35
BAB 5 PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di TK dan PAUD kecamatan Medan Maimun dan Medan Marelan, subjek penelitian berjumlah 318 orang anak. Jumlah sampel dari
Kecamatan Medan Maimun adalah 158 anak 49,7 dan Kecamatan Medan Marelan 160 anak 50,3. Subjek penelitian terdiri dari anak usia 3-5 tahun. Jumlah anak laki-
laki 157 anak 49,4 dan perempuan 161 anak 50,6. Berdasarkan usia, usia 3 tahun 99 anak 31,2, usia 4 tahun 105 anak 33,0, usia 5 tahun 114 anak 35,8 Tabel
3. Distribusi besar sampel berdasarkan usia dan jenis kelamin pada penelitian ini cukup merata dapat di lihat dari perbandingan subjek penelitian.
Terdapat 106 anak pada setiap kelompok distribusi deft tanpa pufa dan kelompok pufa berdasarkan jenis kelamin. Pada kelompok I deft 1-5 jumlah sampel laki-laki 61
anak 57,5 dan perempuan 45 anak 42,5, kelompok II deft 5 jumlah sampel laki- laki 46 anak 43,4 dan perempuan 60 orang 56,6, kelompok III pufa
≥1 jumlah sampel laki-laki 50 orang 47,2 dan perempuan 56 anak 52,8. Tabel 4 menunjukkan
distribusi laki-laki dan perempuan tidak sama sehingga memungkinkan hasil penelitian yang di peroleh tidak signifikan.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh rerata pengalaman karies berdasarkan kelompok. Terlihat rerata status karies pada 3 kelompok dengan jumlah sampel 106
anak di setiap kelompok. Kelompok I deft 1-5 2,78±1,39 dengan decay 2,61±1,4; extracted
0,16±0,75 dan filling 0,01±0,97. Pada kelompok II deft 5 rerata 8,12±2,76; dengan decay 7,62±2,96; extracted 0,49±1,23 dan filling 0,02±0,13. Pada kelompok III
pufa ≥1 rerata deft sebesar 9,66±4,30; dengan decay 8,92±4,29; extracted 0,68±1,45
dan filling 0,68±1,45. Rata-rata deft keseluruhan kelompok I-III yang di lakukan pada 318 anak sebesar 6,86±4,24 dengan decay 6,39±4,13; extracted 0,44±1,19 dan filling
0,01±0,97 Tabel 6. Data hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat kesadaran untuk mencari perawatan masih rendah, terlihat dari total decay dari
keseluruhan kelompok 6,39 dan filling 0,01.
Universitas Sumatera Utara
36
Menurut Tripathi 2010 Secara umum ada beberapa faktor yang memengaruhi tingginya decay, yaitu kebersihan rongga mulut, komposisi dan frekuensi diet, status
sosio ekonomi, kandungan immunoglobulin dalam saliva untuk melawan bakteri, dan asupan fluoride. Dijumpai anak dengan decay tinggi pada penelitian ini menunjukkan
masih banyak gigi yang di biarkan belubang tanpa dilakukan perawatan mungkin karena kurangnya pemahaman, pengetahuan dan motivasi dari orangtua terhadap
kesehatan rongga mulut anak yang dapat memengaruhi perilaku orangtua terhadap anak. Pengaruh orang tua tentang kebiasaan pemeliharaan kebersihan gigi anak meliputi
pengawasan dalam penyikatan gigi anak, frekuensi menyikat gigi anak, membiasakan membersihkan gigi atau berkumur air putih setelah minum susu, mengemil makanan
lunak, lengket dan manis yang mudah menempel pada permukaan gigi, sikat gigi dengan menggunakan pasta gigi mengandung fluor.
Terdapat extracted pada data hasil penelitian bisa dikarenakan tingkat kesadaran orangtua dalam mencari perawatan masih rendah. Orang tua tidak membawa anaknya
ke dokter gigi apabila terdapat karies, gigi karies dibiarkan tanpa adanya perawatan hingga akhirnya tercabut dini dan akan mengganggu susunan gigi serta tumbuh
kembang anak. Kehilangan gigi dalam jumlah banyak dapat menyebabkan gangguan pengunyahan dan pencernaan. Hanya terdapat sedikit filling berarti kurangnya
pengetahuan orangtua untuk melakukan perawatan gigi karies terhadap anaknya berupa penambalan gigi. Persepsi orang tua tentang kesehatan gigi anak tidak terlalu penting di
bandingkan kesehatan umum juga merupakan faktor yang mendukung terdapat sedikit filling
pada sampel penelitian sehingga orang tua merasa tidak perlu membawa anak ke dokter gigi apabila terdapat masalah di dalam rongga mulut anak. Menurut Hutabarat
tahun 2009 ini dapat terjadi mungkin karena faktor ekonomi orangtua yang kurang, dan anak mungkin tidak pernah mengeluh rasa sakit akibat kerusakan gigi yang
dialaminya.
39
Gambaran klinis kerusakan gigi anak pada penelitian ini berupa kerusakan mahkota pada rahang atas dan bawah anterior akibat kerusakan enamel dan dentin,
keterlibatan pulpa pada molar desidui dan dentin yang terbuka pada molar desidui. Rerata status karies pada anak usia 3-5 tahun di Kota Yogyakarta adalah sebesar 5.80.
Universitas Sumatera Utara
37
Sedangkan penelitian Sutandi di Jakarta didapati rerata deft 2,14. Terdapat perbedaan dapat dikarenakan oleh banyak faktor, seperti kurangnya pengetahuan orang tua
menjaga kesehatan gigi anak, dan tingkat pendidikan yang rendah. Orang tua berperan penting untuk membimbing, memberikan pengertian, mengigatkan dan menyediakan
fasilitas kepada anak agar memelihara kesehatan gigi dan mulutnya. Rerata deft lebih kecil pada penelitian Sutandi di Jakarta, dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah
sampel pada penelitian tersebut.
40
Rerata status karies pada kelompok III pufa 1 atau kelompok anak yang memiliki pufa yang di lakukan pada 106 anak mendapatkan rerata sebesar 5,47±4,02
dengan p keterlibatan pulpa 5,46±4,02; ulserasi 0,00±0,00; fistula 0,01±0,97; dan abses 0,00±0,00. Data hasil penelitian ini menunjukan pada kelompok pufa, rerata
karies mencapai pulpa 5,46, ulserasi 0,00, fistula 0,01, dan abses 0,00 Tabel 5. Karies yang tidak ditangani akan menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman, mengakibatkan
adanya ulserasi di daerah sekitar karies ataupun mukosa gigi antagonis, terbentuknya abses dan bila di biarkan dalam jangka waktu yang lama akan menjadi fistula.
Rerata karies mencapai pulpa mempunyai nilai yang paling dominan diantara indeks pufa pada penelitian ini. Tingginya rerata skor keterlibatan pulpa dikarenakan
kurangnya kepedulian dari orangtua dan anak untuk merawat gigi yang telah mengalami karies dini dan adanya rasa takut serta cemas orang tua yang berlatar belakang ekonomi
rendah terhadap biaya perawatan gigi anak yang tergolong cukup mahal sehingga orang tua tidak membawa anak ke dokter gigi. Menurut penelitian Monse di Filipina rerata
pufa 2,3±1,6. Perbedaan dapat terjadi karena sampel dari negara-negara maju dengan standart hidup yang tinggi dan fasilitas kesehatan tersedia dengan baik. Sebaliknya,
hasil penelitian Ristya Widi pada anak usia 3-5 tahun di Kaliwates Jember didapati rerata pufa 4,49 hampir sama besar dengan hasil yang di dapatkan oleh peneliti.
Perbedaan rerata dapat terjadi kemungkinan karena jumlah sampel yang digunakan Ristya 49 orang sedangkan pada penelitian 106 orang.
14-15
Pada penelitian ini, diperoleh perbedaan yang bermakna antara IMT dengan kelompok deft dan kelompok pufa.
Hasil yang diperoleh pada kelompok I dengan jumlah 106 anak, terlihat kategori normal 80 anak 75,4, kurus dan gemuk dengan
Universitas Sumatera Utara
38
jumlah yang sama 13 anak 12,3. Pada kelompok II terlihat persentase terbesar masih pada kategori kategori normal 82 orang 77,4, kemudian kurus 15 orang 14,1,
dan gemuk 9 orang 8,5. Pada kelompok III terlihat tidak ada anak dengan kategori gemuk 0 orang 0, pada kategori ini masih di dominasi kategori normal 79 orang
74,5, dan terlihat anak dengan kategori kurus 27 orang 25,5 jumlah anak di kategori kurus pada kelompok III paling banyak di antara kelompok lain Tabel 6.
Data kelompok I terdapat anak yang termasuk kategori kurus, hal ini di pengaruhi decay
pada anak mungkin sudah sampai dentin dan menyebabkan adanya rasa ngilu pada gigi anak, sehingga menjadikan anak tidak mau makan. Kurangnya asupan nutrisi
yang di terima anak sehingga berat badan dibawah normal. Adanya anak dengan kategori normal, sebesar 75,4. Persentase ini tinggi kemungkinan pada saat penelitian,
anak telah diberi obat oleh orangtuanya sehingga tidak menyebabkan rasa sakit dan decay
yang terjadi hanya sebatas enamel sehingga tidak mengganggu pola makan anak. Selain itu sedikitnya gigi berlubang yang dialami anak tidak mengganggu asupan
nutrisi, serta orang tua sadar akan adanya pilihan perawatan lain seperti penambalan dan pencabutan gigi anak yang mengalami karies. Pada anak yang gemuk didapati skor deft
yang kecil, ini terjadi mungkin karena anak tidak merasa kesulitan dalam mengonsumsi makanan. Pada kelompok deft 1-5 tanpa pufa anak dengan karies dibawah rerata
termasuk kategori gemuk, sedangkan anak kurus memiliki rerata deft yang lebih tinggi. Pada kelompok II Anak yang masuk dalam kategori kurus lebih banyak di
bandingkan kelompok I, hal ini dapat terjadi karena anak kemungkinan sulit untuk mengunyah makanan dengan baik, sebanding dengan jumlah gigi yang terlibat. Pada
kelompok ini didapati hampir seluruh gigi dalam mulut yang terlibat. Anak yang tidak menyikat gigi secara teratur akan memiliki kondisi rongga mulut yang tidak baik,
sehingga akan mudah terkena oleh penyakit gigi dan mulut. Salah satu contoh penyakit gigi dan mulut yang sering terjadi yaitu karies. Anak yang mengalami karies pada
umumnya mempunyai berat badan yang kurang dari pada anak yang bebas karies. Faktor lain adalah kebiasaan anak meminum susu botol dalam waktu relatif lama dan
menjelang tidur tanpa dianjurkan berkumur air putih setelahnya oleh orang tua umumnya sangat berisiko mengalami karies.
Universitas Sumatera Utara
39
Menurut Junaidi kondisi status kesehatan gigi yang baik atau karies gigi yang rendah tentunya tidak menyulitkan proses pengunyahan makanan, karena gigi-geligi
memegang peranan penting, sehingga asupan zat-zat gizi berlangsung lebih baik, sesuai dengan kebutuhan tubuh. Pada kelompok deft 5 tanpa pufa lebih banyak indeks massa
tubuh dengan kategori normal dikarenakan anak tidak merasakan rasa sakit yang dapat mengganggu jenis asupan dan jam makan.
51
Masih terdapat anak dengan kategori gemuk pada kelompok ini mungkin karena karies pada anak tidak menyebabkan rasa
sakit dan memengaruhi perilaku anak secara menyeluruh seperti memilih makanan yang lunak dan mudah di kunyah yang tentunya akan memengaruhi indeks massa tubuh.
Pada kelompok III anak dengan kategori kurus persentasenya cukup tinggi 25,5, hasil ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pufa memengaruhi indek
massa tubuh , anak yang memiliki pufa akut lebih berisiko terhadap penurunan indeks massa tubuh. Pada saat penelitian, hanya beberapa anak yang mengeluh sakit,
kemungkinan karena sakit yang diderita sudah lama atau kronis sehingga ketika dilakukan pemeriksaan anak tidak mengeluh adanya rasa sakit yang mengakibatkan
tidak terganggunya asupan makanan anak. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa, kesehatan gigi dan mulut merupakan salah satu komponen
kesehatan secara umum dan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan normal dari anak. Masalah kesehatan mulut dapat memengaruhi perkembangan umum anak.
Secara keseluruhan kategori normal mendominasi pada kelompok I-III daripada kategori kurus dan gemuk. Hal ini disebabkan pada kategori normal anak sudah tidak
merasakan rasa sakit pada gigi saat di lakukan pemeriksaan. Sehingga pola makan anak tidak terganggu. Kemungkinan lain standar indeks massa tubuh kelompok anak usia 24-
60 bulan pada range normal -2 SD sd 2 SD mencapai 5 kolom, dibandingkan range kurus -3 SD sd -2 SD hanya 1 kolom dan gemuk 2 SD sd 3 SD hanya 1 kolom.
Karies dapat menimbulkan rasa nyeri pada gigi yang menyebabkan anak tidak ingin makan sehingga mengurangi asupan nutrisi, perubahan kebiasaan makan seperti
penghancuran makanan yang tidak sempurna, dilanjutkan atrofi otot pengunyahan menyebabkan alat pengunyahan akan memilih makanan sesuai dengan kekuatan
kunyahnya sehingga pada akhirnya menyebabkan malnutrisi, dan tidur anak terganggu
Universitas Sumatera Utara
40
akibat nyeri yang dirasakan, hal ini berpengaruh terhadap menurunnya status gizi anak, dan menyebabkan penurunan berat badan anak seiring dengan menurunnya status gizi
anak Poureslami, 2009
41
. Mostafa Sadeghi, dkk 2012 menyimpulkan bahwa anak yang beresiko gemuk
dan anak yang gemuk mempunyai nilai deft yang lebih tinggi daripada anak dengan status gizi normal. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Willerhausen 2011 dan
Johansson 2013 mengenai hubungan status gizi dengan deft. Penelitian Kantovitz et al
menemukan hubungan langsung antara karies gigi dan kegemukan. Karies gigi dan kegemukan pada masa kanak-kanak terjadi secara bersama-sama, kemungkinan akibat
dari faktor-faktor risiko umum seperti seringnya mengkonsumsi makanan dan minuman kariogenik dan rendahnya kebersihan mulut Hilgers et al.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan McDonald dan Avery 2010 yang mengemukakan tidak ada perbedaan
yang signifikan antara keparahan karies dan indeks massa tubuh. Penelitian Costa et al. 2013 yang meneliti Karies dan indeks massa tubuh pada
anak-anak di Brazil menemukan tidak ada hubungan antara karies gigi dan indeks massa tubuh, penghasilan keluarga yang lebih tinggi terkait dengan rendahnya pengalaman
karies pada anak-anak.
42-48
Hasil yang sama juga dilaporkan Ruhaya et al. 2012 tidak ada hubungan yang signifikan dalam skor dmft
anak usia tiga tahun dengan indeks massa tubuh mereka. Kemungkinan bahwa anak-anak
usia tiga tahun belum memiliki cukup waktu untuk perkembangan
karies secara penuh sebagaimana dibandingkan dengan anak-anak usia
diatasnya. Harus dicatat bahwa karies adalah penyakit yang berkembang secara lambat dan membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk berkembang dari white spot awal menjadi lubang pada gigi yang
memengaruhi dentin. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gokhale tahun 2010 di Nellore India, yang meneliti hubungan antara karies dan indeks massa tubuh pada 100 sampel anak-anak
menemukan bahwa deft tidak berkorelasi dengan indeks massa tubuh, banyak faktor lain yang berperan dalam proses karies dan dibutuhkan studi longitudinal dengan
sampel yang lebih besar untuk mengkonfirmasi hubungan ini.
49-50
Hasil analisis korelasi kelompok tanpa pufa dan kelompok pufa dengan indeks massa tubuh, didapat koefisien korelasi deft -0,133 dengan p = 0,05 dan koefisien
Universitas Sumatera Utara
41
korelasi pufa -0,003 dengan p = 0,977. Nilai signifikansi 0,05 menunjukkan tidak ada hubungan rerata deft dan pufa terhadap indeks massa tubuh dan tidak terdapat korelasi
Tabel 7. Penelitian pada kelompok deft tanpa pufa dan kelompok pufa tidak didapati
hubungan yang bermakna antara rerata deft tanpa pufa dan rerata kelompok pufa dengan indeks massa tubuh. Koefisien korelasi bernilai negatif yang berarti semakin tinggi deft
maka semakin rendah indeks massa tubuhnya begitu pula dengan kelompok pufa semakin tinggi pufa maka semakin rendah indeks massa tubuh anak. Tidak terdapat
hubungan yang bermakna karena anak memiliki rerata indeks massa tubuh normal banyak 70, sehingga pengalaman karies dan pufa tidak memengaruhi indeks massa
tubuh anak. Kemungkinan lainnya, decay banyak tetapi hanya sebatas enamel atau kronis yang tidak menimbulkan rasa sakit sehingga tidak mengganggu asupan makan
anak. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ristya, bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara rerata deft tanpa pufa dan pufa dengan rerata indeks massa tubuh dan
berkorelasi negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Khairunawati dkk, menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara rerata pufa dengan rerata indeks
massa tubuh tetapi berkorelasi positif.
14,52
Hubungan antara karies dan indeks massa tubuh yang di tunjukkan di penelitian ini berbeda dengan penelitian Larsson dan Alm yang melaporkan bahwa karies gigi
berkorelasi positif dengan indeks massa tubuh. Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Brita yang menyatakan bahwa frekuensi
karies pada gigi sulung berhubungan dengan indeks massa tubuh.
53
Hasil ini kemungkinan karena anak susah makan, sehingga anak cenderung memilih makan-
makanan yang lengket dan manis berkabohidrat tinggi, minum susu sehingga memengaruhi indeks massa tubuh anak semakin tinggi. Sebaliknya, pada anak dengan
indeks massa tubuh normal mungkin orangtua memberi obat untuk menghilangkan rasa sakit gigi pada anak sehingga anak dapat mengonsumsi makanan seperti biasa, sehingga
tidak memengaruhi indeks massa tubuh anak. Hasil analisis statistik menunjukkan hubungan antara rerata pufa dengan jenis
kelamin. Laki-laki sebanyak 50 anak diperoleh rerata pufa 5,74±4,64 dan perempuan 56
Universitas Sumatera Utara
42
anak dengan rerata pufa 5,23±3,40 dengan nilai signifikansi 0,959. Menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara rerata pufa dan jenis kelamin Tabel 8. Anak laki-laki
memiliki rerata pufa lebih tinggi. Karies gigi didapatkan sebagian besar pada anak laki- laki karena anak laki-laki kurang terampil dalam tugas yang bersifat praktis khususnya
dalam tugas motorik halus contohnya menyikat gigi. Rata-rata anak laki-laki memulai dan menguasai sikat gigi lebih lama dibandingkan anak perempuan karena sistem saraf
anak laki-laki berkembang lebih lama sehingga anak laki-laki jarang memerhatikan sesama laki-laki yang menjadi panutannya.
Hasil penelitian Ningsih dkk, menunjukkan karies gigi pada anak perempuan 57,73 lebih tinggi daripada laki-laki 46,27.
Sedangkan pada penelitian ini tidak terbukti karena kemungkinan adanya persamaan perlakuan orang tua kepada anak laki-
laki dan perempuan tentang kesehatan gigi dan mulut, variasi makanan dan kebiasaan anak usia 3-5 tahun yang cenderung sama.
53
Hubungan antara rerata deft dengan jenis kelamin pada 3 kelompok yang berjumlah 318 anak. Laki-laki sebanyak 157 anak memiliki rerata deft 6,50±4,40,
perempuan 161 anak memiliki rerata deft 7,19±4,06; dengan nilai signifikansi 0,052. Menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara rerata deft dengan jenis kelamin
Tabel 9. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyatakan pengalaman karies perempuan lebih tinggi dari laki-laki karena erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dibandingkan
dengan anak laki-laki sehingga gigi anak perempuan lebih lama terpapar dengan lingkungan rongga mulut kariogenik.
5
Universitas Sumatera Utara
43
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN