Formulasi Biskuit

1. Formulasi Biskuit

Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu protein rendah, gula bubuk, tepung susu, telur, mentega, margarin, baking powder dan soda kue. Formulasi awal didasarkan pada hasil penelitian Wiyati (2004) dalam pembuatan biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan teri (Stolephorus sp.) pada biskuit untuk anak balita yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Formula biskuit dengan penambahan konsentrat protein ikan Komposisi

Gram Konsentrat protein ikan

Tepung terigu

Gula bubuk

Tepung susu

Baking powder

Sumber: Wiyati 2004

Formula pada Tabel 12 setelah diujikan dengan mengganti konsentrat protein ikan dengan menggunakan tepung ikan lele dumbo didapatkan hasil yang berbeda karakteristiknya sehingga tidak sesuai untuk anak balita. Dengan menggunakan formula diatas, biskuit dengan tepung ikan lele dumbo lebih keras dan basah. Oleh karena itu, dilakukan formulasi lebih lanjut.

Formulasi lebih lanjut dilakukan dengan menambahkan jumlah lemak dan telur di dalam adonan. Menurut Matz dan Matz (1978), lemak pada pembuatan biskuit berfungsi sebagai bahan pengemulsi sehingga menghasilkan tekstur produk yang renyah. Lemak yang ditambahkan dalam formula adalah mentega. Tujuan penggunaan mentega ini adalah untuk memberikan aroma khas biskuit yang lebih kuat. Penambahan jumlah telur ditujukan untuk melembutkan biscuit, sehingga diperoleh biskuit yang renyah dan lembut.

Seiring dengan penambahan lemak dan telur ada komponen-komponen dalam formula yang dikurangi, yaitu gula, susu dan tepung terigu. Kemudian, konsentrat protein ikan pada penelitian Wiyati (2004), diganti dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Penggunaan isolat protein kedelai, selain untuk memperbaiki tekstur yang kasar akibat penambahan tepung ikan juga untuk meningkatkan kandungan protein dari biskuit yang dihasilkan.

Sumber protein yang digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung ikan lele dumbo (kombinasi antara tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo), isolat protein kedelai, dan susu. Tepung ikan dan isolat protein kedelai digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada adonan, sehingga kandungan protein biskuit meningkat sesuai yang diharapkan, sedangkan susu merupakan variabel tetap yang tidak diubah dalam formula.

Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan Selain berdasarkan pada karakteristik fisik biskuit, formula juga didasarkan pada kebutuhan energi dan protein balita. Kecukupan energi dan protein untuk anak balita menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), umur 1 sampai 3 tahun (berat badan 12 kg) adalah 1000 kkal energi dan 25 gram protein per hari. Pada usia yang lebih tinggi yaitu 4-6 tahun, kebutuhan energi dan protein meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan yaitu menjadi 1550 kkal energi per hari dan 39 gram protein per hari. Biskuit diharapkan dapat menjadi pangan potensial sumber protein untuk anak balita. Selain itu biskuit diharapkan juga memenuhi syarat formula makanan tambahan yang telah ditetapkan FAO, kriteria biskuit menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), dan dapat diterima oleh anak balita. BPOM (2004), menyatakan bahwa makanan dapat dikatakan sebagai sumber protein yang sangat baik bila mengandung sedikitnya 20% dari Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan per saji. Jadi untuk memenuhi kriteria tersebut, biskuit yang dihasilkan minimal mengandung 5 gram protein per sajian. Selain berdasarkan aspek gizi diatas, WHO menganjurkan

Setelah dilakukan langkah-langkah trial and error ditetapkan empat formula biskuit. Formula tersebut merupakan hasil pengembangan formula dasar yang telah dilakukan sebelumnya. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formula adalah perbedaan jumlah substitusi tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai. Banyaknya tepung ikan dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah sebesar 15% dari jumlah adonan atau maksimal menggantikan 37.5% dari jumlah tepung terigu. Jumlah ini merupakan jumlah dari penambahan ketiga tepung diatas dimana setiap jenis tepung yang ditambahkan maksimal 10% dari jumlah adonan. Penambahan tepung kepala ikan diatas 5% menyebabkan tekstur biskuit keras dan warna biskuit menjadi gelap, karena menurut Manley (1998) semakin tinggi kadar abu pada tepung maka warna tepung akan semakin gelap dan produk yang dihasilkan akan semakin gelap pula. Penambahan tepung badan ikan diatas 10% akan membuat tekstur biskuit menjadi kasar sehingga sulit dilumat oleh anak-anak. Hal ini dikarenakan perbedaan ukuran partikel antara tepung terigu (100 mesh) dan tepung ikan (60 mesh). Tepung ikan yang memiliki partikel lebih besar daripada tepung terigu memiliki densitas kamba yang lebih kecil daripada tepung terigu sehingga memberikan banyak ruang dalam biskuit yang dihasilkan sehingga biskuit bersifat poros dan akan terasa kasar. Penambahan isolat protein kedelai diatas 10% akan menyebabkan adonan menjadi lengket dan sulit dicetak. Perbandingan tepung badan ikan, tepung kepala, dan isolat protein kedelai yang digunakan adalah: F1 (5:5:5), F2 (7.5:2.5:5), F3 (2.5:2.5:10), dan F4 (3.5:1.5:10). Perbandingan diatas merupakan persentase penggunaan tepung badan ikan, tepung kepala ikan dan isolat protein kedelai terhadap 1000 gram adonan.

Komposisi zat gizi bahan yang digunakan diperoleh dari hasil analisis dan dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (2004). Bahan yang dianalisis adalah bahan–bahan sumber protein yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan protein biskuit antara lain tepung badan ikan lele, tepung kepala ikan lele, isolat protein kedelai dan tepung susu. Bahan lain seperti tepung terigu, gula, margarin, mentega, dan telur diperoleh dari DKBM. Perhitungan zat gizi biskuit tiap formula dapat dlihat pada Lampiran 19 sampai 22.

Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan Biskuit yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis short dough dimana menurut Manley (1998) short dough biscuits dicirikan oleh pembentukan adonan

Tahapan pertama dalam pembuatan biskuit adalah proses mixing atau pencampuran dan pengadukan bahan. Proses mixing dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pembentukan krim dan pencampuran bahan kering. Pada tahap pembentukan krim, gula, lemak (margarin dan mentega), dan telur diaduk dengan kecepatan yang cukup tinggi selama beberapa menit sehingga membentuk krim yang mengembang dan berwarna pucat. Selanjutnya bahan- bahan kering seperti tepung terigu, tepung ikan, isolat protein kedelai, tepung susu, baking powder dan soda kue dimasukkan ke dalam adonan krim lalu diaduk kembali sebentar sampai terbentuk dispersi krim yang seragam pada tepung. Pengadukan yang terlalu lama menurut Manley (1998) dapat memungkinkan pembentukan matriks gluten. Oleh karena itu untuk menghasilkan biskuit yang berkualitas, setelah dimasukkan tepung terigu pengadukan dilakukan seminimal mungkin. Matz dan matz (1978) juga menyatakan bahwa pengadukan dua tahap yang didahului oleh pembentukan krim baik digunakan pada pembuatan biskuit yang dicetak karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan matriks gluten yang berlebihan. Setelah itu, adonan diistirahatkan didalam lemari es selama 15 menit. Tujuan dari penyimpanan ini adalah untuk mengeringkan adonan agar lebih mudah dicetak. Menurut Manley (1998), tahap pencampuran yang dilakukan dalam waktu singkat akan menyebabkan adonan lembut dan agak lengket sehingga sulit dicetak, oleh sebab itu diperlukan tahap pengistirahatan agar air dalam adonan menguap ke atmosfer sehingga adonan menjadi tidak terlalu lengket.

Proses berikutnya adalah proses pemipihan dan pencetakan. Adonan digiling menggunakan rolling pin menjadi lembaran dan memiliki ketebalan yang seragam yaitu 0.5 cm. Setelah berbentuk lembaran, adonan dicetak. Menurut Manley (1998) prinsip pencetakan adalah adonan mendapat tekanan dari alat pencetak. Cetakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cetakan berbentuk lingkaran dengan diameter 5 cm.

Tahap selanjutnya adalah pemanggangan. Pemanggangan dilakukan menggunakan oven. Pada penelitian ini pemanggangan dilakukan selama 20

0 menit dengan suhu awal 140 0 C dan suhu akhir 160 . Menurut Matz (1992), suhu dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis

produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan produk. Menurut Manley (1998), pemanggangan menyebabkan perubahan