrEsIDEn Dan WakIL PrEsIDEn

Para Pemohon : Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.i.D, M.Si

Jenis Perkara : Pengujian undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (uu 42/2008) terhadap undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 (uuD 1945).

Pokok Perkara : Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 mengenai konstitusionalitas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan uuD 1945:

- Pasal 1 ayat (2) mengenai Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang Dasar; - Pasal 4 ayat (1) mengenai kekuasaan pemerintah yang

dipegang oleh Presiden Republik indonesia;

- Pasal 6A ayat (2) mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;

- Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;

- Pasal 22E ayat (1) mengenai pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil selama lima tahun sekali;

- P a s a l 2 2 E a y a t ( 2 ) m e n g e n a i p e m i l i h a n u m u m diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan


(2)

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

- Pasal 27 ayat (1) mengenai kewajiban warga negara menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali; - Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta nperlakuan yang sama di hadapan hukum;

- Pasal 28D ayat (3) mengenai hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;

- Pasal 28H ayat (1) mengenai hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;

- Pasal 33 ayat (4) mengenai perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan

prinsip kebersamaan, eisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal

14 ayat (2), dan Pasal 112 undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945;

1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara


(3)

tanggal Putusan : Kamis, 23 Januari 2014, pukul 14.53 WiB

Ikhtisar Putusan :

Pemohon merupakan perorangan warga negara indonesia, mengajukan permohonan pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 terhadap uuD 1945.

Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) uuD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah

adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat inal

untuk menguji undang-undang terhadap uuD 1945. Karena permohonan a quo adalah mengenai pengujian uu 42/2008 terhadap uuD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dimaksud.

Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (uu MK) beserta penjelasannya, Pemohon memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama) warga negara indonesia.

Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh uuD 1945, secara potensial dirugikan akibat diberlakukannya ketentuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 terhadap uuD 1945, dengan alasan-alasan pada pokoknya sebagai berikut:

a. Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 berbunyi, “Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan Pemilu menjadi dua kali pelaksanaan Pemilu (tidak serentak) yakni Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) uuD 1945;

b. Pelaksanaan Pemilu yang lebih dari satu kali tersebut telah menimbulkan banyak akibat yang merugikan hak konstitusional warga negara. Pertama, kemudahan

bagi warga negara untuk melaksanakan Hak Pilihnya secara eisien terancam.

Kedua, dana untuk menyelenggarakan Pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan seharusnya digunakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional lain warga negara;

c. Original intent ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) uuD 1945, dapat kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Amandemen Konstitusi pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan umum memang dimaksudkan


(4)

untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) Anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden;

d. Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 yang berbunyi, “Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD” bertentangan dengan Original intent Penyusun Konstitusi terutama Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terhadap dalil perrmohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

a. Penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem pemerintahan menurut uuD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. uuD 1945 menempatkan Presiden dalam posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selain karena alasan dan proses yang secara limitatif telah ditentukan dalam uuD 1945. Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh uuD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh uuD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) uuD 1945.

b. Dari sudut pandang original intent dari penyusun perubahan uuD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Hal demikian sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Selain itu, dengan mempergunakan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal 6A ayat (2) uuD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan


(5)

oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, adalah tidak mungkin yang dimaksud “sebelum pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) uuD 1945 adalah sebelum Pilpres, karena jika frasa “sebelum pemilihan umum” dimaknai sebelum Pilpres, maka frasa “sebelum pemilihan umum” tersebut menjadi tidak diperlukan, karena calon Presiden dengan sendirinya memang harus diajukan sebelum pemilihan Presiden. Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan.

c. Penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara

serentak memang akan lebih eisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan

lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya. Hal itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan uuD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga

Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konlik

atau gesekan horizontal di masyarakat;

d. Mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 uu 42/2008, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan uuD 1945.

Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Pendapat berbeda (dissenting opinion):

Terhadap Putusan ini hakim Maria Farida yang memiliki pendapat berbeda dengan pendapat sebagai berikut:

a. Telah diketahui tepat lima tahun yang lalu Mahkamah pernah memutus permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008. Dalam Putusan Nomor 51-52-59/Puu-Vi/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Mahkamah telah menyatakan, “...kedudukan Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 adalah konstitusional”. Hal demikian didasari bahwa Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 yang dianggap merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan bahwa


(6)

original intent Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 memang menentukan agar pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “bersama-sama atau serentak”. Metode penafsiran original intent bukanlah segala-galanya. Selain metode tersebut masih banyak lagi metode yang dapat digunakan untuk memaknai suatu peraturan perundangundangan terutama dalam usaha menemukan hukum (rechtsvinding); Apabila metode penafsiran original intent digunakan terhadap Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” maka Mahkamah harus juga konsisten untuk tetap mendasarkan rezim pemilihan umum hanya pada pemilihan “anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidaklah dapat dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum, sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya karena original intent-nya tidak demikian. Konsekuensi tersebut harus dipahami agar konsistensi Mahkamah terhadap putusannya tetap terjaga;

b. Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 22E ayat (6) uuD 1945 Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut saya, secara delegatif uuD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilihan umum, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain. Selain itu, aturan presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 uu 42/2008 merupakan kebijakan hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilihan umum, baik Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres;

c. Terkait dengan hal tersebut, saya konsisten dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/Puu-Vi/2008, bertanggal 18 Februari 2009 Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya.

Panitera Pengganti,

ttd