Konsep Dasar Kebudayaan Jepang dalam Bisnis Honne dan Tatemae – Esensi dan Bentuk Amae – Ketergantungan yang Manis

Meskipun demikian, definisi bisnis yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

2.3. Konsep Dasar Kebudayaan Jepang dalam Bisnis

Sebelum melakukan perundingan bisnis dengan orang Jepang, sebaiknya kita mengetahui dan mempertimbangkan beberapa konsep dasar kebudayaan yang sangat mendasar bagi orang Jepang. Konsep-konsep ini benar-benar mempengaruhi karakter orang Jepang, dalam cara hidup mereka sehari-hari dalam hal ini dalam berbisnis. Tanpa memahami konsep-konsep dasar yang berfungsi sebagai acuan dalam bertingkah laku, seseorang akan cenderung salah paham terhadap tanda- tanda dan akan menghadapi kesulitan untuk memutuskan tindakan atau reaksi yang tepat. Berikut adalah beberapa konsep dasar kebudayaan dalam berbisnis.

a. Honne dan Tatemae – Esensi dan Bentuk

Hubungan antara Honne, yang umumnya diterjemahkan dengan ‘”substansi” atau “esensi”, dan Tatemae atau “bentuk”, adalah seperti hubungan antara kebenaran yang nyata dengan kebenaran umum. Seringkali ada saatnya dua kebenaran tidak ketemu dan sering pula perbedaan diantara keduannya muncul ke permukaan sebagai dua hal yang tidak sama. Hal ini merupaka suatu metode yang biasa diterima guna mempertahankan keharmonisan suasana. Contoh, anda bekerja sebagai wartawan di suatu surat kabar, namun secara bersamaan anda juga melakukan kerjaan sampingan yang nyata-nyata tidak bisa dibenarkan. Di sisi lain teman-teman sekerja anda mengetahuinya, tetapi mereka berpura-pura tidak mengetahui. Fakta bahwa anda mengetahui bahwa mereka mengetahui pekerjaan sampingan anda itu disebut Honne- sedangkan kepura-puraan mereka bahwa mereka tidak mengetahuinya adalah Tatemae.

b. Amae – Ketergantungan yang Manis

Amae berasal dari akar kata yang sama, yakni amai yang berarti manis. Dalam bahasa Inggris tidak ada terjemahan langsung dari kata amae. Selama ini, kata tersebut disamakan dengan kebaikan, hasil perlindungan seorang ibu pada bayinya sekaligus ketergantungan si bayi pada ibunya. Amae dan ketergantungan ini sangat dianjurkan sampai pada tingkat di mana kebanyakan orang Jepang harus mempertahankan sejumlah bentuk hubungan semacam ini. Jepang adalah masyarakat vertical, maka berbagai hubungan justru berlangsung antara kelompok atau individu superior dengan kelompok atau individu inferior, yang sangat berbeda dengan yang apa umumnya berlangsung di tengah-tengah masyarakat horizontal, dimana kebanyakann hubungan kental justru berlangsung antara orang-orang sederajat. Hubungan seperti ini seringkali tersembunyi di balik tingkah laku manis yang dilakukan oleh orang-orang dewasa Jepang, meskipun kadang hal ini dinilai kekanak-kanakan bagi bangsa barat. Hal ini juga menggambarkan sikap ketidakpercayaan orang Jepang terhadap orang-orang asing, yakni orang dengan siapa mereka tidak akan pernah dapat menjalin hubungan amae. Hubungan semacam ini hamper selalu menyertai setiap orang yang bergabung di dalam salah-satu kelompok penting misalnya, keluarga, klub, perusahaan, sekolah dan lain-lain. Tanpa dukungan hubungan yang sudah mapan ini, orang Jepang tidak dapat mempercayai orang lain untuk memahami segala kelemahannya dari ras malu atau kehilangan muka. Harus mempraktekkan pengendalian diri dan mengatasi semua rintangan untuk melindungi dirinya sendiri, karena tanpa hubungan amae, seorang dapat meramalkan bagaimana orang lain akan bertingkah laku.

c. Oyabun-Kobun – Guru-Murid