Analisa Wacana Kritis KAJIAN PUSTAKA

38 Universitas Sumatera Utara menggunakan senjata pemusnah massal menjadi isu yang terus didengungkan. c. Menyerang Personil Media atau Institusi. Penyerangan pada wartawan secara terang-terangan atas isu teroris saat ini mengalami peningkatan. Serangan terbaru terjadi di Algeria, Mexico, Rusia, Kenya, London, dan juga Washington DC di gedung Berita Nasional dan PBB di New York. Satu grup watchdog menggolongkan 45 wartawan telah dibunuh pada tahun 1995 sebagai konsekuensi atas pekerjaan mereka. Menurut Panitia Perlindungan Wartawan Commite to Protect Journalis di New York lebih dari 300 wartawan telah terbunuh sejak tahun 1986 sebagai konsekuensi atas pekerjaannya dan tahun 1995 ada 45 orang bunuh diri. http:www.CPJ.ORG.

2.5 Analisa Wacana Kritis

Analisa wacana adalah istilah yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan berbagai pengertian. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa dan pemakaian bahasa. Analisa kuantitatif lebih menekankan kepada pertanyaan ‘apa’ what, sedangkan analisa wacana lebih menekankan kepada ‘bagaimana’ how dari pesan dan teks komunikasi. Lewat analisa wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora, seperti apa suatu berita disampaikan. Analisis wacana kritis critical discourse analysis CDA merupakan bagian dari pendekatan kritis, pada awal perkembangannya yaitu ditahun 1980-an analisis kritis terhadap wacana critical discourse analysis sebenarnya merupakan bagian dari upaya untuk mengembalikan studi-studi budaya kedalam akar-akar tradisinya sebagai studi kritis critical studies karena pada saat itu, khususnya pada awal dekade 1980-an studi-studi budaya semakin berpaling dari tradisi teori-teori kritis. Analisis wacana kritis terutama bersumber dari beberapa 39 Universitas Sumatera Utara intelektual dan. pemikir, Michel Foucult, Antonio Gramsci, Sekolah Frankfurt, dan Louis Althusser. Salah satu yang memperkenalkan konsep mengenai wacana adalah Michel Foucult, menurutnya wacana atau discourse itu sendiri adalah : kadang kala sebagai bidang dari semua pernyataaan statement, kadangkala sebagai sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang kala sebagai praktik regulatif yang dilihat dari sejumlah pernyataan. Eriyanto, 2001. Wacana memberikan perhatian pada bahasa dan praktik, dan mengacu pada produksi pengetahuan yang tertata melalui bahasa yang memberi makna pada objek dan praktik sosial. Foucult juga mengidentifikasi berbagai kondisi historis dan aturan yang menentukan pembentukan cara yang teratur dalam membicarakan tentang objek. Foucult sangat historis dalam argumentasinya menurutnya bahasa berkembang dan membangun makna pada kondisi material dan historis spesifik. Dia mengeksplorasi berbagai kondisi historis yang pasti dan khas dimana berbagai pernyataan dipadukan dan ditata untuk membentuk dan mendefenisikan bidang pengetahuan atau objek yang khas memerlukan seperangkat konsep dan membongkar ‘rezim kebenaran’ yaitu apa yang dipandang sebagai kebenaran. Barker, 2004. Norman Fairclough dalam Media Discourse, menjelaskan bahwa wacana merujuk kepada pemakaian bahasa baik tertulis atau ucapan, tidak hanya dari aspek kebahasaannya saja tetapi juga bagaimana bahasa itu diproduksi dan ideologi dibaliknya. Memandang bahasa seperti ini berarti menempatkan bahasa sebagai bentuk praktek sosial. Bahasa adalah suatu bentuk tindakan, Cara bertindak tertentu dalam hubungannya dengan realitas sosial. Oleh karena itu, analisis wacana terutama menyerap pemikiran sumbangan dari studi linguistik, studi untuk menganalisis bahasa. Berbeda dengan analisis linguistik, analisis bahasa tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi juga konteks dan proses dan konsumsi dari suatu teks. Analisis wacana kritis digunakan untuk melihat bagaimana teks berita tidak dapat dipisahkan dari relasi-relasi kuasa. Kuasa adalah aspek yang inheren dalam teks berita: untuk mendefenisikan dan mempresentasikan sesuatu, bahkan memarjinalkan sesuatu gagasan, kelompok, atau seseorang. Eriyanto, 2001. 40 Universitas Sumatera Utara Analisis wacana pada paradigma kritis melihat bagaimana media dijadikan sebagai alat bagi kelompok dominan untuk melegitimasikan kekuasaannya. Oleh karena itu wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi harus dikaitkan dengan konteks yang berada disekitarnva ketika wacana itu dibentuk. Paradigma ini memandang bagaimana media, dan pada akhirnya berita harus dipahami dalam keseluruhan proses produksi dan konstruk sosial Eriyanto, 2001:21. Produksi makna khususnya pada analisis wacana kritis isi teks media sangat erat kaitannya dengan bagaimana sebuah media memproduksi teks berita. Proses produksi berita yang terjadi didalam ruang pemberitaan newsroom tidaklah dipandang sebagai ruang yang hampa, netral, dan seakan-akan hanya menyalurkan informasi yang didapat. Agus sudibyo menjelaskan newsroom bukanlah ruang yang hampa karena banyak kepentingan dan pengaruh yang dapat mengintervensi media, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan dalam memaknai realitas dan presentasi media. Apa yang disajikan media, pada dasarnya adalah akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen d.Reese, meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan Sudibyo, 2001:7. Lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi. 1. Faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media, bagaimana aspek-aspek personal pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. 2. Rutinitas media. Rutinitas media sangat erat kaitannya mekanisme dan proses penentuan berita karena setiap media mempunyai pandangan tertentu dengan apa yang disebut berita, ciri-ciri dan juga kelayakannya. 3. Organisasi. Level organisasi berkaitan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media bukan orang tunggal didalam organisasi berita melainkan mereka merupakan 41 Universitas Sumatera Utara bagian kecil didalam organisasi media dimana masing-masing komponen memiliki kepentingan. 4. Ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lain diluar media. Ada beberapa faktor yang yang termasuk dalam lingkungan luar media yaitu: a Sumber berita. Sumber berita bukanlah dipandang sebagai pihak yang netral dalam memberikan informasi, dia juga memiliki banyak kepentingan mempengaruhi isi media. b Sumber penghasilan media. Media harus survive, dan untuk bertahan hidup kadangkala media harus harus berkompromi dengan sumber daya yang menghidupi mereka.P c Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis, pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dan masing-masing lingkungan eksternal media. L d Level ideologi. Ideologi disini diartikan kerangka berfikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Menurut A.S Hikam, analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek bebas dan netral dalam menafsirkan makna, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Begitu juga, bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema wacana tertentu, serta strategi didalamnya. Eriyanto, 2001: 6 Eriyanto memaparkan beberapa karakteristik analisis wacana kritis sebagai berikut: a. Tindakan; wacana dipahami sebagai bentuk interaksi, bukan ditempatkan dalam ruang tertutup dan internal. Karena itu wacana dipandang sebagai sesuatu yang memiliki tujuan dan diekspresikan secara sadar dan terkontrol. b. Konteks; yaitu latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Artinya, wacana dibentuk sehingga harus ditafsirkan dalam kondisi dan situasi yang khusus. 42 Universitas Sumatera Utara c. Historis; yang merupakan salah satu aspek penting dalam memahami teks. Sebab ketika wacana, ditempatkan dalam konteks sosial tertentu berarti harus disertakan konteks lain yang menyertainya, dalam hal ini aspek historis ketika wacana dibentuk. d. Kekuasaan; di sini setiap wacana yang muncul pada dasarnya tidak terjadi secara alamiah melainkan merupakan wujud dari sebuah pertarungan kekuasaan. e. Ideologi; yang juga merupakan konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Menurut Gunter Kress, analisis wacana kritis bertujuan untuk menyediakan laporancatatan mengenai produksi, struktur internal, dan keseluruhan organisassi dari teks. Kress menambahkan bahwa analisis wacana kritis menempatkan bahasa sebagai suatu jenis praktik sosial di antara berbagai penggunaan untuk representasi dan pengertian Dellingger :1995. Paradigma kritis dalam hal ini terhadap teks berita, melihat media sebagai kekuatan besar yang berperan dalam membentuk kesadaran palsu dan memanipulasi realitas. Media merupakan alat bagi pemilik atau penguasanya untuk mengokohkan keberadaannya, sekaligus melakukan dominasi terhadap kelompok yang lain. Prinsip-prinsip objektivitas, indepedensi merupakan hal yang tidak mungkin ada dalam paradigma kritis. Oleh karena itu, analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar makna-makna tersembunyi yang terdapat pada setiap teks berita yang disampaikan oleh suatu media. Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisa wacana Eriyanto, 2001: 4-6. Pandangan pertama disebut positivis-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendali atau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Kaitannya dengan analisis wacana, 43 Universitas Sumatera Utara konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang paling penting ialah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan sematik. Pandangan kedua disebut konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan bahasa. Dalam pandangan kosntruktivisme, bahasa tidak lagi sebagai alat untuk memahami realitas objek belaka dan yang dipisahkan dari sujek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam dalam kegiatan wacana serta hubungan sosialnya. Dikatakan oleh A.S. Hikam, subjek memiliki kemampuan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri pembicara. Analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti ditulis A. S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis wacana yang pada gilirannya berperan dalam bentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya. Paradigma kritis, pemikiran ini telah ada sejak zaman Renaisans pada era 1350-1600. Pengertian ‘kritik’ dalam kaitannya dengan teori kritis dapat dikaitkan dengan pengaruh pada pemikiran dibaliknya yaitu aliran Frankfurt Jerman seperti Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Ciri-ciri dari paradigma ini adalah: a Bersifat historis, artinya teori ini diperkembangan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak diatasnya. 44 Universitas Sumatera Utara b Bersifat kritis pada dirinya sendiri dan terbuka dari segala kritik, evaluasi dan refleksi terhadap dirinya. c Selalu mempunyai kecurigaan penuh terhadap masyarakat aktual, karena secara mendasar ia selalu akan mempertanyakan segala kenyataan yang ada. d Dibangun demi sebuah ‘praksis’ atau untuk mendorong terjadinya transformasi masyarakat dengan jalan praksis. Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaranketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun startegi- strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang dipakai, topik apa yang dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, karena menggunakan paradigma kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis, wacana ini tidak dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa disini dianalisis bukan dengan menggambarkan semata dari aspek kebahasaan tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Artinya bahasa dipakai untuk tujuan dan praktek tertentu termasuk di dalamnya praktek kekuasaan melihat ketimpangan yang terjadi. Analisis wacana kritis berpedoman pada paradigma kritis dalam membedah isi media. Teks berita, sebagai sebuah produk media, dipandang memiliki suatu representrasi atas suatu kekuatan kelompok tertentu. Oleh sebab itu, teks berita tidak dapat terlepas dari relasi-relasi kuasa yang melekat di dalamnya. Dalam lingkup studi analisis tekstual, analisis wacana kritis melihat pesan, baik tekstual maupun lisan, sebagai bentuk pertarungan kekuasaan 45 Universitas Sumatera Utara sehingga teks berita dilihat sebagai bentuk manifestasi dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok yang lain. Wacana, dengan demikian adalah suatu alat representasi di mana satu kelompok yang dominan memarjinalkan posisi kelompok yang tidak dominan. Dalam banyak kasus, pemberitaan media terutama yang berhubungan dengan peristiwa yang melibatkan pihak dominan dan pihak yang kurang dominan, selalu disertai dengan penggambaran yang buruk mengenai pihak yang kurang dominan tersebut. Penggambaran teks berita semacam inilah yang menjadi perhatian dan minat utama dari analisis wacana kritis Eriyanto, 2001:18-19.

2.6 Analisis Wacana Teun Van Djik