Tinjauan tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta Hadiningrat

4. Tinjauan tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta Hadiningrat

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia menjadikan keadaan berubah dan tunduk pada keputusan bangsa Indonesia yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“The enactment of the Basic Agrarian Law was intended to bridge the gap between „Western‟ law and customary law by providing for

registration of individual land rights while also continuing to recognise customary land law concepts and institutions. The preamble to the BAL states: „agrarian law is dualistic in nature, given that customary law is also

effective in addition to the former legal system, which is based on western law‟. (Glen Wright, 2011 : 125)” terjemahan : Berlakunya Undang-Undang

Pokok Agraria dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan antara hukum nasional dan hukum adat dengan menyediakan pendaftaran hak atas tanah secara individu sehingga mengetahui mengenai konsep-konsep hukum adat tanah dan lembaga. Pembukaan Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan : hukum agrarian bersifat dualistis, mengingat bahwa hukum adat juga masih diakui masyarakat dan berlaku secara efektif sebagai sistem hukum disamping berlakunya juga hukum nasional.

Untuk selanjutnya pengaturan tanah yang merupakan daerah swapraja dalam era kemerdekaan bangsa indonesia adalah sebagai berikut

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang dalam diktum keempat

menetapkan:

a) Hak-hak dan wewenang-wewenang atas tanah dan air dari swapraja atau bekas-bekas swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara.

b) Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan huruf A di atas di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP).

commit to user

Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Undang- undang ini menetapkan bahwa pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan pembayaran ganti kerugian. Undang-undang ini sebenarnya merupakan pengaturan lebih lanjut dalam UUPA. Prinsip ini menetapkan bahwa untuk kepentingan umum, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian yang menetapkan bahwa tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja, yang telah beralih kepada negara sebagai yang dimaksudkan dalam diktum keempat huruf A UUPA, termasuk tanah-tanah yang akan dibagikan menurut peraturan pemerintah tersebut. Di samping itu menetapkan pembagian peruntukkan tanah swapraja dan bekas swapraja, adalah sebagai berikut: sebagian untuk kepentingan pemerintah, sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Berdasarkan ketentuanketentuan peraturan perundang-undangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hak-hak dan wewenang atas tanah Karaton Surakarta Hadiningrat selaku bekas daerah swapraja telah dihapus UUPA. Penghapusan demikian berarti pencabutan hak dan wewenang itu tidak tergantung adanya peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut penghapusan hak dan wewenang tersebut.

Berkaitan dengan penghapusan hak dan wewenang atas tanah itu, berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas, Karaton Surakarta Hadinin grat masih mempunyai dua macam hak, yakni hak pembayaran ganti kerugian atas penghapusan hak tersebut dan hak atas peruntukkan sebagian tanah yang dibagikan dalam rangka pelaksanaan land reform.

Berdasarkan pendapat Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin maka Surat Mendagri Nomor Dox 48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956

commit to user

menimbulkan konflik. Adanya peraturan perundang-undangan mengenai tanah Baluwarti dalam keadaan lemah. Menurut Dean G Pruitt dan Jeffrey Z Rubin tidak jelas dan tidak rincinya Undang- Undang Pokok Agraria, PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 dalam mengatur peralihan bekas tanah Kasunanan dan pembagiannya serta tidak adanya harmonisasi antara Undang-Undang Pokok Agraria dan PP no 38 Tahun 1963 di satu sisi dengan Keppres Nomor 23 Tahun 1988 di sisi lain telah mendorong pemerintah Kota Surakarta membentuk cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai hak atas tanah Baluwarti, yang tidak cocok dengan cara pandang kerabat Keraton Surakarta. (Lego Karjoko, 2009 :39,40)