FISIOLOGI KOLON DAN REKTUM

bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian serabut pasca ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan Emilia et al, 2002.

2.2 FISIOLOGI KOLON DAN REKTUM

Kolon adalah organ pengering dan penyimpan. Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tak tercerna misalnya selulosa, komponen empedu yang tidak terserap, dan cairan. Kolon mengekstraksi H 2 O dan garam dari isi lumennya. Apa yang tertinggal dan akan dikeluarkan disebut feses tinja. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan tinja sebelum defekasi. Selulosa dan bahan lain yang tak tercerna di dalam diet membentuk sebagian massa dan karenanya membantu mempertahankan keteraturan buang air. Kontraksi haustra secara perlahan menganduk isi kolon maju-mundur. Lapisan otot polos longitudinal luar tidak mengelilingi usus besar secara penuh. Lapisan ini terdiri dari tiga pita otot longitudinal yang terpisah, taeniae coli, yang berjalan di sepanjang usus besar. Taeniae coli ini lebih pendek daripada otot polos sirkular dan lapisan mukosa dibawahnya jika kedua lapisan ini dibentangkan datar. Karena itu, lapisan-lapisan dibawahnya disatukan membentuk kantung atau haustra. Haustra bukanlah sekedar kumpulan permanen yang pasif; haustra secara aktif berganti lokasi akibat kontraksi lapisan otot polos sirkular. Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak mendorong sesuai fungsinya sebagai tempat penyerapan dan penyimpanan. Motilitas utama kolon adalah kontraksi haustra yang dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Kontraksi ini, menyebabkan kolon membentuk haustra, serupa dengan segmentasi usus halus tetapi terjadi jauh lebih panjang. Waktu di antara dua kontraksi haustra Universitas Sumatera Utara dapat mencapai tiga puluh menit, sementara kontraksi segmentasi di usus halus bergantung dengan frekuensi 9 sampai 12 kali per menit. Lokasi kantung haustra secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula melemas dan membentuk kantung mulai berkontraksi secara perlahan sementara bagian tadinya berkontraksi melemas secara bersamaan untuk membentuk kantung baru. Gerakan ini tidak mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh refleks-refleks lokal yang melibatkan pleksus instrinsik. Gerakan massa mendorong tinja bergerak jauh. Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat segmen- segmen besar kolon asenden dan transversum berkontraksi secara simultan, mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi massif ini, yang secara tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan terjadi defekasi. Ketika makanan masuk ke lambung, terjadi refleks gastrokolon yang diperantarai dari lambung ke kolon oleh gastrin dan saraf otonom ekstrinsik, yang menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon. Pada banyak orang, refleks ini paling jelas setelah sarapan dan sering diikuti oleh keinginan untuk buang air besar. Karena itu, ketika makanan masuk ke saluran cerna, terpicu refleks-refleks yang memindahkan isi yang sudah ada ke bagian distal untuk menyediakan tempat bagi makanan yang baru masuk. Efek gastroileum memindahkan isi usus halus yang masih ada ke dalam usus besar, dan efek gastrokolon mendorong isi kolon ke dalm rektum, memicu refleks defekasi. Feses dikeluarkan oleh refleks defekasi. Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum, perengangan yang terjadi di rektum merangsang reseptor regang di dinding rektum, memicu refleks defekasi. Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus yaitu otot polos melemas dan rektum dan kolon Universitas Sumatera Utara sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus yaitu otot rangka juga melemas maka defekasi. Karena otot rangka, sfingter ani eksternus berada di bawah kontrol volunter. Perengangan awal dinding rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin buang air besar. Jika keadaan ini memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja dapat menjegah defekasi meskipon refleks defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali meregang rektum secara memicu refleks defekasi. Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk menjamin kontinensia tinja. Jika defekasi terjadi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang melibatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intra abdomen, yang membantu mendorong tinja. Terjadi konstipasi jika tinja terlalu kering. Jika defekasi ditunda terlalu lama makan dapat terjadi konstipasi sembelit. Ketika isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H 2 0 yang diserap dari tinja meningkat sehingga tinja menjadi kering dan keras. Variasi normal frekuensi defekasi antara individu berkisar dari setiap makan hingga sekali seminggu. Ketika frekuensi berkurang melebihi apa yang normal bagi yang bersangkutan maka dapat terjadi konstipasi berikut gejala-gejala terkaitnya. Gejala-gejala ini mencakup rasa tidak nyaman di abdomen, nyeri kepala tumpul, hilangnya nafsu makan yang kadang disertai mual, dan depresi mental. Berbeda dengan anggapan umum, gejala-gejala ini tidak disebabkan oleh toksin yang diserap daripada bagian tinja yang tertahan. Meskipon metabolisme bakteri menghasilkan bahan-bahan yang mungkin toksik di kolon namun bahan-bahan ini normalnya mengalir melalui sistem porta dan disingkirkan oleh hati sebelum dapat mencapai sirkulasi sistemik. Gejala-gejala yang berkaitan konstipasi disebabkan Universitas Sumatera Utara distensi berkepanjangan usus besar, terutama rektum ; gejala segera hilang setelah peregangan mereda. Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan konstipasi mencakup 1 mengabaikan keinginan untuk buang air besar; 2 berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat; 3 obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon; dan 4 gangguan reflkes defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat. Sekresi usus besar seluruhnya bersifat protektif. Usus besar tidak mengeluarkan enzim pencernaan apapun. Tidak ada yang diperlukan karena pencernaan telah selesai sebelum kimus mencapai kolon. Sekresi kolon terdiri larutan mucus basa NaHCO 3 yang berfungsi adalah melindungi mukosa usus besar dari cedera mekanis dan kimiawi. Mucus menghasilkan pelumasan untuk mempermudah feses bergerak, sementara NaHCO 3 menetralkan asam-asam iritan yang diproduksi oleh fermentasi bakteri lokal. Sekresi meningkat sebagai respon terhadap simulasi mekanis dan kimiawi mukosa kolon yang diperantarai oleh refleks pendek dan persarafan parasimpatis. Tidak terjadi pencernaan di usus besar karena tidak terdapat enzim pencernaan. Namun, bakteri kolon mencerna sebagian dari selulosa untuk kepentingan mereka. Kolon mengandung beragam bakteri yang bermanfaat. Karena gerakan kolon yang lambat maka bakteri memiliki waktu untuk tumbuh dan menumpuk di usus besar. Sebaliknya, di usus halus isi biasanya dipindahkan secara cepat sehingga bakteri tidak dapat tumbuh. Selain itu, mulut, lambung, dan usus halus mengeluarkan bahan-bahan antibakteri, tetapi kolon tidak. Namun, tidak semua bakteri yang tertelan dihancurkan oleh lisozim dan HCl. Bakteri yang bertahan hidup terus berkembang di usus besar. Jumlah bakteri yang terus hidup di kolon manusia adalah sekitar 10 kali lebih banyak daripada jumlah sel yang ada di tubuh manusia. Secara kolektif, massa bakteri ini memiliki berat 1000 g. Diperkirakan terdapat 500 sampai 1000 spesies Universitas Sumatera Utara bakteri yang berbeda hidup di kolon. Mikroorganisme kolon ini biasanya tidak sahaja membahayakan tetapi pada kenyataannya dapat bermanfaat. Sebagai contoh, bakteri penghuni 1 meningkatkan imunitas usus dengan berkompetisi memperebutkan nutrien dan ruang dengan mikroba yang berpotensi patogen; 2 mendorong motilitas kolon; 3 membantu memelihara integritas mukosa kolon; dan 4 memberi kontribusi nutrisi. Sebagai contoh, bakteri mensistesis vitamin K yang dapat diserap dan meningkatkan keasaman kolon sehingga mendorong penyerapan kalsium, magnesium, dan seng. Selain itu, berbeda dari anggapan sebelumnya, sebagian dari glukosa yang dibebaskan selama pemprosesan serat makanan oleh bakteri diserap oleh mukosa kolon. Usus besar menyerap garam dan air, mengubah isi lumen menjadi feses. Sebagian penyerapan berlangsung didalam kolon, tetapi dengan tingkatan yang lebih rendah daripada di usus halus. Karena permukaan lumen kolon cukup halus maka luas permukaan absorptifnya jauh lebih kecil daripada usus halus. Jika motilitas usus halus yang tinggi menyebabkan isi usus cepat masuk ke kolon sebelum absorpsi nutrien tustas maka kolon tidak dapat menyerap sebagian besar bahan ini dan bahan akan keluar sebagai diare. Kolon dalam keadaan normal menyerap garam dan H 2 O. Natrium diserap secara aktif, Cl ⁻ mengikuti secara pasif menuruni gradien listrik, dan H 2 O mengikuti secara osmotis. Kolon menyerap sejumlah elektrolit lain serta vitamin K yang disintesis oleh bakteri kolon. Melalui absorpsi garam dan H 2 O terbentuk massa tinja yang padat. Dari 500 g bahan yang masuk ke kolon setiap hari dari usus halus, kolon normalnya menyerap sekitar 350 ml , meninggalkan 150 g feses untuk dikeluarkan dari tubuh setiap hari. Bahan feses ini biasanya terdiri dari 100 g H 2 O dan 50 g bahan padat, termasuk selulosa yang tidak tercerna, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Karena itu, berbeda dari pandangan umum, saluran cerna bukan saluran ekskresi utama untuk Universitas Sumatera Utara mengeluarkan zat sisa dari tubuh. Produk sisa utama yang di ekskresikan di tinja adalah bilirubin. Konstituen-konstituen tinja lain adalah residu makanan yang tidak terserap dan bakteri, yang sebenarnya tidak pernah menjadi sebgaian dari tubuh. Gas usus diserap atau dikeluarkan. Kadang-kadang selain feses yang keluar dari anus, gas usus, atau flatus, juga keluar. Gas ini terutama berasal dari dua sumber : 1 udara yang tertelan hingga 500 ml udara mungkin tertelan ketika makan dan 2 gas yang diproduksi oleh fermentasi bakteri di kolon. Adanya gas yang mengalir melalui isi lumen menimbulkan suara berkumur yang dikenal sebagai borborigmi. Bersendawa, mengeluarkan sebagian besar udara yang tertelan dari lambung, tetapi sebagian masuk ke usus. Di usus biasanya hanya sedikit terdapat gas karena gas cepat diserap atau diteruskan ke dalam kolon. Sebagian besar gas di kolon disebabkan oleh aktivitas bakteri, dengan jumlah dan sifat gas bergantung pada jenis makanan yang dikonsumsi dan karakteristik bakteri kolon. Sebagian makanan, misalnya kacang- kacangan, mengandungi tipe-tipe karbohidrat yang tidak dapat dicerna oleh manusia tetapi dapat diserang oleh bakteri penghasil gas. Banyak dari gas ini yang diserap melalui mukosa usus. Sisanya dikeluarkan melalui anus. Untuk secara selektif mengeluarkan gas ketika feses juga ada di rektum, yang bersangkutan secara sengaja mengontraksikan otot-otot abdomen dan sfingter ani eksternus secara bersamaan. Ketika kontraksi abdomen meningkatkan tekanan yang menekan sfingter ani eksternus yang menutup maka terbentuk gradien terkanan yang memaksa udara keluar dengan kecepatan tinggi melalui lubang anus yang berbentuk celah dan terlalu sempit untuk keluarnya feses. Lewatnya udara dengan kecepatan tinggi menyebabkan tepi-tepi lubang anus bergetar, menghasilkan nada rendah khas yang menyertai keluarnya gas Sherwood, 2002.

2.3 PENGERTIAN KANKER KOLOREKTAL