Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

commit to user

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Selanjutnya dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi kekerasan dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Bentuk- bentuk kekerasan tersebut memang tidak secara khusus ditujukan kepada anak, namun hal tersebut dapat menimpa anak mengingat bahwa didalam sebuah keluarga dimungkinkan ada penghuni yang masih anak-anak, hal ini juga terlihat dari ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga yang didalamnya adalah anak, walaupun tidak ada kejelasan mengenai batas usia anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memang tidak membagi bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, namun dengan meminjam definisi kekerasan dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Penulis memberikan definisi kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dengan merubah obyek dan lingkupnya, sehingga definisi kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang anak, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara commit to user fisik, seksual, psikologis danatau penelantaran anak termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup keluargarumah tangga. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga dibagi menjadi kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga, kekerasan seksual terhadap anak dalam rumah tangga dan kekerasan sosial penelantaran dan eksploitasi terhadap anak dalam rumah tangga. Selanjutnya Penulis akan membahas satu persatu bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, sebagai berikut : 1. Kekerasan fisik terhadap anak dalam rumah tangga Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Menurut Suharto, kekerasan fisik terhadap anak adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak Suharto dalam Abu Huraerah, 2007: 48. Penganiayaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si penindak. Pengertian tersebut dianut dalam praktik hukum selama ini, dari pengertian itu, maka penganiayaan mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a adanya kesengajaan; b adanya perbuatan; c adanya akibat perbuatan dituju yakni : 1 rasa sakit, tidak enak pada tubuh; 2 lukanya tubuh; d akibat mana menjadi tujuan satu-satunya Adami Chasawi, 2001: 12 Manifestasi yang umumnya ditemukan meliputi memar, luka bakar, patah tulang, trauma kepala dan cedera pada perut. Jumlah sedikit tetapi bermakna pada kematian yang tidak terduga pada bayi dan anak-anak kecil misalnya sudden infant death syndrome biasanya berkaitan dengan kekerasan fisik Moersintowati B. Narendra, 2005: 4. Hal ini terjadi karena tingkah laku anak yang tidak disukai orang tua, seperti rewel, menangis terus, kencing atau commit to user muntah disembarang tempat sehingga orang tua menerapkan hukuman fisik yang bertujuan menegakkan disiplin namun kadang tidak sesuai dengan usia anak dan lepas kendali dalam mengatasi perilaku sang anak. 2. Kekerasan psikis terhadap anak dalam rumah tangga Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, danatau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis terhadap anak menurut Hart, Brassard, and Karlson “ psychological maltreatment is defined as the repeated pattern of behavior that conveys to children that they are worthless, unloved, unwanted, only of value in meeting another’s needs, or seriously threatened with physical or psychological violence ”penganiayaan secara psikologis didefinisikan sebagai pola berulang- ulang perilaku yang menyampaikan kepada anak-anak bahwa mereka tidak berharga, tidak dicintai, yang tidak diinginkan, hanya bernilai sebagai kebutuhan apabila diperlukan, atau sangat tertekan secara fisik atau kekerasan psikologisGeorge W. Holden, 2003: 156. Tery E. Lawson seorang psikiater anak menyebutnya dengan verbal abuse kekerasan verbal, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk “diam” atau “jangan menangis”. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, “kamu bodoh”, “kamu cerewet”, “kamu kurang ajar”, dan seterusnya. Jenis-jenis kekerasan psikologis adalah Alva Nadia, 2004: 2 : a Penolakan. Orang tua mengatakan kepada anak bahwa dia tidak diinginkan, mengusir anak, atau memanggil anak dengan sebutan yang kurang menyenangkan. Kadang anak menjadi kambing hitam segala masalah yang ada dalam keluarga. b Tidak diperhatikan. Orang tua yang mempunyai masalah emosional biasanya tidak dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka. Orang tua jenis ini mengalami masalah kelekatan dengan anak. Mereka menunjukkan sikap tidak tertarik pada anak, sukar memberi kasih sayang, atau bahkan tidak menyadari akan kehadiran anaknya. Banyak orang tua yang secara commit to user fisik selalu ada disamping anak, tetapi secara emosi sama sekali tidak memenuhi kebutuhan emosional anak. c Ancaman. Orang tua mengkritik, menghukum atau bahkan mengancam anak. Dalam jangka panjang keadaan ini mengakibatkan anak terlambat perkembangannya, atau bahkan terancam kematian. d Isolasi. Bentuknya dapat berupa orang tua tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan bersama teman sebayanya, atau bayi dibiarkan dalam kamarnya sehingga kurang mendapat stimulasi dari lingkungan, anak dikurung atau dilarang makan sesuatu sampai waktu tertentu. e Membiarkan anak terlibat penyalahgunaan obat dan alkohol, berlaku kejam terhadap binatang, melihat tayangan porno, atau terlibat dalam tindak kejahatan seperti mencuri, berjudi, berbohong, dan sebagainya. Untuk anak yang lebih kecil, membiarkannya menonton adegan-adegan kekerasan dan tidak masuk akal di televisi termasuk juga dalam kategori penyiksaan emosi. Kekerasan psikis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis penyiksaan ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti gangguan jiwa, kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak seperti tiba-tiba membakar barang atau bertindak kejam terhadap binatang, beberapa melakukan agresi, menarik diri, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri. Sedangkan secara jangka panjang, akan berakibat lahirnya pelaku-pelaku baru tindak kekerasan. 3. Kekerasan seksual terhadap anak dalam rumah tangga Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar danatau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu. Kekerasan seksual dalam rumah tangga adalah a pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga; b pemaksaan hubungan commit to user seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu. Kekerasan seksual adalah praktik hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, di luar atau didalam rumah tangga, kekerasan ditonjolkan untuk membuktikan pelakunya memiliki kekuatan fisik yang lebih, atau kekuatan fisiknya dijadikan alat untuk memperlancar usaha-usaha jahatnya. Kekerasan seksual itu merupakan istilah yang menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya telah menjadi akibat serius yang membutuhkan perhatian Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001: 32. Kekerasan seksual pada anak dalam rumah tangga adalah kondisi dimana anak terlibat dalam aktivitas seksual dimana anak sama sekali tidak menyadari, dan tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang diterimanya yang dilakukan dalam lingkup rumah tangga. Semua tindakan yang melibatkan anak dalam kesenangan seksual masuk dalam kategori ini Alva Nadia, 2004: 3 : a Kekerasan seksual tanpa sentuhan. Termasuk di dalamnya jika anak melihat pornografi, atau exhibitionisme, dsb. b Kekerasan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan anak menyentuh organ seksual orang dewasa termasuk dalam kategori ini. Adanya penetrasi ke dalam vagina anak atau dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis perkosaan, incest . c Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai model foto atau film porno. Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual terhadap anak sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga, antara lain Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 41 : a Anak mengembangkan pola adaptasi dan keyakinan-keyakinan keliru sesuai dengan sosialisasi yang diterimanya. Misalnya, anak akan commit to user menganggap wajar perilaku orang dewasa sedemikian rupa, meniru tindakan yang dilakukan kepadanya, menyalahkan ibu atau orang dewasa yang mengasuhnya yang dianggap tidak membelanya dari hal-hal buruk yang dialaminya. Yang juga sering terjadi adalah self blame , merasa bersalah, merasa menjadi penangung jawab kejadian yang dialaminya, menganggap diri aneh dan terlahir sial misal : sudah dikutuk untuk selalu mengalami hal buruk dan menyusahkan orang lain dan sebagainya. b Anak merasa dikhianati. Bila pelaku kekerasan adalah orang dekat dan dipercaya, apabila orang tua sendiri, anak akan mengembangkan perasaan dikhianati, dan akhirnya menunjukkan ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang-orang lain dan kehidupan umumnya. Hal ini sangat berdampak pada kemampuan sosialisasi, kebahagiaan dan hampir semua dimensi kehidupan psikologis pada umumnya. c Stigmatisasi : disatu sisi, masyarakat yang mengetahui sejarah kehidupan anak akan melihat dengan kaca mata yang berbeda, misalnya dengan rasa kasihan sekaligus merendahkan, atau menghindarinya. Disisi lain anak mengembangkan gambaran negatif tentang diri sendiri. Anak merasa malu dan rendah diri, dan yakin bahwa yang terjadi pada dirinya adalah karena adanya sesuatu yang memang salah dengan dirinya tersebut misalnya : melihat diri sendiri anak sial. d Traumatisasi seksual : pemaparan pengalaman seksual terlalu dini, juga yang terjadi secara salah, dapat berdampak pada munculnya trauma seksual. Trauma seksual dapat tertampilkan dalam dua bentuk, inhibisi seksual, yaitu hambatan-hambatan untuk dapat tertarik dan menikmati seks atau justru disinhibisi seksual yaitu obsesi dan perhatian berlebihan pada aktivitas atau hal-hal terkait dengan hubungan seks. Disinhibisi seksual merupakan salah satu penyebab timbulnya pekerja seks komersial oleh anak-anak. 4. Kekerasan sosial terhadap anak dalam rumah tangga Penelantaran rumah tangga adalah setiap orang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku commit to user baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi danatau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Kekerasan sosial mencakup penelantaran dan eksploitasi. Penelantaran adalah kelalaian dalam memberikan kebutuhan hidup pada seseorang yang memiliki ketergantungan kepada pihak lain, khususnya dalam lingkungan rumah tangga Achie Sudiarti Luhulima, 2000: 68. Penelantaran anak dalam rumah tangga adalah sikap tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap anak sesuai dengan hak-hak anak yang dilakukan oleh orang tua sehingga mengganggu tumbuh kembang anak dan eksploitasi terhadap anak dalam rumah tangga adalah sikap orang tua yang memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan. Jenis-jenis penelantaran anak Alva Nadia, 2004: 4 : a Penelantaran fisik merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga. b Penelantaran pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun. c Penelantaran secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ”ribut” dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak- anaknya. d Penelantaran fasilitas medis. Hal ini terjadi ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua memberi pengobatan commit to user tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter. Soetarso membagi dua kelompok penelantaran pada anak Soetarso dalam Abu Huraerah, 2007: 67 : a ketelantaran yang disebabkan kondisi keluarga yang miskin, tetapi hubungan sosial dalam keluarga normal. b keterlantaran yang disebabkan kesengajaan, gangguan jiwa danatau ketidakmengertian keluargaorangtua atau hubungan sosial dalam keluarga tidak normal. Termasuk dalam kelompok ini adalah anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, terutama karena perlakukan salah, baik secara fisik maupun seksual. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, di dalam Pasal 1 angka 6, 7, 8 dan 9 memberikan definisi anak, yang pada hakekatnya merupakan anak terlantar, yaitu 6 Anak yang tidak mampu adalah anak yang karena suatu sebab tidak dapat terpenuhi kebutuhan- kebutuhannya, baik secara rohani, jasmani maupun sosial dengan wajar; 7 Anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial; 8 Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah anak yang menunjukkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma masyarakat; dan 9 Anak cacat adalah anak yang mengalami hambatan rohani dan atau jasmani sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga memberikan definisi mengenai anak terlantar yang terdapat dalam Pasal 1 angka 6 yaitu anak yang tidak terpenuhinya kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial, selanjutnya dalam penjelasan Pasal 13 huruf c dijelaskan bahwa perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya. commit to user Penjelasan Pasal 13 huruf b dijelaskan mengenai eksploitasi yaitu perlakuan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Menurut Drs. M.A. Budhy Prabowo. Msi Kepala Bagian Data dan Pelaporan, Sekretariat KPAI eksploitasi terbagi menjadi 3, yakni : a Eksploitasi Seksual b Eksploitasi Seksual Komersial c Eksploitasi Ekonomi Sering kali orang sulit membedakan antara eksploitasi seksual dengan eksploitasi seksual komersial namun menurut Drs. M.A. Budhy Prabowo perbedaan keduanya terletak pada adanya imbalan yang diberikan pada korban eksploitasi, imbalan tersebut bisa berupa uang maupun janji, sebagai contoh seperti : disekolahkan, diberi makan dan sebagainya, menurutnya eksploitasi seksual dan eksploitasi seksual komersial sama-sama menggunakan seks sebagai obyek eksploitasi, bedanya untuk eksploitasi seksual mereka yang dieksploitasi tidak mendapat imbalan sedangkan eksploitasi seksual komersial mereka yang dieksploitasi mendapatkan imbalan baik berupa uang maupun janji lainnya, sedangkan eksploitasi ekonomi menurutnya dapat diartikan sebagai perilaku yang membuat seseorang mengeluarkan pikiran, tenaga, keringat atau melakukan pekerjaan tapi sebagian besar atau bahkan seluruh hasilnya dinikmati orang lain Carolina Gratia Raha, 2009: 49. Eksploitasi terhadap anak baik secara seksual komersial maupun ekonomi merupakan bentuk pelanggaran, disamping melanggar Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, juga melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi. Menurut Suharto, kekerasan terhadap anak umumnya disebabkan karena faktor internal yang berasal dari anak sendiri maupun faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga dan masyarakat, seperti Suharto dalam Abu Huraerah, 2007: 50 : commit to user 1. Anak mengalami cacat tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, anak terlalu lugu, memiliki tempramen lemah, ketidaktahuan akan hak-haknya, anak terlalu bergantung pada orang dewasa. 2. Kemiskinan keluarga, orang tua menganggur, penghasilan tidak cukup, dan banyak anak. 3. Keluarga tunggal atau keluarga pecah broken home , misalnya perceraian, ketiadaan ibu untuk jangka panjang atau keluarga tanpa ayah dan ibu tidak mampu memenuhi kebutuhan anak secara ekonomi. 4. Keluarga belum dapat matang secara psikologis, ketidaktahuan mendidik anak, harapan orang tua yang tidak realistis, anak yang tidak diinginkan unwanted child , anak lahir diluar nikah. 5. Penyakit parah atau gangguan mental pada salah satu anak atau kedua orang tua, misalnya tidak mampu merawat dan mengasuh anak karena gangguan emosional dan depresi. 6. Sejarah penelantaran anak. Orang tua yang semasa kecilnya mengalami perlakuan salah cenderung memperlakukan salah anak-anaknya. 7. Kondisi lingkungan sosial yang buruk, permukiman kumuh, tergusurnya tempat bermain anak, sikap acuh tak acuh terhadap tindakan eksploitasi, pandangan terhadap nilai anak yang terlalu rendah, meningkatnya faham ekonomi upah, lemahnya perangkat hukum, tidak adanya sistem mekanisme kontrol sosial yang stabil. Sementara Rusmil menjelaskan bahwa penyebab atau resiko terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak, dibagi ke dalam tiga faktor, yaitu faktor orang tuakeluarga, faktor lingkungan sosial dan faktor anak sendiri Rusmil dalam Abu Huraerah, 2007: 51. 1. Faktor orang tuakeluarga. Faktor orang tua memegang peranan penting terjadinya kekerasan dan penelantaran pada anak. Faktor-faktor yang menyebabkan orang tua melakukan kekerasan pada anak di antaranya : a. Praktik-praktik budaya yang merugikan anak : Kepatuhan anak kepada orang tua. commit to user Hubungan asimetris. b. Dibesarkan dengan penganiayaan. c. Gangguan mental. d. Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka mempunyai anak sebelum usia 20 tahun. e. Pecandu minuman keras dan obat. 2. Faktor lingkungan sosialkomunitas. Kondisi lingkungan sosial juga dapat menjadi pencetus terjadinya kekerasan pada anak. Faktor lingkungan sosial yang dapat menyebabkan kekerasan dan penelantaran anak diantaranya : a. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistis. b. Kondisi sosial ekonomi yang lemah. c. Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua itu sendiri. d. Status wanita yang dipandang rendah. e. Sistem keluarga patriarkhal. f. Nilai masyarakat yang terlalu individualistis. 3. Faktor anak. a. Penderitaan gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya. b. Perilaku menyimpang pada anak.

B. Bentuk-Bentuk Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga