Sifat Organoleptik Biskuit

2. Sifat Organoleptik Biskuit

Pengujian sifat organoleptik digunakan untuk memilih formula terbaik, melihat daya terima serta kesukaan panelis. Sifat organoleptik biskuit diuji sebanyak 2 kali yaitu dengan panelis semi terlatih dan panelis balita.

a. Uji pada Panelis Semi-Terlatih

Data pada Tabel 13 memperlihatkan hasil penerimaan panelis semi- terlatih pada uji organoleptik. Atribut (warna, aroma, tekstur dan rasa) formula F4 merupakan formula yang paling dapat diterima oleh panelis. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antar formula untuk atribut aroma, tetapi untuk atribut warna, tekstur dan rasa terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05).

Tabel 13 Jumlah panelis yang dapat menerima biskuit Formula

Atribut Uji F1 F2 F3 F4

Presentase Σ Σ Presentase Warna

F1 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 5 : 5 : 5 F2 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 7.5 : 2.5 : 5 F3 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 2.5 : 2.5 : 10 F4 = tepung badan ikan : tepung kepala : isolat protein kedelai = 3.5 : 1.5 : 10

Warna memegang peranan penting dalam menentukan penerimaan konsumen karena merupakan kesan pertama yang diperoleh oleh konsumen. Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan produk yang sering menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk secara keseluruhan. Warna biskuit dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam pembuatan biskuit. Pada umumnya warna biskuit berkisar antara warna coklat muda sampai coklat. Warna biskuit pada penelitian ini dipengaruhi oleh penambahan tepung ikan. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut warna adalah formula F2. Menurut uji lanjut Tukey, formula F2 untuk atribut warna tidak berbeda nyata dengan formula F1 pada selang kepercayaan 95%. Hal ini diduga karena pada formula F2 dan formula F1 tepung ikan yang digunakan lebih banyak daripada formula F3 dan F4 yaitu 10% dari jumlah adonan sedangkan pada formula F3 dan F4 tepung ikan yang digunakan adalah 5%. Berdasarkan pengukuran derajat keputihan tepung, tepung ikan mempunyai nilai derajat keputihan yang lebih rendah daripada terigu, berarti semakin banyak penambahan tepung ikan semakin gelap biskuit yang dihasilkan.

Menurut Winarno (1997), aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls lisrik. Aroma juga ikut menentukan penerimaan sebuah produk. Aroma biskuit dipengaruhi oleh bahan- bahan penyusunnya. Data pada Tabel 13 menunjukan penerimaan aroma biskuit untuk semua formula berada diatas 80%, yang berarti mayoritas panelis dapat menerima aroma biskuit. Uji keragaman Kruskal Wallis menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antar formula untuk atribut aroma pada selang kepercayaan 95%. Formula yang mendapat nilai tertinggi untuk atribut aroma adalah formula F4 dimana 96.67% panelis menerima aroma biskuit.

Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2, F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung Atribut tekstur merupakan salah satu atribut yang paling penting dalam penerimaan biskuit. Formula yang memiliki presentase penerimaan paling rendah untuk atribut tekstur adalah formula F1. Berdasarkan uji lanjut Tukey diketahui bahwa formula F1 memiliki perbedaan yang nyata dengan formula F2, F3 dan F4 dengan selang kepercayaan 95%. Formula F1 merupakan formula yang paling banyak menggunakan tepung kepala ikan lele yaitu 5%. Hal ini mengindikasikan adanya kecenderungan seiring penambahan jumlah tepung

Rasa makanan merupakan atribut penilaian makanan yang melibatkan panca indra lidah. Rasa makanan dapat dikenali dibedakan oleh kuncup cecap yang terletak pada papilla. Pada biskuit rasa yang dominan adalah rasa manis. Berdasarkan hasil uji organoleptik formula F1 mempunyai penerimaan atribut rasa yang paling rendah, yaitu sebesar 63.33%, diikuit oleh formula F2 sebesar 76.67%, dan formula F3 sebesar 83.33%. Formula F4 merupakan formula yang dapat diterima oleh seluruh panelis. Seluruh panelis memberikan penilaian 3 dan atau di atas 3 pada rasa formula F4. Menurut hasil uji keragaman Kruskal Wallis, terdapat perbedaan nyata antar formula untuk atribut rasa dengan selang kepercayaan 95%. Uji lanjut Tukay menunjukkan bahwa formula F1 berbeda nyata dengan formula F2 dan F3 dan berbeda nyata dengan formula F4 dengan selang kepercayaan 95%.

Berdasarkan penjabaran diatas dapat diambil kesimpulan bahwa formula F4 merupakan formula yang paling baik penerimaannya dalam semua atribut yang diujikan. Oleh karena itu formula F4 merupakan formula terpilih yang akan dianalisis lebih lanjut. Gambar 14 berikut merupakan gambar biskuit formula F4.

Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4) Gambar 13 Biskuit formula terpilih (F4)

Setelah diperoleh formula terpilih, dilakukan uji kesukaan terhadap anak balita. Menurut Winarno (1987) dalam Muchtadi (1994), salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk menguji apakah suatu formula makanan tambahan untuk anak kecil dapat diterima atau tidak adalah kriteria penerimaan anak. Kriteria penerimaan anak terdiri dari: (1) Jumlah presentase anak yang menolak makanan tambahan harus kurang dari 25% dan (2) anak-anak harus mampu mengkonsumsi makanan tambahan tersebut. Untuk memudahkan penilaian, penilaian dilakukan hanya untuk atribut keseluruhan dan nilai hanya dikategorikan menjadi 3 yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Pengujian dilakukan 2 kali yaitu biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai dan biskuit komersil yang banyak dijual dipasaran sebagai kontrol. Pengujian dilakukan dengan memperlihatkan gambar wajah kepada anak dan setelah anak mencicipi anak diminta untuk memberikan penilaian sesuai gambar sambil diilustrasikan. Lembar pengujian dapat dilihat pada Lampiran 4.

Tabel 14 Rekapitulasi kesukaan biskuit Jenis Biskuit Biskuit Ikan +

Biskuit komersial

Isolat Protein Kedelai

% Suka

26 86.66 26 86.66 Biasa

2 6.66 1 3.33 Tidak Suka

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa jumlah anak yang menyukai biskuit dengan substitusi tepung ikan lele dan isolat protein kedelai sama dengan jumlah anak yang menyukai biskuit komersial, yaitu sebesar 86.66%. Setelah dianalisis menggunakan statistik Paired Samples T-Test tingkat kesukaan anak terhadap biskuit percobaan tidak berbeda nyata dengan biskuit komersial pada taraf signifikansi 5%. Selain itu berdasarkan presentase anak yang menyukai biskuit percobaan (86.66%), maka biskuit percobaan dapat dikatakan sebagai makanan tambahan yang dapat diterima oleh anak.

c. Uji pada Panelis Ibu Balita Uji organoleptik juga dilakukan pada ibu balita terhadap biskuit formula F4. Menurut Winarno (1987) di dalam Muchtadi (2002), makanan tambahan anak kecil dapat dilihat penerimaannya berdasarkan kriteria ibu. Salah satu Kriteria menyebutkan bahwa makanan tambahan anak kecil dapat diterima apabila ibu menyenangi rasa makanan tambahan tersebut. Tabel 15 merupakan presentasi jumlah ibu balita yang menyukai biskuit substitusi (memberikan nilai 4 dan 5). Penilaian diberikan pada 4 aspek yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur biskuit. Tabel 15 Presentasi ibu balita yang menyukai biskuit

Berdasarkan uji dapat dilihat bahwa ibu balita menyukai seluruh atribut biskuit yang diujikan. Hal ini dapat dilihat dari ibu balita yang memberikan penilaian menyukai biskuit substitusi untuk semua atribut berada di kisaran 70- 86.67% dari 30 orang ibu yang menjadi responden. Sehingga berdasarkan kriteria ibu, biskuit substitusi yang dihasilkan dapat diterima sebagai makanan tambahan anak.