13 Universitas Sumatera
Utara
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Konteks Masalah
Kebebasan pers di era reformasi ini, menjadikan industri media berkembang pesat, baik media cetak, elektronik dan media online. Salah satunya
industri pertelevisian. Saat ini banyak bermunculan dan akan bertambah lagi stasiun televisi swasta. Banyak bermuculan televisi baik televisi berita dan televisi
non berita atau televisi hiburan. Perkembangan industri televisi ini diharapkan menjadi salah satu alat yang mampu pemenuh kebutuhan informasi masyarakat
secara lengkap dan terperinci. Arti penting media massa telah berkembang sejak abad ke 17. Kini
beragam media tengah membangun segenap sistem yang sama pentingnya bagi masyarakat terbuka seperti halnya sistem politik dan ekonomi. Perkembangan
dinamis dari media meenyebabkan apa yang disebutkan para akademisi sebagai ‘second reality’, yakni penciptaan model model realitas yang ditentukan oleh
media. Masyarakat demokratis patut berdasar pada kebebasan pers, dan
kebebasan pers mungkin akan membawa masalah spesifik Lukas, 2002. Indonesia misalnya, pers dikontrol oleh rezim Soeharto melalui mekanisme
perijinan yang memungkinkan pemerintah mencabut ijinnya. Sejak jatuhnya rezim Soeharto pada bulan Mei 1998, media telah menikmati kebebasan tak
terbatas. Kebebasan ini disahkan dengan penetapan Undang-Undang Pers tahun 1999. Beberapa media telah dikritik karena menyalahgunakan kebebasan mereka.
Sejak sistem politik berusaha menggunakan media sebagai alat kekuasaan, timbul pertanyaan empiris: Apakah media sungguh-sungguh
menggunakan kebebasan mereka atau tidak? Walaupun Undang-Undang Pers tahun 1999 dan hukum kriminal di Indonesia sudah membolehkan publik
menuntut pers, penuntutan media ternyata masih sangat langka penghukuman bahkan lebih jarang lagi. Kebebasan pers ini diuji juga pada saat terjadi krisis
seperti serangan kelompok teroris yang semakin marak terjadi. Media menjadi
14 Universitas Sumatera
Utara
sumber informasi akurat, ataukah media menjadi alat yang menjadi penebar propaganda kelompok teroris.
Fakta bahwa jaringan kelompok teroris menggunakan media untuk menarik perhatian masyarakat telah jelas terbaca. Geismann Agus, 2016: 61
bahkan menyebut bahwa kelompok teroris mencari perhatian media untuk sebisa mungkin mendapat penerimaan publik, sehingga tidak heran jika ditemukan
kelompok teroris yang menjunjung fakta yang mereka manipulasi sensasi sebagai nilai berita untuk menebar propaganda. Ironisnya, tidak sedikit media
yang temakan oleh propaganda itu dengan hanya fokus pada perolehan berita- berita sensasional seputar aktivitas kelompok teroris, sehingga tanpa disadari
media telah membantu kelompok teroris melakukan promosi Agus, 2016: 61. Peristiwa perburuan dan seluruh tindakan terorisme dianggap menjadi
berita penting yang harus segera diketahui oleh orang banyak, karena menyangkut ketentraman dan keamanan masyarakat dan negara. Dengan mengejar kecepatan
penyampaian berita, media televisi sering kali mengabaikan proses redaksional. Seperti cek dan ricek, etika jurnalistik yang diabaikan demi kecepatan penayangan
berita secepat mungkin. Saat ledakan yang diduga dilakukan teroris di daerah Sarinah, Jakarta Pusat, media berlomba-lomba untuk memberitakan keadaan yang
sedang dan yang telah terjadi di daerah Sarinah. Media televisi dalam pemberitaannya tentu juga memiliki kode etik
jurnalistik yang harus dipatuhi oleh pekerja televisi, baik dari reporter, produser hingga pimpinan pemberitaan sebelum sebuah berita ditayangkan kepada
masyarakat. Demi mengejar kecepatan, media televisi khususnya televisi berita, semuanya menayangkan Breaking news terkait ledakan yang terjadi di daerah
Sarinah. Informasi yang diperoleh dari sosial media, mejadi acuan setiap stasiun televisi untuk memberi pemberitaan terkait ledakan. Hal ini menjadikan media
massa khususnya televisi, bisa menjadi gegabah dalam memberikan pemberitaan kepada masyarakat demi mengejar kecepatan informasi sehingga membangun
opini masyarakat yang menjadi keliru. Penyiaran baik televisi atau radio di Indonesia, diawasi oleh lembaga
pengawasan siaran televisi yakni Komisi Penyiaran Indonesia KPI. Lembaga ini akan mengawasi setiap siaran baik radio maupun televisi. Lembaga ini
15 Universitas Sumatera
Utara
memberikan pengawasan terhadap isi media yang disampaikan kepada masyarakat. Memberikan teguran dan sanksi bagi siaran yang dianggap tidak
memenuhi aturan standar penyiaran. Konten media berupa gambar atau video, suara, dan teks ringkas di layar kaca. Lembaga ini menjadi sangat penting karena
media massa begitu banyak memberikan pengaruh kepada pendengar dan masyarakat yang mendengarkan dan menonton siaran radio dan televisi.
Sebagai lembaga pengawasan siaran media elektronik televisi dan radio, terkait ledakan yang terjadi di daerah Sarinah Jakarta Pusat, KPI memberikan
teguran kepada beberapa stasiun televisi yang dianggap telah memberitakan berita tidak benar atau hoaks. Media televisi yang mendapat teguran diataranya Metro
TV, TV One, I News, Indosiar, NET TV, Trans 7, TVRI, Radio Elshinta. Sanksi dijatuhkan karena adanya pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran P3SPS, tentang program siaran jurnalistik tentang akurasi berita dan larangan menampilkan gambar mayat www.kpi.go.id.
Pelanggaran yang dilakukan oleh stasiun televisi Metro TV ialah pada program Breaking News pukul 11.20 tanggal 14 januari 2016. Menayangkan
informasi yang tidak akurat yakni adanya “ledakan di Palmerah”. Hal tersebut tentunya dapat menimbulkan keresahan masyarakat akibat berita yang tidak benar.
Selain itu KPI juga mendapati tayangan video amatir yang memperlihatkan visualisasi mayat tergeletak di dekat pos polisi Sarinah yang merupakan tempat
terjadi ledakan. Penayangan tersebut tidak layak dan tidak sesuai dengan etika jurnalistik, serta mengakibatkan ketidaknyamanan masyarakat yang menyaksikan
program tersebut. Hal ini, Metro TV sebagai stasiun berita tanah air, faktanya memberikan penayangan yang tidak layak tayang yang melanggar etika
jurnalisme televisi. Sebagai sebuah aksi kejahatan luar biasa, terorisme bukan saja
mengancam kedamaian manusia, melainkan juga seluruh nilai-nilai luhur kemanusiaan Agus, 2016: 59. Dari banyak studi dan penelitian terkait dengan
terorisme, ditemukan bahwa aksi brutal dan kekejaman yang dilakukan yang dilakukan kelompok teroris hanyalah satu bagian dari upaya untuk menyebarkan
ketakutan kepada masyarakat luas. Objek terorisme bukan saja orang secara
16 Universitas Sumatera
Utara
langsung mengalami kekerasan, tetapi juga masyarakat luas yang menyaksikan atau mendengar kabar tentang aksi kekerasan tersebut.
Perkembangan teknologi informasi sekarang ini, jaringan kelompok terorisme telah mengubah pola penyebaran ketakutan, dengan memanfaatkan
media sebagai sarana perluasan terror. Kelompok tersebut menggandakan realitas dengan menggunakan media baik secara langsung maupun tidak langsung
melakukan penyebaran propaganda sendiri, maupun secara tidak langsung memancing media luar untuk meliput aksi mereka.
Media telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari aksi-aksi terorisme. Melalui media kelompok terorisme mengemas aksi-aksi terorisme
layaknya sebuah
perjuangan untuk
menegakkan kebenaran.
Mereka memutarbalikkan fakta dengan menyatakan bahwa aksi kekerasan yang mereka
lakukan adalah sebuah keharusan, sehingga dengan itulah mereka melempar bujukan agar masyarakat mau bergabung dengan kelompoknya.
Kelompok terorisme saat ini terkesan lebih sibuk membangun citra untuk mengambil hati masyarakat dunia, dengan menebar berbagai propaganda dan
klaim-klaim kebenaran, sehingga tidak heran ada banyak orang yang mengira bahwa kelompok tersebut benar-benar sedang menegakkan kebenaran. Disisi lain,
berkat media pula masyarakat menjadi mudah tahu bahwa kelompok terorisme sama sekali tidak ada baiknya, sehingga propaganda dan hasutan yang mereka
tebarkan mudah dimentahkan. Masyarakat saat ini mulai cerdas memilih informasi yang ditawarkan oleh media.
Dalam masyarakat yang demokratis, fungsi ideal media digambarkan sebagai berikut ini Lukas, 2002:6 : Media harus memberi informasi inform
kepada khalayak tentang apa yang sedang terjadi disekitar mereka. Media harus memberi pendidikan educated berdasarkan makna dan signifikansi fakta. Media
harus menyediakan ruangan publik untuk mendiskusikan isu-isu politik dan memfasilitasi pembentukan opini publik. Media harus memberikan publisitas
kepada institusi-institusi pemerintah dan politik. Akhirnya media harus melayani saluran advokatif bagi pandangan-pandangan politik yang berbeda-beda.
Konteks media dan terorisme, pemberitaan tentang terorisme lebih sering berupa glamorisasi berbagai aksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris.
17 Universitas Sumatera
Utara
Masyarakat yang mengkonsumsi berita akhirnya menjadi korban dari teror, baik disadari atau tidak disadari dibesar-besarkan oleh media. Belum lagi ditambah
dengan fakta bahwa saat ini ada banyak kelompok teroris yang menguasai media, sehingga mereka dapat denngan leluasa menyajikan ‘realita media’ yang jauh
lebih menyeramkan daripada realita yang sesunguhnya Agus. 2016: 65. Berbeda dengan model kejahatan kriminal lainnya, terorisme pada
hakikatnya merupakan tindakan untuk mendapatkan perhatian dan publisitas. Khusus untuk terorisme modern, dimana tujuan utamanya dari keseluruhan aksi
teror yang mereka lakukan ialah mendapatkan pemberitaan di media. Artinya, semakin besar aksi teror yang mereka lakukan, maka semakin besar pula harapan
untuk mendapat porsi liputan yang maksimal. Menjadi sebuah keharusan bagi kelompok teroris untuk selalu memperhitungkan sisi liputan media dan publisitas
dalam setiap aksi yang mereka lakukan. Efek dramatis yang dimunculkan dalam setiap aksi teror merupakan cara
yang gamblang untuk memancing media melakukan liputan. Philip Seib dan Dana M. Jabek Agus, 2016: 67 bahkan menyatakan bahwa keinginan besar
untuk mendapatkan peliputan media yang maksimal telah menjadi alasan kelompok teroris dalam penentuan target dan pemilihan lokasi, sehingga teror
yang mereka lakukan dapat menghasilkan dampak kerusakan dan kematian tragis serta dramatis bagi korbannya.
Ironisnya media justru sering kali acuh terhadap simbiosis ini. Alih-alih menyampaikan berita secara apa adanya, media malah terhanyut untuk membesar-
besarkan pemberitaan dan peliputan terhadap terorisme, sehingga efek yang timbul di masyarakat begitu menakutkan. Untuk kasus di Indonesia misalnya,
berbagai aksi teror yang pernah terjadi justru menjadi komoditas pemberitaan sekaligus kompetisi dari berbagai industri penyiaran. Apa yang diinginkan oleh
kelompok teroris adalah untuk mendapatkan publikasi, maka media-media dalam negeri bahkan justru terlalu berlebihan dalam merespon keinginan tersebut.
Persaingan semakin kuat seiring berkembangnya media online. Saat ini saingan utama media televisi ialah media online, atau situs berita online.
Perkembangan media online ini, sedikit banyaknya mempengaruhi proses redaksional berita pada media televisi. Media online dapat diakses sepanjang 24
18 Universitas Sumatera
Utara
jam, dan dapat di update informasinya setiap saat. Bermodalkan internet dan gadget atau laptop, seorang wartawan online dapat meng-update setiap kejadian
yang baru saja terjadi, bahkan ketika media lain seperti televisi, radio dan surat kabar belum memberikan pemberitaan mengenai kejadian tersebut.
Kondisi di atas menjadikan media televisi dapat mengabaikan proses redaksional sebuah berita sebelum tayang. Beberapa proses cek dan ri-cek tidak
dilakukan dengan baik, hususnya untuk tayangan Breaking news. Tayangan ini biasanya tayangan yang memuat berita penting yang dirasa perlu diketahui
masyarakat secepatnya. Berita atau kejadian yang baru saja terjadi dan dianggap mempengaruhi kondisi masyarakat. Berita yang berada di bawah payung Breaking
news seperti bencana alam, acara kenegaraan, pesawat jatuh, peristiwa perburuan dan tindakan terorisme serta kejadian besar lainnya yang berdampak langsung
kepada masyarakat. Liputan media tentang suatu krisis belum tentu merupakan kebenaran
Koch 1990 Lukas, 2002: 272. Ini bisa terjadi karena reporter mungkin bersandar pada tempat yang keliru ketika akan merekonstruksikan suatu realitas sosial,
contohnya, Koch mengungkapkan, kematian seseorang akibat pembunuhan mungkin akan dibelokkan menjadi kematian wajar ketika yang dijadikan sumber
fakta adalah polisi bukan dokter. Karenanya para wartawan dalam meliput sebuah krisis perlu tetap bersikap kritis agar tidak terjebak menyuarakan kepentingan
pihak tertentu, bukan mengungkap kejadian sebagai suatu kebenaran faktual. Liputan tentang tragedi atau krisis, sumber tulisan menjadi sangat
penting untuk dicermati, mengingat kecenderungan dari narasumber utuk melakukan news framing pembingkaian berita agar berita yang muncul sesuai
dengan kepentingan narasumber Lukas, 2002: 272. Para pejabat pemerintah, manajer bisnis, baik secara formal diwakili petugas humas maupun tidak berusaha
untuk mempengaruhi media agar liputan media menguntungkan posisi mereka. Beberapa kasus tragedi di berbagai tempat di Indonesia, para manajer atau pejabat
yang harusnya bertanggungjawab cenderung menempatkan penyebab krisis pada pihak ketiga yang tidak bisa mempertahankan diri atau dalam posisi lemah untuk
menolak tuduhan.
19 Universitas Sumatera
Utara
Para manejer atau pejabat Indonesia punya kecenderungan untuk mencari kambing hitam sebagai penyebab sebuah tragedi. Inilah yang kemudian
digemakan oleh media massa. Keterangan pejabat dianggap benar. Walaupun sulit bagi orang media untuk untuk membuat laporan tentang krisis yang akurat dan
tepat, tampaknya beberapa prinsip dasar jurnalisme tidak dapat dihindari.
1.2 Perumusan Masalah