Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria

2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria

Pembangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya pembentukan hukum nasional tentang tanah, didasarkan atas Hukum adat TAP MPR No.2 Tahun 1960 pasal 4 ayat (3). Negara Republik Indonesia merupakan Negara agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang penting dan urgent. Urgent ini disebabkan karena pada jaman penjajahan, hukum agraria Indonesia bersifat pluralistis, dan kurang memberikan jaminan akan “kepastian

commit to user

hukum” yang dapat menghambat atau merintangi kesatuan bangsa Indonesia.

Secara konstitusional UUD Negara Republik Indonesia 1945 memberikan landasan yang tercantum dalam pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”. Dengan menimbang bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.

Dengan demikian Negara yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, akan menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat untuk melangsungkan kehidupannya. Peraturan yang tertulis ini dimaksudkan agar setiap orang dengan lebih mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang apa serta kewajiban apa yang harus dipenuhi oleh setiap warga masyarakat yang bersangkutan dengan tanah miliknya. Sedangkan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efisien dan effektif bertujuan supaya para pemilik tanah dengan mudah membuktikan hak atas tanah yang dimilikinya.

Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) lahir pada tahun 1960, tepatnya pada tanggal 24 September 1960. Ide pembentukan UUPA lahir karena aspek persatuan dan keseragaman bagi setiap warga Negara. Hukum adat yang berlaku sebelumya dirasakan kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. Dengan berlakunya UUPA maka telah terjadi apa yang dinamakan dengan revolusi hukum agrarian. Karena dengan undang-undang telah terjadi perombakan cepat yang fundamental dan menyeluruh dalam hukum agrarian Indonesia. Kedudukan UUPA adalah sebagai hukum agrarian nasional yang tidak bersifat dualistis, namun berdasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli Indonesia.

commit to user

Pokok Agraria tersebut adalah untuk menjamin kepastian akan tanah-tanah rakyat, yaitu :

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria Nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadaan bagi negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka

mewujutkan masyarakat adil dan makmur.

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Negara mewajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah Bangsa dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong. Hal ini diperkuat dengan dasar hukum yaitu UU No.5 Tahun 1960 UUPA Bab 1 mengenai Dasar- dasar dan ketentuan-ketentuan pokok pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :

1. Atas dasar, ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal

1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2. Hak menguasai dari Negara yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

commit to user

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Unifikasi hukum tanah dalam UUPA melembagakan hak-hak atas tanah sebagai berikut :

a. Hak bangsa yaitu seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. (Pasal 1 ayat (2));

b. Hak menguasai dari negara yaitu bahwa atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu

pada tingkatan tertinggi dikuasai negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.(Pasal 2 ayat (1));

c. Hak ulayat yaitu bahwa hak menguasai dari negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan

masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan- ketentuan Peraturan pemerintah. (Pasal 2 ayat (4));

d. Hak-hak perorangan (Pasal 16), terdiri dari : 1). Hak milik, 2). Hak guna usaha,

3). Hak guna bangunan, 4). Hak pakai, 5). Hak sewa, 6). Hak membuka tanah, 7). Hak memungut hasil hutan, 8). Hak-hak lain yang tidak termasuk hak tersebut di atas yang

ditetapkan dengan UU dan hak-hak yang bersifat sementara sesuai

commit to user

adalah orang dan badan hukum).

e. Hak Tanggungan (UU Nomor 4 Tahun 1996);

Adanya UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme hukum agraria di Negara Indonesia dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang didasarkan atas satu sistem hukum saja, yaitu sistem hukum seperti yang tercantum dalam UUPA yang pada hakekatnya UUPA tersebut bersumber atas hukum asli Indonesia, yaitu hukum Adat. Pengertian hukum adat dalam hal ini hukum adat yang bersifat dinamis. Segala sesuatu yang mengalami perubahan kearah penyempurnaan yang mengacu pada kepentingan yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka keberadaan hak ulayat masyarakat hukum Adat dari waktu ke waktu semakin mengalami penyempitan, bahkan tertutup kemungkinan menjurus kearah hapusnya hak tersebut dari khasanah hukum adat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin cepatnya proses pemudaran hak-hak masyarakat hukum Adat di Jawa Tengah, antara lain :

a. Pengaruh lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK) serta peraturan pelaksanaan ke dua undang-undang tersebut.

b. Paradigma perubahan sosial dan era globalisasi, dan

c. Adanya pembatasan-pembatasan yang diserahkan oleh Negara yaitu kawasan-kawasan hutan tertentu kepada perorangan atau badan hukum

untuk dikelola atau dieksploitasi. Mengenai eksistensi hukum adat di daerah Surakarta, Jawa Tengah dalam kaitannya dengan politik hukum nasional dan pembinaan hukum itu sendiri. Menurut H. Abdurachman : hukum adat di daerah Surakarta termasuk hukum yang hidup (the living law), sehingga pada dasarnya kedudukannya ditentukan sepenuhnya oleh masyarakat di mana hukum itu berlaku. Bila mana masyarakat menyatakan hukum yang bersangkutan masih relevan, mereka akan mempertahankannya apabila mereka

commit to user

sendirinya akan terkesampingkan. Perkembangan zaman sekarang harus menyadari bahwa masyarakat juga hidup dalam suatu ikatan kenegaraan di mana negara juga mempunyai politik hukum yang sifatnya nasional yang dalam beberapa kasus tertentu mungkin berbeda dengan ketentuan hukum Adat yang berlaku secara lokal politik hukum negara yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, berperan mengarahkan perkembangan ketentuan hukum yang berlaku termasuk ketentuan hukum adat yang berlaku secara lokal harus menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan tersebut.

Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kepada unifikasi hukum dan terutama dilakukan melalui pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan, dengan tidak mengabaikan timbul atau tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan dan pengadilan dalam pembinaan hukum.

Pengambilan bahan-bahan dari hukum adat dalam menyusun hukum nasional pada dasarnya berarti penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum Adat untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan masa mendatang dalam rangka pembangunan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penggunaan lembaga-lembaga hukum Adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman tanpa menghilangkan cirri dan sifat kepribadian Indonesia. Dalam memasukkan konsep-konsep dan asas-asas hukum Adat ke dalam lembaga hukum baru dan lembaga-lembaga hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan memperkembangkan hukum nasional agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan mengenai pertanahan jika dikaitan dalam hukum adat memang penting seperti apa

commit to user

menyatakan : Statutory recognition of customary law is critical because customary

governance systems are currently fulfilling a gap in state administration; in many countries, the customary leaders are the only "local authorities" that the poor have genuine access to. As such, many are already fulfilling the roles of community administrator, judge, land allocator and property registrar. While in some contexts these leaders are despotic, unjust or corrupt, in other contexts they do

a fairly good job of resolving conflicts and maintaining peace and equanimity in their communities. For those leaders that govern in bad faith, better integration into the state administrative system can help to limit the injustices they perpetuate, and for those leaders that govern well, their efforts can help to streamline the two legal systems into a more coherent whole. Rather than marginalize customary governance structures on the grounds that they are outdated or oppressive, governments should identify and leverage the best parts of custom and integrate customary systems as partners in effective, decentralized local governance.( Robert Garran, 2008 : 75).

Terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum adat, maka kedudukan dan peranan hukum adat itu telah terserap di dalam hukum nasional. Mengenai pengertian hukum nasional menurut Sunaryati Hartono menjelaskan : “ Pengertian hukum nasional dipakai dalam arti yang berbeda dengan pengertian hukum positif, tetapi lebih mengandung arti ius constituendum Indonesia atau sistem hukum yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia yang memplokamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Karena suatu sistem selalu terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan dan pengaruh mempengaruhi lagi pula terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu, maka sistem hukum terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang sebagian saat ini sudah berfungsi tetapi sebagian besar masih harus diciptakan.

Memahami sistem hukum nasional dalam prespektif politik hukum nasional maka berlakulah hukum adat disamping hukum nasional yang merupakan persoalan tersendiri yang tidak sederhana sebab dalam konsep negara kesatuan maka diperlukan hanya satu sistem hukum yang berlaku secara nasional. Dalam politik hukum diupayakan secara berangsur-angsur hukum adat diserap ke dalam sistem hukum nasional atau lebih tegas lagi

commit to user

undangan. Adanya UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme hukum agraria di Negara Indonesia dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang didasarkan atas satu sistem hukum saja, yaitu sistem hukum seperti yang tercantum dalam UUPA.

Pelaksanaan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria keadaan menunjukkan masih terdapat kendala, khususnya yang berkaitan dengan tanah-tanah swapraja atau bekas swapraja. Dalam hal ini, Parentah Keraton Surakarta secara de facto masih berdiri, sementara peraturan pemerintah yang berkaitan dengan tanah swapraja dan tanah-tanah bekas swapraja sebagaimana dimaksud dalam dictum keempat UUPA hingga saat ini belum ada sehingga perbedaan pendapat antara Parentah Keraton Surakarta dan Pemerintah Republik Indonesia mengenai tanah milik Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepadaa pemerintah masih terjadi.

Menurut Umar S Kusumaharyono, sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 pemerintah Kasunanan berakhir, namun dalam lingkungan Keraton Surakarta masih terselenggara suatu pemerintahan intern keraton yang disebut “Parentah Keraton Surakarta”, kemudian timbul perbedaan pendapat antara pemerintah Republik Indonesia dengan Parentah Keraton Surakarta mengenai hak atas tanah milik Parentah Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepada pemerintah Republik Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut dapat terlihat dari kutipan surat Kementerian Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah di Semarang, No.Des X/48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta (di Baluwarti). Di dalam surat tersebut Menteri Dalam Negeri tidak dapat menyetujui anggapan Parentah Keraton Surakarta tentang adanya tiga macam milik pada masa swapraja. Parentah Keraton Surakarta menganggap ada tiga macam milik, yaitu :

commit to user

a. Milik Kasunanan

b. Milik Keraton

c. Milik Sunan Prive Parentah Keraton Surakarta berpendapat bahwa setelah Negara

Indonesia merdeka, hanya milik Keraton Kasunanan Surakarta (Rijk Surakarta) saja yang beralih kepada kekuasaan Negara Republik Indonesia. Tanah magersari yang keberadaannya berada di kelurahan

Baluwarti termasuk tanah “milik” Keraton, sehingga pengurusannya tidak termasuk kekuasaan pemerintah Kota Surakarta. Sementara Menteri Dalam Negeri pada saat itu berpendapat bahwa berdasarkan kontrak politik Kasunanan (L.N. 1939 Nomor 614) Pasal 10 serta penjelasannya, dalam Pasal 10 ayat (1) mencantumkan perincian yang termasuk Bezitting Van Soenansat (Hak Milik Kasunanan) yang merupakan milik pribadi Soesoehoenan. Sehingga hanya terdapat 2 macam milik yaitu Milik Kasunanan dan milik Sunan prive. Gedung-gedung serta tanah-tanah disekelilingnya (tanah-tanah yang pada hakikatnya disebut dengan

“magersari” termasuk barang-barang milik Keraton Surakarta. Dengan demikian maka dapat disimpulkan menurut Menteri Dalam Negeri,

gedung-gedung istana dan tanah-tanah disekelilingnya termasuk kekuasaan Negara RI, sehingga tanah magersari yang berada di kelurahan Baluwarti adalah tanah negara.