FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPU

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG MERVINA DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

ABSTRACT

MERVINA. Biscuit Formulation with Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Fish Flour and Isolate Soy (Glicine max) Protein Substitution as Potential Food for Undernourished Children. Under direction of SRI ANNA MARLIYATI and CLARA M. KUSHARTO

Fish is protein source, which good for enhance nutrition status because it is categorized as high quality food. Fish flour is one of fish product that has not been optimally developed especially as food. The objective of this research was to make biscuit formulation with lele dumbo (Clarias gariepinus) fish flour and isolate soy (Glicine max) protein as high protein food for children especially under five years old children that have undernourished status. The objective of addition isolate soy protein beside to increase protein content also for produce a better biscuit texture. The method to make the fish flour is based on thermal process using drum dryer. The fish flour made separately from body part and head part. Then physical and chemical properties were analyzed. Biscuit was formulated by using fish flour and isolate soy protein with trial and error method. Formula was determined based on panelist preference. Acceptance of preferred formula was examined by children and children’s mother using hedonic test. Then biscuit properties determined by physical and chemical analysis. The protein biscuit contribution were counted based on Recommended Daily Allowance for under five years old children. As the result formula F4 was preferred formula that made by 3.5% body fish flour, 1.5% head fish flour, and 10% isolate soy protein. Chemical properties for formula F4 is 4,13% (db) for water content, 2.52% (db) for ash content, 19.55% (db) for protein content, 21.99% (db) for fat content and 55.94% (db) for carbohydrate content. The formula contains 480 Cal energy per 100 grams biscuit. Digestibility of protein biscuit measure by enzymatic method and the result is 89.34%. The formula fulfills 20% children protein from four piece biscuit or equals to 50 grams biscuit.

MERVINA . Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang. Pembimbing SRI ANNA MARLIYATI dan CLARA M. KUSHARTO

RINGKASAN

Menurut Soekirman (2000), KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan khususnya bagi anak dibawah usia lima tahun (balita). Pangan hewani seperti ikan merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat karena tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Tepung ikan merupakan salah satu pangan hewani yang merupakan produk hasil olahan ikan belum dikembangkan secara maksimal. Produk biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein bagi anak-anak. Tujuan penambahan isolat protein kedelai selain sebagai penambah kandungan protein juga untuk memperbaiki tekstur biskuit.

Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung ikan lele dumbo yang terpisah antara pembuatan tepung badan dan kepalanya, lalu dianalisis sifat fisik dan kimianya. Pada penelitian utama, dilakukan formulasi biskuit menggunakan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai. Setelah didapatkan 4 formulasi berdasarkan trial and error dilakukan pemilihan formula berdasarkan kesukaan panelis. Formula terpilih diujikan kembali kepada anak balita gizi kurang dan ibu balita untuk mengetahui kesukaan dari balita dan ibu balita. Setelah itu formula terpilih dianalisis sifat fisik dan sifat kimianya serta dihitung kontribusinya terhadap AKG balita.

Proses pembuatan tepung ikan dibagi menjadi dua bagian yaitu pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele dumbo. Pembuatan tepung dimulai dari sortasi ikan, lalu dilanjutkan dengan pemasakan dengan tekanan tinggi (presto), pengepresan, pengeringan dengan drum dryer dan penggilingan dengan willey mill.

Berdasarkan pengukuran a w menggunakan a w -meter diketahui a w tepung badan ikan adalah 0.71, sedangkan a w tepung kepala ikan adalah 0.66. Pengukuran densitas kamba menunjukan bahwa tepung kepala ikan mempunyai densitas kamba yang tebih tinggi daripada tepung badan ikan. Densitas kamba tepung kepala ikan adalah 0.45 g/ml sedangkan densitas kamba tepung badan ikan adalah 0.37 g/ml. Hasil pengukuran derajat putih tepung menunjukan bahwa tepung ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung terigu. Tepung kepala ikan memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada tepung badan ikan. Derajat putih tepung kepala ikan adalah 29.00%, sedangkan derajat putih tepung badan ikan adalah sebesar 30.96%. Analisis sifat kimia tepung ikan lele dumbo didapat hasil, untuk tepung kepala ikan kadar air 8.72% (bb), kadar abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04 % (bk), kadar lemak 9.39% (bk) dan kadar karbohidrat 7.84% (bk), sedangkan hasil analisis untuk tepung badan ikan adalah kadar air 7.99% (bb), kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk) dan kadar karbohidrat 11.83% (bk).

Pembuatan formula didasarkan pada estimasi protein yang dihasilkan biskuit. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit. Hasil uji Pembuatan formula didasarkan pada estimasi protein yang dihasilkan biskuit. Pemilihan formula dilakukan melalui uji organoleptik pada biskuit. Hasil uji

Hasil uji organoleptik oleh panelis balita terhadap formula F4 dan biskuit balita komersil yang terdapat dipasaran menunjukan penerimaan balita terhadap kedua biskuit tersebut tidak beda nyata ketika dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji organoleptik terhadap ibu balita menunjukan bahwa lebih dari 70% ibu balita menyukai biskuit formula F4 untuk atribut warna, aroma, rasa dan tekstur.

Analisis biskuit formula terpilih (F4) adalah kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit formula terpilih mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Protein biskuit diukur daya cernanya menggunakan metode enzimatik secara in vitro dan didapat daya cerna biskuit adalah sebesar 89.34%. Sifat fisik biskuit diukur rendemen, daya serap air dan analisis tekstur. Rendemen biskuit adalah 84,29%. Daya serap air biskuit adalah 1.79 ml/g. Sedangkan hasil uji tekstur menunjukkan nilai untuk parameter kerenyahan 246.6 N/mm.

Berdasarkan analisis kontribusi zat gizinya, formula terpilih dapat dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara dengan 50 gram biskuit. 50 gram biskuit dapat memberikan 240 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak.

FORMULASI BISKUIT DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG MERVINA

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : FORMULASI BISKUIT DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (Glycine max) SEBAGAI MAKANAN POTENSIAL UNTUK ANAK BALITA GIZI KURANG

Nama : Mervina NRP

: I14051221

Disetujui:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Sri Anna Marliati, MS Prof. Dr. Clara M. Kusharto, M. Sc NIP: 19600205 198903 2 002 NIP: 19510719 198403 2 001

Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001

Tanggal Pengesahan:

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas berkat-Nya yang berlimpah sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis juga hendak menyampaikan terima kasih pada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam pembuatan skripsi ini.

1. Papi, mami, koko ’kodok’ atas dukungan dan doa yang terus-menerus.

2. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan pembelajaran, bimbingan, dan pengarahan selama pembuatan skripsi. Senang sekali bisa mendapat bimbingan ibu.

3. Prof. Dr. drh. Clara M. Kusharto, M. Sc selaku dosen pembimbing II dan ketua Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi” yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, dan pengalaman bagi penulis.

4. Seluruh tim Hibah Kemitraan: Dr. Ir. Inggrid Surono, M. Sc; Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M. Si; Prof. Dr. Ir. Made Astawan; Leily Amalia. STP, MS; dr. Mira Dewi, S. Ked; Ir. Annis Catur Adi, M. Si; Rini Harianti, S. Si; Astrisia Artanti, STP; Sa’ad Bakery (Kunciran-Tangerang); DeJee Fish (Cibaraja, Sukabumi); dan Pemerintah Kabupaten Sukabumi atas kerjasama dalam penelitian ini.

5. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen penguji skripsi yang telah bersedia dan meluangkan waktu untuk menguji.

6. Keluarga besar Sukamto dan Kengsiswoyo atas dukungan baik secara moril dan materiil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di IPB.

7. ”My roommate” Veronica Gunawan STP, Teresia Tandean STP, dan Vidya

H. Simarmata SKPM, atas banyak semangat, motivasi, dan perhatian.

8. Franz ”never stress” Sahidi atas kesabaran yang tidak berkesudahan.

9. Beatrice Bennita, Stella Alvina Gunawan dan Catherine Haryasyah yang menjadi inspirasi penulis dalam menyelesaikan skipsi.

10. Herviana Ferazuma, Natalia Dessy W, Ervina, dan seluruh mahasiswa Gizi Masyarakat angkatan 42 atas kekompakan dan hari-hari perkuliahan yang menyenangkan ”We are cream of the cream”.

11. Yoanita Santoso (isopit), Rina Kisaragi, Kabuto, dan Kotaro Minami yang memberikan penghiburan kepada penulis setiap saat dalam pembuatan skripsi.

12. Keluarga Besar Perwira 45 ank. 42: Fransisca Eka, Lisa Noviani, Aninda Puspasari, Stella Belinda, Eveline Septiana, Kalista R. Putri, Leo Adi W., Anthony Demas, Pratiwi, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, atas kebersamaan dan kekeluargaan yang menyenangkan sampai tahun terakhir.

13. Teman-teman satu bimbingan: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Mega Pramudita, Ganes T Widha, Nien Adji, Fitriah Rahayu, Wasilla T.

14. Para Laboran yang dengan sabar mendampingi dan membantu penelitian: khususnya Pak Mashudi (terima kasih banyak pak), Ibu Rizki, dan Ibu Nina, Pak Nurwanto, Pak Wahid, Ibu Rubiah, dan Pak Rojak.

15. Teman-teman penelitian laboratorium: Herviana Ferazuma, Neysa Rucita, Pramadya Alfitra, Mega Pramudita, Yulan Isnaharani, Tri Purnamasari, Ganes T. Widha, Ervina, Hana Fitriah N, Inda Ragil dan Kokom Setiamanah.

16. Indah Lestari; Martha Clarissa R, Vina Lyana, Edwin, Ferry Gracyano, Jimmy Effendi, dr. Claudia Tiwow, Kezia Winie dan Timotius atas persahabatan yang luar biasa.

17. Mr. Manahat Sitorus dan Ms. Devie atas dorongan dan semangatnya sehingga penulis berkuliah di IPB

18. Keluarga besar Kemaki (Keluarga Mahasiswa Katolik IPB), yang memberikan keluarga sejak pertama penulis diterima di IPB.

Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih.

Bogor, Oktober 2009 Penulis

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1987 dari pasangan Gerald Benyamin Benny Sukamto dan Giokatarina Wanny Kengsiswoyo. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan di SMU Dian Harapan Lippo Cikarang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melalui Tahap Persiapan Bersama (TPB), penulis memilih dan diterima di mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Penulis juga mengambil minor Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi, seperti Keluarga Mahasiswa Katolik (KEMAKI) dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi (HIMAGIZI). Penulis juga aktif dalam kepanitiaan berbagai acara diantaranya Natal CIVA tahun 2006 dan 2007, Pelatihan Organoleptik, dan lain-lain. Penulis pernah menjadi pelatih dalam Pelatihan Makanan Berbasis Ubi Jalar untuk kelompok tani Cikarawang pada tahun 2009. Selain itu penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Kelurahan Pasir Putih dan Kelurahan Bedahan, Kecamatan Sawangan, Kota Depok dan melaksanakan internship bidang Dietetika di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta.

Penulis menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat, dengan melakukan penelitian yang berjudul ”Formulasi Biskuit dengan Substitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus ) dan Isolat Protein Kedelai (Glycine max) sebagai Makanan Potensial untuk Anak Balita Gizi Kurang”, yang merupakan bagian dari Hibah Kemitraan ”Studi Efikasi Makanan Fungsional Berbasis Tepung Ikan dan Probiotik untuk Meningkatkan Daya Tahan Tubuh Anak Balita Rawan Gizi”.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah gizi makro terutama masalah kurang energi protein telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Sejak sebelum merdeka sampai sekitar tahun 1960-an, masalah KEP adalah masalah yang cukup besar di Indonesia. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu, kecuali pada wanita terutama di daerah miskin. Namun pada anak-anak khususnya anak dibawah usia lima tahun (balita), sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman 2000).

Menurut Khomsan (2004), pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi heme yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi. Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi (sekitar 20%) dalam tubuh ikan tersusun oleh asam-asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino dalam tubuh manusia. Daging ikan juga mengandung asam-asam lemak tak jenuh dengan kadar kolesterol yang sangat rendah yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Selain itu, daging ikan mengandung sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Adawyah 2007).

Menurut Azhar (2006), ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang populer di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya Menurut Azhar (2006), ikan lele adalah salah satu ikan air tawar yang paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan lele yang populer di masyarakat adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Lele dumbo memiliki berbagai kelebihan sehingga lele dumbo termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya adalah pertumbuhannya

Di samping keunggulan-keunggulan yang dimiliki, ikan juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu kandungan air yang tinggi (80%) dan pH tubuh ikan yang mendekati netral menyebabkan daging ikan mudah rusak. Selain itu kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan daging ikan mudah mengalami proses oksidasi sehingga menyebabkan bau tengik. Hal-hal tersebut dapat menghambat penggunaannya sebagai bahan pangan. Oleh karena itu diperlukan proses pengolahan untuk menambah nilai, baik dari segi gizi, rasa, bau, bentuk, maupun daya awetnya (Adawyah 2007).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil samping ikan. Usaha pengolahan tepung ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar dengan harga murah karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1992).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dumbo dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya. Penggunaan tepung ikan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit merupakan salah satu alternatif penggunaan yang menjanjikan, terutama dari segi kualitas zat gizi yang dihasilkan.

Menurut Manley (2000), biskuit merupakan makanan yang cukup populer. Biskuit merupakan pangan praktis karena dapat dimakan kapan saja dan dengan pengemasan yang baik, biskuit memiliki daya simpan yang relatif panjang. Biskuit dapat dipandang sebagai media yang baik sebagai salah satu jenis pangan yang dapat memenuhi kebutuhan khusus manusia. Berbagai jenis biskuit telah dikembangkan untuk menghasilkan biskuit yang tidak hanya enak tapi juga menyehatkan. Dengan menambahkan bahan pangan tertentu seperti tepung ikan lele ke dalam proses pembuatan biskuit, dapat dihasilkan biskuit dengan nilai tambah yang baik untuk kesehatan.

Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah Tepung kedelai biasa digunakan sebagai komponen utama dalam pembuatan biskuit yang tinggi protein. Penggunaan tepung kedelai juga dapat dikatakan memperbaiki tekstur biskuit. Kedelai juga biasa digunakan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satu bahan baku industri dari kedelai adalah

Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai sebagai pangan tinggi protein, sedangkan tujuan khususnya adalah:

1. Membuat tepung badan dan tepung kepala ikan lele dumbo.

2. Menganalisis sifat fisik (a w , densitas kamba dan derajat putih) dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein) tepung ikan lele dumbo.

3. Melakukan formulasi biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dumbo dan

tepung isolat protein kedelai.

4. Melakukan uji organoleptik untuk menentukan formula biskuit terpilih pada

panelis semi terlatih.

5. Melakukan uji organoleptik biskuit formula terpilih pada anak dan ibu balita.

6. Menganalisis sifat fisik (rendemen, densitas kamba, daya ikat air, tekstur) dan sifat kimia (kadar karbohidrat, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, serta daya cerna protein) formula biskuit terpilih.

7. Menganalisis kontribusi zat gizi yang dapat diberikan biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan tepung isolat protein kedelai terhadap AKG anak balita.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai makanan anak balita dengan menggunakan bahan baku ikan lele dan isolat protein kedelai yang bukan saja disukai rasanya tetapi juga merupakan sumber protein yang sangat dibutuhkan oleh balita untuk pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu dengan memproduksi biskuit ini diharapkan dapat masyarakat dapat diberdayakan.

Produk yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif produk pangan yang dapat berfungsi untuk memperbaiki status gizi anak. Selain itu, penelitian ini juga dapat bermanfaat untuk meningkatkan pemanfaatan tepung ikan dan isolat protein kedelai menjadi makanan yang mengandung protein tinggi.

TINJAUAN PUSTAKA

Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. Oleh karena itu, produksi lele ukuran konsumsi secara nasional mengalami kenaikan. Seperti pada tahun 2003, kenaikan tersebut terjadi mencapai 18.3%. Ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele dumbo (Clarias gariepinus). Sementara itu lele lokal (Clarias batracus) sudah langka dan jarang ditemukan karena pertumbuhannya sangat lambat dibandingkan dengan lele dumbo. Secara umum lele dumbo mirip dengan lele lokal, hanya saja ukuran lele dumbo lebih besar dibandingkan dengan lele lokal. Lele dumbo cenderung lebih panjang dan lebih gemuk dibandingkan lele lokal. Pada tahun 2005, lele dumbo juga menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007).

Lele dumbo termasuk ke dalam:filum Chordata, kelas Pisces, subkelas Teleostei, ordo Ostariophysi, subordo Siluroidea, dan genus Clarias. Salah satu Beberapa literature menyebutkan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budi Daya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan talah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004

(Mahyuddin 2007).

Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing- masing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri Lele dumbo memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing- masing terdapat sepasang kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele dumbo berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri

Gambar 1 Karakteristik Morfologi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat yang terlindung (Suyanto 2007).

Menurut Astawan (2008) lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah.

Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambah jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi ikan lele disajikan pada

Tabel 1 Komposisi gizi ikan lele

Zat Gizi

Sumber: Vaas 1956 dalam Astawan 2008

Protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Susunan asam amino esensial ikan lele

Asam amino

Total esensial

Sumber: FAO 1972 dalam Astawan 2008

Protein Ikan

Menurut Hadiwiyoto (1993), protein yang terdapat pada daging ikan, berdasarkan sifat kelarutannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu protein sarkoplasma yang larut dalam air, protein miofibrillar yang larut dalam air garam dan protein stoma yang larut dalam alkali. Jumlah masing-masing kelompok akan berbeda berdasarkan spesiesnya. Lebih jauh lagi jumlah yang dapat diekstraksi bergantung pada proses penghancuran, pencampuran, pH, dan tingkat denaturasi selama penyimpanan dan pengolahan (Sikorski et al. 1990).

Protein sarkoplasma merupakan penamaan terhadap protein yang terdapat dalam sarkolema. Sarkolema merupakan kompleks cairan yang terdapat dalam endomisium yang memisahkan antara satu miofibril dengan miofibril lainnya (Pearrson dan Young 1989). Di samping mengandung asam nukleat, lipoprotein dan darah, kebanyakan protein sarkolema ini merupakan enzim (Sikorski et al. 1990). Pada waktu ikan masih hidup, enzim–enzim tersebut berfungsi dalam sintesa senyawa–senyawa yang diperlukan tubuh. Setelah ikan mati, fungsi enzim–enzim tersebut berubah menjadi perusak tubuh ikan (Hadiwijoyoto 1993). Walaupun tidak lebih rendah nilai gizinya dibanding dengan protein miofibrillar namun karena sifatnya yang dapat merugikan, protein ini dibuang selama penyucian daging lumat pada pembuatan surimi (Suzuki 1991).

Protein miofibrillar adalah protein yang menyusun miofibril dan merupakan unit struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap kontraksi Protein miofibrillar adalah protein yang menyusun miofibril dan merupakan unit struktur dasar yang bertanggung jawab terhadap kontraksi

Residu setelah semua protein sarkoplasma dan miofibrillar diekstrak adalah stroma yang merupakan jaringan pengikat. Komponen stroma terdiri dari kolagen dan elastin (Sikorski et al. 1990). Disamping terdapat dalam urat daging, protein ini terikat juga pada tulang, gigi, jaringan mukosa, lapisan luar organ dalam, dan pada sistem kardiovaskular (Pearson dan Young 1989).

Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Iakn mempunyai nilai biologis yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90% (Adawyah 2007).

Tepung Ikan

Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan mengeringan mekanis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan hal yang menentukan pada proses

Menurut Departemen Perdagangan (1982), tepung ikan memiliki nilai gizi yang tinggi terutama kandungan proteinnya yang kaya akan asam amino essensial, terutama lisin dan metionin. Disamping itu tepung ikan juga kaya akan vitamin B, mineral, serta memiliki kandungan serat yang rendah. Tepung ikan merupakan juga merupakan sumber kalsium (Ca) dan phospor (P). Tepung ikan juga mengandung trace element seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982a).

Usaha pembuatan tepung ikan dapat menggunakan limbah ikan karena relatif murah dan mudah didapat, juga menggunakan peralatan yang sederhana (LIPI 1999). Sebagian produksi tepung ikan dunia digunakan untuk makanan ternak. Karena banyak pabrik tepung ikan dibangun di negara-negara yang telah maju industri perikanannya, biasanya tepung ikan dijual dalam bentuk siap pakai. Tepung ikan yang bermutu baik harus mempunyai sifat-sifat berikut: butiran- butirannya agak seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan dan benda- benda asing lainnya.

Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah pencincangan, pemasakan, pengpresan, pengeringan, dan penggilingan.Tepung ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982a).

Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo processing ) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, lemak, mineral dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermo processing ) (Sunarya 1990). Komposisi kimia tepung ikan juga ditentukan oleh

Menurut LIPI (1999), komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan yang digunakan. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi sebagai berikut:

- air (moisture)

Menurut Moljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Brody di dalam Hapsari (2002) mengatakan kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada kadar air tepung ikan.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tepung-tepung ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat. Tepung ikan juga mengandung trace element, diantaranya Zn, I, Fe, Cu, Mn, dan Co (Moljanto 1982).

Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan protein sebesar 60-65%.

Kedelai

Kedelai (Glysine max (L.) Merr) termasuk ordo Polypetales, famili Leguminosae , sub famili Papilionaceae dan genus Glysin L. (Bunasor 1988). Secara umum, biji kedelai terdiri dari kulit biji (hull) dan dua keping biji (cotyledons). Keping biji merupakan bagian utama biji dan di bagian inilah minyak dan protein kedelai tersimpan. Kulit biji menyatukan kedua keping biji dan sekaligus memberikan perlindungan. Selanjutnya kulit biji dapat dipisahkan dari biji dengan menggunakan prinsip aspirasi.

Matthews (1989), menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya yang tinggi, yaitu 40% dan 21%. Komposisi kimia biji kedelai dan bagiannya diperlihatkan pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3 Komposisi kimia kedelai

Komponen

Komposisi

Kalori (Kal)

Kalsium (mg/100 g)

Fosfor (mg/100 g)

Besi (mg/100 g)

Vitamin A (SI/100 g)

Vitamin B (SI/100 g)

Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI 1972 dalam Koswara 1995

Tabel 4 Komposisi proksimat bagian biji kedelai

Persen berat kering (%bk) Bagian biji

Proporsi berat biji

Karbohidrat Abu Kotiledon

Protein

Lemak

90 43 32 43 5 Kulit biji

8 9 86 86 4.3 Hipokotil

2 1 43 43 4.4 Sumber: Cheftel et al. 1985

Citarasa langu (beany flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha introduksi makanan asal kedelai. Menurut Wilkens et al., (1967) fenomena ini timbul disebabkan oleh adanya reaksi enzim lipoksigenase yang dapat menghidrolisa asam lemak tidak jenuh menghasilkan senyawa volatil. Kelanguan pada kedelai timbul bila terdapat tiga kondisi yaitu adanya air, udara, dan sel kedelai yang pecah. Untuk mencegah senyawa volatil tersebut Spata et al., (1974) melakukan inaktivasi enzim lipoksigenase secara in situ dengan perendaman dan perebusan yang disebut parboiling. Aktivitas enzim ini juga terhambat pada pH rendah, sehingga bila kedelai digiling pada pH rendah lipoksigenase tidak dapat mengkatalisa oksidasi asam tidak jenuh ganda (PUFA) sehingga pembentukkan senyawa volatil menjadi terhambat. Usaha lain untuk mendapatkan produk kedelai yang bebas langu ialah mengekstrak semua lipid yang terkandung pada kedelai. Akan tetapi hal ini tidak mudah sebab walaupun Citarasa langu (beany flavor) merupakan hambatan utama dalam usaha introduksi makanan asal kedelai. Menurut Wilkens et al., (1967) fenomena ini timbul disebabkan oleh adanya reaksi enzim lipoksigenase yang dapat menghidrolisa asam lemak tidak jenuh menghasilkan senyawa volatil. Kelanguan pada kedelai timbul bila terdapat tiga kondisi yaitu adanya air, udara, dan sel kedelai yang pecah. Untuk mencegah senyawa volatil tersebut Spata et al., (1974) melakukan inaktivasi enzim lipoksigenase secara in situ dengan perendaman dan perebusan yang disebut parboiling. Aktivitas enzim ini juga terhambat pada pH rendah, sehingga bila kedelai digiling pada pH rendah lipoksigenase tidak dapat mengkatalisa oksidasi asam tidak jenuh ganda (PUFA) sehingga pembentukkan senyawa volatil menjadi terhambat. Usaha lain untuk mendapatkan produk kedelai yang bebas langu ialah mengekstrak semua lipid yang terkandung pada kedelai. Akan tetapi hal ini tidak mudah sebab walaupun

Isolat Protein Kedelai

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai. Isolat protein kedelai dapat dibuat dari tepung kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Isolat protein baik sekali digunakan dalam formulasi makanan, karena dapat berfungsi sebagai pengikat dan pengemulsi Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat additif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, serta flavor produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti, dan biscuit (Koswara 1995).

Protein kedelai dapat membantu pembentukan emulsi minyak dalam air dan bila emulsi ini telah terbentuk, protein kedelai akan menstabilkanya. Stabilitas emulsi penting, karena emulsifier yang baik tergantung kemampuannya memelihara sistem emulsi pada saat mengalami pemanasan atau pemasakan. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada sosis, produk bakery , dan sup (Koswara 1995).

Isolat protein kedelai mempunyai kemampuan dalam menyerap lemak atau minyak. Kemampuan ini digunakan untuk dua tujuan. Pertama, untuk meningkatkan penyerapan lemak hingga dapat mengurangi kehilangan sari karena pemasakan dan menjaga stabilitas dimensinya. Tujuan kedua adalah untuk mencegah penyerapan minyak yang berlebihan. Hal ini disebabkan isolat protein kedelai dapat terdenaturasi oleh panas membentuk semacam lapisan (coating) pada permukaan bahan sehingga menghalangi penetrasi lemak (Koswara 1995).

Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods) Isolat protein kedelai juga memiliki kemampuan daya serap air yang tinggi. Hal ini disebabkan protein kedelai bersifat hidrofilik (suka air) dan mempunyai celah-celah polar seperti gugus karboksil dan amino yang dapat mengion. Adanya kemampuan mengion ini menyebabkan daya serap air isolat protein kedelai dipengaruhi oleh pH makanan. Daya serap air isolat protein kedelai sangat penting peranannya dalam makanan panggang (baked goods)

Protein

Protein adalah molekul makro yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat gizi, dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul esensial untuk kehidupan. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino, tang terikat satu sama lain dalam ikatan peptide. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan nitrogen; beberapa asam amino disamping itu mengandung unsur-unsur fosfor, besi, iodium, dan kobalt. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein, karena terdapat didalam semua protein akan tetapi tidak terdapat didalam karbohidrat dan lemak (Almatsier 2003).

Menurut Lehningher (1992), secara umum tingkat organisasi protein dikategorikan dalam empat kelas, yaitu :

1. Struktur primer. Ini adalah urutan asam amino dalam rantai polipeptida dan letak suatu jembatan disulfida di dalam rantai protein. Struktur protein diselenggarakan ikatan-ikatan peptida yang kovalen.

2. Struktur sekunder. Hal ini mengacu pada banyaknya struktur ά-heliks atau lembaran berlipatan- β setempat yang beraturan dan berhubungan dengan struktur protein secara keseluruhan. Struktur sekunder protein diselenggarakan oleh ikatan hidrogen dengan oksigen karbonil dan nitrogen amida dari rantai polipeptida.

3. Struktur tersier. Hal ini mengacu pada cara protein globolar dilekuk dan dilipat untuk membentuk struktur tiga dimensi. Struktur tersier diselenggrakan oleh interaksi antara gugus-gugus R dari asam amino.

4. Struktur kuarterner. Banyak protein yang terdiri dari oligomeratau molekul besar terbentuk dari pengumpulan khas dari subsatuan yang identik atau berlainan yang dikenal dengan protomer. Penyusunan protomer dalam protein oligomer merupakan struktur kuarterner. Protein yang memiliki bobot molekul lebih dari 50.000 sering terkait dua atau lebih rantai polipeptida, misalnya hemoglobin.

Mutu Protein

Menurut Almatsier (2003) mutu protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplet atau protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Semua protein hewani, kecuali gelatin merupakan protein komplit.

Protein tidak komplit, atau protein bermutu rendah adalah protein yang tidak mengandung atau mengandung dalam jumlah kurang satu atau lebih asam amino esensial. Sebagian besar protein nabati kecuali kacang kedelai dan kacang-kacangan lain merupakan protein tidak komplit.

Daya Cerna Protein

Nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh. Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat berupa ikatan antar molekul protein, ikatan protein-fitat, dan sebaginya. Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989).

Adapun mutu cerna protein dari beberapa protein pangan pada manusia disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Mutu cerna protein beberapa protein pangan pada manusia Sumber Protein

Mutu Cerna (%) Telur

Mutu Cerna (%)

Sumber Protein

95 Daging, ikan

97 Susu, keju

88 Kacang tanah

94 Rice (polished)

86 Jagung, sereal

94 Tepung kedelai

78 Millet

70 Beans

95 Wheat whole

79 Isolat protein kedelai

86 Wheat flour, white

86 Oatmeal

99 Rice cereal

96 Gluten gandum

77 Maize

75 Wheat,cereal

88 Sumber : FAO/WHO/UNU 1995

85 Peas

Mutu cerna protein hewani seperti daging, ikan dan susu umumnya sekitar 90-100%, karena proteinya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan mutu cerna bahan pangan nabati seperti sayuran antara 60-80%. Perbedaan ini bukan Mutu cerna protein hewani seperti daging, ikan dan susu umumnya sekitar 90-100%, karena proteinya mudah dicerna oleh tubuh, sedangkan mutu cerna bahan pangan nabati seperti sayuran antara 60-80%. Perbedaan ini bukan

Makanan Balita

Menurut Khomsan (2004) bayi sampai anak berusia 5 tahun yang lazim disebut balita termasuk sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan zat gizi termasuk KEP. Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kurang pangan dan keaparan sehingga upaya penangulangannya memerlukan pendekatan. Salah satunya adalah dengan memperbaiki aspek makanan.

Menurut Wiyati (2004), anak balita atau disebut juga anak prasekolah adalah anak-anak yang berumur di bawah 5 tahun. Anak balita merupakan salah satu sasaran utama program gizi. Sejak usia tertentu, disamping ASI (air susu ibu) anak balita juga diberi makanan tambahan. Makanan tambahan adalah makanan yang diberikan untuk membantu mencukupi kebutuhan akan zat gizi yang diperlukan. Agar dapat memenuhi fungsinya, makanan tambahan bermutu baik (Hermana 1985 dalam Wiyati 2004).

FAO/WHO (1994) telah menerbitkan petunjuk mengenai pengembangan formula makanan bagi anak balita. Disebutkan bahwa energi yang dapat disajikan tiap 100 gram produk, minimal sebanyak 400 Kal. Komposisi zat gizi dari formula makanan tambahan untuk anak balita dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Komposisi zat gizi formula makanan tambahan

Zat Gizi

Jumlah per 100 g

Energi (kal)

Protein (g)

Lemak (g)

10-25

Vitamin A (μg RE)

Vitamin D (μg)

Vitamin E (mg)

Vitamin C (mg)

Tiamin (mg)

Riboflavin (mg)

Niasin (mg)

Vitamin B6 (μg)

Asam Folat (μg)

Vitamin B12 (μg)

Kalsium (mg)

Besi (mg)

Zink (mg)

Sumber: FAO/WHO 1994 Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat meningkat pula kebutuhan akan zat-zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angka Sumber: FAO/WHO 1994 Semakin meningkat usia anak balita, semakin meningkat meningkat pula kebutuhan akan zat-zat gizi yang harus tersedia dalam makanan. Angka

Tabel 7 Angka kecukupan zat gizi rata-rata yang dianjurkan untuk bayi dan anak

balita (per orang per hari) Golongan Umur

1-3 tahun 4-6 tahun Berat Badan (kg)

0-6 bulan

7-11 bulan

6.0 8.5 12 18 Tinggi Badan (cm)

60 71 90 110 Energi (kkal)

1000 1550 Protein (g)

10 16 25 39 Vitamin A (RE, μg)

400 450 Tiamin (mg)

0.2 0.4 0.5 0.8 Riboflavin (mg)

0.3 0.4 0.5 0.6 Piridoksin (mg)

0.1 0.3 0.5 0.6 Niacin (mg)

2 4 6 8 Vitamin B12 (mg)

0.4 0.5 0.9 1.2 Asam Folat (mg)

65 80 150 200 Vitamin C (mg)

40 50 40 45 Kalsium (mg)

500 500 Fosfor (mg)

400 400 Besi (mg)

0.3 10 7 8 Seng (mg)

5.5 7.5 8.2 9.7 Iodium (μg)

90 120 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII 2004

Biskuit

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan sampai kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Biskuit dapat dikarakterisasi dari tingginya kandungan gula dan shortening serta rendahnya kandungan air di dalam adonan (Faridi dan Faubion 1990).

Biskuit yang baik harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan SNI 01- 2973-1992 seperti yang terdapat pada tabel 8. Selain itu biskuit umumnya berwarna cokelat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan kuran seragam, kering, renyah dan ringan serta aroma yang menyenangkan (Matz dan Matz 1978).

Tabel 8 Syarat mutu biskuit

Komponen

Syarat Mutu

Logam Berbahaya

Negatif

Serat Kasar

Maksimum 0.5%

Kalori (per 100 gr)

Minimum 400

Jenis Tepung

Terigu

Bau dan Rasa

Normal, tidak tengik

Warna

Normal

Sumber: Standar Nasional Indonesia 1992

Menurut Manley (1983), biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat, yaitu: (1) tekstur dan kekerasan; (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan; (3) ekstensibilitas adonan; dan (4) pembentukan produk. Biskuit digolongkan juga menurut sifat adonannya, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat shortening efek dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Sunaryo 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%, contohnya adalah biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit jahe, biskuit buah, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan gula, garam, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh bagian adonan. Mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya adalah biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi produk akhir memiliki kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contohnya adalah biskuit krekers (Sunaryo 1985).

Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang Bahan baku utama untuk pembuatan biskuit adalah terigu, gula, minyak dan lemak, sedangkan bahan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi. Bahan pembentuk biskuit dapat dikelompokan menjadi dua jenis, yaitu bahan pengikat dan bahan perapuh. Bahan pengikat berfungsi membentuk adonan yang

Menurut Veil et al., (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat (Tabel 9).

Tabel 9 Jenis-jenis penyimpangan yang dapat terjadi dan penyebabnya pada pembuatan biskuit

Jenis Penyimpangan

Penyebab Kurang lemak

Keras

Kurang air

Warna pucat

Proporsi bahan kurang tepat Oven kurang panas

Pencampuran tidak rata

Bentuk tidak rata

Penanganan tidak hati-hati Panas tidak merata

Bentuk tidak rata

Warna tidak rata

Panas tidak rata

Hambar Proporsi bahan pembentuk tidak seimbang Keras dan poros

Pencampuran tidak tepat Adonan terlalu keras dan kenyal

Keras dan kering

Penanganan terlalu lama

Sumber: Vail et al. 1978

Bahan Baku Biskuit Tepung . Menurut Sultan (1983), tepung merupakan komponen pembentuk struktur dalam pembuatan biskuit, juga memegang peran penting dalam citarasa. Selainitu menurut Matz dan Matz (1978) tepung terigu juga berfungsi untuk mengikat bahan lain dan mendistribusikannya secara merata. Untuk membuat biskuit yang baik, maka tepung terigu yang paling sesuai adalah tepung terigu lunak dengan kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak terlalu banyak (Vail et al. 1978).