64
2 pertahun di atas rata-rata nasional, yaitu 1980 8.350.9500, 1985 9.442.137, 1988 10.330.090, 1989 10.330.090, 1993 11.156.550.
3.4 Evaluasi Atas Program
Meskipun Revolusi Hijau di Indonesia berjalan dengan cukup baik. Namun menurut Loekman bahwa sesungguhnya Revolusi Hijau hanya mampu mencapai
tujuan makro-nya, dengan swasembada pangan secara nasional. Pada tingkat mikro Revolusi Hijau telah menimbulkan masalah uniformitas, yaitu penggunaan bibit
unggul secara massal sementara bibit lokal di larang
100
100
Loekman Soetrisno. Paradigm Baru Pembangunan Petani: Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Kanisius, 1999, hlm. 10
. Menurutnya, meskipun produktivitas tinggi justru menimbulkan masalah lain yaitu, bibit unggul tidak
memiliki ketahanan hidup dari hama yang mengancam kegagalan panen. Selanjutnya revolusi Hijau membuat para petani rentan terhadap permainan harga terhadap paket-
paket teknologi industri karena ketergantungan. Sesampai pada awal tahun 1970-an terlihat kesan bahwa perkembangan
ekonomi-pertanian masih kurang begitu menarik, bahkan pesimis. Hal ini dikarenakan arahan pembangunan seperti hanya meneruskan kebijakan dari rezim sebelumnya
dengan sedikit polesan anggaran saja. Sehingga David Penny dikutip oleh Jan Luiten mengatakan:
65
“keengganan para petani untuk membeli pupuk, peralatan modern, dsb., adalah sangat besar sehingga sepertinya tidak tampak modernisasi substansial petani
pertanian Indonesia akan terjadi pada satu atau dua dekade yang akan datang.”
101
Kebijakan yang demikian praktis telah mengabaikan kesejahteraan petani— yang hanya dijadikan instrumen esensi dalam rangka ketahanan pangan.
Terjangkaunya dan stabilnya harga pangan tidak menjamin semua konsumen memperoleh makanan karena daya beli tidak hanya ditentukan ole harga, tetapi juga
pendapatan. Tidak benar juga jika ketersediaan pangan pararel dengan perubahan harga pasaran krisis 1998 ketika harga meningkat namun pasokan melimpah.
Sejak awal Orde baru Orba, kebijakan ketahanan pangan di dasarkan pada pendekatan penyediaan pangan food availability approach = FAA, yang memandang
ketahanan pangan nasional ditentukan kemampuan menyediakan makanan pokok dalam jumlah cukup. FAA tidak memperhatikan aspek dsitribusi dan akses
masyarakat terhadap pangan, karena menganggap bahwa pedagang akan menyalurkan pangan tersebut ke seluruh wilayah, dan harga pangan akan tetap stabil pada tingkat
yang wajar jika pangan tersedia sehingga dapat di jangkau oleh seluruh penduduk. Pembangunan pertanian dengan mengarahkan kebijakan untuk memacu pertumbuhan
produksi beras dan pangan agar kecukupan pangan nasional terjadi setiap saat, di mana harga beras di tingkat petani harus di tekan serendah mungkin agar harga di
tingkat konsumen terjangkau.
102
101
Jan Luiten, op.cit., hlm. 380
102
Chairil, op.cit., hlm.5
66
Dari sebuah penelitian Nurhamidah terhadap dampak daripada Program Bimas dan Inmas di Kabupaten Simalungun menunjukkan bahwa introduksi padi
unggul terhadap petani justru menimbulkan lapisan masyarakat petani baru yaitu lapisan petani kuat yang timbul dengan cara membeli sawah-sawah para petani kecil.
Kemudian sejalan dengan itu juga muncul lapisan masyarakat petani lemah, yaitu lapisan buruh tani dan penyakap yang hidupnya sangat tergantung pada lapisan petani
kuat.
103
103
Lihat Nurhamidah. “Sejarah Perkembangan Sistem Pertanian Desa Baja Dolok, Simalungun tahun 1960-1978”. Laporan Penelitian. Medan: Jurusan Sejarah USU,1997
Sementara kredit InmasBimas hanya menolong para petani kuat sedangkan petani lemah semakin tersudutkan akibat beban utang, sementara bagi petani kuat
kredit InmasBimas menstimulasi mereka untuk melakukan ekspansi lahan dengan membeli sawah dan lahan milik petani kecil dan tuan-tuan tanah desa.
Perubahan akibat sistem pertanian ladang ke sawah dengan introduksi bibit padi unggul telah menyisihkan sebagian besar tenaga kerja dan menimbulkan
pengangguran secara terbuka dan tersembunyi, di tambah penggunaan jasa tenaga kerja lebih banyak menggunakan upah. Perubahan lain yang terjadi adalah semakin
lunturnya kehidupan tradisional masyarakat desa seperti gotong-royong, menimbulkan persaingan usaha dan kelas yang kemudian tidak program pemerintah
tidak mampu mengangkat perekonomian masyarakat petani kecil.
67
Jika lebih teliti, mengapa Indonesia secara umum maupun Sumatera Utara secara khusus hanya terjadi beberapa kali swasembada beras? Bukankah pemerintah
telah berhasil mendirikan tiang pancang yang kokoh untuk lebih memaksimalkan produksi pangan? Namun, kenapa Indonesia kembali gagal dan tidak pernah lagi
mengalami swasembada beras? Menarik kita mengamati analisis ekonomi-politis dari Fatih Gama Adisono,
setidaknya terdapat setidaknya 2 penyebabnya yakni: pertama, tuntutan struktural pembangunan melalui jalan modernisasi, mendorong pemerintah Orde Baru untuk
merancang suatu strategi pertumbuhan ekonomi. Tahap-tahap Repelita merupakan desain untuk mentransformasi struktural dari negara agraris menuju negara industri.
Untuk menopang pembangunan industrialisasi yang kuat maka sektor pertanian dipersiapkan sebagai tiangnya. Kedua, tahap pembangunan lima tahun pertama
pemerintahan Orde Baru adalah mempersiapkan sektor pertanian sebagai penopang industrialisasi. Dari kacamata ekonomis, pangan kemudian di letakkan sebagai upaya
negara untuk mendongkrak pertumbuhan industri melalui lingkungan bisnis yang kondusif dengan menurunnya ongkos produksi yang banyak di sumbangkan harga
pangan.
104
3.5 Perubahan Sosial Petani