Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi Politik Pangan Di Sumatera Utara Tahun 1969-1997 (Suatu Tinjauan Historis)

(1)

107

Daftar Pustaka

a. Buku

Ali, Fachry. dkk. (1996). Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: sebuah biografi Bustanil Arifin 70 tahun. Jakarta: Sinar Harapan

Amang, Beddu (1995). Sistem Pangan Nasional.Jakarta: Dharma Karsa Utama

Arifin, Bustanul (2005). Pembangunan pertanian: paradigma kebijakan dan strategi revitaslisasi. Jakarta: Grasinda

Booth, Anne dan Peter McCawley (1990). Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES

Burger, D.H (1970). Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia JilidII, (Terj). Jakarta

Devi, T. Keizerina (2004). Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum Di Sumatera Timur 1870-1950. Medan: Pascasarjana USU

Fauzi, Noer (1999). Petani dan Penguasa: dinamika perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: INSIST

Fukuoka, Masanubo (1991). Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menuju Pertanian Alami. Jakarta: YOI

Gottschalk, Louis (2006). Mengerti Sejarah. (Terj. Nugroho Notosusanto) Jakarta: UI Press

Hardjowigeno, Sarwono & M.Lufti Rayes (2005). Tanah Sawah: karakteristik, Kondisi, dan Permasalah Tanah Sawah di Indonesia. Malang: Bayumedia


(2)

108

Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks. (2012) Ekonomi Indonesia 1800-2000: antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Kompas

Kasryno, Faisal. (peny) (1984). Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: YOI

Koentjaraningrat (1990). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

Kuntowijoyo (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Marsedan, William (2013). Sejarah Sumatera. Jakarta: Komunitas Bambu

Millikan, Max F. dan David Hafgood (1967). Tiada Panen yang Gampang: Dilema Pertanian di Negara-negara Terbelakang. (terj. Sitanala Arsjad dkk.). Jakarta: Dirjend Depdikbud

Oudejans, Jan H.M (2006). Perkembangan Pertanian di Indonesia (terj.Edhi Martono). Yogyakarta: UGMpress

Rahardjo, M. Dawam (1986). Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. Jakarta: UIPress

Reid, Anthony (1987). Perjuanga Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. Jakarta: Sinar Harapan

______________(2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 1. Jakarta: YOI

Ricklef, M. C (2007). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGMPress

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Keempat Jilid I) Republik Indonesia.

Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (1989-1994), Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid I)


(3)

109

Repelita pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid IIB)

Robinson, Richard (2012). Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu

Simanjuntak, Bungaran Antonius. dkk(2015). Arti dan Fungsi Tanah: Bagi Masyarakat Batak Toba, Karo dan Simalungun. Jakarta: YOI

Sinuhaji, Wara (2004). Aktivitas Ekonomi dan Enterprenuership: Masyarakat Karo Pasca Revolusi. Medan: USUPress

Soetrisno, Loekman (1999). Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius

Setiana, Luci (2005). Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia

Soesilowidagdo, Soebakti (1969). Melaksanakan Repelita. Yogyakarta: BPA-UGM

Sumodiningrat, Gunawan (2001). Menuju Swasembada Pangan Revolusi Hijau: Introduksi Manajeman dalam Pertanian. Yogyakarta: RBI

Sutopo (1993). Teknologi Benih. Jakarta: Rajawali Press

Sejarah Daerah Sumatera Utara. (Proyek Pemerintah dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977)

Soetrisno, Leokman (1991). Pertanian Pada Abad Ke 21. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKBUD,

________________,(1999) Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius

Soejito (1987). Aspek Sosial-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. Yogyakarta: Tiara Wacana


(4)

110

Stoler, Ann Laura (2005). Kapitalisme dan Konfrontasi: di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979. Yogyakarta: KARSA

Sumatera Utara membangun II. Diterbitkan oleh Pemda Sumut 1978

Yuwono, Tribowo dkk. (2011). Pembangunan Pertanian: Membangun Kedaulatan Pangan. Yogyakarta: UGM Press

Suryana, Achmad & Sudia Mardianto (penyunting)(2001). Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM-FEUI

Wolf, Eric R (1983). Petani: suau Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Press

Widya Karya Nasional pangan dan gizi. (1979) Jilid 2. LIPI.

b. Skripsi/Tesis/Laporan Penelitian/Jurnal

Aman Pinem (1980). “Masalah-Masalah dan Prospek Pengembangan Teknologi Baru Di Stabat”. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Pascasarjana USU

Anthon Siallagan (1986). “Dampak Rehabilitasi Irigasi Terhadap Penggunaan Tenaga Kerja dan Pendapatan Petani Kasus Panei, Kabupaten Simalungun”. Tesis Tidak Diterbitkan. Medan: Fak.Pertanian USU

Budi Agustono (1993). “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana UGM

Edi Sumarno (1998). “Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur tahun 1863-1943”. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Pascasarjana UGM

Elisnawati Ginting (1994). “Peranan irigasi desa Bandes dalam Peningkatan Produksi Petani di Kecamatan Siborong-borong Taput”. Skripsi tidak diterbitkan. Medan: Fak.Pertanian USU


(5)

111

Fatih Gama Abisono N. (2002) Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi Daerah vs Pasar Global. Yogtakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.5 No.3

Hasan Basri Serio Lago (1998). “Analisis Keterkaitan Produksi dan Pendapatan petani dengan Koperasi Usaha Tani di Kabupaten Deli Serdang”. Laporan Penelitian. Medan: Pascasarjana USU

Nurhamidah (1997). “Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok, Simalungun tahun 1960-1978”. Laporan Penelitian. Medan: Jurusan Sejarah USU

Jannes Silitonga (1984). “Faktor-Faktor yang Mendorong Petani Meningkatkan Intensifikasi Penggunaan Lahan Sawah Di Wilayah Kerja Siarang-Arang Kab. Taput. Tesis tidak diterbitkan. Medan: Fak.Pertanian USU

Satia Negara Lubis dkk. (2008). “Analisis Harga Pokok dan Kebijakan Tataniaga Komoditi Pangan Strategis dalam Rangka Swasembada Pangan di Sumatera Utara”. Laporan Penelitian. Medan: Pascasarjana USU

Tavi Supriana dkk (2009). “Analisis Alih Fungsi Lahan dan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan di Sumatera Utara”. Laporan Penelitian. Medan: Pascasrjana USU

___________(2009). “Alih Fungsi Lahan Dan Strategi Keseimbangan Keberlanjutan Pangan Di Sumatera Utara”. Jurnal Ilmiah. Medan: Pascasrjana USU

Surat Kabar

Harian Waspada, 25 Juli 1975


(6)

36

BAB III

UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN

DI SUMATERA UTARA TAHUN 1969-1997

3.1 Pembangunan Ketahanan Pangan

Telah terjadi sebuah dilema maupun perdebatan yang cukup sengit tentang prioritas utama maju dan berkembangnya suatu negara. Tentunya menjadi cita-cita memiliki negara kuat, berdaulat, dengan masyarakat yang sejahtera hidup di dalamnya. Jika kita perhatikan terdapat dua bagian (kalau tidak mau di sebut dua belah pihak) fokus perhatian pembangun di negara berkembang yaitu Industri dan Pertanian.

Satu bagian menyarankan bahwa industrialisasi memiliki hubungan yang terhadap peningkatan Pendapatan Nasional atau Gross National Product (GNP). Melihat begitu banyaknya negara yang telah mengalami proses ini lebih dulu seperti; Uni Soviet, Asia Timur, dll. keberhasilan mereka membangun bangsanya menjadi negara industri membenarkan pandang tersebut yakni, bahwa pertumbuhan di bidang pertanian relatif kurang penting. Meskipun pada kenyataan bahwa negara industri sekalipun yang memiliki pendapatan tinggi membutuhkan permintaan bidang pertanian terutama pangan untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka, namun tidak


(7)

37

sedikit negara berkembang di dunia tertarik pada gagasan industrialisasi seperti membangun pabrik-pabrik besar dan modern.50

Di pihak lain yang menganut paham sebaliknya menamakan diri sebagai kelompok pedesaan romantik. Kelompok ini menekankan bahwa unsur utama prestise nasional dan simbol modernisasi; bahkan sejarah juga telah mencatat negara-negara yang maju semuanya tumbuh secara serentak dibidang pertanian dan industrinya. Amerika Serikat, Inggris, Eropa Barat dan Jepang, semuanya mengalami perubahan pertanian yang serentak dengan industri.51

Masalah utama yang akan terus terjadi adalah pertambahan penduduk, bahkan seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat tentu harus diimbangi oleh tersedianya sumber pangan yang cukup karena elastisitas pendapatan berhubungan dengan persentase kebutuhan pangan yang meningkat juga. Idealnya, bahwa rata-rata negara-negara berkembang memerlukan kenaikan hasil pertanian terutama pangan paling sedikit 5% setiap tahunnya untuk mengimbangi kecepatan pertumbuhan penduduk, tentu saja tidak berarti bahwa hasil pertanian disetiap negara yang sedang berkembang atau dituntut lebih daripada itu.

52

Melihat keberhasilan negara-negara maju yang tidak hanya sukses dalam bidang industrialisasi, melainkan kesuksesannya membangun ketahanan pangan

50

Pemilihan prioritas yang mengarah kepada industrialisasi mengandung pengandaian adanya pelemahan di sektor pertanian. Lihat, M. Dawam Rahardjo. Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja. (Jakarta: UIPress, 1986), hlm. 3-4

51

Max F. Millikan dan David Hafgood. Tiada Panen yang Gampang: Dilema Pertanian di Negara-negara Terbelakang. (terj. Sitanala Arsjad dkk.) (Jakarta: Dirjend Depdikbud, 1967), hlm. 16

52


(8)

38

hingga menghasilkan surplus produk pertanian (terutama pangan) seperti yang dialami oleh Jepang, Amerika Serikat, Taiwan dll.

Komposisi pekerja dalam negara berkembang (seperti Indonesia) berada di bidang sektor pertanian, dan cenderung mengandalkan kehidupan pertaniannya untuk dapat bertahan hidup. Melihat arah potensial pembangunan di Indonesia yang cukup bernafsu untuk mengejar ketertinggalan bidang industri dengan negara-negara tetangga (Asia Pasifik khususnya), tidaklah dapat merombak total kearah industrialisasi. Sektor pertanian justru memiliki arah pengembangan potensil yang menjanjikan melihat kondisi alam dan geografis seperti, sumber daya alam dan sumber daya manusia sebagai komponen utama (petani) telah di tersedia. Rahardjo menilai pembangunan pertanian haruslah mendapat prioritas perhatian terlebih dahulu jika industrialisasi dilakukan, karena menciptakan landasan bagi pertumbuhan ekonomi.53

Pandangan lain coba mengoreksi paradigma yang menganggap sektor pertanian khusunya pangan sebagai sektor inferior yang berfungsi sebagai stabilisator pada kebijakan harga pangan murah dan sektor industri sebagai sektor superior yang menjamin kesejahteraan masyarakat perlu dikoreksi. Pangan yang menjadi kebutuhan

53


(9)

39

esensial memiliki peran strategis dan dapat menimbulkan ekses yang negatif bagi pembangunan nasional.54

Menurut Mocthar Mas`oed untuk memahami analisa ekonomi-politik Orde Baru dalam proses penciptaan dan redistribusi kekuasaan dan kekayaan; oleh karena kelangkaan sumber daya, maka tidak akan ada kebijakan politik yang dapat memuaskan semua pihak secara optimal. Konflik kepentingan dalam ekonomi-politik antara kebijakan yang menekankan efisiensi (misalnya, untuk percepatan pertumbuhan ekonomi) dan menekankan pemerataan (misalnya, demi perubahan tertib sosial-ekonomi untuk memperbaiki nasib lapisan bawah).

55

54

Satia Negara Lubis dkk. Analisis Harga Pokok dan Kebijakan Tataniaga Komoditi Pangan Strategis dalam Rangka Swasembada Pangan di Sumatera Utara. (Medan: Laporan Penelitian USU, 2008)

55

Mohtar Mas`oed. Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. ( Jakarta:LP3ES,1989), hlm.xvii. Beliau membatasi penjelasannya pada pokok kemunculan struktur politik Orde Baru dengan mengamati variabel-variabel ketika krisis politik dan ekonomi pada pertengahan tahun 1960-an, serta terbukanya sistem ekonomi kapitalis dan kebijakan-kebijakan awal pemerintahan Orde Baru. Namun kita tidak dapat melihat korelasi kebijakan ekonomi-politik antara pusat dengan daerah. Daerah merupakan punggung pembangunan nasional yang paling menentukan bagi sukses tidaknya program pemerintah pusat.

Menariknya sejak runtuhnya rezim Orde Lama, penguasa baru berusaha memperlihatkan sebuah pengharapan baru atas kekecewaan dari kegagalan krisis ekonomi orde sebelumnya yang mencanangkan slogan “politik sebagai panglima” di gantikan menjadi “ekonomi sebagai panglima” yang menekankan pada reformasi struktur sosial ekonomi secara radikal sekaligus untuk mencari legitimasi rakyat melalui program pembangunan ekonomi.


(10)

40

Tidaklah mudah bagi pemimpin baru ini untuk mengembalikan kepercayaan rakyat khususnya pengalaman masa kepemimpinan Sukarno yang mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan hampir di seluruh bidang. Pertama sekali pemimpin Orde Baru haruslah menunjukkan komitmen pada pemecahan masalah ekonomi seperti masalah inflasi yang tinggi, defisit neraca pembayaran, hutang luar negeri, rehabilitasi infrastuktur ekonomi, rasionalitas ekonomi yang rendah, stabilitas jangka pendek dan rehabilitas ekonomi. Pokok kebijakan ekonomi di bawah pimpinan Dr. Widjojo Nitisastro kemudian di rumuskan dalam sidang MPRS 1966 No.XXIII yang dirincikan dalam tiga tahap program ekonomi, yaitu:56

a. Tahap penyelamatan, yakni mencegah kemerosotan ekonomi agar tidak menjadi lebih buruk lagi;

b. Tahap stabilitas dan rehabilitas ekonomi, yang mengendalikan inflasi dan memperbaiki infrastruktur ekonomi;

c. Tahap pembangunan ekonomi

Pada dekade awal 1970-an para ahli dan perumus kebijakan pembangunan mulai lebih memfokuskan misi dan tujuan pemerataan dalam pembangunan pertanian, agar mampu berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan ketahanan pangan, disamping tentunya pada pertumbuhan pertanian. Adapun strategi pemerataan dalam

56

Tentang stabilitas dan rehabilitas ekonomi mencatat beberapa prioritas seperti: 1. Pengendalian inflasi; 2. Penyediaan bahan pangan yang cukup; 3. Rehabilitasi infrastruktur ekonomi; 4. Peningkatan kegiatan sektor eksport dan 5. Penyediaan bahan pakaian yang cukup. Untuk program jangka panjang, prioritas program di arahkan pada: (a) pertanian, (b) infrastruktur ekonomi dan (c) industri, termasuk pertambangan dan minyak. Lihat Mohtar, Ibid., hlm. 68-69, bandingkan dengan Jan Luiten, op.cit., hlm.346-7


(11)

41

pembangunan pertanian dicapai dengan melakukan promosi pembangunan pertanian berspektrum luas, melakukan land-reform, melakukan investasi sumber daya manusia

(SDM) di pedesaan, meningkatkan peranan wanita dalam kegiataan pertanian, meningkatkan partisipasi masyarakat pedesaan dalam pengambilan keputusan, dan pengembangan secara aktif perekonomian pedesaan.57

Sesuai dengan dikeluarkannnya surat Keputusan Presiden No. 319 tahun 1968, maka garisnya program pembangunan dengan ruang lingkup nasional yang meliputi seluruh segi-segi pembangunan di seluruh daerah-daerah di Indonesia dengan berlandaskan kepentingan nasional. Oleh sebab itu landasan pemikiran penyusunan program pembangunan daerah, selalu di ikat oleh struktur negara. Kemudian daerah dengan kondisi sosial dan ekonomi di arahkan dan dikembangkan se-maksimal mungkin sesuai dengan kondisi dan potensi lokal, tetapi selalu ber-orientasi dan bertumpu pada manfaat pembangunan ekonomi secara nasional.58

Sistem ketahanan pangan dikatakan mantap apabila dapat memberikan jaminan semua penduduk memperoleh akses pangan yang cukup sesuai dengan norma gizi yang cukup. Ketahanan pangan nasional mengisyaratkan adanya ketersediaan (swasemada) pangan yang tersedia hingga ke daerah dan rumah tangga sepanjang waktu secara berkelanjutan. Hal ini merupakan syarat yang harus di penuhi untuk membentuk ketahanan pangan nasional yang merupakan prasyarat utama

57

Bustanul Arifin. Pembangunan Pertanian: Paradigma Kebijakan Dan Strategi Revitaslisasi. (Jakarta: Grasinda, 2005), hlm.14-15

58


(12)

42

tejadinya kestabilan sosial dan politik, sebagai bagian dari ketahanan nasional.59 Indikator ketahanan pangan nasional di atas mencakup sejumlah rangkaian kegiatan yang terintegrasi mulai dari penyediaan, pengolah, pemasaran dan konsumsi rumah tangga. Berdasarkan Lembaga Pangan Dunia (FAO 1996), ketahanan pangan harus memiliki lima karakteristik yaitu60

1. Kapasitas (capacity). Adanya kemampuan untuk menghasilkan, mengimpor

dan menyimpan makanan pokok dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penduduk

:

2. Pemerataan (equity). Adanya kemampuan untuk mendistribusikan makanan

pokok sehingga tersedia dalam jangkauan seluruh keluarga

3. Kemandirian (self-reliance). Adanya kemampuan untuk menjamin kecukupan

makanan pokok dengan mengandalkan kekuatan sendiri sehingga ancaman fluktuasi pasar dan tekanan politik internasional dapat ditekan seminimal mungkin

4. Keandalan (reliability). Adanya kemampuan untuk meredam dampak variasi

musiman maupun siklus tahunan sehingga kecukupan pangan dapat dijamin setiap saat.

5. Keberlanjutan (sustainability). Mampu menjaga keberlanjutan kecukupan

pangan dalam jangka panjang tanpa merusak kualitas lingkungan hidup

59

Chairil A Rasahan. Kebijakan Pembangunan Pertanian Untuk Mencapai Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Dalam Buku Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi Tanaman Pangan. (Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2000), hlm. 2-3

60


(13)

43

Kelima karakteristik inilah yang menjadi acuan bagi seluruh negara termasuk negara dalam mengevaluasi kondisi ketahanan pangan nasional sekaligus merumuskan kebijakan serta kompas kinerja pembangunan pertanian dalam mencapai swasembada pangan.

Sumatera Utara memiliki potensi yang besar dalam arah pembangunan nasional. Dengan penduduk sekitar 6 juta jiwa pada tahun 1969, sekitar 85% adalah hidup dalam usaha pertanian.61

3.2 Program Bimbingan Massa (BIMAS) dan Insentifikasi Massa (INMAS) Oleh sebab itu sasaran di bidang pertanian di letakkan pada peningkatan hasil produksi bahan pangan (food crops).

3.2.1 Pengenalan Bibit Baru

Sebelum tahun 1969, petani di Sumatera Utara masih menggunakan jenis padi Lokal seperti, Ramos, Jongkok dll. usia tanaman tersebut sejak di tanam hingga di panen ±180 hari. Keunggulan jenis ini lebih tahan terhadap hama dan rasanya yang enak. Pola pertanian padi awalnya seperti yang telah di jelaskan di atas baik di dataran tinggi maupun rendah masih sama yaitu sekali panen dalam setahun, sisa waktu berikutnya mereka menanam palawija seperti: jagung, kacang tanah, kedele dll.62

Siklus ini menyimpan potensi untuk di kembangkan melalui program intensifikasi terhadap produksi padi. Untuk meningkatkan produktivitas padi, maka

61

Rencana Pebangunan lima Tahun. op.cit., hlm 3

62

Nurhamidah. Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok, Simalungun tahun 1960-1978. Laporan Penelitian (Jurusan Sejarah USU: Medan,1997), hlm. 17


(14)

44

diperlukan perubahan secara mendasar termasuk penggunaan bibit (benih) yang produktif.

Benih merupakan simbol dari suatu permulaan; ia merupakan inti dari kehidupan di alam semesta sebagai penyambung kehidupan tanaman. Oleh sebab itu, benih di tuntut bermutu tinggi, sehingga mampu menghasilkan tanaman yang berproduksi maksimum dengan sarana teknologi yang maju.63

Penerapan benih unggul sebenarnya telah di mulai sejak didirikannya Departemen Pertanian tahun 1905, usaha pemerintah untuk mempertinggi produksi tanaman rakyat lebih di intensifkan melalui penyebaran benih unggul khususnya padii, namun orientasi cakupan hanya beberapa wilayah di Jawa saja. Sejak tahun 1969 mulailah dirintis adanya proyek benih oleh direktorat pengembangan Produksi Padi Direktorat Jenderal Pertanian Departemen Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan benih yang bermutu tinggi secara kontiniu—kemudian tahun 1971 dibentuklah Badan Benih Nasional.

Kualitas benih adalah suatu kebutuhan untuk mencapai target produksi maksimal. Benih yang berkualitas memiliki kemampuan pada faktor-faktor seperti kebenaran varitas, persentase perkecambahan, persentase biji rumput-rumputan, kekuatan tumbuh, bebas dari hama dan penyakit serta kontaminan-kontaminan lainnya.

64

63

Sutopo. Teknologi Benih. (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hlm.1-2

64

Ibid., hlm. 6


(15)

45

Pemerintah pun secara bertahap mengadakan berbagai program kegiatan dan sosialisasi produk yang dianggap lebih baik dari segi efisiensi waktu, biaya maupun tenaga. Dalam tahun pertama 1968 pemerintah menargetkan kenaikan produksi beras 5 % yakni 9,3 juta ton. Pemerintah menyadari sekalipun produksi seharusnya jauh melebihi daripada target tersebut, perlu waktu untuk menerapkannya dalam menggerakan petani secara nasional. Untuk mengejar target produksi tersebut, pemerintah melakukan usaha intensifikasi pertanian melalui Bimas dan Imnas yang meliputi perbaikan irigasi, prasarana irigasi, termasuk pembuatan bibit unggul PB-5 dan PB-865

Namun pada tahun 1968-1969 pemerintah menganjurkan kepada para petani menanam padi jenis unggul seperti PB-5 dan PB-8 sebagai salah upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman pangan karena memungkinan menanam padi 2 kali setahun. Namun oleh karena kurangnya pengetahuan petani terhadap jenis unggul ini menimbulkan masalah baru hingga berujung terjadinya gagal panen di sejumlah , penyediaan pupuk dan obat-obatan hama yang cukup serta penyuluhan penanaman padi secara teknis. Pemerintah menerapkan kebijakan harga beras bagi petani untuk menggairahkan kerja bagi mereka; yaitu sebesar minimal harga 1 kg pupuk untuk 1 kg beras (rumus tani).

65

Awal di perkenalkannya verietas unggul ini merupakan hasil penelitian IRRI yang di sebut dengan IR-5 dan IR-8, namun karena dihasilkan dari keturunan padi PETA asal Indonesia dan demi identitas bangsa maka verietas tersebut di namakan dengan PB-5 dan PB-8 (Peta Baru) oleh pemerintah Indonesia. Lihat Triwibowo, op.cit. Hlm. 60


(16)

46

daerah.66 Penyebab utama gagal panen adalah meluasnya hama wereng oleh karena perubahan penanaman menjadi 2 kali setahun. Berdasarkan keterangan penyuluhan, hama wereng sebenarnya sudah ada sebelumnya, namun oleh karena masa penanaman palawija siklus kehidupan populasi wereng terputus—setelah panen dilakukan 2 kali dalam tahun perkembangannya sangat cepat.67 Pada tahun 1972, pemerintah memperkenalkan varietas baru padi C-4 dan Pelita yang di distribusikan ke daerah-daerah khusus bagi daerah-daerah yang dilanda kemarau panjang, sebagai bagian dari skema untuk mempertahankan produksi beras. Hal yang sama juga dilakukan ketika terjadi kemarau panjang tahun 1977 di mana pemerintah mengintroduksikan varietas padi IR-26 dan IR-36.68

Pada tahun 1974, hama wereng pernah menyerang padi yang ada di Sumatera Utara dengan hebat. Peristiwa tersebut menjadi musibah petani yang masih dalam rangka menguji coba sejumlah bibit unggul yang di berikan oleh pemerintah dan menjadi pukulan bagi pemerintah yang sedang berusaha untuk meyakinkan masyarakat petani untuk menggunakan bibit unggul. Setelah dilakukan penelitian oleh tim ahli, pemerintah akhirnya menarik bibit C-4 dan menggantinya dengan padi

Varietas terakhir ini lebih di sukai oleh masyarakat karena daya tahannya lebih kuat terhadap hama wereng dan cuaca di banding varietas C-4.

66

Kegagalan panen terjadi di Simalungun oleh karena padi di serang hama wereng secara menyeluruh. Ketidaksiapan petani juga terlihat sikap petani tidak mengetahui penggunaan pestisida dengan baik seperti yang di anjurkan oleh penyuluh. Nurhamidah, op.cit.,hlm. 17

67

Ibid., hlm 23

68


(17)

47

unggul IR-26.69

Pemerintah melalui Dinas Pertanian menyediakan 30 ton bibit padi IR-26 yang di distribusikan ke beberapa daerah Bimas yaitu: Simalungun, Deli Serdang, Langkat, dan Asahan. Melalui sejumlah eksperimen yang telah dilakukan, pemerintah mencoba meyakinkan kembali para petani untuk tidak ragu menggunakan bibit unggul IR-26 karena di nilai jauh lebih baik dari daya tahan terhadap hama maupun perubahan iklim. Namun tetap saja beberapa wilayah daerah menolaknya.

Awalnya petani enggan untuk menggunakan bibit unggul tersebut karena trauma akan peristiwa sebelumnya.

70

Tujuan utama pemerintah menganjurkan tanaman jenis unggul adalah untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya beras. Berubahnya siklus panen menjadi 2 kali setahun mampu menambah produksi padi melalui program pemerintah. Namun jika kita hitung, peningkatan produksi sebenarnya tidak banyak berarti oleh karena pola baru ini memerlukan biaya pengeluaran produksi lebih besar jika dibandingkan dengan sebelumnya. Seperti yang di alami petani padi di daerah Simalungun yang

69

Semenjak 1973, kultivar IR yang produksinya tinggi dan memiliki resistensi terhadap wereng yang diperkenalkan secara bertahap yang dimulai dari IR-26, dilanjutkan IR-28, IR-34, IR-36, IR-38, IR-54, IR-64 dan IMV. Introduksi varietas unggul di atas pertama kali di Kabupaten-kabupaten wilayah Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Lihat, Jan H.M. Oudejans. Perkembangan Pertanian di Indonesia (terj.Edhi Martono) (Yogyakarta: UGMpress, 2006), hlm. 63

70

Sebagian besar petani di daerah perbaungan dan sekitarnya merasa kecewa terhadap pemerintah karena peristiwa serangan hama menyebabkan kerugian petani hingga ratusan juta Rupiah. Kekecewaan mereka bertambah ketika masyarakat merasa pemerintah mengabaikan kondisi mereka. Setelah kejadian tersebut petani akhirnya kembali menggunakan budi daya bibit lokal. Harian Waspada, 25 Juli 1975. Kemudian Direktorat Perlindungan Tanaman pangan mulai membentuk tim sub-Dinas cadang di daerah tingkat Provinsi dan Kabupaten sejak 1975. Namun baru sejak tahun 1979 mereka mulai melakukan penelitian tentang cara-cara pengendalian alternatif terhadap hama wereng yang menyerang tanaman padi. Menariknya tim pemantau Sub Dinas perlindungan Tanaman padi menemukan untuk pertama kalinya wereng punggung putih (sogatella furcifera) yang menghabisi padi di Sumatera Utara. Lihat,Jan H.M. Oudejans, Ibid., hlm.59-60


(18)

48

berhasil di panen, sekitar 60% dari total di gunakan untuk biaya produksi, sementara 40% yang menjadi pemasukan.71

3.2.2 Inovasi Teknik

Pertanyaannya, tentu bagaimana jika terjadi gagal panen? Apakah telah di siapkan skema dalam mengantisipasi hal ini jika terjadi? Adakah jaminan bagi petani untuk menanggung semua beban biaya produksi yang telah dipakai? Seberapa siapkah petani menghadapi perubahan yang terjadi untuk mengikuti instruksi dari para penyuluh pertanian? Mengingat kurangnya kesiapan dari pemerintah maupun pengetahuan petani terhadap barang baru seperti penggunaan teknologi ini telah memperdaya petani padi dengan menjerumuskan ke dalam resiko menciptakan kemiskinan struktural bukan menyejahterakan. Sekiranya di sini kita cukup melihat strategi pemerintah terlebih dahulu, untuk melihat keberhasilan daripada program ini akan di jelaskan di dalam Bab 4.

Perubahan teknik juga dilakukan untuk menunjang proses produksi. Perubahan teknik yang dimaksud adalah teknik menanam dan panen. Teknik panen dengan memperkenalkan alat panen yang membutuhkan tenaga baru dari ani-ani menjadi sabit bergerigi. Pergeseran ini dikarenakan varietas padi unggul PB dan IR yang diadopsi memiliki postur batang relatif jauh lebih pendek dari varietas lokal. Inovasi lain yang berubah di bidang perontokan pasca panen, biasanya petani ‘meng-iles

71


(19)

49

dengan kaki yang biasa dilakukan perempuan di pedesaan berganti dengan sistem ‘banting’dan alat perontok (Thresher) baik sistem pedal maupun mesin.72

3.2.3 Gerakan Supra Insus

Untuk memperoleh produksi maksimal juga di lakukan inovasi bidang penanamam. Petani yang biasa menanam padi lokal memiliki postur tubuh yang tinggi tidak memerlukan aturan tanam yang kaku antara satu pohon dengan yang lain. Sebelumnya tanaman padi lokal dilakukan dengan jarak dengan cukup dekat karena memandang semakin banyak batang pohon yang di tanam akan pararel dengan buah yang dihasilkan. Bukan hanya pengetahuan petani yang kurang di bidang penaman melainkan juga di bidang perawatan. Terlihat bagaimana padi itu tumbuh menurut tingkat kesuburan tanah.

Setelah diperkenalkannya padi varietas unggul, tentu akan berubah pula kebutuhan perawatan dan pola tanam padi. Hal ini menjadi masalah baru bagi petani untuk menyesuaikan pola teknik baru untuk menghasilkan produksi yang maksimal.

Program Supra Insus pada perinsipnya merupakan program peningkatan produksi padi sawah pada sawah berpengairan dengan pendekatan pengelolaan yang lebih baik. Dalam pelaksaan program tersebut menerapkan unsur teknologi, sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada pemahaman petani sebagai pengguna. Konsep program Supra Insus adalah rekayasa sosial dan sekaligus dalam

72


(20)

50

penyelenggara intensifikasi pertanian yang dilaksanakan atas dasar kerja antar kelompok tani pelaksanaan Insus yang luas wilayahnya sekitar 600-1000 Hektar sejak awalnya tahun 1987 dan terus di kembangkan antara 15.000- 35.000 Ha.73

Program Supra Insus merupakan salah satu pembinaan usahatani yang tidak terpisahkan dan program nasional untuk swasembada pangan, peningkatan devisa, pelestarian lingkungan hidup dan penyerapan kerja. Dalam konsep program Supra Insus, karakteristik utamanya adalah kerja sama kelompok tani dalam melaksanakan program yang mencakup 1). Penataan tertib pola tanam tahunan, 2)pengendalian hama secara terpadu, 3) pergiliran verietas padi antara kelompok tani pada tiap-tiap WKPP dan antar musim tanam, 4) jalur benih antar lapangan (Jabal), 5) tata guna air di tingkat usaha tani, 6) pemilikan, penyewaan dan penggunaan alat pertanian, 7) pinjam-meminjam modal kelompok tani di dalam maupun antar kelompok tani, 8) penerapan 10 unsur (paket) teknologi produksi Supra Insus menurut rekomendasi mutakhir, 9) tabungan kelompok tani pada Simpedes dan 10) iuran anggota kelompok tani untuk membiayai kegiatan dan kepentingan bersama pada tiap kelompok.

74

Adapun peserta program Supra Insus adalah petani yang menjadi anggota kelompok tani dengan kelas tertentu. Adapun Gerakan Supra Insus melaksanakan beberapa kegiatan, yakni: 1. Penerapan 10 unsur teknologi, 2. Menyelengarakan penyuluhan pertanian dan penerangan terkait 10 unsur tersebut. 3. Pemupukan modal

73

Muhammad Asaad. “Analisis Sosial-Ekonomi Pelaksanaan Program Supra Insus Pada Petani Padi Sawah di Kabupaten Deli Serdang”. Tesis tidak diterbitkan (Medan: Pascasarjana USU, 1999), hlm.20

74


(21)

51

kelompok tani yakni sikap mental dan perilaku petani/kelompok tani yang positif terhadap perkreditan dan meningkatkan kemampuan petani anggota, 4. Pengadaan dan penyaluran Saprodi (sarana produksi) merupakan pembagian tanggung-jawab kepada para penyalur KUD, 5. Penyaluran KUT oleh KUD atau BRI dan pengembalianny, 6. Jaminan pemasaran mencakup penetapa harga dasar gabah, dan kegiatan pemasaran bersama yang dilakukan petani.

Muhammad Asaad dalam penelitiannya pengaruh Program Supra Insus di salah satu lumbung produksi padi terbesar di Sumatera utara yaitu Kabupaten Deli Serdang, mengatakan bahwa:

“penerapan 10 unsur teknologi Supra Insus belum terlaksana dengan baik karena petani responden tidak menggunakan dan memanfaatkan fasilitas yang disediakan, hal ini di pengaruhi oleh terikatnya petnani pada pola budaya tanam lama. Demikian pula petani kurang memahami tentang keberadaan program Supra Insus termasuk arti, tujuan dan sasaran programnya”.

Tabel.1

Luas Pengairan Sawah Perkembangan Luas pengairan sawah

Tahun pengairan terjamin pengairan kurang terjamin

Jumlah

1969 175.820 185.050 360.870

1970 194.298 177.214 371.512

1971 188.421 193.779 382.200

1972 205.614 186.943 392.557

1973 215.624 192.785 408.409

1974 215.624 193.729 409.353

1975 219.922 201.306 421.228

1976 212.063 215.237 427.300


(22)

52

3.2.4 Pembangunan Dan Rehabilitasi Sarana Dan Prasarana

Berdasarkan arahan pembangunan dari pemerintah pusat, untuk mencapai target produksi yang telah ditetapkan maka pemerintah mengambil sejumlah langkah kebijakan termasuk perbaikan-perbaikan dan pembangunan proyek-proyek pengairan yang cukup besar yang dilaksanakan di daerah pertanian, provinsi Sumatera Utara mendapat sejumlah proyek tersebut. Pembangunan dan rehabilitasi sarana dan pra sarana sangatlah penting sebagai langkah awal mendemonstrasikan megaproyek secara kolektif. Pemerintah memahami arti pentingnya pembangunan ini sebagai penunjang terlaksananya program Bimas dan Inmas. Bahkan masalah yang kerap terjadi adalah konektivitas yang terjadi antar-daerah kabupaten maupun provinsi dalam penyaluran beras saat mengalami krisis.75

Salah satu strategi ekstensifikasi produksi padi adalah dengan melakukan perbaikan irigasi saluran air. Vitalnya kebutuhan air akan padi sawah membuat pemerintah memberikan program Bantuan Pembangunan Desa (Bandes), di harapkan dapat mendorong setiap desa mengatasi masalah irigasi. Arah tujuan dana Bandes di tujukan kepada perbaikan pra-sarana perhubungan dan fasilitas desa dalam rangka menyukseskan program swasembada beras di Indonesia.76

75

. Butasnul, op.cit.,hlm. 362-363

76

Untuk beberapa kasus daerah di Siborong-borong, dengan perbaikan irigasi mampu meningkatkan produksi sebesar 4 kali lipat dalam tempo 5 tahun. Lihat, Elisnawati Ginting. “Peranan irigasi desa Bandes dalam Peningkatan Produksi Petani di kecamatan Siborong-borong Taput”. Skripsi (Medan: Fak.Pertanian USU, 1994). Di Simalungun, berdasarkan analisis Anthon Siallagan. “Dampak rehabilitasi irigasi terhadap penggunaan tenaga kerja dan pendapatan petani kasus Panei, kabupaten Simalungun”. Tesis tidak diterbitkan (Medan: Fak.Pertanian USU, 1986) mengatakan bahwa pengaruh


(23)

53

Selama Pelita I dan II, pembangunan pra sarana di fokuskan ke daerah yang memiliki akses yang sulit baik berupa pembangunan jalan negara, provinsi maupun Kabupaten. Pembangunan sarana pertanian seperti pembangunan dan perbaikan saluran irigasi, percetakan sawah baru, dll. Khusus di Sumatera Utara, kabupaten Tapanuli Utara mendapatkan pagu anggaran terbesar yakni 4,1 Miliar yang terdiri dari 8.824 proyek selama Pelita I- II (1968-1978). Penetapan sejumlah megaproyek tersebut dikarena kabupaten ini daerah surplus beras setiap tahun, sehingga dinilai perlu dikembangkan melalui program ekstensifikasi sawah dan intensifikasi sawah. Gubernur Sumatera Utara Marah Halim bersama Dinas Pertanian Sumut, mendatangi sejumlah daerah pengembangan Bimas/Inmas serta mendorong para petani untuk memanfaatkan fasilitas yang telah disedikan seperti: pupuk subsidi, bibit unggul, dan pembangunan irigasi yang baik.77

3.2.5 Penyaluran Kredit Petani

Pemberian Kredit Usaha Tani (KUT) oleh Bank dimaksudkan untuk membantu mengatasi keterbatasan modal kerja petani. Modal merupakan faktor utama dalam peningkatan produksi. Seperti dijelasakan Hassan basri dikutip dari Sumitro Djojohadikusumo, kredit yang realisasinya dipakai untuk kegiatan produktif akan meningkatkan kesejahteraan krediturnya. Pertama kali penyaluran kredit ini saat di mulainya program Bimas 1964. Tujuan penyaluran perkreditan adalah mempercepat

irigasi terhadap peningkatan produktivitas padi setelah adanya rehabilitasi sebesar 31,91 % atau 15,12 kw/ha, sementara dalam hal pendapatan terjadi peningkatan pendapatan sebesar 50,28%, sementara untuk keuntungan terjadi peningkatan rata-rata sebesar 15,95%.

77


(24)

54

laju peningkatan hasil produksi padi melalui penerapan teknologi baru, dengan kredit Bimas, Insus, dan Operasi Khusus serta membuka pasar uang di pedesaan agar suku bunga dapat terkendali terutama mencegah terjadinya monopoli pasar uang.78

Untuk menyalurkan kredit tersebut Bank Indonesia menunjuk Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menyalurkan yang ditugaskan khusus, berdasarkan UU No.21 tahun 1968 adalah memperhatikan koperasi, usaha tani, dan nelayan serta perusahaan kecil disektor industri perdagangan dan jasa.

Kredit Usaha Tani secara prosedur disalurkan dananya 100% dari Bank Indonesia kepada petani dengan suku bunga rendah. Petani yang dapat memperoleh kredit tersebut adalah petani yang kegiatannya mengolah tanaman padi, palawija, dan holtikultura.

79

Kegiatan Bank ini dalam rangka peningkatan produksi pangan terutama beras melalui program Bimbingan massal atau BIMAS dan Internsifikasi Massal atau INMAS. Adapun penyediaan dana melalui BRI sebesar 100% dengan bunga 3% setiap tahun. Program ini di mulai pada tahun 1965/1966 yang isi paketnya disalurkan pemerintah secara kredit seperti pupuk dan obat-obatan dan alat-alat produksi lainnya.80

78

Faisal Kasryno. op.cit., hlm. 307

79

Hasan Basri Serio Lago. “Analisis Keterkaitan Produksi dan Pendapatan petani dengan Koperasi Usaha Tani di Kabupaten Deli Serdang”. Laporan Penelitian. (Medan: Pascasarjana USU, 1998), hlm.14

80

Ibid., hlm.29

Besarnya pinjaman berkaitan dengan kebutuhan modal dan kesanggupan membayar kembali pinjaman serta suku bunganya. Sehingga kredit yang diberikan


(25)

55

disesuaikan dengan likuiditas dan risiko pengembaliannya, namun tidak melupakan azas pemerataan penyaluran kredit dengan mempertimbangkan debitor dan krditor.

Kesungguhan Bank Indonesia mendukung program ini tercermin dari kesediaan untuk ikut menanggung resiko kegagalan. Apabila terjadi kegagalan, maka pemerintah akan menanggung sebanyak 50% dengan rincian, Bank penyalur dana menanggung 25%, sedangkan Bank Indonesia menanggung 25%.81

Namun dalam pelaksanan dilapangan dihadapi masalah yaitu macetnya saluran kredit melalui Bank seperti yang dirasakan oleh petani di Kabupaten Deli Serdang yang dengan sendirinya mengganggu proses produksi padi yang dikelola oleh petani tersebut.

Kebijakan ini menjadi solusi atas kekhawatiran petani untuk menggunakan kredit dari pemerintah jika terjadi kegagalan panen.

Dalam perkembangan mendukung pelestarian swasembada pangan khususnya padi yang telah dicapai pada tahun 1984 dan pengembangan koperasi, pada tahun 1985 skim kredit Bimas yanng telah diberikan kepada masyarakat disempurnakan oleh KUT disalurkan melalui Koperasi Usaha Desa (KUD).

82

81

Ibid., hlm.31.

82

Ibid., hlm.32-3

Masalah lain yang muncul adalah pemberian kredit tidak terawasi dengan baik, baik penyaluran melalui BRI, BulOG, dan PN Pertani sama-sama menawarkan kredit dalam bentuk tuna maupun sarana produksi. Sementara itu


(26)

56

koperasi desa biasanya pengelolaan organisasi, keuangan dan pendidikan rendah, ditugasi menagih pembayaran kredit.83

Tab el.2

Perluasan Padi Sawah Bimas Di Sumatera Utara Pengembangan luas tanaman padi sawah di Sumatera Utara

Tahun baku areal (Ha) luas Panen (Ha) Kenaikan%

1969 360.870 351.594 +2,6

1970 371.512 383.363 +9.0

1971 382.200 414.584 +9.2

1972 392.557 443.645 +7,0

1973 408.409 447.301 +0,8

1974 409.353 432.130 -3,4

1975 421.228 397.116 -8,28

1976 427.300 430.013 +8,12

Sumber: Sumut Membangun

Kelihatan bahwa panen padi sawah setiap tahun bertambah, walaupun pada tahun 1974-1975 terjadi penurunan. Penurunan luas panenan adalah akibat serangan hama wereng yang sudah terjadi sejak tahun sebelumnya. Bertambahnya luas areal panenan selain akibat bertambahnya sarana pengairan, juga karena berkembangnya varitas-varitas unggul yang relatif berumur pendek.

Kenaikan yang terjadi menyatakan bahwa keinginan para petani sebagai peserta bertambah banyak, akibatnya hasil yang diperoleh juga bertambah. Laporan Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara mengklaim jika program Bimas/Inmas

83


(27)

57

tersebut memberatkan kepada masyarakat tani, luas areal tidak akan bertamabah.84 Selanjutnya, kelihatan penurunan luas areal Bimas/Inmas tanaman padi padi tahun 1974-1975, sebagai pengaruh serangan hama wereng yang menyebabkan merosotnya produksi. Namun musim tanam tahun 1976-1977 areal Bimas/Inmas kembali bertambah karena serangan hama wereng sudah dapat ditekan terutama dengan penyebaran bibit padi tahan wereng.85

3.2.6 Penyuluhan

Penyuluhan adalah suatu usaha atau cara untuk mendidik masyarakat untuk meningkatkan kepribadian, keterampilan, dan pengetahuan agar dapat diserap atau dipraktikkan oleh masyarakat tersebut. Jadi, penyuluhan pertanian adalah suatu aktivitas pendidikan non-formal bagi petani yang berhubungan dengan masalah pertanian di pedesaan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan tertentu, cara atau metode tertentu.86 Penyuluhan berfungsi sebagai jembatan atas kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh para petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang menjadi kebutuhan para petani.87

Untuk memperkenalkan program intensifikasi produksi, pemerintah pusat menugaskan pemerintah kabupaten melalui Dinas Pertaniannya untuk membantu para

84

Lihat, Sumatera Utara membangun (Medan: Provinsi Sumatera Utara,1984), hlm.58

85

Ibid., hlm.59.

86

Luci Setiana. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.2

87


(28)

58

petani dalam memecahkan masalah mereka. Salah satunya adalah dengan mengirim petugas penyuluhan lapangan (PPL) ke desa-desa. Seorang PPL di tugaskan di 1-3 desa, dan ia akan mengunjungi setiap desa secara bergantian. Peran para PPL memang cukup membantu memberikan informasi baru mengenai teknik bertani dan pengolahan padi maupun menanggapi kesulitan di lapangan. Untuk memaksimalkan pelaksanaan penyuluhan ke desa-desa yang sangat sulit terjangkau di tambah kesulitan tingginya biaya yang dikeluarkan dalam merangkul semua petani desa di seluruh Sumatera Utara, maka pemerintah membuat kerja sama dengan perguruan tinggi (hal ini fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara) dengan melibatkan mahasiswa senior melakukan Kuliah Kerja Nyata.88

Sejak di mulainya paket program Bimas, masyarakat secara umum terlibat dalam kredit mulai muncul sejumlah masalah, terkait dengan bimbingan teknis untuk menggunakan dan memanfaatkan sebaik mungkin fasilitas yang tersedia untuk meningkatkan produksi. Petani Bimas sangat membutuhkan dampingan teknis dari

Tugas utama para mahasiswa KKN adalah memperkenalkan “Proyek Mahasiswa Terpadu” dengan memberikan contoh nyata untuk mendorong para petani memanfaatkan lahan mereka yang sempit secara efektif sehingga menambah pendapatan selama krisis. Meskipun di lapangan jumlah mereka tidaklah mencukupi untuk melakukan bimbingan terhadap petani.

88

Awalnya kegiatan ini diinisiasi oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) yang mendorong Mahasiswanya turun langsung ke lapangan yang di mulai pada Januari 1988. Mereka yang telah di perlengkapi dengan pengetahuan di perguruan tinggi di harapkan mampu mempraktikkannya bersama petani sesuai dengan kebutuhan.


(29)

59

penyuluh pertanian. Seiring berjalannya program Bimas, pemerintah juga meluncurkan program Inmas sebagai program pendamping.

3.3 Impelementasi Pemerintah Daerah Dalam Mencapai Target Produksi Pangan

3.3.1 Kebijakan Dalam Upaya Mencapai Target Produksi Pangan

Kebijakan pemerintah dalam mencapai swasembada pangan telah tersusun dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita oleh pemerintah pusat dan proyek tersebut di implementasikan ke setiap daerah. Repelita adalah suatu rencana; yaitu rencana tentang pembangunan berjangka waktu lima tahun. Dengan membuat rencana ini berarti negara mempunyai landasan dan pedoman bagi apa yang akan di lakukan: landasan dan pedoman tersebut menghindarkan negara dari pemborosan-pemborosan dan penyelewengan tenaga, uang, barang, ruang dan waktu, sekaligus alat kontrol.89

Pemerintah daerah juga ikut bertanggung-jawab dengan mengawasi kelancaran pelaksanan proyek-proyek pembangunan nasional yang diselenggarakan di daerahnya yang mewajibkan mengikuti arahan setiap proyek pembangunan beserta

89


(30)

60

pedoman dan penunjuk teknis melalui departemen terkait. Oleh sebab itu landasan pembangunan daerah sama dengan pembangunan nasional.90

Dalam usaha pencukupan kebutuhan pangan, pemerinah Orde Baru merencanakan peningkatan produksi beras melalui bimbingan massal (Bimas) yang terus di selenggarakan melalui penyediaan pupuk, bahan obat-obatan (insektisida) dan perbaikan saluran irigasi yang di harapkan lebih menguntungkan dan meningkatkan produksi pangan secara pesat.

91

Di samping itu, pemerintah juga terus mencari ikhtiar-ikhtiar agar masyarakat disediakan pangan pengganti beras yang kadar dan rasanya tidak kalah dengan beras. Penelitian dan pencobaan terus dilakukan untuk memprodusir bahan pengganti beras, karena kebutuhan beras terus meningkat, sedangkan produksi beras belum dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan.92

90

Ibid., hlm. 14-7

91

Pidato Presiden pada tanggal 16 Agustus 1967, lihat. Presiden Soeharto. Amanat Kenegaraan. Jilid I 1967-1971. (Jakarta:Yayasan Idayu.1985), hlm. 38-39

92

Ibid., hlm. 39

Usaha untuk meningkatkan produktivitas pertanian di bagi dalam sub sektor di mulai dari:

1. penyebaran penggunaan benih unggul dalam daerah pertanian serta pengembangan penelitian untuk bibit-bibit baru,


(31)

61

2. Pendistribusian pupuk dan obat hama ke daerah-daerah dengan ketentuan-ketentuan pengadaan yang tepat dan selanjutnya menggunakan pengadaan pupuk dan obat hama asal produksi sendiri,

3. Peningkatan cara-cara pengolahan dengan alat-alat secara massal dari luar-negeri,

4. Peningkatan proses pengeringan dan penggilingan padi,

5. Penyuluhan serta bimbingan terhadap peningkatan efisiensi usaha dan pertanian.

Serta di sediakan sub lembaga untuk membantu melalui Pusat Penelitian Pertanian di Perguruan Tinggi di daerah Sumatera Utara, memberikan kredit kepada petani melalui Bank Pemerintah dan Swasta, intensifikasi lahan dan produksi melalui irigasi seluruh inventarisasi daerah-daerah pertanian dan mengadakan modal cadangan dari pemerintah untuk menjaga kestabilan harga beras.93

3.3.2 Pelaksanaan Kebijakan di Daerah

Berdasarkan hasil dari pelaksanaan pembangunan dari Repelita I, II dan III, pemerintah bertekad untuk memacu pertumbuhan pembangunan jangka panjang dan cita-cita bangsa Indonesia. Sasaran pembangunan di bidang ekonomi masih di titik beratkan pada sektor pertanian yang semakin memantapkan swasembada pangan

93

Untuk lebih jelas tentang rincian pembangunan tersebut lihat, Pidato Soeharto. Ibid., hlm. 13-14


(32)

62

melalui peningkatan intensifikasi, diversifikasi dan ekstensifikasi baik lahan basah maupun lahan kering. Adapun usaha intensifikasi melalui langkah-langkah:94

Untuk itu Pemerintah melalui Dinas Pertanian memberikan tanggungjawab penerapan program diberikan kepada pejabat daerah untuk menangani Bimas dan Inmas. Bupati diangkat sebagai koordinator dan pejabat Dinas Pertanian Provinsi menyeleksi wilayah terapan, menyediakan benih dan menghubungi petugas-petugas lokal.

a) memperluas dan meningkatkan mutu dan intensifiksi khusus (INSUS), b) melaksanakan intensifikasi diversifikasi, dan rehabilitasi dengan operasi Khusus (OPSUS) pada lahan-lahan marjinal dan daerah-daerah minus.

95

Sementara itu, berdasarkan analisis salah satu faktor pendorong petani meningkatakan intensifikasi penggunaan lahan sawah adalah faktor bibit unggul, sarana produksi modal, tenaga kerja, pemasaran hasil produksi dan peningkatan program penyuluhan.

96

Keberadaan teknologi dipercaya mampu membantu petani meningkatkan produktivitasnya secara signifikan, masihlah memiliki sejumlah persoalan mendasar. Pemakaian teknologi seperti yang telah di perkenalkan kepada petani belum mampu mendorong produktivitasnya. Pemakaian teknologi terkendala oleh tingkat adopsi

94

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Keempat Jilid I) Republik Indonesia. hlm. 422

95

Lihat Jan Oudejans, op.cit.,hlm.56

96

Jannes Silitonga. “Faktor-faktor yang mendorong petani meningkatkan intensifikasi penggunaan lahan sawah di Wilayah kerja siarang-arang Kab. Taput”. Tesis tidak diterbitkan (Medan: Fak.Pertanian USU, 1984)


(33)

63

oleh petani desa sangatlah rendah. Bukan hanya itu, petani juga masih sulit dalam memanfaatkan obat-obatan pemberantas hama dan penyakit dikarenakan terbatasnya fasilitas yang disediakan pemerintah serta minimnya arahan dari penyuluhan.97

3.3.3 Target Produksi Pangan

Di harapkan melalui program peningkatan bahan pangan mencapai swa-sembada ditargetkan tercapai hingga tahun 1971 dengan peningkatan produksi sebesar 25% dari produksi tahun 1968 khusus untuk Sumatera Utara. Jika di hitung secara kebutuhan dan produksi, maka dengan jumlah penduduk kisaran ±6 juta jiwa dengan angka kebutuhan 220 kg/jiwa dengan produksi 1,2 jt ton , menjadi 1,5 juta ton tahun 1971, dan pada akhir pelaksaan Pelita 1974 angka produksi padi di targetnya mencapai 1,9 juta ton.98

Repelita ke lima tahun 1989/1990 – 1993/1994 di bidang pembangunan pertanian di tujukan pada peningkatan produksi dan memantapkan swasembada pangan dan memperbaiki mutu gizi serta peningkatan pendapatan petani. Laju pertumbuhan tanaman pangan di perkirakan naik rata-rata 2,60% melalui ekstensifikasi, intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan.

99

97

Aman Pinem. “Masalah-Masalah Dan Prospek Pengembangan Teknologi Baru Di Stabat”. Tesis tidak diterbitkan (Medan: PascasarjanaUSU, 1980)

98

Ibid.

99

Rencana Pembangunan Lima Tahun Kelima (1989-1994), Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid I). hlm. 90. Untuk tingkat konsumsi kalori dan protein rata-rata penduduk Sumatera Utara melampaui tingkat konsumsi nasional di sebabkan oleh semakin tingginya tingkat kemampuan masyarakat membuat bertambahnya kebutuhan pangan. Lihat Repelita pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Jilid IIB) hlm 142-4

Dari segi pertumbuhan penduduk di Sumatera Utara dalam periode di perkirakan dalam laju


(34)

64

2% pertahun (di atas rata-rata nasional), yaitu 1980 (8.350.9500), 1985 (9.442.137), 1988 (10.330.090), 1989 (10.330.090), 1993 (11.156.550).

3.4 Evaluasi Atas Program

Meskipun Revolusi Hijau di Indonesia berjalan dengan cukup baik. Namun menurut Loekman bahwa sesungguhnya Revolusi Hijau hanya mampu mencapai tujuan makro-nya, dengan swasembada pangan secara nasional. Pada tingkat mikro

Revolusi Hijau telah menimbulkan masalah uniformitas, yaitu penggunaan bibit unggul secara massal sementara bibit lokal di larang100

100

Loekman Soetrisno. Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan Sosiologis. (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 10

. Menurutnya, meskipun produktivitas tinggi justru menimbulkan masalah lain yaitu, bibit unggul tidak memiliki ketahanan hidup dari hama yang mengancam kegagalan panen. Selanjutnya revolusi Hijau membuat para petani rentan terhadap permainan harga terhadap paket-paket teknologi industri karena ketergantungan.

Sesampai pada awal tahun 1970-an terlihat kesan bahwa perkembangan ekonomi-pertanian masih kurang begitu menarik, bahkan pesimis. Hal ini dikarenakan arahan pembangunan seperti hanya meneruskan kebijakan dari rezim sebelumnya dengan sedikit polesan anggaran saja. Sehingga David Penny dikutip oleh Jan Luiten mengatakan:


(35)

65

“keengganan para petani untuk membeli pupuk, peralatan modern, dsb., adalah sangat besar sehingga sepertinya tidak tampak modernisasi substansial petani pertanian Indonesia akan terjadi pada satu atau dua dekade yang akan datang.”101

Kebijakan yang demikian praktis telah mengabaikan kesejahteraan petani— yang hanya dijadikan instrumen esensi dalam rangka ketahanan pangan. Terjangkaunya dan stabilnya harga pangan tidak menjamin semua konsumen memperoleh makanan karena daya beli tidak hanya ditentukan ole harga, tetapi juga pendapatan. Tidak benar juga jika ketersediaan pangan pararel dengan perubahan harga pasaran (krisis 1998 ketika harga meningkat namun pasokan melimpah).

Sejak awal Orde baru (Orba), kebijakan ketahanan pangan di dasarkan pada pendekatan penyediaan pangan (food availability approach = FAA), yang memandang ketahanan pangan nasional ditentukan kemampuan menyediakan makanan pokok dalam jumlah cukup. FAA tidak memperhatikan aspek dsitribusi dan akses masyarakat terhadap pangan, karena menganggap bahwa pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah, dan harga pangan akan tetap stabil pada tingkat yang wajar jika pangan tersedia sehingga dapat di jangkau oleh seluruh penduduk. Pembangunan pertanian dengan mengarahkan kebijakan untuk memacu pertumbuhan produksi beras dan pangan agar kecukupan pangan nasional terjadi setiap saat, di mana harga beras di tingkat petani harus di tekan serendah mungkin agar harga di tingkat konsumen terjangkau.

102

101

Jan Luiten, op.cit., hlm. 380

102

Chairil, op.cit., hlm.5


(36)

66

Dari sebuah penelitian Nurhamidah terhadap dampak daripada Program Bimas dan Inmas di Kabupaten Simalungun menunjukkan bahwa introduksi padi unggul terhadap petani justru menimbulkan lapisan masyarakat petani baru yaitu lapisan petani kuat yang timbul dengan cara membeli sawah-sawah para petani kecil. Kemudian sejalan dengan itu juga muncul lapisan masyarakat petani lemah, yaitu lapisan buruh tani dan penyakap yang hidupnya sangat tergantung pada lapisan petani kuat.103

103

Lihat Nurhamidah. “Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok, Simalungun tahun 1960-1978”. Laporan Penelitian. (Medan: Jurusan Sejarah USU,1997)

Sementara kredit Inmas/Bimas hanya menolong para petani kuat sedangkan petani lemah semakin tersudutkan akibat beban utang, sementara bagi petani kuat kredit Inmas/Bimas menstimulasi mereka untuk melakukan ekspansi lahan dengan membeli sawah dan lahan milik petani kecil dan tuan-tuan tanah desa.

Perubahan akibat sistem pertanian ladang ke sawah dengan introduksi bibit padi unggul telah menyisihkan sebagian besar tenaga kerja dan menimbulkan pengangguran secara terbuka dan tersembunyi, di tambah penggunaan jasa tenaga kerja lebih banyak menggunakan upah. Perubahan lain yang terjadi adalah semakin lunturnya kehidupan tradisional masyarakat desa seperti gotong-royong, menimbulkan persaingan usaha dan kelas yang kemudian tidak program pemerintah tidak mampu mengangkat perekonomian masyarakat petani kecil.


(37)

67

Jika lebih teliti, mengapa Indonesia secara umum maupun Sumatera Utara secara khusus hanya terjadi beberapa kali swasembada beras? Bukankah pemerintah telah berhasil mendirikan tiang pancang yang kokoh untuk lebih memaksimalkan produksi pangan? Namun, kenapa Indonesia kembali gagal dan tidak pernah lagi mengalami swasembada beras?

Menarik kita mengamati analisis ekonomi-politis dari Fatih Gama Adisono, setidaknya terdapat setidaknya 2 penyebabnya yakni: pertama, tuntutan struktural

pembangunan melalui jalan modernisasi, mendorong pemerintah Orde Baru untuk merancang suatu strategi pertumbuhan ekonomi. Tahap-tahap Repelita merupakan desain untuk mentransformasi struktural dari negara agraris menuju negara industri. Untuk menopang pembangunan industrialisasi yang kuat maka sektor pertanian dipersiapkan sebagai tiangnya. Kedua, tahap pembangunan lima tahun pertama

pemerintahan Orde Baru adalah mempersiapkan sektor pertanian sebagai penopang industrialisasi. Dari kacamata ekonomis, pangan kemudian di letakkan sebagai upaya negara untuk mendongkrak pertumbuhan industri melalui lingkungan bisnis yang kondusif dengan menurunnya ongkos produksi yang banyak di sumbangkan harga pangan.104

3.5 Perubahan Sosial Petani

“Di antara orang-orang muda yang datang ke gubuk-gubuk di gunung ini, ada orang- orang yang badannya dan jiwanya lemah telah membuang segala harapan,

104

Fatih Gama Abisono N. Dinamika Kebijakan Pangan Orde Baru: Otonomi Daerah vs Pasar Global. (Yogtakarta: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol.5 No.3 tahun 2002)


(38)

68

saya hanya seorang petani tua yang bersedih bahwa saya tidak dapat memberikan walaupun itu hanya sepasang sendal kepada mereka. ...tetapi masih ada sebuah benda yang dapat saya berikan kepada mereka ‘sebatang jerami’. ... saya memungut beberapa batang jerami dari depan gubuk dan berkata: “hanya dari sebatang jerami ini sebuah revolusi dapat di mulai”105

Mengingat betapa tingginya biaya produksi yang di keluarkan oleh petani dalam mengelola pertanian padi, tentunya satu yang menjadi harapan bagi mereka

.

Demikianlah sepenggal kisah dan harapan seorang petani Jepang yang prihatin terhadap degenerasi dalam masyarakat Jepang, di mana orang-orang Jepang meniru secara langsung model pembangunan ekonomi dan industri Amerika. Masanobu Fukuoka bertekad untuk tidak meninggalkan sistem bertani secara tradisional. Dia memiliki keyakinan betatapun jerami itu tampak kecil dan ringan dan kebanyakan orang tidak mengerti sungguh-sungguh betapa pentingnya jerami itu. Karena jika orang tahu nilai jerami ini yang sesungguhnya, sebuah teologi kemanusiaan dapat terjadi, yang akan menjadi cukup kuat untuk menggerakkan negara bahkan dunia.

Namun masalahnya yakni persoalan sejauh mana program pemerintah dalam usaha meningkatkan produksi beras selaras dengan pendapatan yang diperoleh petani sebagai produsen. Kemudian bagaimana dampak terhadap para petani melalui program pemerintah semakin tahan ditengahh daya beli petani di pedesaan yang makin lemah akibat inflasi? Bagaimana dengan masyarakat pinggiran kota maupun pegawai yang terkena imbas inflasi?

105

Masanubo Fukuoka. Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menuju Pertanian Alami. (Jakarta: YOI, 1991) hlm. 154-7


(39)

69

tidak lain adalah memperoleh penghasilan yang lebih baik. Perubahan pola pertanian membutuhkan modal dan perawatan yang tinggi pula, telah menjeremuskan petani kedalam lubang ketidakpastian akan perubahan keadaan sosial yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak hanya dibutuhkan dua hal di atas, kecekatan dan kematangan dalam perencanaan juga di butuhkan untuk menghindarkan dari kegagalan panen yang membuat kerugian lebih parah dari sebelumnya. Di sisi lain, akibat perubahan revolusi bidang teknologi pertanian membuat terjadinya pergeseran tenaga kerja manusia perempuan yang dulunya mendapat kesempatan kerja pada saat panen dengan menggunakan “ani-ani” kini diganti oleh pria yang menggunakan “sabit bergerigi.” Revolusi teknologi pasca panen juga terlihat dari kegiatan perontokan atau “meng-iles”, yang biasa dilakukan oleh perempuan berganti menjadi sistem banting

yang dilakukan oleh laki-laki atau alat perontol seperti Therster sistem pedal maupun

mesin.

Dari pihak petani tentunya sudah pasti menginginkan produksi dan harga beras naik untuk memperoleh laba selisih dari sisa penjualan produksi dengan biaya produksi. Untuk itu, mereka di tuntut mengetahui berbagai masalah tentang proses produksi secara utuh, karena kegagalan dalam perencanaan dapat menyebabkan bencana yang besar bagi mereka. Belum lagi bencana kegagalan yang tejadi diluar perkiraan dan akal sehat mereka seperti hama wereng dan perubahan iklim yang sulit diprediksi.


(40)

70

Pertanyaannya, seberapa siapkah petani menghadapi semua perubahan dan perencanaan yang dicanangkan oleh pemerintah yang di gadang-gadang memberikan kesejahteraan tersebut? Salah satu tenaga kerja yang penting adalah petani, karena secara nasional ± 75% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 115 juta bekerja di sektor pertanian. Itu artinya peran petani menyumbang penghasilan nasional Indonesia atau GNP menyumbang sebesar ±55%. Namun, nasib mereka banyak mengalami tekanan dari pihak-pihak tengkulak-tengkulak, permainan petugas-petugas negara di bidang pupuk dan obat-obatan bahkan tindakan dari penguasa wilayah pedesaan atau kecamatan senang melakukan tindakan-tindakan yang merugikan petani dengan berbagai cara dan usaha metode.106

Terjadi sebuah dilema yang terjadi ketika terjadi kelangkaan beras yang menyebabkan melambungnya harga beras tentunya dapat meningkatkan pendapatan petani padi—kemudian mendorong para petani untuk meningkatkan produktivitasnya. Secara teoritis, jika produksi beras terus-menerus meningkat akan mengurangi ketergantungan beras import dari luar-negeri. Namun nyatanya, justru ketika terjadi kelangkaan beras (berdampak pada kenaikan harga beras), penduduk desa mengalami pukulan telak atas kebijakan ini. Bagi warga yang tidak memiliki lahan pertanian (sawah), kondisi ini menjadi malapetaka yang menjebak mereka ke dalam ruang kemiskinan yang semakin dalam lagi. Kesulitan mereka memperoleh sumber pangan

106


(41)

71

kian sulit bukan hanya karena harganya yang cukup mahal melainkan cara ketersediaannya sangat terbatas.

Pertanyaan yang terbesit dalam benak kita tentunya, bagaimana kehidupan para petani padi apakah merasakan perubahan pendapatan yang memberikan kesejahteraan? Nyatanya, tidaklah sejalan dengan teori yang di pelajari secara matematis. Petani padi seharusnya merasakan manfaat dari kondisi ini justru mengalami tekanan yang membebani juga. Meningkatnya biaya produksi yang cukup signifikan menambahan rentetan permasalahan kemudian hari, dan di akhiri dengan besarnya areal padi yang mengalami kegagalan panen oleh karena musim kemarau panjang, serangan hama wereng, dan lain-lain.

Sumatera Utara dinilai sebagai provinsi yang berhasil meningkatkan dan mengembangkan program Bimas dan Inmas. Dari sisi produksi terlihat peningkatan dari tahun ke tahun (lihat Tabel 7). Keberhasilan lain yang di klaim pemerintah yakni, mampu mengerjakan sejumlah proyek besar yang sangat berpengaruh tentunya disertai dengan anggaran yang tidak sedikit. Pertanyaannya adalah, seberapa besar masyarakat desa merasakan perubahan kesejahteraan melalui program pemerintah semenjak Pelita I-VI? Sebandingkah anggaran yang di habiskan dengan hasil yang di harapkan?

Melihat pembangunan-pembangunan masa Orde Baru dengan sejumlah proyek dan program yang berhasil terlaksana Soejito mengatakan dalam pembangunan desa kita tidak dapat menjadikan anggaran dan program semata sebagai


(42)

72

indikator keberhasilan sebuah pembangunan desa. Persoalannya adalah, bagaimana mengembangkan masyarakat dengan menghimpun potensi desa secara mandiri sehingga masyarakat desalah yang akhirnya menikmati hasil pembangunan.107

107

Soejito. Aspek Sosial-Budaya dalam Pembangunan Pedesaan. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987) hlm. 67

Bukan hanya menikmati tampilan fisik semata dengan banyaknya tiang-tiang bangunan yang terpancang kokoh namun tidak menyejahterakan.


(43)

73

BAB IV

KONDISI PANGAN DI SUMATERA UTARA

TAHUN 1969-1997

4.6 Masalah Krisis Beras 1967-1972 Di Sumatera Utara

Krisis beras berarti kosongnya pasokan yang membuat naiknnya harga beras secara tajam di pasaran, dan setiap krisis sudah pasti membawa berbagai dampak terhadap ekonomi, sosial dan politik.108

“jikalau produksi beras Indonesia di tahun 1970 di banding dengan 1969, telah terjadi kenaikan produksi sebesar 30 persen. Ini kenaikan yang lumayan, tetapi masih kurang untuk mengejar meningkatnnya konsumsi berhubung kenaikan penduduk”.

Krisis beras bukan hanya karena diluar perkiraan manusia seperti kegagalan panen karena perubahan iklim atau serang hama wereng, melainkan perencanan yang kurang matang mengantisipasi pertambahan penduduk mendahului pertambahan produksi, sehingga terjadi ketidakseimbangan yang memunculkan krisis. Seperti dikutip laporan dari Departemen Pertanian;

109

Dikutip dari Harian Berita Yudha, yang menyinggung masalah beras versus pertambahan penduduk melihat cepatnya pertumbuhan penduduk Indonesia. Hal ini coba dimaklumkan mengingat suasana politis masih sangat rawan. Di tambah lagi tidak adanya data kependudukan yang valid, sehingga sulit meramalkan tingkat

108

Krisis beras terjadi secara berturut-turut tahun 1967,1968,1969,1970 dan 1973. Lihat, Arifin Hutabarat. Usaha Mengatasi Krisis Beras. (Jakarta: LPKP, 1974) hlm. 3

109


(44)

74

kebutuhan pangan. Umumnya masalah pertambahan penduduk versus beras baru banyak dijumpai di halaman surat kabar setelah tahun 1970.

Faktor lain yang mendorong kelangkaan beras adalah bertambahnya konsumsi per kapita per tahun yang terus meningkat. Sejak 1963 konsumsi per kapita per tahun diperkirakan 85 kg, sementara satu dasawarsa kemudian tahun 1973 mencapai 112,0 kg. Produksi beras di Sumatera Utara menyebabkan kekurangan sebesar ...? harus di import.

Dalam Sidang FAO ke-17 yang di selenggarakan pada bulan April 1973 di New Delhi, menyatakan produksi beras gobal turun secara drastis akibat fluktuasi cuaca yang menyebabkan kegagalan panen berada di titik terendah hampir di seluruh produsen padi. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena akan mengancam bahaya kelaparan di dunia, terutama negara-negara pengimpor beras seperti Indonesia.110

Dampak daripada krisis beras menyebabkan kenaikan harga di pasaran bukan hanya bersifat inflasi—sebab perkembangan indeks biaya hidup sangat dipegaruhi oleh perkembangan harga beras, di mana beras merupakan 49,3% dari sektor makanan Sehubungan dengan ketidakjelasan kondisi cuaca serta kekhawatiran akan kekurangan beras, beberapa negara produsen beras melarang pengekspor beras hingga kondisi membaik untuk krisis pangan (beras) dalam negerinya. Muangthai sebagai produsen beras selama ini juga melakukan hal yang sama, sehingga menimbulkan kenaikan berantai atas harga-harga beras di Asia.

110


(45)

75

atau 31,3% dari seluruh indeks.111

Sesudah Perang Dunia II terjadi, harga beras bahkan di jadikan sebagai barometer terhadap harga kebutuhan lain, hingga berpengaruh terhadap tingginya upah—berdampak terhadap ongkos-ongkos produksi. Karena sebagian besar terutama di perkotaan maupun di pedesaan pendapatan rakyat digunakan untuk membeli bahan makanan pokok, dan jika sedikit saja naik maka terjadi perubahan penggunaan pendapatan mereka selanjutnya.

Kondisi ini memperlihatkan rentannya posisi beras dalam menjaga kenaikan harga barang-barang yang lain.

112

Menurut Arifin, krisis beras antara tahun 1967-1974 akibat adanya over

-optimisme dalam produksi dan supply beras oleh karena produksi beras tahun pertama, kedua dan ketiga dari Repelita I produksi beras di Indonesia melampaui target pemerintah

Implikasi terhadap tingginya harga pangan (beras) menyebabkan masyarkat pola konsumsi berubah. Sebagian besar akan mengurangi konsumsi beras dengan mengganti dengan bahan makanan lain yang nilainya lebih rendah. Hal ini jika terus berlanjut akan mengakibatkan menurunnya kesehatan masyarakat, oleh karena sebagian besar belum mengetahui sumber pangan pengganti yang sepadan dengan nilai beras. Sehingga dapat dikatakan jika kebutuhan pangan terganggu turut juga mempengaruhi produktivitas tenaga manusia.

113

111

Ibid., hlm, 12-13

112

Saroso Wirodihardjo, op.cit., hlm. 472

113

Arifin, op.cit., hlm. 14 .


(46)

76

Ketika terjadi krisis beras, toko-toko di Medan sibuk menukar harga barang-barangnya walaupun barang-barang itu dari persediaan lama. Dan penukarannya disesuaikan dengan harga emas. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi saat krisis beras seperti yang digambarkan berikut; dikemukakan mereka bahwa gula pasir sejam lalu dijual dengan Rp. 29/kg, tidak akan diperoleh dengan harga yang sama jika para pedagang hendak membeli kembali.114

Kondisi inilah yang membuat munculnya aksi “Gerakan Anti Lapar” Kenaikan harga yang berlangsung setiap hari membuat para pedagang khawatir untuk menanamkan uangnya di pasar, sehingga mereka cenderung menyimpan uang mereka di rumah.

Krisis beras yang terjadi pada tahun 1973 tidak hanya terjadi di kota Medan melainkan hampir di seluruh kota besar seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, hingga Makassar. Sepertinya krisis kali ini menyebabkan keguncangan nasional bukan hanya karena naiknya harga beras, melainkan pengaruh psikologis dari media yang mengambil keuntungan kondisi melebih-lebihkan berita harga kenaikan beras.

115

114

Ibid., hlm. 23

115

Gerakan Anti Lapar ini merupakan aksi-aksi massa yang muncul sebagai salah satu akibat sosial politis dari menyusul terjadinya krisis beras. Aksi ini sebenarnya telah muncul pada tahun 1968 diberbagai tempat yang dipelopori oleh aksi massa dari pemuda, mahasiswa dan pelajar—kesuksesan menumbangkan Orde Lama masih melekat di dalam diri kelompok-kelompok pimpinan organisasi ataupun kesatuan Aksi, sehingga ketika terjadi krisis dapat menimbulkan aksi-aksi berakibat lebih luas lagi. Lihat, Arifin. Ibid., hlm.25-33

di sejumlah kota-kota besar. Mereka menuntut supaya pemerintah Daerah dan Pusat segera mengambil langkah kebijaka yang tepat untuk menurunkan harga bahan pangan, terutama beras. Tuntutan mereka juga terasa terhadap pejabat pembantu


(47)

77

Presiden, yang dianggap tidak becus mengendalikan harga kebutuhan pokok, dan menyerukan segera turun tangan menindak tegas pelaku penyeleweng tersebut.

Jika dilihat pergerakan aksi massa tersebut merupakan respon dari perkembangan keadaan ekonomi dan politik, karena aksi-aksi yang ada terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang memang menonjolkan reaksi spontanitas atas keadaan buruk yang insidentil. Untuk mencegah kekhawatiran aksi pemuda ini menjadi gerakan nasional, maka Pemerintah melalui Panglima Daerah Jakarta May.Jend. Poniman memanggil beberapa eksponen “Gerakan Anti Lapar”. Pihaknya hanya ingin mencegah jangan sampai ekses-ekses yang tidak di inginkan terjadi. Ia pun melanjutkan belum melihat (gerakan anti lapar) digunakan atau ditunggangi oleh golongan politik tertentu, dan menyarankan agar aksi-aksi itu sebaiknya disalurkan melalui jalur konstitusional.116

4.7 Mengatasi Kelangkaan Beras

4.7.1 Mekanisme Pasar Untuk Menjaga Stabilitas Harga Pangan

Sejak Orde lama hingga Orde Baru sekalipun tidak pernah terlepas dengan masalah ketersediaan pangan. Diperlukan berbagai usaha dan strategi untuk dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan yang cukup bagi masyarakat. Jika kita merujuk pada krisis Orde Lama tahun 1965—indonesia mengalami inflasi yang begitu

116


(48)

78

tinggi di mana bahan pangan menjadi penyumbang utamanya. Tentulah kita tidak dapat menyalahkan beras. Kalaulah kita secara seksama memperhatikan gejolak tersebut, di awali dengan kelangkaan beras di mana-mana, yang berimbas pada harga pangan yang membumbung tinggi, dilanjutkan dengan inflasi tinggi menciptakan ketidak-stabilan sosial—kondisi ini menjadi krisis ekonomi dan berubah menjadi krisis politik.

Pastinya kelangkaan beras (pangan) bukanlah satu-satunya menyebabkan terjadinya krisis ekonomi dan politik. Tapi merujuk pada fakta sejarah bahwa krisis yang terjadi pada masa Orde Lama di mana kelangkaan beras membidani krisis ekonomi dan politik nasional.

Oleh karena rentannya komoditi beras terhadap gejolak-gejolak politik yang mempengaruhi kestabilan nasional, maka pemerintah melakukan intervensi melalui mekanisme pasar beras, di mana komoditi ini berhubungan langsung dengan kepentingan publik dalam kehidupan sehari-hari serta menguasai hajat hidup orang banyak. Untuk itu pemerintah diminta untuk berhati-hati membuat kebijakan yang akan menimbulkan konsekuensi terhadap setiap intervensi yang di lakukan. Kegagalan pemerintah dalam menangani ekonomi beras akan sendirinya menggoncang sendi-sendi politik—dan pemerintah akan dijadikan kambing hitam.117

117

Fachry, op.cit., hlm. 110-11

Bagaimana tidak, kesalahan maupun ketidak-sigapan lembaga negara mengelola dan menanggapinya membuat struktur ekonomi tidak kondusif lagi karena berdampak


(49)

79

langsung terhadap kehidupan daya beli rakyat—hingga menimbulkan kemiskinan secara massif.

Sejak tahun 1966 Orde Baru naik ketampuk tahta pemeritahan negeri ini, memberikan perhatian serius mengenai stabilitas harga beras di pasar. Pastinyalah rezim yang baru ini telah mempelajari setidaknya memperhatikan situasi gejolak yanng terjadi sebelumnya. Sejak awal mereka masih percaya kepada kebebasan pasar, namun intervensi dilakukan terhadap ketersediaan beras untuk menurunkan harga di pasar dan secara berangsur-angsur menata kembali pasar dan stabilitas harga beras secara nasional.118

Tepat sebulan pasca di keluarkannya Supersemar, tepatnya tanggal 23 Maret 1966 dikeluarkanlah Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 87/1966, dengan membentuk Kolognas (Komando Logistik Nasional) menggantikan BPUP. Meskipun Kolognas telah berhasil menekan laju harga beras, namun kenaikan harga yanng terjadi tahun 1967 pemerintah mentranformasi Kolognas menjadi Bulog (Badan Urusan Logistik) pada tanggal 10 Mei 1967 dengan dikeluarkannya Keppres No.272/1967. Adapun tugasnya untuk melakukan pengendalian operasional pengadaan dan pendistribusian kebutuhan pokok, seperti beras.

119

118

Ibid., hlm. 116

119

Pada tahap awal fungsi utama Kolognas adalah mensuplai kebutuhan beras bagi pegawai negeri dan keperluan koprs Militer, di saat itu kita tahu bahwa gaji kaum sipil dan militer sebagian dibayarkan dalam bentuk beras. Setelah berubah menjadi Bulog, kini tugasnya lebih berat yakni berfungsi secara tunggal mengendalikan kebutuhan pangan nasioanl. Ibid.,hlm.117-20

Badan ini bersifat non-departemen berada di bawah tanggung-jawab Presiden.


(50)

80

4.7.2 Distribusi Beras

Untuk memaksimalkan distribusi pangan hingga ke daerah-daerah pedalaman sekalipun maka pemerintah melakukan rehabilitasi atau up-grading sejumlah

infrastruktur vital yang berdampak besar terhadap integrasi ke semua daerah. Soeharto mengintruksikan melalui pidato kenegaraannya yang akan memperbaiki akses ke setiap daerah di Sumatera Utara.120

4.7.3 Peranan Bulog Dalam Menjaga Ketahanan Pangan

Pemerintah sadar bahwa tanpa ada infrastuktur yang baik akan menghambat konektivitas setiap barang dan jasa yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Ada begitu banyak kelompok yang telibat dalam proses kegiatan pangan baik semua dinas dan badan swasta yang memiliki peran penting di mulai dari produksi pangan, panen dan pengolahan pangan, penyimpangan dan pengawetan pangan, distribusi pangan, pemasaran pangan, sanitasi pangan, penyiapan pangan dan konsumsi dan penerimaan pangan

Badan Urusan Logistik (Bulog) didirikan pada tahun 1967 dengan tugas melakukan pembelian kebutuhan pangan yang di pasok untuk kalangan militer, instansi pemerintah dan badan negara lainnya saja. Bulog merupakan transformasi dari Komando Logistik Nasional (Kolognas) berdasarkan Keputusan Presidium

120


(51)

81

Kabinet Ampera No.87/1966.121 Namun tahun 1970, fungsinya di perluas meliputi tanggungjawab memelihara stabilitas harga melalui kebijakan pembelian, import, pemasaran dan penetapan harga.122 Melalui badan ini pemerintah Indonesia leluasa melakukan pengontrolan terhadap distribusi dan harga barang-barang kebutuhan pokok, utamanya beras, gula dan terigu. Sejak tahun 1966/1967 BULOG diberi wewenang untuk berpartisipasi sebagai penyandang dana ke tiga provinsi utama pengembangan Bimas yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah dn Sumatera Utara.123

Secara fungsinya Bulog memberikan basis tatanan politik dan sosial dengan menjamin pasokan dan harga kebutuhan pokok. Karena menangani masalah beras bukanlah perkara mudah, kelihatannya sederhana sebatas memasok beras ke pasar dengan cukup secara rutin. Namun bagaiman untuk menjamin ketersediaan beras tetap cukup, itu masalah yang paling utama. Beras sebagai “komoditi” politik sangat rentan pada timbulnya sejumlah ramifikasi persoalan. Mengusahakan beras tidak menjadi sumber inflasi dan mengusahakan supaya beras dapat digunakan sebagai Adapun dana tunai tersebut disalurkan langsung melalui Bupati-bupati kepada Kepala Desa yang membagikan secara langsung ke petani, sementara faktor-faktor produksi ditangani oleh PN Pertani.

121

Tugas dan peran Kolognas pada awal pembentukan di fokuskan menangani masalah kestabilan harga pangan tinggi pasca runtuhnya kekuasaan Orde Lama. Catatan khusus Kolognas; pemerintah pusat memberikan wewenang untuk melakukan impor beras dalam jumlah ratusan ribu ton untuk mencukupi kebutuhan pangan dan gejolak harga pasar. Fachry Ali dkk, op.cit., hlm.117

122

Richard Robinson. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012) hlm. 179

123

Lihat, Jan H.M. Oudejans. Perkembangan Pertanian di Indonesia (terj.Edhi Martono). (Yogyakarta: UGMpress,2006), hlm.52. Lihat juga, Ann Booth, op.cit., hlm.36


(52)

82

senjata untuk menjinakkan inflasi yang mengganas sebagai operasi pemulihan kestabilan. Bulog diharapkan menjadi pintu gerbang penyuplai makanan pokok bagi masyarakat dituntut peka terhadap kondisi terkini untuk membaca kebutuhan pasar dan mampu membuat kebijakan tetap sasaran melalui mekanisme pasar maupun mekanisme harga. Perannya yang strategis memaksa Bulog mampu mengendalikan jumlah peredaran beras di lapangan, dengan menguasai sekitar 5-7% dari produksi beras secara nasional.124

Akan tetapi, badan ini menjadi pemupukan kapital korporasi domestik dengan wewenang yang dimilikinya dalam membagi alokasi distribusi dan kontrak, menjadi lahan subur bagi kaum birokrat politik untuk menghasilkan keuntungan pribadi maupun, seperti dikutip dari Kepala Bulog Bustanul Arifin, “setelah Pertamina, banyak orang percaya disinilah (Bulog) kalian bisa mendapatkan uang.”125

Bulog dengan kapasitas dan wewenang yang di milikinya dibebani tugas yang begitu sensitif terhadap gejolak sosial. Tidak hanya sebatas penyedia kebutuhan pangan, lembaga ini juga harus kreatif memfasilitasi maupun melakukan distribusi ke perusahaan swasta dalam melakukan injeksi pasar. Namun Robinson melihat bahwa monopoli Bulog dalam import, distribusi dan pembelian manufaktur bahan pangan hanya memberikan pertumbuhan kelas kapitalis domestik swasta.

126

124

Fachry, op.cit., hlm. 364

125

Anne Booth, loc.cit

126


(53)

83

Terdapat beberapa kejanggalan distribusi beras yang di jalankan oleh Bulog melalui Dolog Sumatera Utara dari beberapa hasil kajian dari tahun 1981-1997. Dari tabel 3 di bawah setidaknya ada 5 tujuan penyaluran beras oleh Bulog yaitu: Pegawai Negeri, ABRI, PN/PTP, Pegawai Otonom dan terakhir pasar. Sejak tahun 1985-1997 terjadi peningkatan distribusi ke Pegawai negeri, yang sedikit anehnya di tahun 1986 peningkatan cukup signifikan hampir 13 kali lipat dari 1.661 Ton menjadi 21.118 ton. Sementara suplai beras bagi PN, pegawai otonom dan ABRI sangat fluktuatif dan cenderung peningkatan dan penurunannya tidak terlalui signifikan. Begitu juga dengan distribusi terhadap pasar sebagai bagian dalam intervensi harga pangan di sesuaikan dengan stok ketersediaan di pasar, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kekosongan, maka Bulog antar menginjeksi sejumlah besar untuk menekan peningkatan harga pangan.


(1)

X

Alexander Siahaan, Dores, Erikson, Lamzar Rio, Susan, Jeny, Devi, semuanya tanpa terkecuali.

9. Terima kasih kepada KTB Asyer Of Disciple ada Evelida, Martionar, Nelvida, Rani, Sonya maupun Kak Edyta Sianturi dan Kak Dodek Tarigan yang telah menjadi sahabat dan tempat berbagi dalam suka maupun duka untuk terus saling menguatkan, mendoakan, mendorong, dan memotivasi dalam bertumbuh bersama.

10. Terima kasih juga buat kehadiran adik-adik Sola Gratia-Sola Fide ada Jhon Indo Saragih, Dairi Kardo, Aziz Nababan, Rosida Pasaribu, dan Nansha Aritonang. Mereka juga tempat berbagi momen penting dalam hidupku terus mendorong dan memotivasi penulis untuk terus berkembang.

11. Terima kasih penulis haturkan kepada teman-teman Pelayanan Mahasiswa UKM-KMK USU UP FIB telah menjadi wadah yang baik dalam membentuk karakter penulis. Di tempat ini penulis banyak mendapatkan kesempatan untuk di pimpin dan memimpin serta diajari banyak hal yang tidak akan pernah saya lupakan. Terima kasih juga penulis haturkan kepada Kordinasi 2014 (Kak Siska, Kak Desni, Kak Gema, Kak Sarni, Bg Heri Silalahi Evi nora, Tuty, Marlina, Sinta, Martionar dan Mariana) telah menjadi rekan dan mentor yang baik bagi saya. Juga kepada Kordinasi 2015 (Martionar, Tuty, Lela Mariaty, Ika Sirait, Susi Situmeang, Nova Pardosi, Solian Situmorang, Hariati Sembiring, Dame Silitonga, Eva Yun Elisa, Meisa, Imanuel, Geta).


(2)

XI

Banyak yang dukungan semangat dan motivasi serta doa mereka. Atas semuanya saya haturkan terima kasih.

12. Terima kasih kepada sahabat saya lae Doharni Adi Saputra (Putra) telah menjadi tempat berbagi hidup dan pikiran untuk saling mempertajam. Begitu juga teman kos Sudonusia Champ ada Rado, Laris, Amir, Syaruddin, Basri, Lae Dion Halawa, lae Fenris Sinaga telah menjadi teman dan sahabat yang penting untuk saling berbagi.

13. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada keluarga, secara khusus buat Bunda E.br Sitopu yang telah memberikan banyak doa, maupun sumbangan pikiran dan dorongan semangat untuk mencapai cita-cita. Banyak pengorbanan yang telah beliau berikan kepada saya yang tidak terhitung jumlahnya; saya sampai “Diatei Tupa Mak”. Dan juga buat saudara saya Rinaldi Girsang, S.Th dengan setia mengingatkan penulis untuk terus tekun belajar. Capaian ini secara khusus saya persembahkan kepada Bapak Alm. Jujur Girsang, walaupun beliau tidak dapat melihat anak-anaknya meraih gelar Sarjana.


(3)

XII ABSTRAK.

Skripsi ini berjudul Politik Pangan Di Sumatera Utara tahun 1969-1997 (Suatu Tinjuan Historis). Pemerintahan Soeharto di masa Orde Baru menetapkan Sumatera Utara bersama beberapa provinsi lain dalam proyek pengembangan BIMAS/INMAS dalam program swasembada pangan nasional. Melalui kebijakan politik yang ditempah nyatanya Sumatera Utara belum mampu memenuhi target kuantitas yang di harapkan.

Penelitian ini berfokus pada usaha apa saja yang pernah di tempuh oleh pemerintah Orde Baru dalam mencanangkan program swasembada pangan nasional. Meskipun nyatanya Indonesia berhasil mencapai target pada tahun 1984-1985, dan tahun berikutnya Indonesia tidak pernah mencapai swasembada kembali hingga era reformasi. Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan kebijakan politik pangan di Sumatera Utara memiliki sejumlah kendala teknis maupun non-teknis.

Adapun proses penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan pola deskripsi-evaluasi. Metode tersebut di bagi dalam 4 tahap yaitu, heuristik (pengumpulan data), kritik (proses evaluasi setiap data yang ada), Interpretasi (melakukan penafsiran sejarah melalui data yang ada), dan historiografi (proses penulisan sejarah). Adapun dalam penulisan skripsi ini menggunakan descrition-evaluatif untuk dapat menjelaskan secara kronologis setiap fakta sejarah.

Melalui hasil penelitian ini, kita dapat melihat perubahan dan pergeseran daripada politik pangan yang terjadi di Sumatera Utara pada masa Orde Baru dan memberikan sebuah pandangan baru melalui persfektif sejarah.


(4)

XIII DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...II UCAPAN TERIMA KASIH...III ABSTRAK...VI DAFTAR ISI...VIII DADFTAR TABEL...IX

BAB I PENDAHULUAN...1

a. Latar Belakang...1

b. Rumusan Masalah...11

c. Tujuan dan Manfaat Penelitian...11

d. Tinjauan Pustaka...12

e. Metode Penelitian...14

BAB II POLA PERTANIAN DAN PANGAN DI SUMATERA UTARA SEBELUM 1969...17

2.1 Petani dan Pertanian Di Sumatera Utara...17

2.1.1 Pola Pertanian (Awal)...17

2.1.2 Perluasan Lahan Pembuatan Sawah...21

2.2 Pangan Di Sumatera Utara...24

2.2.1 Masa Kolonial...24

2.2.2 Masa Awal Kemerdekaan Hingga Tahun 1968...30

BAB III UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN DI SUMATERA UTARA TAHUN 1969 -1997...36

3.1 Pembangunan Ketahanan Pangan...36

3.2 Program Bimbingan Massa (Bimas) dan Insentifikasi Massa (Inmas)...43


(5)

XIV

3.2.1 Pengenalan Bibit Baru...43

3.2.2 Inovasi Teknik...48

3.2.3 Gerakan Supra Insus...49

3.2.4 Pembangunan dan Rehabilitasi Sarana dan Prasarana...52

3.2.5 Penyaluran Kredit Petani...53

3.2.6 Penyuluhan...57

3.3 Impelementasi Pemerintah Daerah dalam Mencapai Target Produksi Pangan………...59

3.3.1 Kebijakan dalam Upaya Mencapai Target Produksi Pangan...59

3.3.2 Pelaksanaan Kebijakan Di Daerah...61

3.3.3 Target Produksi Pangan...63

3.4 Evaluasi Atas Program...64

3.5 Perubahan Sosial Petani...67

BAB IV. KONDISI PANGAN DI SUMATERA UTARA TAHUN 1969-1997...73

4.1 Masalah Krisis Beras 1967-1972 Di Sumatera Utara...73

4.2 Mengatasi Kelangkaan Beras...77

4.2.1 Mekanisme Pasar dalam Menjaga Stabilitas Harga Pangan...77

4.2.2 Distribusi Beras...80

4.2.3 Peranan Bulog dalam Menjaga Ketahanan Pangan...80

4.3 Pencapaian Swasembada Beras...85

4.4 Kondisi Pangan...92

4.5 Alih Fungsi Lahan...100

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...103

5.1 Kesimpulan...103

5.2 Saran... …………...104

DAFTAR PUSTAKA...105


(6)

XV

DAFTAR TABEL

Tabel.1 Luas Pengairan Sawah...51

Tabel.2 Perluasan Padi Sawah Bimas Di Sumatera Utara...56

Tabel 3. Harga Eceran Beras Di Pasar Ibukota Kabupaten/Kota Tahun 1978-1999...84

Tabel. 4 Penyaluran dan Penjualan Beras Dologsu (Ton)...86

Tabel. 5 Luas Panen Rata-Rata Produksi Padi Sawah Di Setiap Kabupaten/Kota Tahun 1982... ...88

Tabel 6. Luas Panen Padi Ladang Setiap Kabupaten/Kota 1982... ………...90

Tabel 7. Luas Panen dan Produksi Padi Sawah Tahun 1972-1997...91

Tabel. 8 Total Produksi Padi Sawah dan Ladang Di Sumatera Utara.... ………...92

Tabel 9 Produksi dan Konsumsi Pangan...93

Tabel. 10 Diagram Produksi dan Konsumsi Pangan Di Sumatera Utara...96

Tabel 11. Produksi dan Luas Lahan Produksi Padi Nasional...97