Dinamika Demografi

1. Dinamika Demografi

Seiring perkembangan penduduk dunia, jumlah penduduk Indonesia juga mengalami pertambahan. Pada tahun 1930an jumlah penduduk indonesia diperkirakan berjumlah 60 juta jiwa. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1950 jumlah penduduk berkembang menjadi sekitar 77 juta dan ditahun 1980 berdasarkan Sensus Penduduk berjumlah sekitar 147 juta jiwa dan 30 tahun kemudian berdasarkan Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia telah mencapai 237,6 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk Indonesia per tahun pada periode 1971-1980 sebesar 2,32 persen dan angka ini telah turun menjadi 1,34 persen per tahun pada periode 1990-2000. Perubahan kondisi pasca krisis ekonomi di tahun 1999 juga telah berdampak pada pertumbuhan penduduk. Angka pertumbuhan penduduk Indonesia pada periode 2000-2010 meningkat kembali menjadi 1,49 persen per tahun. Kondisi ini tentunya akan sangat berat bagi pemerintah untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk ke depan.

Sumber : Statistik Indonesia 2010, BPS

Gambar 2.1. Perkembangan Jumlah Penduduk Indonesia, 1930 – 2010

Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045

Sumber : Statistik Indonesia 2010, BPS

Berdasarkan berbagai proyeksi penduduk Indonesia 2010-2045, Bila dilihat distribusi penduduk desa-kota, maka terlihat skenario optimis menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia

kecenderungan semakin banyak penduduk yang tinggal di perkotaan. pada tahun 2015 akan mencapai 252,3 juta dengan laju pertumbuhan

Berdasarkan data pada Tabel 2.9 dengan prediksi laju urbanisasi yang penduduk sebesar 1,13 persen, dan pada tahun 2045 diperkirakan

tinggi, maka lebih dari 69 persen penduduk Indonesia akan tinggal akan mencapai 315,3 juta jiwa dengan pertumbuhan sebesar

di perkotaan. Sementara dengan laju prediksi urbanisasi rendah 0,47 persen. Dengan menggunakan skenario moderat, penduduk

sekitar 61 persen penduduk yang tinggal di perkotaan. Dengan Indonesia pada tahun 2015 dan 2045 diperkirakan masing-masing

formasi seperti ini, maka perlu ada perencanaan yang baik dalam mencapai 252,8 juta dan 318 juta jiwa dengan laju pertumbuhan

upaya memacu pembangunan perdesaan yang berbasis pertanian, masing-masing sebesar 1,17 persen dan 0,48 persen. Sementara itu

diperlukan adanya upaya yang dominan untuk menata perpindahan skenario pesimis menghasilkan angka perkiraan jumlah penduduk

penduduk desa ke perkotaan dengan memberikan perhatian yang sebesar 254,4 juta jiwa pada 2015 dan 327,75 juta jiwa pada tahun

besar pada upaya pengembangan agro-industri.

2045 dengan laju pertumbuhan masing-masing sebesar 1,29 persen dan 0,53 persen.

Berdasarkan hasil sensus 2010, terlihat bahwa pada tahun 2010-2040 akan terjadi ledakan penduduk berusia muda di Indonesia atau bonus

Tabel 2.7. Laju Pertumbuhan Penduduk 2015 - 2045 Menurut

demografi. Pada periode bonus demografi itu, Indonesia berada pada

3 Skenario, Metode BPS dan LDUI

“Window of Opportunity” yang nantinya tak akan terulang kembali di

masa depan. Peluang itu dibuktikan ketika Indonesia berada pada

titik terendah akan “Beban Ketergantungan” (Dependency Ratio).

0.84 1.19 0.87 1.23 0.96 1.31 Kondisi ini bisa menjadi peluang yang baik dalam memacu

0.73 1.10 0.75 1.16 0.83 1.26 pertumbuhan disegala bidang melalui ketersediaan tenaga muda

0.63 1.02 0.65 1.09 0.72 1.21 yang terampil. Namun bila tidak dikelola dengan baik, kondisi ini

0.54 0.95 0.56 1.02 0.62 1.17 bisa menjadi bumerang yang justru menghambat pertumbuhan di

segala bidang, terutama di bidang pertanian.

Tabel 2.8. Hasil Proyeksi Indonesia 2015 - 2045 Menurut 3 Skenario,

Tabel 2.9. Proyeksi Jumlah Penduduk Urban dan Rural Menurut 3 skenario Optimis

Metode BPS dan LDUI (dalam Ribuan)

Rendah Tahun

Perkotaan Perdesaan Perkotaan Perdesaan Perkotaan Perdesaan

2. Dinamika persaingan pemanfaatan sumberdaya lahan

tambak, padang rumput, dan lahan sementara tidak diusahakan

dan air

(alang-alang dan semak belukar). Sebagian besar produk pangan

a. Status dan Potensi Penggunaan Lahan Pertanian

utama seperti padi, jagung, kedelai, kacang hijau, ubi jalar, dan tebu dihasilkan dari lahan sawah seluas 7,9 juta ha dan sebagian di lahan

Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar kering atau tegalan seluas 15,6 juta. Namun dari 15,6 juta ha tersebut,

dan belum dimanfaatkan secara optimal. Data Direktorat Jenderal hanya sekitar 5,5 juta hektar yang dimanfaatkan untuk produksi

Pengelolaan Lahan dan Air, Kementerian Pertanian tahun 2006 bahan pangan, dengan produktivitas rata-rata masih di bawah

memperlihatkan bahwa total luas daratan Indonesia sebesar 192 potensi produksinya (Mulyani dan Hidayat, 2010). Sejak tahun 1986

juta ha, terbagi atas 123 juta ha (64,6 persen) kawasan budidaya dan sampai tahun 2006 luas lahan sawah tidak banyak mengalami

67 juta ha sisanya (35,4 persen) merupakan kawasan lindung. Dari perkembangan, bahkan menurun dari 8,5 juta ha pada tahun 1993

total luas kawasan budidaya, yang berpotensi untuk areal pertanian

menjadi 7,9 juta ha pada tahun 2006.

seluas 101 juta ha, meliputi lahan basah 25,6 juta ha, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta ha dan lahan kering tanaman tahunan

Perluasan areal yang pesat terjadi pada perkebunan, yaitu dari 8,77 50,9 juta ha.

juta hektar pada tahun 1986 menjadi 19,3 juta hektar pada tahun 2006. Perluasan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti

Sampai saat ini, dari areal yang berpotensi untuk pertanian, yang kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, dan lada. Perkembangan

sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta ha, luas areal tanam terbesar adalah perkebunan kelapa sawit, yaitu

sehingga masih tersisa 54 juta ha yang berpotensi untuk perluasan dari 593.800 ha pada tahun 1986 menjadi sekitar 6,3 juta ha pada

areal pertanian. Berdasarkan data BPS (2008), total luas lahan tahun 2006. Perluasan areal secara besar-besaran terjadi sejak

pertanian sekitar 70,2 juta ha, yang terdiri dari lahan pekarangan, tahun 1996. Luas lahan perkebunan kakao juga berkembang dari

tegalan/ladang, sawah, perkebunan, tanaman kayu-kayuan, kolam/ 95.200 ha pada tahun 1986 menjadi 1,2 juta ha pada tahun 2006.

Potensi lahan untuk pengembangan pertanian secara biofisik masih cukup luas sekitar 30 juta ha, dimana 10 juta ha di antaranya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan 20 juta ha di kawasan kehutanan (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila dari 10 juta ha lahan yang belum dimanfaatkan itu terdapat lahan dengan vegetasi hutan primer dan kawasan gambut, maka tukar guling bisa dilakukan dengan kawasan kehutanan yang lahannya sesuai untuk pengembangan pertanian di areal 20 juta ha.

b. Struktur Penguasan Tanah dan Alih Fungsi Lahan Pertanian

Salah satu isu penting yang terkait dengan alokasi lahan di Indonesia adalah masalah ketimpangan penguasaan lahan. Menurut data

Badan Pertanahan Nasional (2010), 56 persen aset yang ada di Indonesia, baik berupa properti, tanah, maupun perkebunan, dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Selama tahun 1973 - 2010 telah terjadi peningkatan rasio rata-rata luas lahan yang dikuasai perusahaan perkebunan terhadap rata-rata lahan yang dikuasai petani dari 1.248 menjadi 5.416. Hal ini berarti ketimpangan penguasaan lahan antara kedua kelompok ini meningkat sebanyak 4,3 kali selama 37 tahun terakhir (Pakpahan, 2012).

Kondisi ketimpangan yang tinggi ini telah memicu terjadinya konflik penguasaan lahan di berbagai lokasi di Indonesia. Data Badan Pertanahan Nasional tahun 2012 menunjukkan saat ini ada sekitar 7.491 konflik pertanahan di luar areal kehutanan indonesia yang mencakup areal lebih 600 ribu hektar. Berbagai konflik ini merupakan akumulasi dari konflik yang telah terjadi sejak tahun 70-an. Konflik yang terkait dengan lahan kehutanan angkanya akan lebih besar lagi dan melibatkan banyak petani. Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006, Badan Pertanahan Nasional (BPN) diberi tugas melakukan pengkajian dan penanganan lahan yang bersengketa, terutama yang berada di luar lahan kehutanan. Berbagai konflik pertanahan telah berubah menjadi kerusuhan yang melibatkan masyarakat dan aparat pemerintah. Fenomena ini bila tidak ditangani dengan baik akan menjadi pemicu kerusuhan lainnya di lokasi konflik pertanahan.

Persoalan lain yang terkait dengan keberadaan lahan pertanian, terutama di Jawa adalah persaingan dalam pemanfaatannya. Perkembangan yang pesat industri dan jasa di Jawa, telah mendesak keberadaan lahan pertanian subur. Hasil analisis ekonomi sewa lahan (land rent economics) menunjukkan bahwa rasio land rent pengusahaan lahan untuk usahatani padi dibandingkan dengan penggunaan untuk perumahan dan industri adalah satu berbanding 622 dan 500. Sehingga tanpa campur tangan pemerintah, alokasi lahan untuk kegiatan pertanian akan semakin berkurang karena

proses alih fungsi lahan ke penggunaan yang memiliki ekonomi sewa lahan yang tinggi. Selama tahun 2009-2010 diperkirakan lahan sawah di Jawa berkurang sekitar 50 ribu hektar.

Indonesia merupakan negara laut dengan luas kawasan sekitar 7,7 juta kilometer persegi, terdiri atas 25 % teritorial daratan (1,9 juta km2) dan teritorial laut seluas 75 persen(5,8 juta km2). Jumlah pulau besar dan kecil mencapai 17.548 buah, dengan keseluruhan garis pantai sepanjang 80.791 km. Potensi untuk usaha budidaya perikanan di Indonesia sekitar 15,59 juta hektar yang terdiri dari budidaya air tawar seluas 2,23 juta hektar, payau 1,22 juta hektar dan budidaya laut 12,14 juta hektar. Dari seluruh potensi tersebut tingkat pemanfaatannya baru sekitar 10,01 % untuk budidaya air tawar, 40 % budidaya air payau, dan 0,01% budidaya air laut. Laju pertumbuhan produksi perikanan nasional selama tahun 2006-2010 rata-rata 9,68% dengan sumbangan terbesar berasal dari usaha budidaya 19,56% dan perikanan tangkap 2,78%. Selama tahun 2010 produksi perikanan Indonesia mencapai 10,83 juta ton, ditargetkan pada tahun 2014 produksi perikanan Indonesia sekitar 22,39 juta ton.

c. Distribusi dan Aksesibilitas Pemanfaatan Sumberdaya Air

Ketersediaan sumberdaya air nasional (annual water resources, AWR) masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Sebaliknya di sebagian besar wilayah timur yang radiasinya melimpah, curah hujan rendah (<1500 mm per tahun) yang hanya terdistribusi selama 3-4 bulan. Total pasokan atau ketersediaan air wilayah (air permukaan dan air bumi) di seluruh Indonesia adalah 2110 mm per tahun setara dengan

127.775 m 3 per detik (Pawitan, et al., 1996; Las, Pawitan, Sarnita, 1998). Berdasarkan analisis “water-demand-supply 2020” oleh International Water Management Institute (IWMI), Indonesia dikategorikan sebagai negara kelompok 3 berdasarkan kebutuhan dan potensi sumberdaya airnya yang membutuhkan pengembangan sumberdaya 25-100 persen dibanding saat ini (Seckler et al., 1998).

Tabel 2.10. Total Air Tersedia Menurut Wilayah/Kepulauan di Indonesia

34 persen, sedangkan Kalimantan dan Maluku-Papua masing-masing

Curah

Keb. Air

hanya membutuhkan 2,3 persen dan 1,8 persen dari total air tersedia

Wilayah/ Luas

Hujan

Total Air Tersedia

Irigasi

Pulau

saat ini.

(Km2)

(mm/th)

(mm/th)

(m3/det)

Ke depan perlu ada upaya yang bersifat antisipasi terhadap fenomena

kelangkaan sumberdaya air yang disebabkan karena kerusakan

Bali & Nt 87.939

lingkungan ataupun karena persoalan pengelolaan sumberdaya air

yang tidak baik. Selain itu perlu terus dikembangkan sumber baku

Maluku/Irja 499.300

air yang berasal dari air laut atau sumber lain yang selama ini belum

dimanfaatkan dengan baik.

Sumber: Ritung et al. (2009)