Kesimpulan Petani Dan Pertanian Di Sumatera Utara

104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Sumatera Utara merupakan salah satu daerah dengan potensi pertanian yang cukup besar. Meskipun awalnya sebagai basis perkebunan nusantara, namun produksi pangan tetap terjaga. Luasnya lahan dan sistem produksi masih di kelola secara tradisional, membuat pemerintah mencanangkan program swasembada pangan melalui program BimasInmas pada tahu 1969. Untuk mencapai target yang telah di tetapkan, maka pemerintah mengadakan sosialisasi 2 proyek utama yakni, intensifikasi, ekstensifikasi. Di harapkan melalui kebijakan ini mampu mendorong produksi beras secara signifikan dari sistem tradisional ke arah modernisasi. Pencangan program tersebut ternyata tidak berjalan mulus. Banyaknya besaran biaya yang telah di gelontorkan dengan sejumlah ribuan proyek ternyata tidak mampu menjadikan Sumatera Utara mencapai swasembada pangan. Meskipun terjadi peningkatan produksi hampir setiap tahun, namun belumlah mampu menutupi defisit beras. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah melakukan kebijakan import pangan maupun penyuplaian distribusi pangan dari daerah surplus ke daerah defisit, termasuk Sumatera Utara. 105 Sekalipun defisit yang terjadi dalam jumlah yang banyak, nyatanya pemerintah tidak perlu melakukan import beras secara besar-besaran oleh karena ketahanan pangan sudah terjadi di beberapa daerah lokal.

5.2 Saran

Penelitian ini sangatlah menarik untuk di kaji lebih lanjut karena dapat menjadi sebuah referensi bahkan menolong setiap orang maupun lembaga untuk lebih tanggap terhadap masalah pangan. Kegagalan setiap pemerintah dalam mengelola kebijakan pangan akan menjadi parameter utama bagi masyarakat menilai keberhasilan sebuah kepemimpinan. Dari hasil penelitian, penulis menyarankan beberapa hal bagi pemerintah maupun lembaga negara yang mengatur masalah kebijakan pangan dan pertanian yang menghasilkan pangan. Pertama, penting untuk melakukan pendataan dengan benar perihal keberadaan jumlah pangan secara keseluruhan. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi dalam melakukan prakira krisis beras. Selanjutnya, dalam melakukan perubahan dalam pembangunan pertania, penting untuk memperhatikan kesiapkan petani maupun aspek tradisional untuk menjaga keseimbangan tatanan sosial. Selanjutnya, baiklah pemerintah mengantisipasi penurunan produksi beras dengan menggalakkan program intensifikasi unggul maupun ekstensifikasi secara berkelanjutan mengingat hampir setiap tahun sejak 1985 terjadi alih fungsi lahan pertanian pangan dikonversi ke non-pertanian. Saran selanjutnya yaitu, penulis mengharapkan penelitian ini di lanjutkan ke jenjang lebih tinggi secara lebih mendalam dan spesifik untuk mengetahui lebih lanjut 106 secara khusus kebijakan pangan di Sumatera Utara dalam usaha menjadikannya sebagai daerah penghasil pangan nasional. Akan lebih berarti jika hal itu dapat terjadi di kemudian hari. 17

BAB II POLA PERTANIAN DAN PANGAN DI SUMATERA

UTARA SEBELUM 1969

2.3 Petani Dan Pertanian Di Sumatera Utara

2.3.1 Pola Pertanian Awal

Pada awal abad ke 15, padi beras telah menjadi sumber makanan pokok di Kepulaun Asia Tenggara, mendahului makanan pokok lainya seperti talas, ubi, sagu dan sejenis gandum lainnya. Hal ini dikarena tanaman padi dapat tumbuh subur hampir di semua geografis 14 Awal tananam padi dibudidayakan masih kurang begitu jelas, namun Burger berpendapat bahwa pertanian padi kering adalah yang tertua. Pelaksanaan yang berlaku saat itu yaitu pertanian ladang hutan Roulerend. . Padi menjadi komoditas pangan paling penting, bukan hanya di Sumatera, melainkan di seluruh kawasan Asia Timur sehingga sangat mudah kita menemukan pertanian padi di wilayah ini. 15 14 Dibeberapa daerah-daerah marjinal yang pertaniannya berpindah-pindah bergantung pada hujan yang tidak menentu, makan nasi menjadi suatu kemewahan musim panen saja. Lihat, Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 1. Jakarta: YOI, 2014, hlm.23. Bahkan abad ke 15 terjadi perang penaklukan oleh Melaka yeng bergerak di daerah-daerah tepi semenanjung Malaya bagian selatan dan pantai timur Sumatera yang mengalami peningkatan kemakmuran sebagai penghasil bahan pangan beras, emas, timah dan lada. Lihat M. C. Ricklef. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGMPress, 2007, hlm.28-29 15 Pertanian ladang hutan adalah suatu daerah berpenduduk sedikit dan mempunyai banyak hutan, maka pertanian ladang dengan tanah yang bergilir roulered, karena hutan dan ladang ganti- berganti secara berturut-turut di gunakan di atas tanah yang sama. Lihat, D.H. Burger. Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid II, terj. Jakarta, 1970 Selanjutnya William membagi dua jenis padi yaitu, padi ladang yang tumbuh subur di dataran tinggi dan padi sawah tumbuh subur di dataran rendah. Ia melanjutkan, meskipun padi ladang 18 lebih baik secara kualitas namun padi sawah memberikan keuntungan kuantitas. 16 Pada dasarnya keseluruhan wilayah pedalaman bersifat liar—terlihat bahwa kesuburan tanah yang menyebabkan banyak hutan di Sumatera, bukan di anggap sebagai sebuah hambatan, melainkan anugrah. 17 Semakin meningkatnya jumlah penduduk selaras dengan meningkatnya kebutuhan hidupnya, termasuk mencukupi kebutuhan utama, yakni pangan. Oleh karena itu perluasan pertanian menjadi solusi untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar. Namun, masalah perluasan lahan pertanian bukanlah perkara mudah. Hal ini dikarenakan mitos yang diturunkan sejak kecil oleh nenek moyang mereka bahwa betapa pohon adalah objek sakral dewa-dewa yang tidak seharusnya dihancurkan oleh tangan perusak makhluk rendahan yang liar dan primitif. Burger mengamini hal tersebut, mengatakan bahwa antara kepadatan penduduk dengan kesuburan tanah terdapat korelasi. Daerah-daerah subur bergunung api muda memiliki kesuburan tanah yang baik, konsentrasi penduduk dipengaruhi oleh kesuburan tanah. 18 Namun ketika diterapkannya sistem feodal di daerah pesisir pantai timur Sumatera dan berlaku selama berabad-abad telah terjadi perubahan secara mendasar, alat-alat produksi seperti tanah milik raja dan para bangsawan—termasuk juga rakyat 16 Perbedaan keduanya tentang budidaya agrikultur ini bahwa kualitas padi ladang di anggap lebih superior karena menghasilkan nasi yang enak, putih, awet, dan mengenyangkan, sedangkan padi sawah lebih basah, kurang sehat lebih sulit direbus dan cepat membusuk namun bibit padi sawah tumbuh jauh lebih cepat sehingga menghasilkan kuantitas panen lebih banyak. Lihat, William Marsedan. Sejarah Sumatera.Jakarta: Komunitas Bambu, 2013, hlm. 72-73 17 Ibid. 18 Ibid., hlm.74 19 dimobilisasi untuk kepentingan penguasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar pendapatan Raja Sultan berasal dari konsesi tanah yang diberikan kepada rakyat ataupun investor. Sebelum tahun 1827 semua persentase tanah masuk ke kantong pribadi Raja atau Sultan yang berkuasa 19 , sedikit berbeda kondisinya yang terjadi di daerah dataran tinggi Sumatera Utara. 20 Di wilayah dataran tinggi pegunungan ini di diami oleh orang Batak 21 , telah menggunakan sistem bercocok tanam padi sawah dengan irigasi lebih awal, tetapi di daerah lain seperti wilayah Karo, Simalungun dan Pakpak mengenal bercocok tanam padi di ladang dengan cara menebang dan membakar hutan. Pola pertanian padi ladang maupun sawah umumnya ditanam dan dipanen hanya sekali setahun, selang waktu menunggu sirkulasi penaman biasa digunakan untuk tanaman palawija. 22 Namun yang tidak dapat di abaikan adalah bagaimana peran daripada petani yang masih sering di jadikan obyek dalam pembangunan. Hal ini terlihat bagaimana 19 Feodalisme adalah suatu cara berekonomi atau sistem ekonomi di mana raja, keluarga dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani sebagai abdi. Lebih lanjut lihar, Noer Fauzi. Petani dan Penguasa: dinamika perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST, 1999, hlm. 15. Lihat juga, Budi Agustono. Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1993, hlm. 81 20 Bagi bangsa Batak Simalungun, Karo, dan Toba, tanah itu belumlah di pandang membawa keuntungan secara makro melainkan sebagai identitas dan tempat untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya masyarakat Batak membagi-bagi tanah berdasarkan fungsinya. Untuk keterangan selanjutnya mengenai tanah Lihat, Bungaran antonius Simanjuntak, dkk. Arti dan Fungsi Tanah: bagi Masyarakat Batak Toba, Karo dan Simalungun. Jakarta:YOI, 2015, hlm. 21-31 21 Wilayah yang di maksud adalah dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli tengah. Daerah ini di diami oleh suku bangsa seperti: Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, dan Angkola. Lihat, Payung Bangun dalam buku, Koentjacaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Jakarta: Djambatan, 1990, hlm. 94-95 22 Hal ini terkecuali di daerah Dairi biasanya mereka menanam kopi beserta dengan tanaman padi. Payung, Ibid., hlm.101 20 pandangan masyarakat luas umumnya perkotaan memandang rendah kehidupan petani yang di nilai promitif dan tradisional. Selain itu masih terdapatnya stigma yang negatif memandang petani pedesaan sebagai sumber tenaga kerja dan barang yang menambah dana kekuasaan fund of power, akan tetapi petani itu adalah juga pelaku ekonomi dan kepada rumah tangga. Jangan mengabaikan, bahwa unit petani pedesaan bukan sekedar organisasi produksi yang terdiri dari sekian banyak “tangan” yang siap untuk bekerja di ladang; ia juga merupakan sebuah unit konsumsi yang terdiri dari sekian banyak mulut sesuai dengan banyaknya pekerja. 23 Umumnya dalam mengerjakan setiap aktivitas pertanian, masyarakat biasanya bergotong royong dalam bercocok tanam, bahkan dalam keluarga terjadi pembagian kerja. 24

2.3.2 Perluasan Lahan Pembuatan Sawah

Pembagian kerja antara lak-laki dengan perempuan dilakukan untuk mempermudah pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. 23 Unit yang dimaksud adalah tidak sekedar memberi makan kepada anggota-anggotanya; ia juga memberikan pelayanan lainnya yang harus di sediakan bagi mereka. Lihat, Eric R. Wolf. Petani: Suau Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Press, 1983, hlm. 19 24 Pembagian kerja dalam keluarga untuk mempermudah proses pengerjaan di mana laki-laki mengerjakan pekerjaan berat sepeti; penebangan pohon, membakar huta, menyiapkan saluran-saluran, pematangan irigasi, membajak, membersihkan belukar hutan dll. Sedangkan perempuan biasanya menanam, menyiangi, menuai dll. Adapun gotong royong yang dimaksud adalah sekelompok kerabat dekat atau tetangga, bersama sama mengerjakan tanah dan masing masing anggota secara bergiliran. Istilah dalam orang toba yaitu marsiurupan, atau raron bagi orang Karo, dan haroan bagi orang Simalungun. Lihat Payung, op.cit., hlm. 102-103 21 Perluasan tanah sawah 25 di Sumatera Utara sangatlah memungkinkan dengan letaknya di wilayah tropis dengan curah hujan yang tinggi berkisar 1000-5000 mmtahun. Budi daya tanaman padi dari segi botani, terutama sistem perakarannya sebenarnya bukan benar-benar merupakan tumbuhan tanaman air, tetapi tumbuh dengan baik dalam keadaan tergenang sehingga padi mempunyai sifat semiakuatis. Adapun penyebarannya ke dataran tinggi merupakan hasil pengembangan rekayasa lahan dengan sistem irigasi air dengan mengandalkan air hujan atau aliran sungai. Hal inilah yang mendorong semakin meningkatnya penggunaan lahan sawah di dataran tinggi seperti di daerah Tapanuli dan sekitarnya. Adapun secara umum di Sumatera Utara memiliki karakteristik cukup baik pada tanah sawah baik yang terdapat di daerah dataran tinggi dan berbukit-bukit maupun dataran rendah lainnya yang memiliki air yang melimpah. 26 Akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20, atas inisiatif pemerintah kolonial, di buka persawahan irigasi di Sumatera Timur. Tahun 1915 di Asahan telah terdapat 42.000 ha sawah irigasi, 22.000 ha sawah di Padang Bedagai, 3.000 ha di Serdang, 1.100 ha di Simalungun, 2,500 ha sawah di Langkat dan 350 ha di Tanah Karo. Tanah sawah yang berasal dari tanah kering kemudian diairi umumnya berupa sawah irigasi. Sementara sumber air yang berasal langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Sawah yang dikembangkan di daerah rawa- rawa pasang-surut disebut sawah pasang surut 25 Tanah sawah adalah tanah kering yang di airi, kemudian disawahkan atau dari tanah rawa- rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase. Lihat, Sarwono Hardjowigeno M.Lufti Rayes. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi, Dan Permasalah Tanah Sawah di Indonesia. Malang: Bayumedia, 2005, hlm. 2-3 26 Ibid., hlm.14 22 Pembukaan irigasi ini terkait dengan pemenuhan pangan di Sumatera Timur, khususnya masyarakat perkebunan. 27 27 Edi Sumarno. Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur tahun 1863-1943. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1998, hlm. 39 Perlu di catat pernyataan Burger sebelum masuknya kolonial ke Sumatera Timur, situasi masih begitu sepi dan rawan. Wilayah dataran rendah memiliki tingat kemajuan yang cukup tinggi karena dekat dengan kegiatan lalu lintas perdagangan di banding dengan wilayah dataran tinggi yang masih terisolasi dan tertutup. Setelah masuknya kekuasaan kolonial pada tahun 1906, terjadi perubahan derastis terutama hubungan antara dataran tinggi dengan dataran rendah. Hal ini dikarenakan terjadinya sistem keamanan yang lebih baik. Penulis membatasi kajian sampai sejauh mana perubahan keamanan dan dampaknya terhadap perubahan sebelumnya, karena bukan itu yang menjadi fokus penelitian ini. Namun, pengamatan yang sedikit ini memberi kita gambaran. Mengingat masih sedikit kajian penelitian interaksi antara dataran tinggi dan rendah. Ketika dibukanya jalan-jalan baru dari pegunungan ke pantai pada tahun 1919, lalu lintas semakin bertambah ramai yang memungkinkan gerobak-gerobak keluar-masuk membawa barang dagangan mereka. Koneksi antara masyarakat antara pesisir dan pegunungan memiliki arti penting dalam hal perdagangan, utamanya memperkenalkan barang dagangan yang memiliki nilai ekonomi. 23 Seperti dijelaskannya sejak Karesidenan Tapanuli dibentuk masyarakat telah mulai beralih dari hanya menaman pangan padi dan sayur mengubahnya menjadi menanam kopi. Namun pada tahun 1930-an harga kopi merosot tajam di pasar perdagangan ekport membuat petani semakin kesulitan memperoleh keuntungan. Krisis ini ternyata berdampak pada kondisi ketersediaan pangan yang sedikit karena banyaknya lahan pertanian untuk padi di alih-fungsikan untuk tanaman eksport. 28 Kesukaran tersebut mengakibatkan Sumatera Timur mengimport beras dari Jawa karena selama hampir ¼ penduduknya bergantung pada beras import. Kelangkaan tepatnyak krisis beras ini memberikan pelajaran penting bagi pemerintah kolonial untuk tidak semata membiarkan masyarakat melakukan alihfungsi tanaman pangan. Untuk melakukan pemulihan kebutuhan pangan yang tidak dapat di tunda, maka dilakukan perluasan kembali budi-daya tanaman padi. 29

2.4 Pangan Di Sumatera Utara