Eksistensi Kesenian Dolalak Sebagai Identitas Kebudayaan Daerah Kabupaten Purworejo

1. Eksistensi Kesenian Dolalak Sebagai Identitas Kebudayaan Daerah Kabupaten Purworejo

Menurut Koentjaraningrat (2005:19), kebudayaan (dalam arti kesenian) adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan panca inderanya (yaitu penglihat, penghirup, pengecap, perasa, dan pendengar). Di dalam sebuah kebudayaan memiliki tujuh unsur kebudayaan yang mutlak ada dalam kehidupan masyarakat. Salah satuya yaitu seni/kesenian.

Menurut Suwaji Bastomi secara singkat dalam bukunya yang berjudul “Apresiasi Kesenian Tradisional” mengemukakan bahwa seni menunjukkan

gambaran tentang keadaan penciptanya, masyarakatnya, dan bangsanya (1988:6). Jadi seni merupakan pernyataan tentang keadaan batin pencipta, seni dapat dijadikan sebagai ungkapan batin yang dinyatakan dalam bentuk rupa, gerak, nada, sastra atau bentuk-bentuk lain yang mempesonakan penciptanya sendiri maupun orang lain yang dapat menerimanya. Seni juga merupakan lambang atau simbol sesuatu menurut subjektifitas pencipta yang objektif.

Selain itu ia juga mengemukakan bahwa, “suatu kesenian dikatakan sebagai suatu identitas di suatu daerah jika seni itu lahir di tengah-tengah masyarakat yang sifatnya kerakyatan tanpa diketahui seseorang sebagai penciptanya. ” (Suwaji Bastomi, 1988:8). Dalam teori identitas Stuart Hall (1994), identitas merupakan sesuatu yang bersifat imajiner atau diimajinasikan tentang keutuhannya. Identitas muncul bukan dari kepenuhannya yang berasal dari dalam diri secara individual, melainkan mencuat akibat perasaan timpang yang kemudian diisi oleh kekuatan dari luar setiap individu. Identitas adalah suatu imajinasi yang lahir ketika kita dipandang berbeda oleh pihak lainnya.

Berbicara menngenai identitas suatu daerah, kesenian Dolalak merupakan salah satu identitas kebudayaan daerah di Purworejo khususnya bagi Desa Mlaran, Kecamatan Gebang. Hal ini dapat dilihat dari sejarahnya yang lahir di Desa Mlaran, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Kesenian ini

commit to user

tengah masyarakat Purworejo pada umumnya yang sifatnya kerakyatan tanpa diketahui seseorang sebagai penciptanya. Meskipun sudah divariasi dan diadaptasi dengan dunia modern saat ini, namun kesenian ini masih memengang keasliaan dari ciri khas dan inti yang terkandung di dalamnya. Misalnya saja lagu yang dibawakan untuk kesenian Dolalak ini sajaknya yang masih sama seperti dahulu dan bentuknya pun masih berupa pantun yang berisi nasihat dan pesan-pesan hidup lainnya. Dari segi pakaian penarinya pun masih sama, yaitu menggunakan seragam hitan seperti serdadu Belanda disertai topi pet dan kaos kaki panjang, serta yang sangat identik dengan kacamata yang dipakai penarinya pada saat mengalami trance.

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Irwan Abdullah dalam bukunya yang berjudul Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan mengenai fakta kebudayaan.

“ ... Kebudayaan bukanlah suatu warisan yang secara turun temurun dibagi bersama atau dipraktikkan secara kolektif, tetapi menjadi kebudayaan yang lebih bersifat situasional yang keberadaannya tergantung pada karakter kekuasaan dan hubungan-hubungan yang berubah dari waktu ke waktu. Usaha merajut kebudayaan telah berlangsung dalam suatu ruang yang penuh dengan kepentingan para pihak yang turut mengambil bagian dalam proses

itu” (Prof. Dr. Irwan Abdullah, 2006:9-10).

Hal ini sesuai tuntutan kemajuan jaman, kesenian Dolalak agar tetap terjaga keeksiannya juga telah banyak melakukan penambahan-penambahan yang lebih bervariasi. Hasilnya kesenian daerah yang perna h jaya di tahun 90‟an dan juga pernah surut di awal tahun 2000‟an kini bisa bangkit kembali dan mempertahankan keeksisannya sebagai kesenian identitas di Purworejo khususnya Desa Mlaran. Para pelopor kesenian Dolalak tidak mengubah semua bentuk yang ada di kesenian ini, hanya saja mereka menambah beberapa saja untuk menjaga keasliannya. Sebagai contoh, seperti alat musik yang dulunya hanya kentongan, bedug, kendang, dan alat musik tradisional lainnya, sekarang ditambah dengan alat musik keyboard, gitar, dan alat musik modern lainnya. Kemudian untuk lagunya yang dlu hanya berupa sajak pantun saja, sekarang ditambah dengan lagu

commit to user

keinginan penonton agar tidsk cepat bosan dan tetap tertarik untuk melihat bahkan menanggapnya.

Kenyataannya, proses estetisasi dalam kehidupan perkotaan telah menegaskan suatu tranformasi bagi kesenian Dolalak sebagai identitas kebudayaan daerah Purworejo dengan batas-batas kultural yang berubah. Identitas dalam konteks global memiliki corak simbolisasi yang padat dengan nilai estetika yang menggugat nilai-nilai etis dan definisi normatis tentang kebudayaan secara umum. Makna kebudayaan itu sendiri kemudian ditentukan oleh proses diskursif yang dibangun dengan kekuatan yang bervariasi dengan kepentingan yang beragam, karena pusat kekuasaan mengalami gugatan akibat kompetisi yang semakin berat yang melibatkan aktor dan partisipan yang berbeda.

Jadi, jika dikaitkan dengan eksistensi kesenian dolalak sekarang ini, banyak tarian dan lagu-lagu yang dikolaborasikan dengan tarian dan lagu-lagu yang modern dan lebih bersemangat. Goyang-goyang yang erotispun lebih disenangi pada waktu gerakan joged kasaran terutama pada waktu terjadi trance. Hal ini justru mendapat dukungan dari para pelatih kesenian Dolalak generasi penerus yang terdahulu. Mereka tidak takut akan hilangnya keaslian dari kesenian tersebut karena mereka tidak menghilangkan unsur-unsur yang lama, hanya menambah beberapa saja unsur yang baru dan lebih terkini. Hal ini terbukti bahwa kesenian Dolalak khususnya di Desa Mlaran tetap eksis bahkan semakin berkembang degan harapan dapat di kenal di seluruh nusantara dan dapat menjadi kesenian nasional Indonesia.