Lembaga Yudikatif Prinsip Siyasah Syari’ah

147 Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sangat terbatas dibandingkan dengan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat yang sangat kuat. Pasal 22D menyebutkan: 1 Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2 Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 3 Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

3. Lembaga Yudikatif

Lembaga yudikatif adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dipimpin oleh sebuah Mahkamah Agung supreme court. Macam-macam kekuasaan kehakiman tidak sama di semua negara, tetapi biasanya terdiri dari Peradilan Umum dan Militer. Di samping kekuasaan mengadili, pada negara-negara federal, Mahkamah Agung biasanya diserahi kekuasaan menguji Undang-Undang. Mahkamah Agung di Jepang mempunyai kekuasaan judicial review. Sedangkan di Idonesia, Mahkamah Agung hanya berwenang menguji 148 peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang- Undang. 228 Sedangkan lembaga yang berwenang melakukan judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 adalah Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan yudikatif dalam Fikih Siyasah disepadankan dengan al-sulthah al- qadha’iyyah yang dipegang oleh qadhi atau hakim. Pada awalnya kekuasaan yudikatif dipegang oleh khalifah sekaligus. Namun, khalifah juga mengangkat para qadhi yang bertugas mengadili suatu perkara yang disengketakan di masyarakat. Misalnya Khalifah Abu Bakar mengangkat Abu Darda sebagai qadhi di Madinah, Syuraih sebagai qadhi di Basrah dan Abu Musa al- Asy‟ari sebagai qadhi di Kufah. Mereka diangkat untuk memimpin bidang peradilan dan hukum. Penentuan qadhi kadang-kadang diserahkan kepada para penguasa wilayah. Seperti yang pernah terjadi pada masa Khalifah Ali yang menyerahkan kepada al- Nakha‟I ketika diutus ke Mesir. 229 Praktik peradilan yang terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Islam menunjukkan bahwa khalifah adalah ketua lembaga peradilan, sedangkan para qadhi adalah wakil-wakilnya di sejumlah daerah karena luasnya jarak dengan pusat kekuasaan. Di dalam Konstitusi Indonesia, kekuasaan lembaga yudikatif dipegang oleh Mahkamah Agung. Pasal 24 UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan: 1 Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan 2 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang- undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang Pasal 24A 228 Moh Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, h. 247. 229 Abdul Wahhab Khallaf, al-Siyasah al-SyAr ’iyyah, h. 48-50 149 UUD NKRI Tahun 1945 juga memperkenalkan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan berbeda dengan Mahkamah Agung, Pasal 24C menyebutkan: 1 Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 2 Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden danatau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan kehakiman mengalami perubahan proliferative berdasarkan perubahan Undang - Undang Dasar 1945. Jika pada masa lalu hanya dikenal adanya MA sebagai satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman serta puncak dari badan-badan peradilan, saat ini terdapat satu lembaga lagi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi. MA memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara konvensional, sedangkan MK memegang kekuasaan kehakiman dalam perkara ketatanegaraan dan konstitusional. Namun, Mahfudh M.D. berpandangan pembidangan kekuasaan kehakiman tersebut tidak dapat disederhanakan begitu saja karena terdapat perkara yang harus dikatakan konvensional, teteapi menjadi wewenang MK, yaitu memutus perselisihan hasil Pemilu dan pembubaran partai politik dan ada perkara yang idealnya menjadi wewenang MK tetapi menjadi wewenang MA, misalnya pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang. Selain itu dalam rumpun kekuasaan kehakiman juga terdapat Komisi Yudisial KY sebagai lembaga yang bersifat penunjang dengan wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. 230 230 Moh Mahfudh M.D., “Implementasi Ketratanegaraan Saat ini dan implikasinya terhadap Masa Depan Bangsa ”, Makalah disampaikan dalam Pekan Konstitusi UUD 1945, Amandemen dan Masa Depan Bangsa, yang diselenggarakan Dewan Perwakilan Rakyat bekerja sama dengan ICIS, Jum‟at, 3 Februari 2012 di Jakarta. 150

4. Partisipasi Masyarakat dan Kontrol Publik dalam Siyasah

Dokumen yang terkait

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMILIHAN UMUM SERENTAK DI NEGARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK)

0 4 17

Implikasi putusan mahkamah konstitusi terkait dengan penambahan norma penetapan tersangka sebagai objek praperadilan: studi kasus putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 tentang pengujian pasal 77 huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana

0 20 0

Relavansi pemilihan umum serentak presiden dengan legislatif terhadap penguatan sistem presidensial di indonesia (analisis putusan mahkamah konstitusi republik indonesia nomor 14/PUU-XI/2013)

1 12 0

Relavansi pemilihan umum serentak presiden dengan legislatif terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia (analisis putusan mahkamah konstitusi republik Indonesia nomor 14/PUU-XI/2013)

1 11 90

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUU-XI/2013 TENTANG PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PREDIEN

0 8 55

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14/PUUXI/ 2013 TERKAIT PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF DEMOKRASI.

1 2 13

TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH.

0 0 97

IMPLIKASI YURIDIS ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KOINSTITUSI TENTANG PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK TAHUN 2019

0 0 14

IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14 PUU-XI2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SECARA SERENTAK

0 0 14

JURNAL ILMIAH AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 14PUU-XI2013 TENTANG PEMILIHAN UMUM SERENTAK TERHADAP PRESIDENTIAL THRESHOLD

0 0 20