negosiasi bisnis masyarakat Jepang, kemudian menuangkannya ke dalam kertas
karya yang berjudul “Negosiasi Bisnis Ala Jepang”.
1.2. Rumusan Masalah
Negosiasi bisnis Jepang terkenal sangat alot dan bertele-tele, bahkan kadang membuat jenuh mitra asingnya. Walaupun demikian, seperti kita ketahui Jepang
merupakan negara dengan bisnis dan ekonomi termaju di dunia. Bebagai perusahaan dari Amerika dan Eropa beramai-ramai berinvestasi di Jepang.
Disinilah perlu diuraikan apa rahasia dan kiat-kiat orang Jepang dalam keberhasilannya berbisnis.
1.3. Metode penulisan
Dalam kertas karya ini penulis menggunaka metode kepustakaan yaitu metode mengumpulkan data atau informasi dengan membaca buku atau mencari
di internet. Selanjutnya data dianalisa dan dirangkum untuk kemudian dideskripsikan ke dalam kertas karya ini.
1.4. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulis mengangkat ‘Negosiasi Bisnis Ala Jepang” sebagai
judul kertas karya adalah sebagai berikut:
1. Untuk menguak rahasia keberhasilan orang Jepang dalam dunia bisnis.
2. Untuk mengetahui kebiasaan-kebiasaan orang Jepang dalam berbisnis.
3. Untuk mengetahui seberapa besar dan penting pengaplikasian nilai-nilai
tradisional dalam berbisnis. 4.
Melengkapi persyaratan untuk dapat lulus dari Universitas Sumatera Utara.
BAB II
GAMBARAN UMUM
2.1. Sejarah Bisnis dan Ekonomi Jepang
Sejak periode Meiji 1868-1912, Jepang mulai menganut ekonomi pasar bebas dan mengadopsi kapitalisme model Inggris dan Amerika Serikat. Sistem
pendidikan Barat diterapkan di Jepang, dan ribuan orang Jepang dikirim ke Amerika Serikat dan Eropa untuk belajar. Lebih dari 3.000 orang Eropa dan
Amerika didatangkan sebagai tenaga pengajar di Jepang. Pada awal periode Meiji, pemerintah membangun jalan kereta api, jalan raya, dan memulai reformasi
kepemilikan tanah. Pemerintah membangun pabrik dan galangan kapal untuk dijual kepada swasta dengan harga murah. Sebagian dari perusahaan yang
didirikan pada periode Meiji berkembang menjadi zaibatsu, dan beberapa di antaranya masih beroperasi hingga kini.
Pertumbuhan ekonomi riil dari tahun 1960-an hingga 1980-an sering disebut keajaiban ekonomi Jepang, yakni rata-rata 10 pada tahun 1960-an, 5
pada tahun 1970-an, dan 4 pada tahun 1980-an. Dekade 1980-an merupakan masa keemasan ekspor otomotif dan barang elektronik ke Eropa dan Amerika
Serikat sehingga terjadi surplus neraca perdagangan yang mengakibatkan konflik perdagangan. Setelah ditandatanganinya Perjanjian Plaza 1985, dolar AS
mengalami depresiasi terhadap yen. Pada Februari 1987, tingkat diskonto resmi diturunkan hingga 2,5 agar produk manufaktur Jepang bisa kembali kompetitif
setelah terjadi kemerosotan volume ekspor akibat menguatnya yen. Akibatnya, terjadi surplus likuiditas dan penciptaan uang dalam jumlah besar. Spekulasi
menyebabkan harga saham dan realestat terus meningkat, dan berakibat pada penggelembungan harga aset. Harga tanah terutama menjadi sangat tinggi akibat
adanya mitos tanah bahwa harga tanah tidak akan jatuh. Ekonomi gelembung Jepang jatuh pada awal tahun 1990-an akibat kebijakan uang ketat yang
dikeluarkan Bank of Japan pada 1989, dan kenaikan tingkat diskonto resmi menjadi 6. Pada 1990, pemerintah mengeluarkan sistem baru pajak penguasaan
tanah dan bank diminta untuk membatasi pendanaan aset properti. Indeks rata-rata Nikkei dan harga tanah jatuh pada Desember 1989 dan musim gugur 1990.
Pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi pada 1990-an, dengan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi riil hanya 1,7 sebagai akibat penanaman modal yang
tidak efisien dan penggelembungan harga aset pada 1980-an. Institusi keuangan menanggung kredit bermasalah karena telah mengeluarkan pinjaman uang dengan
jaminan tanah atau saham. Usaha pemerintah mengembalikan pertumbuhan ekonomi hanya sedikit yang berhasil dan selanjutnya terhambat oleh kelesuan
ekonomi global pada tahun 2000.
Jepang adalah perekonomian terbesar nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat, dengan PDB nominal sekitar AS4,5 triliun. dan perekonomian terbesar
ke-3 di dunia setelah AS dan Republik Rakyat Cina dalam keseimbangan kemampuan berbelanja. Industri utama Jepang adalah sektor perbankan, asuransi,
realestat, bisnis eceran, transportasi, telekomunikasi, dan konstruksi. Jepang memiliki industri berteknologi tinggi di bidang otomotif, elektronik, mesin
perkakas, baja dan logam non-besi, perkapalan, industri kimia, tekstil, dan pengolahan makanan. Sebesar tiga perempat dari produk domestik bruto Jepang
berasal dari sektor jasa. listrik Minato Mirai 21 di Yokohama. Ekonomi Jepang sangat mengandalkan sektor jasa.
Dalam Indeks Kemudahan Berbisnis, Jepang menempati peringkat ke-12, dan termasuk salah satu negara maju dengan birokrasi paling sederhana.
Kapitalisme model Jepang memiliki sejumlah ciri khas. Keiretsu adalah grup usaha yang beranggotakan perusahaan yang saling memiliki kerja sama bisnis dan
kepemilikan saham. Negosiasi upah shuntō berikut perbaikan kondisi kerja
antara manajemen dan serikat buruh dilakukan setiap awal musim semi. Budaya bisnis Jepang mengenal konsep-konsep lokal, seperti
Sistem Nenkō, nemawashi, salaryman, dan office lady. Perusahaan di Jepang mengenal kenaikan pangkat
berdasarkan senioritas dan jaminan pekerjaan seumur hidup. Kejatuhan ekonomi gelembung yang diikuti kebangkrutan besar-besaran dan pemutusan hubungan
kerja menyebabkan jaminan pekerjaan seumur hidup mulai ditinggalkan. Perusahaan Jepang dikenal dengan metode manajemen seperti The Toyota Way.
Aktifisme pemegang saham sangat jarang. Dalam Indeks Kebebasan Ekonomi, Jepang menempati urutan ke-5 negara paling laissez-faire di antara 41 negara Asia
Pasifik.
Total ekspor Jepang pada tahun 2005 adalah 4.210 dolar AS per kapita. Pasar ekspor terbesar Jepang tahun 2006 adalah Amerika Serikat 22,8, Uni
Eropa 14,5, Cina 14,3, Korea Selatan 7,8, Taiwan 6,8, dan Hong Kong
5,6. Produk ekspor unggulan Jepang adalah alat transportasi, kendaraan bermotor, elektronik, mesin-mesin listrik, dan bahan kimia.
[61]
Negara sumber impor terbesar bagi Jepang pada tahun 2006 adalah Cina 20,5, AS 12,0, Uni
Eropa 10,3, Arab Saudi 6,4, Uni Emirat Arab 5,5, Australia 4,8, Korea Selatan 4,7, dan Indonesia 4,2. Impor utama Jepang adalah mesin-mesin dan
perkakas, minyak bumi, bahan makanan, tekstil, dan bahan mentah untuk industri.
Jepang adalah negara pengimpor hasil laut terbesar di dunia senilai AS 14 miliar. Jepang berada di peringkat ke-6 setelah RRC, Peru, Amerika Serikat,
Indonesia, dan Chili, dengan total tangkapan ikan yang terus menurun sejak 1996.
Pertanian adalah sektor industri andalan hingga beberapa tahun seusai Perang Dunia II. Menurut sensus tahun 1950, sekitar 50 angkatan kerja berada
di bidang pertanian. Sepanjang masa keajaiban ekonomi Jepang, angkatan kerja di bidang pertanian terus menyusut hingga sekitar 4,1 pada tahun 2008. Pada
Februari 2007 terdapat 1.813.000 keluarga petani komersial, namun di antaranya hanya kurang dari 21,2 atau 387.000 keluarga petani pengusaha. Sebagian besar
angkatan kerja pertanian sudah berusia lanjut, sementara angkatan kerja usia muda hanya sedikit yang bekerja di bidang pertanian.
2.2. Pengertian Negosiasi Bisnis