Status Magersari Dengan Berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.

1. Status Magersari Dengan Berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.

Berlakukannya UUPA meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam mengatur hukum tanah dan sedapat mungkin menghilangkan sifat dualisme sehingga kesatuan hukum dapat terwujud. Bukti dari masih diperlakukannya Hukum Adat sebagai norma hukum dalam Hukum Tanah Nasional terdapat dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum Agraria yang berlaku saat ini adalah Hukum Adat. Pembatasan-pembatasan dilakukan dalam rangka penyempurnaan UUPA sedapat mungkin tidak menghilangkan hukum adat.

Berdasarkan ketentuan Diktum Keempat UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ( UUPA), maka hak keraton Surakarta atas tanah Kasunanan, yang terdiri dari Domein Rijks Surakarta (DRS), Domein Keraton Surakarta (DKS), Sunan grond (SG), tanah leluhur, dan tanah serta bangunan aset Keraton Surakarta yang disewa Belanda. Hanya tanah Domein Rijks Surakarta (DRS) yang sejak berlakunya UUPA menjadi hak milik negara, sedangkan yang lain tetap milik Keraton Surakarta, karena menurut diktum keempat UUPA, setelah berlakunya UUPA tanah swapraja menjadi tanah negara dan hanya tanah Domein Rijks Surakarta (DRS) yang dikuasai oleh rijk kasunanan (swapraja Surakarta). Dalam hal ini tanah magersari merupakan kawasan di daerah Baluwarti sehingga termasuk tanah DKS. Selama ini pemerintah

commit to user

berkaitan dengan Keraton langsung menjadi milik negara.

Tanah Baluwarti merupakan tanah milik Sri Susuhunan, dimana pengelolaannya didelegasikan kepada parentah Keraton Surakarta. Wewenang parentah Keraton Surakarta terhadap tanah Baluwarti adalah :

a. Mengatur dan mengawasi penggunaan tanah.

b. Menggunakan tanah untuk keperluan parentah Keraton Surakarta dalam melaksanakan tugasnya.

c. Memberikan sebagian tanah kepada pihak ketiga dengan hak magersari, hak anggaduh, hak sewa atas bangunan, dan nenggo.

d. Memberikan uang wajib tahunan dan uang sewa. Hak yang terdapat dalam parentah Keraton Surakarta terhadap tanah Baluwarti, antara lain :

a. Hak Magersari adalah hak yang member wewenang kepada abdi dalem untuk mendirikan dan mempunyai rumah di atas tanah pamijem Keraton, dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun.

b. Hak Anggaduh adalah hak yang member wewenang kepada sentono dan abdi dalem tingkat tinggi untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan di atas tanah pamijem Keraton untuk jangka waktu yang tidak terbatas, selama tanahnya dipergunakan untuk tempat tinggal.

c. Hak sewa Atas Bangunan (kontrak) adalah hak abdi dalem untuk menempati ruang atau bangunan yang digunakan untuk rumah tangga, dengan membayar sejumlah uang kepada parentah Keraton Surakarta

sebagai sewa untuk jangka waktu tertentu.

d. Nenggo adalah hak yang member wewenang kepada sentono untuk menempati bangunan di atas tanah pamijem Keraton dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun. (Lego Karjoko, 2009 :45,46)

Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah berklasifikasi tanah magersari yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini, seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak kepemilikannya begitu saja. Namun faktanya, tanah magersari termasuk,

commit to user

Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5).

Peraturan UUPA masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukumnya menjadi tidak jelas. Permasalahan lain yang berkaitan dengan keberadaan tanah magersari adalah adanya perbedaan persepsi mengenai keberadaan tanah magersari itu sendiri. Tanah magersari yang bebas dalam arti tidak sedang digunakan, tidak serta merta dapat diakui sebagai tanah negara. Hal ini membawa konsekuensi bagi pengaturan tanah magersari tidak bisa menggunakan peraturan pertanahan sesuai hukum positif.

Secara yuridis, landasan hukum yang memayungi tanah Keraton Surakarta sebelumnya, yakni Reijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938. Namun tidak berlaku lagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Pada kenyataannya, tanah yang diklaim sebagai tanah keraton adalah sangat luas dan meliputi tanah-tanah di wilayah Kota Surakarta. Tanah-tanah tersebut ada yang sudah bersertifikat hak milik walaupun masih banyak juga yang tidak bersertifikat. Untuk itu,berdasarkan data dan fakta sebelumnya, terdapat tanah-tanah yang masih dikuasai keraton dan tanah- tanah yang sudah bersertifikat secara yuridis dan dipegang oleh perseorangan.

commit to user

magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan perundang- undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan Undang- Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), mengenai pengaturan tanah magersari dianggap tidak ada. Namun uniknya hanya tanah magersari saja yang dapat diberikan atau dibebani hak dan dapat dikuasai oleh pihak lain serta dapat diwariskan.

Ada yang belum selesai sampai sekarang diperdebatkan di wilayah Baluwarti yakni mengenai status tanah Baluwarti sebagai tanah negara atau tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat. Karena status tanah yang jelas akan mempermudah pelaksanaan Palilah Griya Pasiten di lapangan. Menurut Bapak Slamet Rahardjo (salah satu penduduk Baluwarti): “di

Baluwarti ini tidak semua penduduk mengakui kedudukan Keraton Surakarta Hadiningrat sebagai pemilik tanah yang sah. Pendapat yang menganggap bahwa ini tanah pemerintah adalah pendapat yang keliru, dan pada akhirnya malah akan dapat menghancurkan cagar budaya di wilayah Baluwarti Surakarta. Sebab apabila ada pendapat ini merupakan tanah negara maka akan terjadi penyerobotan atau pensertifikatan tanah oleh masyarakat.”

Pendapat yang masih mendua juga membuat Keraton Surakarta Hadiningrat sedikit ragu, sebab apabila akan mulai pendataan akan muncul berita macam-macam di media massa. Mengutip pendapat KP. Edi Wirabhumi, selaku Ketua Lembaga Bantuan Hukum Keraton Surakarta Hadiningrat, menyatakan dengan tegas bahwa : “Sebenarnya hak pengelolaan keraton didasarkan kepada hak adat keraton atas tanah yang dipunyai karaton secara syah sejak berdirinya keraton, bahwa sejarah politik nasional sempat mempengaruhi politik agraria adalah hal yang wajar, tetapi sejarah politik juga berpengaruh pada posisi atau status tanah keraton. Dari sisi pengelolaan juga pasti sangat berpengaruh oleh perubahan tersebut. Keppres Nomor 23 tahun 1988 sebenarnya mengatur tentang pengelolaan keraton dimana untuk pengelolaan keraton dibentuk

commit to user

satu paket yang saling melengkapi, namun pada kenyataan badan pengelola tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jadi pengelolaan tanah keraton seharusnya tidak terpengaruh oleh ketentuan di luar hukum adat.” Dengan melihat pendapat diatas, berarti tidak ada hambatan, apapun bentuknya. Tetapi di lapangan kondisinya berubah, banyak pendapat yang mengatakan tidak sebagaimana mestinya, misalnya tanah di Baluwarti, merupakan tanah negara. Kondisi ini juga berpengaruh pada kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan pemilikan Palilah Griya Pasiten.

Untuk memperoleh izin dalam hal menyewa atau memakai tanah keraton (magersari), terlebih dahulu harus meinta izin kepada Pengageng Pasinten merupakan lembaga adat yang mengurusi pertanahan Keraton Surakarta yang meliputi pengaturan dan perizinan. Tanda bukti izin tersebut berupa pejanjian dikeluarkannya yang di dalamnya memuat klausul bahwa pemegang Magersari dilarang mendirikan bangunan permanen, tanah magersari tidak bisa diperjual belikan, dan bersedia mengembalikan tanah bila sewaktu-waktu diminta. Namun, perizinan dan syarat administrasi tetap tunduk pada aturan pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Kota Surakarta walaupun untuk magersari tidak dimungkinkan mendapatkan sertifikat atas tanah tersebut.

Apabila di lihat dari hukum pertanahan, Palilah Griya Pasiten mengenai magersari menganut asas pemisahan horizontal, berarti benda- benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian tanah yang bersangkutan. Sehingga setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah, tidak sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Dalam penerapannya asas hukum ini tidak mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah, dimungkinkan pula

commit to user

dengan tanah yang bersangkutan Dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masyarakat hukum adat mencakup tanah-tanah di wilayah masyarakat hukum adat tersebut (desa, marga, hutan, dusun) yang meliputi tanah-tanah hak maupun tanah-tanah ulayat yaitu tanah-tanah yang belum dikuasai dan dipergunakan oleh warga setempat. Sejak berlakunya UUPA, sepanjang mengenai tanah-tanah hak secara yuridis dikonversi menjadi salah satu hak baru menurut UUPA, sedangkan terhadap tanah-tanah ulayat termasuk negara yang tercukup dalam lingkup hak bangsa Indonesia atas tanah.

Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang mempunyai hak ulayat, bukan orang-perorangan. Hak ulayat ini disertai wewenang dan kewajiban yang bersifat perdata, yaitu berhubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut dan bersifat publik, yaitu berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan memimpin peruntukan, pengusaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Dalam perpustakaan hukum

adat, hak ulayat disebut dengan nama “beschikkingsrecht”.

Berdasarkan pasal 3 UUPA terhadap hak ulayat yang masih ada diakui eksistensinya oleh UUPA sepanjang hak ulayat itu masih hidup. Sementara itu pelaksanaannya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan UUPA serta kepentingan pembangunan yang diselenggarakan dewasa ini. Sehingga untuk melindungi hak ulayat atau hak masyarakat hukum adat termasuk hak ulayat / tanah adat. Akan tetapi, apabila ditelaah kembali, terdapat ketidakjelasan dalam pengaturan-pengaturan mengenai hak ulayat (tanah adat) tersebut yang menimbulkan berbagai penafsiran yang tidak memadai dengan tujuan perlindungan tanah-tanah hak tersebut. Bahkan dalam impimentasinya ada kelemahan atas ketidak jelasan tersebut

commit to user

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Berdasarkan peraturan UUPA pengaturan mengenai tanah magersari milik Keraton memang tidak ada pengaturannya secara jelas. Sehingga apabila dikaitkan dalam hak-hak atas tanah magersari termasuk hak pakai karena penggunaan hak magersari dalam Keraton Surakarta hampir seperti pengaturan pada hak pakai dalam UUPA pengaturannya dapat ditemui dalam 4 (empat) pasal yaitu pasal 16, pasal 41, pasal 42, dan pasal 43 UU No 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.

Hak pakai merupakan hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun dan pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasaan. Pengertian hak pakai tersebut menjelaskan ada beberapa kemiripan pengaturan hak magersari dalam Keraton Surakarta.

Hak menggunakan dalam pengertian mempergunakan tanah (negara atau orang lain) adalah mendirikan bangunan diatasnya atau untuk kepentingan orang lain. Sedangkan memungut hasil adalah dalam pengertian untuk mendaftarkan suatu hasil. Berdasarkan ketentuan diatas, kewenangan privat yang terdapat pada tanah hak pakai adalah menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau berdasarkan perjanjian pemilik Hak Milik dengan seorang.

Sebenarnya hak pakai merupakan suatu “kumpulan pengertian” daripada hak-hak yang dikenal dalam hukum pertanahan dengan berbagai

nama, yang semuanya dengan sedikit perbedaan berhubung dengan

commit to user

yang mempunyai sebagai yang dimaksud dalam pasal ini. Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam penjelasan umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu nama saja.

Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa dalam Palilah Griya Pasiten mengenai magersari merupakan tanah milik Keraton Surakarta Hadiningrat, sedangkan bangunan rumah milik yang menggadhuh atau magersari. Karena ada larangan dari pihak Keraton Surakarta Hadiningrat untuk memperjualbelikan atau menyewakan kepada pihak lain tanpa ijin dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Maka di dalam praktek rumah itu banyak yang dijual kepada pihak lain, kemudian oleh pihak Keraton Surakarta Hadiningrat dibuatkan surat palilah baru atas nama pembeli rumah atau bangunan.

Dalam Palilah Griya Pasiten hak magersari, Keraton Surakarta Hadiningrat melakukan penyerahan nyata, yakni yang menyewakan Keraton Surakarta Hadiningrat harus melakukan tindakan pengosongan serta menentukan tanah mana yang akan di sewa. Hal ini juga terjadi dalam perjanjian sewa menyewa, pihak yang menyewakan wajib melakukan penyerahan nyata, dari padanya tidak bisa dituntut penyerahan yuridis. Hal ini telah sesuai dengan kedudukan penyewa sebagai pemilik, dan tidak perlu sebagai bezitter. Karena itu tidak diperlukan penyerahan yuridis. Cukup dengan jalan menyerahkan barang di bawah penguasaan si penyewa. Selain itu pihak yang menyewakan harus juga memberikan tanah yang disewakan dalam keadaan baik dan diwajibkan pula memberi ketentraman kepada si penyewa menikmati barang, selama perjanjian berlangsung.

Pihak pemakai tanah magersari harus menjaga kondisi tanah itu tetap baik dan terawat sampai berakhirnya perjanjian sewa menyewa antara Karaton Surakarta Hadiningrat dan pihak yang menggunakan tanah magersari. Adanya perjanjian sewa menyewa menjadikan tanah magersari

commit to user

hak pakai seperti yang diatur dalam UUPA. Dalam hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus, maka disebut tersendiri untuk bangunan-bangunan berhubung dengan ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA. Hak sewa pertanian hanya mempunyai sifat sementara (Pasal 16 jocto 53) UUPA. Negara tidak dapat menyewakan tanah karena negara bukan pemilik tanah.

Berdasarkan fakta-fakta yang terjadi mengacu pada UUPA yang berideologi budaya hukum kekeluargaan dalam memaknai tanah magersari yang termasuk kawasan Baluwarti sebagai tanah negara. Sehingga Pemerintah Kota Surakarta mempunyai keinginan yang kuat atas penguasaan tanah magersari yang termasuk kawasan Baluwarti. Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, tingginya aspirasi Pemerintah Kota Surakarta atas hak atas tanah di kawasan Baluwarti yang termasuk tanah magersari disebabkan oleh pertama prestasi masa lalu Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta yang menyatakan bangunan dan tanah yang berada di Baluwarti dalam pengusaan Pemerintah Republik Indonesia.

Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 mendorong lahirnya Surat Walikota KDH Kotamadya Surakarta tanggal 3 Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 tentang penggunaan atau pengurusan tanah negeri DKS daerah kelurahan Baluwarti. Berdasarkan SK Walikota tersebut, pengurusan tanah Baluwarti diserahkan kepada Dinas Penghasilan Daerah dan terhadap warga Baluwarti yang menggunakan tanah tersebut termasuk tanah magersari dianggap sebagai penyewa tanah kepada pemerintah daerah. Bagi penghuni tanah Baluwarti diwajibkan membuat “perjanjian sementara sewa menyewa tanah yang dikuasai pemerintah daerah kotamadya Surakarta (Lego Karjoko, 2009 :

39) dalam hal ini berlaku juga bagi orang-orang yang menggunakan tanah magersari.

commit to user

Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 telah memunculkan aspirasi Pemerintah Kota Surakarta atas hak atas tanah Baluwarti yang tidak realistis, artinya yang tidak konsisten dengan aspirasi kerabat keraton Surakarta sehingga menimbulkan konflik.

Peraturan perundang-undangan mengenai tanah magersari yang berada di Baluwarti Kota Surakarta dalam keadaan lemah. Menurut Dean

G. Pruitt dan Jeffrey Z Rubin tidak jelas dan tidak rinci UUPA, PP No 224 Tahun 1961 dan Keppres No 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara UUPA dan PP No 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres No

23 Tahun 1988 disisi lain telah mendorong kerabat Keraton Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti khususnya tanah magersari, dimana tidak ada kecocokan dengan cara pandang pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat kawasan Baluwarti (Lego Karjoko, 2009 :46).

Berdasarkan pendapat penulis apabila terjadi ketidak harmonisnya mengenai pengaturan tanah magersari di Keraton Surakarta selain kepada pemerintah Kota Surakarta dan Keraton Surakarta, pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan negara tersebut dapat juga dilakukan kepada apa yang disebut badan-badan otorita, perusahaan-perusahaan negara, dan perusahaan-perusahaan daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu (magersari) dengan apa yang dikenal dengan hak pengelolaan.

Hak pengelolaan merupakan hak mengusai oleh negara yang kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. Pengertian ini dapat diartikan bahwa hak pengelolaan bukan merupakan pelimpahan hak mengusai dari negara. Hak mengusai dari negara tersebut berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di

commit to user

seluruh rakyat. Hak pengelolaan dalam sistematika hak-hak penguasaan atas tanah tidak dimasukkan dalam golongan hak-hak atas tanah. Pemegang hak pengelolaan (Keraton Surakarta) memang mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanah yang diberikan hak bagi keperluan usahanya (sistem pemungutan pajak atau sewa tanah magersari), tetapi itu bukan tujuan pemberian hak tersebut kepadanya. Tujuan utamanya adalah bahwa tanah yang bersangkutan disediakan bagi penggunaan oleh pihak-pihak lain yang memerlukan.

Dalam penyediaan dan pemberian tanah, pemegang hak (Keraton Surakarta) diberi kewenangan untuk melakukan kegiatan yang merupakan sebagian kewenagan negara, misalnya karena Keraton Surakarta termasuk sebagai salah satu cagar budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan oleh Negara. Sehubungan dengan itu hak pengelolaan pada hakikatnya bukan hak atas tanah, melainkan merupakan “gempilan” hak menguasai

oleh Negara. Bagian-bagian tanah hak pengelolaan yang dapat diberikan kepada Keraton Surakarta dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan. Pemberiannya dilakukan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang atas usul pemegang hak pengelolaan yang bersangkutan (Keraton Surakarta). Sebagaimana halnya dengan tanah negara, selama dibebani hak-hak atas tanah tersebut, hak pengelolaan yang bersangkutan tetap berlangsung. Setelah jangka waktu hak pakai atau hak sewa untuk bangunan yang dibebankan itu berakhir, tanah magersari kembali dalam pengusaan sepenuhnya dari pemegang hak pengelolaan (Keraton Surakarta). Hak pengelolaan didaftarkan dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Namun, sebagai “gempilan” hak menguasai dari Negara, tidak dapat dipindahtangankan. Maka, tidak memenuhi syarat untuk dapat dijadikan tanah hak milik perseorangan.

commit to user

Penguasaan Tanah-Tanah Negara menyebutkan bahwa kecuali jika penguasaan tanah negara dengan undang-undang atau peraturan lainnya pada waktu berlakunya peraturan pemerintah ini, telah diserahkan kepada suatu kementerian jawatan atau daerah swatantra, penguasaan atas tanah negara ada pada Mendagri.

Menurut Pasal 3, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974, hak pengelolaan memberi wewenang untuk :

a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;

b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya;

c. Menyerahkan bagian-bagian tanah kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan

keuangannya, dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat- pejabat yang berwenang menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah sesuai dengan peraturan perundangan agrarian yang berlaku.

Adanya hak pengelolaan dalam hukum tanah nasional kita tidak disebut dalam UUPA, tetapi tersirat dalam Penjelasan Umum UUPA yang menyatakan bahwa dengan berpedoman pada tujuan yang disebut diatas, negara dapat memberikan tanah yang demikian (yang dimaksudkan adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lain) kepada seseorang atau badan-badan dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya dengan hak pakai atau hak sewa untuk bangunan memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa (Keraton Surakarta atau Pemerintah Kota Surakarta) untuk dipergunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing (Pasal 2 ayat (4)). Berkaitan dengan hal ini, kekuasaan negara atas tanah-tanah ini pun

commit to user

hukum, sepanjang menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada.

Hak pengelolaan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun; Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemabatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan tentang objek pendaftaran tanah yang meliputi :

a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan dan hak pengelolaan

b. Tanah hak pengelolaan

c. Tanah wakaf

d. Hak milik atas satuan rumah susun

e. Hak tanggungan

f. Tanah negara

Untuk keperluan pendaftaran hak, hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh pejabat yang berwenang. Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah tersebut dan sepanjang ada surat ukurnya dicatat pula pada surat ukur tersebut.

Berdasarkan Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 mendorong lahirnya Surat Walikota KDH Kotamadya Surakarta tanggal 3 Agustus 1967 Nomor 1515/T.6/VIII-67 tentang penggunaan atau pengurusan tanah negeri DKS daerah kelurahan Baluwarti. Berdasarkan SK Walikota tersebut, pengurusan tanah Baluwarti diserahkan kepada Dinas Penghasilan Daerah dan terhadap warga Baluwarti yang menggunakan tanah tersebut termasuk tanah magersari dianggap sebagai penyewa tanah kepada pemerintah daerah.

commit to user

pemerintah kabupaten / kota, perlu kiranya dipahami makna politik pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar, politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi perikehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi interaksi antar individu di daerah.

Dikeluarkan Berdasarkan Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956 bermaksud agar Pemerintah Kota Surakarta menjaga dan melestarikan cagar budaya bangunan dan tanah Keraton Surakarta. Agar tidak diklaim oleh pihak perorangan yang sewenang- wenang. Namun hak pengelolaannya juga berada ditangan Keraton Surakarta karena Keraton Surakarta termasuk hak ulayat. Di dalam UUPA mengenai hak ulayat pun masih diakui eksistensinya agar dilindungi oleh Negara. Diharapkan adanya Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tidak terjadi adanya politik pertanahan dikalangan pemerintah daerah setempat. Dan pemerintah pusat yakni atas nama negara mempercayai pemerintah setempat mengelola tanah dengan baik.

Kenyataan yang menyebabkan bahwa politik pertanahan tidak terlepas dari kerangka penyelenggara pemerintah secara nasional sebagai perwujudan dari negara Kesatuan Republik Indonesia. Perbedaan secara teknis mengingat perbedaan karakteristik pada masing-masing daerah memang dimungkinkan, namun tetap mempertahankan semangat hukum tanah nasional. Di samping itu, tetap dibutuhkan suatu badan yang melakukan supervise terhadap administrasi pertanahan yang dijalankan oleh pemerintah daerah agar sesuai dengan kerangka kebijakan nasional. Hal ini diperlukan agar terciptanya tertib hukum pertanahan, tertib administrasi, tertib pembangunan, tertib pemeliharaan, dan pertimbangan wawasan lingkungan hidup dapat dilaksanakan dengan semestinya.

commit to user