Kerangka Teori TINJAUAN PUSTAKA

commit to user

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Viktimologi a. Pengertian Viktimologi Viktimologi berasal dari bahasa latin yaitu victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi dapat diartikan suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. b. Perkembangan Viktimologi Perkembangan viktimologi dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu : 1 Fase Penal atau Special Victimology , yaitu fase dimana viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. 2 Fase General Victimology , yaitu fase dimana viktimologi tidak hanya mempelajari tentang korban kejahatan namun juga korban kecelakaan. 3 Fase New Victimology , yaitu fase viktimologi yang telah mengalami perkembangan yang lebih luas, bukan hanya korban kejahatan dan kecelakaan saja yang dipelajari, namun juga korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan menyangkut hak-hak asasi manusia. c. Ruang Lingkup Viktimologi Viktimologi meneliti mengenai korban, seperti peranan korban saat terjadinya tindak pidana, hubungan antara korban dan pelaku, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan. Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimy yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan korban bencana alam selain korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun dalam perkembangannya di tahun 1985, Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji commit to user korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam, karena bencana alam di luar kemauan manusia out of man’s will Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 43. Perkembangan mengenai ruang lingkup viktimologi menjadi lebih luas lagi, hal ini mengingat pentingnya peranan korban dalam setiap terjadinya tindak pidana, seperti dalam Kongres Perserikatan Bangsa- Bangsa PBB kelima di Genewa tahun 1975 dan Kongres keenam tahun 1980 di Caracas yang meminta perhatian lebih untuk korban kejahatan selain kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian dan pembunuhan namun korban kejahatan inkonvensional seperti terorisme, pembajakan dan kejahatan kerah putih. d. Manfaat Viktimologi Beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi adalah sebagai berikut : 1 Viktimologi mempelajari hakekat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam suatu proses viktimisasi; 2 Viktimologi memberikan sumbangan pengertian yang lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya ialah untuk memberikan penjelasan mengenai peran korban dan hubungannya dengan pelaku; 3 Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau nonstruktural; 4 Viktimologi juga memberikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung. Dengan demikian dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui commit to user terlebih dahulu kasus–kasus, mengatasi akibat–akibat merusak dan mencegah pelanggaran kejahatan lebih lanjut; 5 Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah kompensasi pada korban. Pendapat-pendapat viktimologis dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap perilaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga suatu studi mengenai hak dan kewajiban hak asasi manusia Arif Gosita, 1989: 41. e. Tujuan Viktimologi Tujuan viktimologi menurut Muladi adalah 1 Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban; 2 Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; 3 Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto G. Widiartana, 2001: 175. 2. Tinjauan Tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga a. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga Kekerasan dalam rumah tangga KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik, dengan pengertian domestik ini diharapkan memang tidak melulu konotasinya dalam suatu hubungan suami istri saja, tetapi juga setiap pihak yang ada di dalam keluarga itu, jadi bisa saja tidak ada hubungan suami istri, tapi juga hubungan darah anak, adik, kakak, dll atau bahkan seorang pembantu rumah tangga. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan definisi kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah commit to user tangga. Menurut H. Lien Brugg bahwa “ domestic violence is a pattern of coercive and assaultive behaviors that include physical, sexual, verbal, and psychological attacks and economic coercion that adults or adolescents use against their intimate partner ”Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola tindakan kekerasan dan penyerangan fisik, seksual, verbal, dan serangan psikis dan penelantaran ekonomi kepada orang dewasa atau anak- anakremaja oleh orang dekatnya H. Lien Brugg, 2003: 15. b. Ruang Lingkup Rumah Tangga Didalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dinyatakan bahwa lingkup rumah tangga meliputi : 1 Suami, istri dan anak termasuk anak angkat dan anak tiri; 2 Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga mertua, menantu, ipar dan besan; danatau 3 Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. H. Lien Brugg memberikan pengertian ruang lingkup keluarga yang lebih luas, yaitu wanita, pria, anakremaja, orang cacat, gay atau lesbian sesuai dengan pernyataannya bahwa “ Anyone can become a victim of domestic violence. Victims of domestic violence can be women, men, adolescents, disabled persons, gays, or lesbians, they can be of any age and work in any profession” Setiap orang dapat menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat dialami oleh wanita, pria, anak-anakremaja, orang cacat, gay atau lesbian dari berbagai umur dan bekerja diberbagai profesi H. Lien Brugg, 2003: 23. c. Unsur-Unsur Kekerasan dalam Rumah Tangga Unsur-unsur yang terdapat dalam kekerasan dalam rumah tangga menurut Iptu Nunik Suryani dari Polres Klaten adalah 1 Segala bentuk tindak kekerasan; commit to user 2 Korban perempuan danatau anak; 3 Berakibat kesengsaraanpenderitaan fisik, psikis, seksual dan penelantaran; 4 Perbuatan pemaksaanperampasan kemerdekaan; 5 Terjadi dalam lingkup rumah tangga Nunik Suryani, 2006. 3. Tinjauan Tentang Korban a. Pengertian Korban Korban suatu tindak kejahatan tidak selalu berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum, bahkan dalam kejahatan tertentu, bisa juga korban adalah berupa ekosistem, hewan atau tumbuhan. Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli, konvensi-konvensi internasional maupun dalam peraturan perundang-undangan, untuk lebih jelasnya beberapa pengertian korban adalah sebagai berikut : 1 Korban menurut beberapa Ahli a Menurut Arief Gosita “korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi pihak yang dirugikan” Arif Gosita, 1993: 63. b Menurut Muladi “korban victims adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau kondisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan” Muladi dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46. c Menurut Raplh de Sola, korban victim “ …person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense committed by another… ” commit to user korban adalah orang yang mengalami penderitaan mental atau fisik, kehilangan harta benda atau mengakibatkan kematian karena suatu tindak pidana atau percobaan tindak pidana yang dilakukan orang lain Raplh de Sola dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 46. 2 Korban menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Definisi korban menurut undang-undang ini, korban adalah orang yang mengalami kekerasan danatau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 3 Korban menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Definisi korban menurut undang-undang ini adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang menderita secara langsung, namun lebih luas bahwa korban termasuk didalamnya keluarga ataupun tanggungan langsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi kerugian atau untuk mencegah viktimisasi. Namun dalam penelitian ini yang dimaksud korban yaitu orang yang mengalami kerugianpenderitaan secara langsung baik fisik, mental dan sosial yang terjadi dalam rumah tangga dan dilakukan oleh orang-orang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga, khususnya orang tua. b. Tipologi Korban Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban, yaitu sebagai berikut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49 : 1 Nonparticipating victims , yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan. commit to user 2 Latent victims , yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3 Provocative victims , yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan. 4 Participating victims , yaitu mereka dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5 False victims , yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. Tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 49 : 1 Unrelated victims , yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku. 2 Provocative victims , yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. 3 Participating victims , yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 4 Biologically weak victims , yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 5 Sosially weak victims , yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. 6 Self victimizing victims , yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Menurut Sellin dan Wolfgang, pengelompokan korban sebagai berikut Sellin dan Wolfgang dalam Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50 : 1 Primary victimization , yaitu berupa individu atau perorangan bukan kelompok. 2 Secondary victimization , yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum. 3 Tertiary victimization , yaitu korban masyarakat luas. commit to user 4 No victimization , yaitu korban yang tidak diketahui, misal konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produk. Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, ada empat prinsip tipe korban, hal ini dikemukakan oleh Stephen Schafer, yaitu sebagai berikut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 50 : 1 Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetap menjadi korban. Tipe ini kesalahan ada pada pelaku. 2 Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Tipe ini, korban dinyatakan turut andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban. 3 Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin dan sebagainya. Dalam hal ini korban tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. 4 Korban karena juga sebagai pelaku, ini yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku. Apabila mencermati mengenai tipologi korban tersebut, anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga termasuk dalam biologically weak victims dan primary victimization. c. Hak-Hak korban Seseorang yang menjadi korban sering kali tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya mereka terima karena berbagai alasan, misalnya karena kekhawatiran prosesnya yang lama sehingga biaya yang harus dikeluarkan banyak dan untuk korban kekerasan dalam rumah tangga karena menganggap sebagai urusan rumah tangga biasa. Secara umum hak-hak korban adalah sebagai berikut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 52 : 1 Hak untuk memperoleh ganti rugi atas penderitaan yang dialaminya; 2 Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi; commit to user 3 Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku; 4 Hak untuk memperoleh bantuan hukum; 5 Hak untuk memperoleh kembali hak harta miliknya; 6 Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis; 7 Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan keluar dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan; 8 Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban; 9 Hak atas kebebasankerahasiaan pribadi. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menyatakan hak-hak korban yang secara khusus berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu korban berhak mendapatkan : 1 Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 2 Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; 3 Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 4 Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 5 Pelayanan bimbingan rohani. d. Kewajiban-Kewajiban Korban Penanggulangan kejahatan tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak ada informasi dari korban itu sendiri, maka disamping hak yang telah diterima korban, melekat juga kewajiban kepadanya, antara lain: 1 Kewajiban untuk tidak main hakim sendiribalas dendam terhadap pelaku; 2 Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana; commit to user 3 Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak berwenang; 4 Kewajiban untuk tidak melakukan penuntutan yang berlebihan kepada pelaku; 5 Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya; 6 Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan; 7 Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. 4. Tinjauan Tentang Anak a. Pengertian Anak Hukum Indonesia terdapat pluralisme terhadap kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara tersendiri kriteria tentang anak. Antara lain dapat diuraikan sebagai berikut : 1 Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Pasal 24 KUHP, mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 enam belas tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan upaya hukum, atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman. Ketentuan Pasal 35, 46 dan 47 KUHP ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2 Anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata Pasal 330 KUH Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu kawin. 3 Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak commit to user Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4 Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai 18 delapan belas tahun dan belum pernah menikah. Jadi anak dibatasi dengan umur antara 8 delapan tahun sampai berumur 18 delapan belas tahun. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa; walaupun umurnya belum genap 18 delapan belas tahun. 5 Anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan mengatakan, seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun enam belas tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. 6 Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin. commit to user Dalam praktek terdapat kesulitan menentukan usia ini, karena tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat kenal Lahir, Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor, Surat baptis atau Surat keterangan dari Kepala DesaLurah saja. Kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya tapi menurut keterangan usia masih muda. Bahkan adakalanya orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. Dengan banyaknya batasan umur yang berbeda dari peraturan-peraturan yang ada, maka dalam hal definisi anaka, Penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. b. Hak-Hak Anak Anak sebagai generasi penerus bangsa telah mendapatkan kedudukan oleh dunia internasional, dengan banyaknya pelanggaran terhadap hak-hak anak maka terdapat berbagai macam peraturan untuk melindungi hak-hak anak agar perkembangan anak berjalan dengan baik. Peraturan yang bersifat internasional ini selanjutnya diikuti oleh negara-negara di dunia dengan meratifikasinya sehingga di masing-masing negara, khususnya Indonesia terdapat peraturan mengenai perlindungan hak anak. 1 Hak Anak menurut Konvensi Hak Anak Child Right Convention Hak anak telah diakui secara internasional dengan adanya Konvensi Hak Anak Child Right Convention pada tanggal 20 November 1989 yang disepakati dalam Sidang Majelis Umum General Assembly Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-44, yang selanjutnya telah dituangkan dalam resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 4425 tanggal 5 Desember 1989. Konvensi hak anak ini merupakan hukum internasional yang mengikat negara peserta state parties , Indonesia sebagai masyarakat internasional dan anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa telah meratifikasi Konvensi Hak Anak pada tahun 1990 dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. commit to user Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Hak Anak adalah sebagai berikut : 1. Hak Hidup Survival Rights , perlindungan ini meliputi : a. Anak mempunyai hak untuk hidup Pasal 6; b. Hak atas tingkat kehidupan yang layak atas kesehatan dan pelayanan kesehatan Pasal 24. 2. Hak mendapatkan Perlindungan Protection Right , hak ini meliputi : a. Larangan diskriminasi anak, 1. Nondiskriminasi terhadap anak Pasal 2; 2. Hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan Pasal 7; 3. Hak anak cacat Pasal 23; 4. Hak anak kelompok minoritas Pasal 30. b. Larangan eksploitasi anak, 1. Hak berkumpul dengan orang tua Pasal 10; 2. Kewajiban negara mencegah atau mengatasi penculikan Pasal 11; 3. Kewajiban negara untuk memberi perlindungan khusus bagi anak yang kehilangan keluarga Pasal 20; 4. Adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan anak Pasal 21; 5. Peninjauan periodik atas anak yang ditempatkan dalam pengasuhan negara karena alasan pengawasan, perlindungan dan penyembuhan Pasal 25; 6. Kewajiban negara melindungi anak dari pekerjaan yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak Pasal 32; 7. Hak anak atas perlindungan penyalahgunaan obat bius dan narkotika, baik dalam proses produksi maupun distribusi Pasal 33; commit to user 8. Hak anak atas perlindungan dari eksploitasi dan penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan pornografi Pasal 34; 9. Kewajiban negara mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak Pasal 35; 10. Hak perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34 dan Pasal 35; 11. Larangan penyiksaan perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak pasal 37; 12. Kewajiban negara menjamin anak korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan reintegrasi sosial mereka Pasal 39; 13. Hak anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan mereka. Prinsip demi hukum dan institusional sedapat mungkin dihindari Pasal 40; 14. Kekerasan dan penelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga. c. Perlindungan anak dalam krisis dan darurat, perlindungan ini meliputi : 1. Anak dalam situasi darurat Children ini situation of emergency , seperti : a. Anak dalam pengungsian Pasal 22; b. Anak-anak korban peperangankonflik bersenjata Pasal 38; commit to user 2. Anak yang berkonflik dengan hukum Children in conflict in the law , seperti : a. Prosedur peradilan anak Pasal 40; b. Anak-anak yang berada dalam penekanan kebebasan Pasal 37; c. Reintegrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan psikologi anak Pasal 39. 3. Anak-anak dalam situasi eksploitasi Children in situation of exploitation , seperti : a. Eksploitasi ekonomi; b. Pekerjaan anak Pasal 32; c. Penyalahgunaan obat bius dan narkotika Pasal 33; d. Eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual Pasal 34; e. Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya Pasal 36; f. Perdagangan anak, penculikan dan penyelundupan anak Pasal 35; g. Anak-anak dari kelompok minoritas atau anak-anak penduduk suku terasing Children belonging to a minority or an indegenous group Pasal 30. 3. Hak untuk tumbuh kembang Development Rights , hal ini meliputi : a. Hak mengambil langkah legislasi dan administrasi Pasal 4; b. Hak hidup Pasal 6; c. Hak untuk mempertahankan identitas pasal 8; d. Hak anak untuk dipisahkan dari orang tuanya Pasal 9; e. Hak menjamin repatriasi keluarga pasal 10; f. Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar pasal 13; g. Hak untuk kemerdekaan berpikir Pasal 14; h. Hak atas kebebasan untuk berkumpul Pasal 15; commit to user i. Hak memperoleh informasi Pasal 17; j. Hak anak menikmati norma kesehatan tertinggi Pasal 24; k. Hak mendapat pendidikan, baik formal maupun nonformal Pasal 28 dan Pasal 29; l. Hak bermain dan berekreasi ke luar negeri . 4. Hak berpartisipasi Participation Rights , meliputi : a. Menjamin pandangan anak Pasal 12; b. Hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas Pasal 13; c. Hak anak untuk berkumpul Pasal 15. 2 Hak Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 4 sampai dengan pasal 18 mengatur secara khusus mengenai hak anak. Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan setiap anak dalam pengasuhan orangtua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan : a. Diskriminasi; b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan; dan f. Perlakuan salah lainnya. c. Asas dan Tujuan Perlindungan Anak Di Indonesia penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak meliputi : 1 Non diskriminasi; 2 Kepentingan yang terbaik untuk anak; 3 Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; 4 Penghargaan terhadap pendapat anak. commit to user Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

B. Kerangka Pemikiran