1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar umat manusia. Pangan memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia, karena tanpa ada pangan tidak akan ada peradaban.
Oleh karena itu, manusia selalu berusaha untuk mendapatkan pangan makananan yang cukup untuk bisa bertahan hidup. Masalah pangan bukanlah sebuah perkara
ketersediaan atau kemampuan membeli pangan, melainkan bagaimana keberlanjutannya memenuhi kebutuhan utama manusia. Adalah tanggung-jawab
negara untuk menjamin ketersediaan makanan yang cukup bagi warga negaranya sendiri—sebagai bentuk intervensi dalam menjaga kedaulatan dan ketahanan pangan
nasional. Di awal kemerdekaan, Indonesia telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan membuat program kegiatan dalam rangka mencapai swasembada
pangan.
1
Menurut Dwidjono Hadi Darwanto, salah satu upaya pemerintah dalam melakukan politik pangan di Indonesia adalah dengan mencanangkan swasembada
pangan yang menjadi dasar untuk mencapai kemandirian pangan atau kondisi
1
Tribowo Yuwono, dkk. Pembangunan Pertanian: Membangun Kedaulatan Pangan. Yogyakarta: UGM Press, 2011, hlm. 56
2
pemenuhan kebutuhan pangan tanpa tergantung dari negara lain sehingga dapat tercipta kemandirian bangsa.
2
Adapun dasar pemilihan swasebada pangan menitikberatkan pada beras disebabkan beras merupakan sumber makanan utama sebagian besar masyarakat
Indonesia bahkan Asia Pasifik pada umumnya—mengkonsumsi beras sebagai kebutuhan pokoknya. Beras sebagai kebutuhan dasar membuat posisinya sangat
srategis memantapkan ketahanan pangan, ekonomi dan kestabilan politik nasional
3
Indonesia memiliki masalah yang sangat besar untuk dapat menjamin bagi seluruh masyarakat akan tersedianya beras. Tentunya bukanlah hal yang mudah bagi
pemerintah untuk memikirkan usaha tersebut. Masalah krisis beras bukan hanya terjadi akhir-akhir ini—melainkan sejak masa kolonial beras menjadi perhatian
tersendiri sehingga pemerintah kolonial membuat UU pertanahan di Jawa. Peraturan .
Oleh karena masalah beras tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat desa melainkan seluruh golongan dan kaum mengalami dampak jika terjadi masalah
kelangkaan beras. Pengalaman akan betapa riskannya posisi beras ketika terjadi krisis pangan tahun 1965 dan 1997 dengan tingginya harga pangan menyebabkan
keguncangan nasional yang di awali dari krisis ekonomi hingga krisis politik yang kemudian menyebabkan runtuhnya kekuasaan rezim saat itu.
2
Ibid.
3
Achmad Suryana Sudia Mardianto peny. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: LPEM-FEUI, 2001, hlm. xix
3
ini sendiri merupakan strategi pemerintah Kolonial dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat Jawa.
Semasa pemerintahan Jepang hal yang sama juga dilakukan dengan mengintervensi beras dari hulu hingga hilir. Kebijakan ini tentunya berdampak pada
stabilitas sosial dan politik dengan menjamin kebutuhan pangan masyarakat Indonesia, selain menjamin kebutuhan pangan bagi pihak militer. Meskipun pada
awal kemerdekaan, kebutuhan pangan sedikit tertutupi dengan berbagai masalah bangsa seputar isu-isu gejolak awal pemerintahan, revolusi, pemberontakan, maupun
perubahan kabinet hingga perubahan bentuk pemerintahan, sehingga usaha pangan hampir selalu terabaikan oleh pemerintah. Tahun 1945 penurunan produksi padi di
Jawa sekitar 20 akibat kekeringan yang cukup parah yang menyebabkan gagal panen dalam areal luas. Pemerintah kemudian meluncurkan Rencana Darurat
Ekonomi, yang dinamakan “Rencana Kesejahteraan Khusus untuk Pertanian dan Perikanan Rakyat”, yang tujuan utamanya adalah memperbaiki budidaya padi. Ini
merupakan kebijakan pertama Pemerintah Indonesia mengatasi masalah pangan nasional.
Semasa periode Orde lama berlangsung, masalah krisis beras menjadi masalah yang tidak pernah larut dari liputan. Ketidakstabilan kondisi pangan turut
memperkeruh situasi dalam negeri dan dijadikan sebagai cambuk untuk mendiskreditkan kebijakan pemerintah. Buruknya kondisi dan situasi politik
Indonesia di mata dunia saat itu, menyebabkan jaminan-jaminan politik kurang
4
berarti. Akibatnya, Indonesia gagal mendapatkan jumlah import beras lebih besar dari rencana semula, menyebabkan kelangkaan di pasaran serta harga beras kian tak
terkendalikan. Puncak krisis pangan terjadi pada awal tahun 1965, di mana kenaikan harga beras secara drastis di Indonesia yang mencapai 650 hyper-inflasi
4
Masalah harga beras sering menjadi polemik akibat harga yang tinggi maupun kelangkaan beras di pasaran. Hampir sepanjang tahun ketersediaan beras
menjadi isu yang hangat dibicarakan karena sering menjadi perbandingan dan mempengaruhi harga barang-barang komoditas lain. Itulah yang menyebabkan maka
ekonomi Indonesia seringkali disebut sebagai “ekonomi beras”. . Gejala
pangan ekonomi berubah menjadi menjadi gejolak sosial merembet kepada gejolak politik dengan runtuhnya Orde Lama.
Ketika Orde Baru mengambil alih kekuasaan atas negeri ini dari peninggalan Orde Lama mengalami berbagai ketidakstabilan ekonomi dan politik. Dengan
demikian pokok-pokok kebijakan dan rehabilitasi ekonomi yang dituangkan dalam instruksi Presidium Kabinet Ampera. Adapun tujuan pokoknya adalah memperbaiki
kehidupan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945, terutama di bidang pangan dan sandang.
5
4
Fachry Ali, dkk. Beras, Koperasi dan Politik Orde Baru: Sebuah Biografi Bustanil Arifin 70 Tahun. Jakarta: Sinar Harapan, 1996, hlm. 114-115
5
Arifin Hutabarat. Usaha-usaha Mengatasi Krisis Beras. Jakarta: LPKP, 1974, hlm. 21
5
Masalah beras sebagai bahan pangan merupakan usaha pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia yang berhubungan dengan karbohidrat dan kalori. Beras
memenuhi 23 dari kebutuhan kalori yang dibutuhkan. Inilah yang membuat beras merupakan komponen terpenting. Hubungan pangan dan manusia cenderung
berkorelasi positif. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan pangan juga meningkat. Oleh karena itu di samping usaha peningkatan produksi beras
perlu dipikirkan kembali penyediaan pangan lain yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen.
6
Karena rentannya komoditi beras terhadap gejolak politik yang mempengaruhi kestabilan nasional, maka, intervensi pemerintah terhadap mekanisme
pasar beras adalah suatu keniscayaan, karena komoditi ini berhubungan langsung dengan kepentingan publik serta kehidupan sehari-hari dan karenanya menguasai
hajat hidup orang banyak Beras juga menjadi pendorong utama laju inflasi, karena bahan makanan
pokok ini menjadi “komoditi” untuk menciptakan kestabilan sosial dan ekonomi dan sering dijadikan acuan terhadap komoditi lain di samping telah menjadi sebuah
ketergantungan yang erat bagi masyarakat. Hal ini berkaca pada krisis-krisis politik yang berlangsung sepanjang Orde Lama dimana inflasi banyak disumbangkan oleh
masalah kelangkaan beras .
7
6
Widya, Karya Nasional Pangan Dan Gizi. Jilid 2. LIPI. 1979, hlm.142
7
Fachry Ali, dkk., op.cit., hlm. 100
. Oleh karena itu pada tahun 1966 pemerintahan pusat menetapkan empat daerah sebagai provinsi utama bimbingan massa Bimas dan
6
intensifikasi massa Inmas yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Program Bimas dan yang di galakkan pemerintah ini
merupakan kelanjutan dari usaha-usaha pemerintah sebelumnya dalam meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani. Program Bimas ini menyediakan suatu paket
yang terdiri dari penyediaan bibit unggul, pupuk subsidi, pestisisida, penyuluhan pertanian, stabilitas harga pangan dan perbaikan irigasi
8
Upaya peningkatan produksi pangan selama Pelita I dan II bertumpu pada usaha menaikkan produksi padi. Padi sebagai sumber karbohidrat nabati utama yakni
52,1 jumlah karbohidrat diperoleh dari beras, 9,8 dari jagung dan 17,4 dari umbi-umbian.
. Namun adakah program tersebut terlaksana dengan baik? Seberapa jauh program tersebut membawa
perubahan bagi bangsa umumnya dan petani khususnya? Bagaimana sinergi usaha yang dilakukan oleh pemerintah dengan petani dalam menangani masalah beras?
Tentu pertanyaan yang menarik adalah, bagaimana pelaksanaan di setiap daerah terhadap program unggulan pemerintah terutama di Sumatera Utara yang dijadikan
salah satu provinsi pengembangan BimasInmas?
9
8
Faisal kasryno penyunting. Prospek Pembangunan ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: YOI,1984, hlm.131
9
Widya, op.cit., hlm. 143
Meskipun pangan nasional memiliki beragam alternatif sebagai pengganti beras, seperti jagung, umbi-umbian dan lain-lain namun preferensi
masyarakat ada pada beras sehingga kepadanya diberikan kedudukan yang strategis dalam perekonomian kita. Sebagian besar penduduk tahun 1970 berada di pedesaan,
7
sekitar 35 belum mampu memenuhi kebutuhan pangannya atau berada di bawah garis kemiskinan.
10
Beras telah menjadi kisah sukses pembangunan pertanian Indonesia melalui sebuah paket besar kebijakan yang di ambil. Menurut Jan Luiten setidaknya terdapat
beberapa hal penting atas keberhasilan pemerintah Orde Baru, seperti, melakukan stabilisasi ekonomi dengan menempatkan pertanian sebagaimana fungsinya setelah
terpuruk akibat kekacauan pertengahan 1960-an. Keseriusan pemerintah juga terlihat dengan melakukan investasi secara besar-besaran di sektor ini dengan
mempromosikan sejumlah terobosan paket dan proyek mendorong produktivitas padi. Pada tahun 1979 Indonesia merupakan negara dengan pengimpor beras terbesar di
dunia, namun enam tahun kemudian tepatnya pada tahun 1985 negeri ini berhasil mencapai swasembada beras.
11
Sumatera Utara menjadi bagian strategi nasional dalam usaha mencapai swasembada pangan yang dicanangkan oleh Orde Baru. Penetapan ini juga tidak
terlepas akan kondisi geografis yang sangat strategis serta jumlah penduduk yang mayoritas sebagai petani. Krisis beras pada tahun 1967 menjadi titik pijak bagi para
Hal ini merupakan sebuah pencapaian luar biasa mengingat negara-negara pengekspor minyak lainnya menunjukkan pertumbuhan
pertanian yang mengalami puncaknya pada tahun 1978-81 di mana output pertanian—khususnya beras mengalami peningkatan luar biasa sebesar 6,1 .
10
Ibid., hlm. 242
11
Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks. Ekonomi Indonesia 1800-2000: Antara Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Kompas, 2012, hlm. 381
8
perumus kebijakan bahwa program penyediaan beras memegang peranan utama dalam kebijakan stabilitas nasional secara kolektif.
Perkembangan produksi pertanian terutama tanaman pangan di Sumatera Utara selama pelaksanaan Pelita terus mengalami peningkatan sejak tahun 1969-
1972. Namun periode selanjutnya mengalami fluktuasi produksi. Faktor pendorong kenaikan produksi tanaman pangan adalah meluasnya program Bimas dan Inmas di
Sumatera Utara terhadap tanaman pangan terutama padi melalui pelaksanaan ekstensifikasi, intensifikasi serta memperkenalkan teknologi baru. Adapun sentra-
sentra utama produksi padi terdapat di beberapa Kabupaten seperti: Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Deli Serdang dll. Pengembangkan areal Bimas
dan Inmas di Sumatera Utara juga terus mengalami peningkatan sejak 1969 walaupun pada tahun 1974-1976 mengalami penurunan. Demikian juga perkembangan
perluasan pengairan sawah mengalami peningkatan terus-menerus. Inilah topik yang menjadi daya tarik bagi penulis. Bagaimana Sumatera Utara
dalam hal ini sebagai lumbung padi nasional berperan dalam menjaga kestabilan bahan pangan untuk menjamin ketersediaan makanan yang cukup secara nasional.
Kajian tentang masalah pangan atau pertanian telah banyak dilakukan mulai sejak masa kerajaan agraris seperti zaman Majapahit hingga ke masa kolonial. Hampir
semua penelitian tersebut masih memusatkan kajiannya seputar pulau Jawa-Madura- Bali. Hingga era Post Kolonial sekalipun masih berpusat ketiga pulau tadi. Hal itu
bisa di pahami, sedikitnya sumber informasi menyulutkan para peneliti untuk keluar
9
dari zona nyamannya. Inilah sebuah kontemplasi, bagaimana kita melihat daerah berdasarkan kacamata lokal. Di era reformasi telah muncul keberanian untuk
mengangkat peristiwa secara lokal, namun tidak jarang sudut pandangnya dari pulau Jawa.
Adapun pemilihan periode Orde Baru menjadi kajian penulis yaitu antara tahun 1969 sampai 1997 28 tahun untuk melihat pergerakan dan perubahan
kebijakan pangan yang berdampak bagi Sumatera Utara maupun nasional. Periode ini cukup unik bagi penulis mengingat pada masa 1969 merupakan tahun awal kebijakan
Orde Baru membuat program Repelita I hingga Repelita VI pada tahun 1997. Dalam usaha tersebut pemerintah berhasil menyusun strategi dalam
pengendalian pangan serta meningkatkan produksi secara nasional. Hingga pada repelita ketiga, Indonesia berhasil dalam swasembada pangan beras khususnya.
Program peningkatan produksi padi di Indonesia merupakan bagian dari “Revolusi Hijau” atau “Green Revolution” yang dilakukan di beberapa negara produsen padi di
Asia. Untuk menghindari perbedaan konsep yang membingungkan antara konsep Bimas Bimbingan Massal dengan Revolusi Hijau, penulis lebih memilih
menggunakan BimasInmas karena lebih populer bagi kalangan masyarakat umum. Inilah yang menjadi alasan penulis dalam usaha untuk merekontruksi kembali
Sumatera Utara sebagai sumber lumbung pangan beras nasional dalam usaha untuk menjaga ketahanan pangan dan kestabilan politik-ekonomi nasional tentunya.
Sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan penelitian yang sama dalam
10
periode yang sama menggunakan metodologi sejarah ataupun ilmu sosial lain. Sehingga penelitian rintisan ini dapat menjadi stimulasi bagi peneliti selanjutnya
dalam cakupan yang lebih spesifik. Diharapkan melalui hasil penelitian ini dapat kita lihat peran Sumatera Utara dalam sumbangsih pemenuhan kebutuhan pangan dalam
menjaga ketahanan pangan nasional. Indonesia yang hampir setiap tahun terus- menerus mengimpor beras pada masa Orde Lama, kini berhasil swasembada pangan
semasa Orde Baru adalah salah satu peristiwa penting dalam sejarah nasional sebagai salah satu dari sekian negara berkembang yang berhasil mencapai hal itu.
Masalah yang di alami penulis melakukan penelitian tersebut adalah mendapatkan kajian yang obyektif dari penelitian ini. Tantangan terbesar adalah sikap
kritis terhadap setiap data yang dikeluarkan oleh instansi resmi pemerintah perihal kevalidan data, mengingat masa Orde Baru yang begitu populer dengan laporan “asal
Bapak senang” ABS. Artinya sangat mudah bagi bawahan memberikan laporan fiktif, tujuannya supaya pihak atasan senang mendengarkan laporan yang baik untuk
di dengar dari bawahannya. Inilah tantangan yang sangat sulit, mengingat tidak adanya data pembanding, baik dari laporan media cetak maupun laporan instansi
sering pararel dengan data yang dikeluarkan Pemerintah. Seperti telah di jelaskan di atas bahwa tahun 1984-1985 Indonesia mencapai
swasembada beras yang mengantarkan presiden Soeharto memperoleh perhargaan dari FAO atas keberhasilan tersebut. Namun mengapa di tahun selanjutnya Indonesia
tidak pernah lagi mencapai swasembada? Bukankah pantas kita mencurigai apakah
11
laporan pemerintah daerah ke tangan pemerintah pusat benar-benar demikian adanya? Atau hanya laporan “asal Bapak senang”? Penulis sendiri berusaha keluar dari
paradigma “kesuksesan pembangunan Orde Baru” dalam mencapai swamsembada pangan yang berhasil mengukir sejarah baru.
Fokus penelitian ini melihat kiprah Orde Baru dalam membangun ketahanan pangan nasional melalui kebijakan pangan dengan swasembada pangan dari sudut
pencapaian daerah Sumatera Utara dengan memperhatikan pola pembangunan Top- down. Batasan tahun kajian ini di akhiri pada tahun 1997 ketika terjadi krisis ekonomi
menjadi krisis politik maupun gejolak nasional secara kolektif membuat pemerintah Orde Baru runtuh.
1.2 Rumusan Masalah