Sifat Kimia Biskuit

4. Sifat Kimia Biskuit

Biskuit formula terpilih dianalisis sifat kimianya yang meliputi analisis proksimat, perhitungan kandungan energi dan daya cerna protein biskuit. Data hasil analisis sifat kimia biskuit dapat dilihat pada Lampiran 34 sampai 40.

a. Analisis Proksimat Biskuit

Kandungan gizi pada biskuit diuji dengan melakukan analisis proksimat dan daya cerna protein. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Selain itu dilakukan juga penghitungan energi yang terkandung dalam biskuit. Hasil analisis proksimat biskuit dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil analisis sifat kimia dan perhitungan energi biskuit formula terpilih Komponen

Jumlah

Basis Kering Air

Basis Basah

Menurut Winarno (1997), kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran dan daya tahan pangan tersebut. Pada proses pemanggangan biskuit, terjadi proses pemanasan dan proses pengurangan kadar air. Kandungan air pada biskuit akan mempengaruhi penerimaan konsumen terutama pada atribut tekstur (kerenyahan). Biskuit dengan kadar air tinggi cenderung tidak renyah sehingga teksturnya kurang disukai.

Kadar air biskuit yang dihasilkan adalah 3.96% (bb). Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992 menyatakan kadar air maksimum yang terdapat pada biskuit adalah 5% (bb). Kadar air biskuit yang dihasilkan masih berada di bawah persyaratan SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa kadar air biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai memenuhi persyaratan mutu biskuit berdasarkan SNI.

Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5% (bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb). Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini Menurut Soebito (1988), kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal setelah bahan dibakar sampai bebas unsur karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik. Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5% (bb). Kadar abu biskuit yang dihasilkan pada penelitian ini adalah 2.42% (bb). Kadar abu biskuit percobaan berada di atas persyaratan mutu biskuit SNI. Hal ini

Winarno (1997) menyatakan, protein merupakan suatu zat gizi yang amat penting bagi tubuh, karena zat ini selain berfungsi sebagai penghasil energi dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sifat protein sebagai zat pengatur dimiliki oleh enzim. Sebagai zat pembangun, protein merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh. Tetapi bila asupan energi tubuh tidak dipenuhi oleh karbohidrat, maka protein akan berperan sebagai energi. Hal ini menyebabkan perannya sebagai zat pengatur dan pembangun akan terganggu. Selain itu bila terjadi kekurangan konsumsi protein pertumbuhan juga akan terganggu, terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Oleh sebab itu, pada biskuit yang ditujukan untuk anak balita gizi kurang ini, penambahan jumlah protein pada biskuit menjadi prioritas yang utama.

Menurut Winarno (1997), protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Pengukuran kadar protein biskuit mengunakan metode Kjeldhal yang didasarkan pada pengukuran kadar nitrogen total. Kandungan protein dapat dihitung dengan mengasumsikan rasio tertentu antara protein terhadap nitrogen untuk contoh biskuit. Karena unsur nitrogen bukan hanya berasal dari protein, maka metode ini mendasarkan pada asumsi kandungan nitrogen adalah protein adalah 16%. Untuk mengubah dari kadar nitrogen ke dalam kadar protein maka digunakan angka faktor konversi sebesar 100/16 atau 6.25.

Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah 18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai Protein yang terdapat dalam biskuit sebagian besar berasal dari tepung ikan, isolat protein kedelai, telur, susu dan tepung terigu. Menurut syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit adalah 9.00% (bb). kadar protein biskuit yang dihasilkan pada penelitian adalah 18.77% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan kadar protein minimum biskuit dengan bahan dasar tepung terigu saja (SNI), kadar protein biskuit penelitian berada diatas kadar minimum protein pada SNI biskuit. Peningkatan kadar protein ini dikarenakan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai

Menurut Manley (1998), lemak merupakan bahan baku paling penting dalam pembuatan biskuit. Lemak merupakan komponen terbesar selain tepung dan gula. Pada pembuatan biskuit, digunakan dua jenis sumber lemak, yaitu margarine dan mentega. Fungsi utama lemak dalam pembuatan biskuit adalah sebagai pengemulsi, tetapi selain itu lemak juga berfungsi sebagai pembentuk cita rasa dan memberikan tekstur pada biskuit. Semakin banyak lemak yang ditambahkan pada adonan, semakin rapuh biskuit yang dihasilkan.

Kandungan lemak biskuit yang dihasilkan adalah 21,99% (bk), sedangkan menurut SNI 01-2973-1992, kadar lemak minimum dalam biskuit adalah 9.5%. Jila dibandingkan dengan persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, kadar lemak produk berada di atas persyaratan kadar lemak minimum pada SNI, sehingga dapat dikatakan bahwa berdasarkan kadar lemaknya, biskuit yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan mutu biskuit jika mengacu pada persyaratan mutu biskuit pada SNI.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Menurut Fennema (1996), 90% karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat merupakan sumber energi yang sangat banyak ditemui, ketersediaannya amat luas dan murah. Karbohidrat juga memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 1997).

Bahan yang menjadi sumber karbohidrat pada pembuatan biskuit antara lain tepung terigu, gula, dan susu. Kadar karbohidrat pada biskuit dihitung dengan penentuan kadar karbohidrat secara kasar menggunakan metode by difference. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar karbohidrat biskuit yang dihasilkan adalah 53.72% (bb). Jika dibandingkan dengan persyaratan minimum kadar karbohidrat biskuit terigu yang tercantum pada SNI (70%), kadar karbohidrat biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai lebih rendah. Pengurangan kadar karbohidrat ini dikarenakan terjadi penggantian sebagian tepung terigu yang menjadi sumber utama karbohidrat pada biskuit dengan tepung ikan dan isolat protein kedelai yang tinggi protein dan rendah karbohidrat.

Jika dibandingkan dengan persyaratan mutu biskuit terigu pada SNI, kandungan gizi yang dimiliki biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai memang berbeda. Hal ini disebabkan perbedaan kandungan gizi yang dimiliki bahan baku penyusunnya, yaitu tepung ikan dan isolat protein kedelai. Pada dasarnya perbedaan nilai gizi bukan suatu permasalahan. Menurut Manley (2000), biskuit merupakan produk yang tepat untuk dijadikan pangan sehat atau pangan fungsional yang menyediakan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh tubuh. Dalam pembuatan biskuit ini zat gizi yang dimaksud adalah protein. Biskuit yang diperkaya protein akan menurunkan proporsi kandungan zat gizi lain. Dalam percobaan ini, zat gizi yang mengalami penurunan adalah karbohidrat.

b. Kandungan Energi Biskuit

Kandungan energi pada biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai diperoleh dengan mengkonversikan protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Lemak merupakan sumber energi yang paling besar, dimana 1 gram lemak dapat dikonversi menjadi 9 kkal. Sedangkan protein dan karbohidrat menghasilkan energi 4 kkal per gram (Fennema 1996).

Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata nilai energy biskuit adalah sebesar 480 kkal per 100 gram biskuit. Menurut SNI 01-2973-1992, syarat kandungan energi pada biskuit terigu minimal 400 kkal per 100 gram. Demikian pula menurut FAO/WHO (1994), energi pada komposisi makanan tambahan untuk balita minimal mengandung 400 kkl per 100 gram makanan. Jika mengacu pada persyaratan diatas, maka nilai energi biskuit yang dihasilkan berada di atas persyaratan minimum nilai energi.

c. Daya Cerna Protein Biskuit

Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4) proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan Daya cerna menurut Fennema (1996) adalah proporsi nitrogen pangan yang dapat diserap setelah proses pencernaan. Ditambahkan pula bahwa daya cerna protein yang berasal dari pangan hewani lebih tinggi daripada daya cerna protein yang berasal dari pangan nabati. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya cerna protein, antara lain: (1) konformasi protein, (2) faktor antinutrisi, (3) ikatan dengan senyawa lain seperti polipeptida dan serat, serta (4) proses pengolahan. Proses pemanasan dengan pemanggangan pada biskuit menurut Ranhotra dan Bock (1988) dapat menyebabkan denaturasi protein dan

Analisis daya cerna protein dapat dilakukan secara biologis, mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatik. Pada penelitian ini digunakan metode enzimatik secara in vitro untuk melihat bioavailabilitas protein pada biskuit. Hsu et al . (1977) menyatakan prinsip dasar pengukuran daya cerna secara in vitro dengan teknik multienzim adalah dengan menghidrolisis sampel protein dengan larutan multienzim, proses hidrolisis ini akan membebaskan gugus karboksil asam amino yang menyebabkan penurunan pH. pH suspensi protein pada menit ke-10 setelah hidrolisis berkorelasi baik dengan daya cerna protein secara biologis. Analisis in vitro dipilih karena menurut Fennema (1996), analisis dengan metode biologis atau secara in vivo membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama.

Menurut Muchtadi (1989), protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengukuran daya cerna protein biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolat protein kedelai adalah sebesar 89.34%. Daya cerna ini dapat dikatakan sedang, karena nilainya menyerupai daya cerna kacang-kacangan dan nasi menurut FAO/WHO/UNU (1995).