Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

commit to user Pasalnya, dalam undang-undang tersebut, negara hanya menanggung visum yang dibuat di rumah sakit RS pemerintah. Padahal kalau korban dari daerah, biaya perjalanan membuat visum di rumah sakit pemerintah bisa menjadi sangat mahal. d. Pemerintah belum mewujudkan lembaga konseling yang diamanatkan didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. e. Perlindungan hukum untuk anak yang menjadi korban kekerasan karena perkawinan yang belum tercatat secara resmi juga belum diatur dalam undang- undang ini. f. Kepolisian juga baru menganggap kekerasan dalam bentuk penelantaran ekonomi baru bisa diproses jika anak tersebut kelaparan atau diberi makan orang lain.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2006. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan proposional terhadap saksi dan korban. Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum. Perlindungan saksi dan korban berlaku kepada semua proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman pada saksi danatau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Perlindungan saksi dan korban dilakukan karena adanya hak-hak seorang saksi dan korban yang harus dilindungi, seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 commit to user Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu : a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; danatau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Kelemahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi anak korban kekerasan dalam rumah tangga antara lain : a. Tidak adanya definisi saksi dan korban secara spesifik terhadap anak yaitu saksi anak dan korban anak, sehingga terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak dari orang dewasa yang menjadi korban. b. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban hanya sedikit mengatur mengenai pelapor, tidak disebutkan secara spesifik perbedaan syarat pelapor dengan saksi, serta tidak disebutkan perlindungan hukum terhadap pelapor yang dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. Hal ini terlihat di Pasal 10 commit to user ayat 1 yang menyebutkan perlindungan saksi bagi saksi dan korban, tidak termasuk saksi pelapor. c. Dalam hal saksi korban adalah anak, tidak adanya ketentuan secara spesifik mengenai bentuk perlindungan terhadap saksi korban anak, mengingat walaupun semua orang dianggap sama di hadapan hukum, namun dalam hal anak harus mendapatkan perlindungan yang berbeda dari orang dewasa, hal ini mengingat kondisi dan keadaan seorang anak. Bentuk-bentuk perlindungan terhadap anak tersebut telah dituangkan ke dalam undang-undang, namun dalam kenyataannya kekerasan terhadap anak masih banyak terjadi, secara umum kekerasan terhadap anak dapat dilihat dari data beberapa lembaga di Indonesia, antara lain : 1. YKAI mencatat 172 kasus 1994, 421 kasus 1995, 476 kasus 1996. 2. PKT-RSCM tahun 2000 – 2001 mencatat 118 kasus kekerasan pada anak. Dari data tersebut teridentifikasi pelaku tindakan kekerasan adalah: tetangga 37,5 , pacar 23 , kenalan 9,5 , saudara 7 , ayah kandung 5 , majikanatasan 2,5 , ayah tiri 1 , suami 1 dan orang tak dikenal 13,5 . Catatan : waktu terjadinya kekerasan pada korban anak usia kurang dari 11 tahun antara pukul 06.00-12.00 dan kekerasan dilakukan pada malam hari untuk korban berusia 15-18 tahun. 3. Komisi Nasional Perlindungan Anak Komnas PA, mencatat pada Januari- Mei 2010 1826 kasus, Tahun 2009 1891 kasus, Tahun 2008 1626 kasus, Tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan dan 547 kasus pada 2004 dengan rincian adalah 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan Psikis, dan 106 permasalahan lainnya. 4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI sepanjang tahun 2006 menerima 376 kasus pengaduan, dengan rincian sebagai berikut: hak kuasa asuh dan pengangkatan anak 21,8 , hak identitas 17,28 , hak kesehatan dan kesejahteraan 13,56 , tindak kekerasan terhadap anak 12,50 , hak pendidikan 11,17 , penelantaran 10,90 , pelecehan seksual terhadap anak 10,30 , penculikan anak 2,39 . commit to user 5. KPAI Daerah Kalimantan Selatan sampai 2008 telah menerima 25 kasus anak, yakni 76 anak sebagai korban dan 24 anak yang berkonflik dengan hukum. Dari data tersebut maka 63 korban adalah anak perempuan dan 37 laki-laki, berdasarkan jenis kasus: kekerasan seksual 36 , kekerasan fisik 12 , kekerasan Psikis 4 , pengasuhan anak 12 , penelantaran 16 , kasus lainnya 20 . Teridentifikasi pula semua pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal oleh korban. 6. Data World Vision Indonesia : 2009 1891 kasus, 2008 1600 kasus. 7. PKPA Sumatera Utara Data kekerasan terhadap anak di Sumatera Utara Tahun 2007 sd 2009 Pelaku Kekerasan Tahun Jumlah Kasus Orang Tua Kandung Prosentase Orang Tak Dikenal Prosentase 2007 260 14 Kasus 10,21 49 Kasus 20,85 2008 360 33 Kasus 9 69 Kasus 20 2009 172 21 Kasus 13 26 Kasus 15 Sumber: Pusat Kajian Dan Perlindungan Anak PKPA. Semua data yang tercatat oleh lembaga di atas tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dalam masyarakat. Data tersebut adalah data kasus anak yang dilaporkan kepada lembaga sehingga jumlah kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat kemungkinan lebih besar. Terkait mengenai lokasi terjadinya kekerasan dan bentuk kekerasan yang dialami anak, hasil konsultasi anak yang dilakukan oleh Yayasan Pemantau Hak Anak Childrens Human Rights Fondation yang dilakukan di 18 provinsi dengan melibatkan sedikitnya 580 anak pada Mei-Juni 2005, menghasilkan informasi yang sangat jelas bahwa kekerasan terhadap anak terjadi pada ruang-ruang sosiologis yang sangat intim dan dekat dengan kehidupan anak. Lokus kekerasan tersebut terjadi pada : commit to user 1. Kekerasan terhadap anak di ranah rumah dan keluarga Violence against Children in the Home and the Family . 2. Kekerasan terhadap anak di ranah sekolah Violence against Children in Schools . 3. Kekerasan terhadap anak di ranah institusi Violence against Children in Institutions . 4. Kekerasan terhadap anak di ranah tempat bekerja Violence against Children in Work Situations . 5. Kekerasan terhadap anak di ranah komunitas dan jalan Violence against Children in the Community and on the Street . 6. Kekerasan terhadap anak di ranah institusi peradilan pidana Violence against Children in Conflict with the Law . Kemudian bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak menurut hasil konsultasi tersebut meliputi: 1. Kekerasan fisik. 2. Kekerasan psikis. 3. Eksploitasi fisik untuk kepentingan ekonomi. 4. Kekerasan seksual dan eksplotasi seksual. 5. Kekerasan yang diakibatkan tradisi atau adat. Lebih lanjut apabila kita cermati bahwa kekerasan terhadap anak juga banyak terjadi diranah rumah dan keluarga, atau biasa disebut kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga, terkait dengan hal tersebut, data yang ditunjukkan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research Development Universitas Gadjah Mada, menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga adalah angka kekerasan tertinggi dibandingkan dengan ranah kekerasan terhadap anak di tempat lain. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai berikut : Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia melalui Center for Tourism Research Development Universitas Gadjah Mada mengenai berita tentang child abuse yang terjadi dari tahun 1992-2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, Ujung Pandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada commit to user 3969 kasus, dengan rincian sexual abuse 65.8, physical abuse 19.6, emotional abuse 6.3, dan child neglect 8.3 Lianny Solihin, 2004 : 130. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse : persentase tertinggi usia 6-12 tahun 33 dan terendah usia 0-5 tahun 7,7. 2. Kasus physical abuse : persentase tertinggi usia 0-5 tahun 32.3 dan terendah usia 13-15 tahun 16.2. 3. Kasus emotional abuse : persentase tertinggi usia 6-12 tahun 28.8 dan terendah usia 16-18 tahun 0.9. 4. Kasus child neglect : persentase tertinggi usia 0-5 tahun 74.7 dan terendah usia 16-18 tahun 6.0. Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1. Kasus sexual abuse : rumah 48.7, sekolah 4.6, tempat umum 6.1, tempat kerja 3.0, dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll 37.6. 2. Kasus physical abuse : rumah 25.5, sekolah 10.0, tempat umum 22.0, tempat kerja 5.8, dan tempat lainnya 36.6. 3. Kasus emotional abuse : rumah 30.1, sekolah 13.0, tempat umum 16.1, tempat kerja 2.1, dan tempat lainnya 38.9. 4. Kasus child neglect : rumah 18.8, sekolah 1.9, tempat umum 33.8, tempat kerja 1.9, dan tempat lainnya 43.5. Bila melihat antara bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak, khususnya yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga dengan jenis kekerasan yang dialami, menurut Penulis pelaksanaannya belum maksimal, hal ini dapat dilihat dari ketidakcocokan antara bentuk kekerasan yang dialami anak dengan bentuk perlindungannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak, Departemen Sosial Republik Indonesia telah menyusun acuan strategi dan manajemen perlindungan anak, yang memuat tentang program-program untuk anak yang membutuhkan perlindungan : 1. Program dan pelayanan langsung untuk anak yang membutuhkan perlindungan khusus. commit to user a Penarikan removal anak-anak dalam situasi sulit yang menyebabkan mereka membutuhkan perlindungan khusus. Penarikan ini dapat dilakukan dengan cara pendekatan manusiawi maupun dengan tindakan hukum oleh lembaga yang berwenang. b Perlindungan sementara bagi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus baik karena situasi darurat maupun setelah dilepaskan dari situasi tereksploitasi. Dalam program ini disediakan kegiatan pelayanan yang mencakup : 1 Penyediaan pangan, berupa bantuan makan, makanan tambahan, peningkatan gizi, dsb. 2 Penyediaan sandang berupa pakaian, dsb. 3 Perumahan, berupa keluarga pengganti, kamp-kamp darurat, panti, fasilitas yang ada dimasyarakat. 4 Pelayanan kesehatan, mencakup pemeriksaan kesehatan, penyediaan obat, pendidikan hidup sehat. 5 Pendidikan, mencakup aspek pada pendidikan formal maupun penyediaan pendidikan non formal jika diperlukan. 6 Pelayanan psikososial. c Penyembuhan dan pemulihan rehabilitasi untuk mengembalikan keberfungsian sosial anak yang hilang dalam masa berada dalam situasi sulit. Rehabilitasi mencakup kegiatan pelayanan penyembuhan dan pemulihan fisik, mental, dan sosialisasinya melalui check kesehatan, konseling dan berbagai teknik lainnya. Rehabilitasi dapat dilakukan berbasiskan panti maupun berbasiskan masyarakat. d Pembelaan kepada anak-anak yang mengalami ekspoloitasi atau berkonflik dengan hukum, sehingga dalam prosesnya mereka tetap memperoleh hak-haknya dan diperlukan sesuai dengan hak-haknya. Pembelaan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan proses sesudahnya. e Penyatuan kembali reintegrasireunifikasi anak dengan keluarganya baik keluarga asli maupun keluarga pengganti jika keluarga asli tidak ada. commit to user Keluarga pengganti berupa keluarga angkat maupun panti. Pelayanan penguatan dalam bentuk bimbingan sosial maupun bantuan permodalan diperlukan bagi keluarga yang telah menerima anaknya lagi. Sedangkan anak yang masuk panti memperoleh pelayanan yang biasa dalam panti tersebut. Jika diperlukan, dapat dikembangkan panti khusus untuk menampung dan menangani anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. f Tindak lanjut, yaitu pelayanan lanjutan untuk memperkuat atau mempertahankan kondisi yang telah dicapai anak dalam situasi atau lingkungan barunya, baik keluarganya maupun panti. Tindak lanjut dilakukan dengan cara pemantauan rutin. 2. Program-program tidak langsung. Untuk dapat memperkuat upaya pelayanan langsung kepada anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus, diperlukan program-program penunjang, sebagai berikut : a Penyediaan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan perlindungan anak, seperti : 1 Penegak hukum oleh aparat penegak hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran anak dan perlindungan bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang bersumber pada peraturan perundang- undangan yang berlaku dan relevan dengan masalah anak. 2 Advokasi mengenai perubahan-perubahan kebijakan dan program yang mendukung bagi upaya pencegahan dan perlindungan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Advokasi dilakukan kepada semua pengambil keputusan pada sektor-sektor pemerintahan yang terkait dengan permasalahan ini. b Pengembangan sistem informasi yang menyediakan berbagai data informasi perlindungan anak yang terus-menerus diperbaharui dan berbagai laporan-laporan kasus pelanggaran hak anak. Jenis informasi yang disediakan mencakup permasalahan perlindungan anak, direktorat, lembaga-lembaga penyelenggara perlindungan anak dan program- commit to user programnya, serta laporan-laporan yang relevan. Sistem informasi ini terbuka diakses dari luar. c Pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi para penyedia pelayanan perlindungan anak, baik para pekerja LSM, aparatur penegak hukum, dan birokrasi pemerintahan yang terkait. Kegiatan ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengatasi berbagai permasalahan perlindungan anak. d Penyadaran masyarakat agar mereka mempunyai daya tanggap dan tindakan dalam upaya mencegah dan melindungi anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Penyadaran masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dan kampanye, baik yang dilakukan secara terbuka melalui media massa maupun media tradisional. e Pendidikan orang tua melalui penyuluhan, bimbingan maupun pelatihan agar mereka dapat meningkatkan kemampuan dalam memenuhi hak-hak anak, menghindari berbagai pelanggaran hak anak, dan mempunyai daya tanggap terhadap keadaan lingkungan sekitarnya. f Pengembangan jaringan kerja, dengan berbagai lembaga pemerintahan, LSM, maupun perguruan tinggi yang mempunyai tanggung jawab dan peran perlindungan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus dengan tugas pokok dan fungsinya. C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Banyaknya kekerasan terhadap anak yang tidak dilaporkan kepada pihak berwenang ataupun lembaga-lembaga yang berkaitan dengan anak, menyulitkan terungkapnya kasus kekerasan terhadap anak, terlebih apabila pelaku adalah orang terdekatnya sendiri, keluarga apalagi orangtuanya. Hal-hal yang ada di dalam diri anak sendiri ataupun dari luar diri anak merupakan masalah tersendiri karena apabila korban, anggota keluarga yang lain, dan masyarakat sekitar tidak peduli dengan kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga apalagi menganggap hal kekerasan terhadap anak dalam rumah tangga sebagai hal yang biasa maka kasus commit to user kekerasan anak hanya sedikit yang muncul kepermukaan padahal masih banyak kasus yang tidak diungkap dan sengaja dibiarkan selesai begitu saja baik oleh orang terdekatnya maupun oleh masyarakatnya, fenomena seperti tersebut sering disebut sebagai “fenomena gunung es”. Beberapa ahli mengungkapkan adanya faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga termasuk yang menimpa anak, terkadang tidak terungkap ke publik karena adanya faktor-faktor sebagai berikut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 135 : Pertama, si pelaku dengan si korban memiliki hubungan keluarga atau hubungan karena perkawinan. Hal ini biasanya menyulitkan karena keengganan korban untuk melaporkan mengenai apa yang telah terjadi kepada mereka. Pemikiran yang juga ikut mendasari alasan ini adalah rasa takut pada diri si korban karena si pelaku biasanya tinggal satu atap dengan mereka sehingga apabila korban mengadukan apa yang telah terjadi kepadanya pada pihak yang berwajib, si korban akan mendapatkan perlakuan yang lebih parah dari si pelaku ketika korban pulang atau ketika mereka bertemu lagi. Kedua, keengganan korban mengadukan kekerasan yang telah menimpanya dapat juga disebabkan masih dipertahankannya pola pikir bahwa apa yang terjadi di dalam keluarga, sekalipun itu perbuatan-perbuatan kekerasan, sepenuhnya merupakan permasalahan rumah tangga pribadi. Dengan demikian, melaporkan hal tersebut atau bahkan hanya membicarakannya saja, sudah dianggap membuka aib keluarga. Ketiga, kurang percayanya masyarakat kepada sistem hukum Indonesia sehingga mereka tidak memiliki pegangan atau kepastian bahwa mereka akan berhasil keluar dari cengkeraman si pelaku. Hal yang sama dikemukakan oleh Soeharto, dengan mengatakan bahwa kekerasan pada anak sulit diungkap ke ruang publik dikarenakan beberapa hal, antara lainSoeharto dalam Abu Huraerah, 2007: 61 : 1. Penolakan korban sendiri. Korban tidak melaporkan karena takut pada akibat yang kelak diterima baik dari si pelaku adanya ancaman maupun dari kejadian itu sendiri traumatis, aib. commit to user 2. Manipulasi pelaku. Pelaku yang umumnya orang yang lebih besar dewasa sering menolak tuduhan setidaknya diawal proses penyelidikan bahwa dia adalah pelakunya. Strategi yang digunakan adalah pelaku menuduh anak melakukan kebohongan atau mengalami wild imagination . 3. Keluarga yang mengalami kasus menganggap bahwa kekerasan terhadap anak sebagai aib yang memalukan apabila diungkap. 4. Anggapan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan urusan keluarga hubungan orang tua-anak, suami-istri tidak patut dicampuri oleh masyarakat. 5. Masyarakat luas tidak mengetahui secara jelas tanda-tanda pada diri anak yang mengalami kekerasan, khususnya pada kasus seksual abuse , karena tidak ada tanda-tanda fisik yang terlihat jelas. 6. Sistem dan prosedur pelaporan belum diketahui secara jelas dan pasti oleh masyarakat luas. Selain penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga di lapangan menghadapi berbagai kendala dan reaksi dari pelaku. Ditemukan bahwa aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim memiliki pemahaman yang beragam tentang kekerasan dalam rumah tangga. Ada aparat hukum menganggap kekerasan fisik berat jika korban tidak dapat menjalankan aktivitas rutinnya, sehingga korban yang masih dapat beraktivitas secara rutin dianggap sebagai kekerasan fisik ringan. Berbagai kendala yang telah dijelaskan, merupakan permasalahan yang harus segera dipecahkan, sehingga ”fenomena gunung es” tidak semakin nampak, sebaliknya banyak kasus kekerasan terhadap anak menjadi semakin banyak yang terkuak, maka perlu kerjasama yang saling mendukung antara korban, orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah. commit to user

D. Tinjauan Viktimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga