ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh ARDANI NIRWESTHI NIM. E 0008287 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2012

commit to user

ii

Penulisan Hukum (Skripsi) ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

Oleh ARDANI NIRWESTHI NIM. E 0008287

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Juni 2012

Dosen Pembimbing

Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. NIP. 195602121985031004

commit to user

iii

Penulisan Hukum (Skripsi) ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI

Oleh ARDANI NIRWESTHI NIM. E 0008287

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada :

Hari

: Kamis

Tanggal : 19 Juli 2012

DEWAN PENGUJI

1. Lego Karjoko, S.H.,M.H. : ……………………………………… Ketua

2. Purwono Sungkowo Raharjo, S.H. : ……………………………………… Sekretaris

3. Pius Triwahyudi, S.H.,M.Si. : ……………………………………… Anggota

Mengetahui Dekan,

Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.

NIP. 19570203 1985032001

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Ardani Nirwesthi NIM : E 0008287

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, Juni 2012 Yang membuat pernyataan

Ardani Nirwesthi NIM. E 0008287

commit to user

ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. ASPEK HUKUM MAGERSARI

DAN

IMPLIKASINYA

TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG YANG MAGERSARI. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan mengetahui implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari.

Penulisan hukum ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang digunakan adalah jenis bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis bahan hukum menggunakan interpretasi dengan menemukan hukum yang memberikan penjelasan yang gambling mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa hukum sehingga memperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasulkan kesimpulan. Kesatu Kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional, zaman penjajahan tanah Keraton Surakarta diatur didalam Rijkblad Surakarta Nomor 14 Tahun 1938 kekuasaan penuh mengelola tanah Keraton mengenai tanah magersari dikelola sendiri oleh Keraton Surakarta. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 khusus pembentukan hukum nasional tentang tanah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945. Hukum adat yang berlaku kurang bisa mengintegrasikan masyarakat sebagai satu kesatuan nasional. UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) memberikan kepastian hukum tanah yang dualisme dan pluralisme. Ketentuan tersebut menjadikan tanah Keraton yang termasuk tanah magersari menjadi milik negara. Kedua, bahwa implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari didalam UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) masih belum cukup untuk mengatur keberadaan tanah magersari di Kota Surakarta sehingga kepastian hukum menjadi tidak jelas. Permasalahan ketidak harmonisnya mengenai pemegang hak pengelolaan tanah magersari antara pemerintah Kota Surakarta atau Keraton Surakarta, sehingga adanya pajak berganda, yaitu pajak PBB dan uang sewa atau duduk lumpur yang harus ditanggung oleh warga Baluwarti. Pajak PBB untuk pemerintah Kota Surakarta dan uang sewa atau duduk lumpur untuk Keraton Surakarta. Pengaturan tanah magersari belum jelas menjadikan orang yang magersari menjadi kesewenang-wenangan melakukan kecurangan menempati tanah magersari bukan abdi dalem Keraton Surakarta, dan diketemukan warga yang tidak punya Palilah Griya Pasiten maka tidak membayar yang ditarik oleh Negara. Oleh karena itu diharapkan adanya peraturan yang jelas dari pemerintah mengenai pengelolaan tanah magersari di Keraton Surakarta. Kata kunci : aspek hukum magersari, Keraton Surakarta dan orang yang magersari

ABSTRACT

commit to user

vi

ARDANI NIRWESTHI, E 0008287, 2012. LEGAL ASPECT OF MAGERSARI AND THE IMPLICATION TO SURAKARTA PALACE AND THOSE UNDERTAKING MAGERSARI. Faculty of Law of Sebelas Maret University.

This research aims to find out the legal position of magersari in the national legal system and to find out the implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position as magersari.

This writing was a normative law research that was prescriptive in nature. The approach used was statute, case, and conceptual approaches. The types of law material used were primary and secondary law materials. Technique of collecting law material used was interpretation by looking for law giving the most vivid explanation about legislation text so that the norm scope can be defined relating to the law event to obtain the answer to the problem raised.

Based on the result of research and discussion, the following conclusion could be drawn. Firstly, the legal position of magersari about the Surakarta Pal ace’s land in the national legal system had been governed in colonial age in Rijkblad Surakarta Number 14 of 1938 stating that the full authority of managing

the Palace’s land on magersari land is held by the Surakarta Palace itself. After Indonesia’s independency on August 17, 1945 particularly the establishment of national legislation about land was governed in the article 33 clause (3) of RI’s 1945 Constitution. The customary law enacted could integrate inadequately the society as a national unity. The Act Number 5 of 1960 (UUPA) gave law certainty

about the land with dualism and pluralism. Such the provision made the Palace’s land including into magersari land belonged to the state. Secondly, the

implication of national legal system to the Surakarta Palace as the landowner and those in position of magersari in Act No.5 of 1960 (UUPA) still inadequately governed the existence of magersari land in Surakarta City so that the law certainty became vague. The problem of disharmony of magersari land management right holder between the Surakarta City Government and the Surakarta Palace, resulted in double tax, namely Land and Building Tax (PBB) and lease cost or duduk Lumpur the Baluwarti people should assume. Land and Building Tax for Surakarta city and lease tenant or duduk Lumpur for Surakarta Palace. The magersari land regulation had not been clear yet making those who performed magersari misused the land arbitrarily by occupying the magersari land not belonging to the Surakarta Palace’s abdi dalem (servant), and some people were found having no Palilah Griya Pasiten so that they did not pay the billing from the state. For that reason, it is expected a clear regulation from the government concerning the management of magersari land in Surakarta Palace.

Keywords: legal aspect of magersari, Surakarta Palace and those undertaking magersari

commit to user

vii

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya” (QS. Al Baqarah: 286)

“Ketahuilah, bahwa kehidupan di dunia itu merupakan roda perputaran masa yang berubah berganti, apabila engkau memiliki watak tawakal dan ikhlas dengan apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadamu, engkau akan menjadi orang yang paling kaya di antara para manusia ”

(Sasangka Jati)

“Mereka yang berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa lalu, mereka yang tak pernah berhenti belajar adalah mereka si pemilik masa depan”

(Mario Teguh)

“Meninggal dunia itu pasti dan Hidup di dunia itu tidak pasti karena hidup di dunia hanya sementara maka janganlah lekat dengan keduniawian ”

(Ardani Nirwesthi)

“Ulat Sumeh Gawe Renaning Wong Akeh” (Ardani Nirwesthi)

commit to user

viii

Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan hukum ini, penulis beri judul “Aspek Hukum Magersari dan Implikasinya Terhadap Keraton Surakarta dan Orang yang Magersari ”.

Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah memberi bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu imateriil selama penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada :

1. ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam setiap langkah dan mencari ridho-Nya.

2. Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk penulis dalam menjalani kehidupan.

3. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Ibu Wida Astuti, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis.

5. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing Penulisan Hukum (Skripsi).

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas segala dedikasinya selama Penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

7. Ayahanda Mayor (Tek) Djoko Widodo dan Ibunda Enie Jatmikaningtyastuti, S.Pd., M.Pd, yang menjadi sumber inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri

penulis. Terima kasih untuk kasih sayang, doa serta segenap pengertian, dukungan dan kepercayaan yang telah engkau berikan.

commit to user

ix

8. Kedua kakakku Serka Dona Ifi Kharisma, S.E., M.M beserta istrinya, dan Lettu Denni Aristia Adi, S.Pd beserta istrinya yang telah memberikan nasehat, semangat dan doa untuk penulis.

9. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum UNS, spesial untuk Atika, Alphi, Iffa, Dwi, NA, Maya, Corry, Siska, Ryan, Fathony, Trisna, Helena.

10. Teman-teman yang selalu mendengarkan curhatan penulis Puspa, Jezi, Inggrid, Adhe, Niken, Mas Adi, Mba Nira, Mas Wica, Mba Dita, Mas

Satriyo.

11. Teman-teman seperjuangan waktu magang di Boyolali, yaitu Tiara, Dewi, Oki, Luvy, Vitri, Yoni, Yoga, dan teman-teman lain angkatan 2008 yang

tidak bisa penulis sebut satu persatu.

12. Keluarga Besar KSP Principium FH UNS, terima kasih atas pengalaman dan suasana kekeluargaannya ada Mas Aji, Mas Haris, Mas Yovi, Mas Tejo, Mas

Gatot, Mb Citra, Mb Ariyani, Miqdad, Prita, Citra Widi, Mia, Naning, Indri, Maulida, Faradina, Kiki, Danang, Dias, Indra, Rifzki, Isti, Mira, Fika, Nares, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu.

13. Pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, mengingat kemampuan Penulis yang masih sangat terbatas. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan senang hati.

Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi sumbangan pengetahuan dan pengembangan hukum pada khususnya dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Semoga pihak-pihak yang telah membantu penulisan ini mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.

Surakarta, 1 Juli 2012 Penulis

commit to user

xi

2. Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria................. 44

3. Hak Pengelolaan Tanah dan Bangunan Keraton Surakarta.......... 52

B. Implikasi Sistem Hukum Nasional Terhadap Keraton Surakarta Selaku Pemilik Tanah dan Orang yang Berkedudukan sebagai Magersari................................................................................................... 55

1. Status Magersari Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria.. 55

2. Wewenang dan Kewajiban Pemegang Tanah Hak Magersari...... 69 BAB IV. PENUTUP

A. Simpulan .................................................................................................. 84

B. Saran ......................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA

commit to user

xii

Halaman BAGAN Gambar 1 Kerangka Pemikiran ………………………………………… 39

commit to user

A.Latar Belakang Masalah

Problematika pertanahan terus mencuat dalam dinamika kehidupan bangsa kita. Berbagai daerah di nusantara tentunya memiliki karakteristik permasalahan pertanahan yang berbeda di antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Keadaan ini semakin nyata sebagai konsekuensi dari dasar pemahaman dan pandangan orang Indonesia terhadap tanah. Kebanyakan orang Indonesia memandang tanah sebagai sarana tempat tinggal dan memberikan penghidupan sehingga tanah mempunyai fungsi yang sangat penting (Arie Sukanti Hutagalung, 2009:1).

Menurut hukum adat, manusia dengan tanah mempunyai hubungan magis religius selain hubungan hukum. Hubungan itu tidak hanya antara individu dengan tanah tetapi juga antar kelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (Rechtgemeenschap) di dalam hubungan dengan hak ulayat (Mohammad Hatta, 2005:40).

Manfaat tanah tidak hanya pada nilai ekonomisnya, tetapai juga mengandung nilai politik, sosial, dan budaya. Sehingga permasalahan yang berkaitan dengan tanah seringkali terjadi, bahkan bisa dikatakan sebagai masalah yang sulit dan rumit. Masalah pertanahan dari hari ke hari semakin mencuat dalam kehidupan masyarakat. Beberapa kondisi dalam masyarakat yang menggambarkan masalah utama bidang pertanahan dewasa ini, diantaranya semakin maraknya konflik dan sengketa tanah, semakin terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat, dan lemahnya jaminan kepastian hukum atas pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah serta masih banyaknya tanah- tanah di Indonesia ini yang belum jelas status hukumnya.

Di lingkungan Magersaren (magersari) istilah magersari dikenakan bagi orang kebanyakan (bukan keluarga bangsawan) yang hidup dan tinggal dalam waktu yang lama di atas tanah milik Keraton Surakarta. Sebenarnya beberapa aset keraton telah berganti kepemilikan. Di mulai oleh siapa dan bagaimana caranya wujudnya bisa tanah, rumah atau benda-benda pusaka. Isu bahwa tanah magersari

commit to user

hidup selama berpuluh tahun di atas tanah magersari. Apalagi adanya gesekan peraturan perundangan antara yang milik Republik Indonesia dan yang milik keraton (http://jarankepang.com/?p=75, diakses pada tanggal 8 November 2011 jam 20.13 wib).

Keraton Surakarta memiliki sejumlah besar aset tanah berklasifikasi Sunan Grond yang tersebar di berbagai tempat. Tanah milik raja pribadi ini, seharusnya tak dapat semena-mena diambil alih hak kepemilikannya begitu saja. Namun faktanya, Sunan Grond termasuk, pesanggrahan-pesanggarahan dan tanah-tanah makam milik Kraton Surakarta Hadiningrat banyak yang berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Karaton Surakarta Hadiningrat sendiri menyadari persoalan tanah merupakan masalah peka. Wilayah Kota Surakarta tidak mungkin diperluas tanpa harus berhadapan dengan pertambahan jumlah penduduk serta gelombang urbanisasi yang tidak tercegah. Akibatnya muncul semacam lapar lahan dalam masyarakat. Kecenderungan selama ini menunjukkan banyak areal yang terlihat kosong, tidak peduli milik siapa, diserobot tanpa izin menjadi pemukiman illegal (Much Bintang Arief Martoadi, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Magersari Milik Kraton Surakarta Hadiningrat Di Desa Pesarean Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal. Suatu Tesis. 2009 : hal 5).

Di tengah perubahan jaman yang sedang kencang-kencangnya pandangan masyarakat terhadap kehidupan kaum priyayi pun berubah drastis. Jika dahulu masyarakat yang menumpang hidup di tanah keraton begitu taksim dan hormat karena diijinkan tinggal di sana dengan gratis atau hanya bayar uang kebersihan, sekarang mereka mudah memandang sinis karena praktek jual beli dan pindah tangan harta pusaka, rumah dan tanah keraton oleh kerabat istana yang sering mengakibatkan mereka menjadi korban pelengkap penderita. Jika mau menyalahkan tidak bisa karena sebenarnya mereka tinggal di sana berpuluh tahun hanya menumpang tinggal di tanah yang bukan milik mereka. Dan sering dituntut harus berterimakasih oleh diri mereka sendiri. Tidak menyalahkan juga tidak bisa karena mereka gatal dan tersinggung harga dirinya serta merasa dijadikan korban

commit to user

wib). Sampai sekarang Keraton Surakarta masih berpolemik dengan warga- warga yang mendiami tanah dan bangunan milik Keraton, sebenarnya konsep awal Keraton Surakarta memberikan hadiah kepada para abdi dalem atau putra dalem, yakni rumah sebagai pemberian yang dikarenakan jasa-jasa mereka kepada Karaton, dengan menggunakan hak “anggadhuh” atau Keraton Surakarta hanya meminjaminya saja dan bisa menariknya kapanpun kalau Keraton Surakarta mau. Namun di kemudian hari, bangunan yang dulu ditempati oleh abdi dalem dan putra dalem sekarang telah berubah ditempati oleh ahli waris mereka. Seharusnya ketika abdi dalem atau putra dalem meninggal, hak “anggadhuh” itu selesai. Tanah dan bangunan itu kosong dan dapat ditempati oleh abdi atau putra dalem yang lain dan masih hidup di lingkungan Keraton Surakarta (GRA. Koes Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 17.)

Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 telah menghadirkan peraturan-peraturan mengenai tanah yang selama ini mempunyai sifat dualisme antara tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan hukum adat serta menjadi pedoman bagi pemerintah dan masyarakat (Adrian Sutedi, 2010:1), khususnya bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan pejabat lain yang berwenang dalam melaksanakan tugasnya berkaitan dengan tanah.

Dalam hukum pertanahan nasional, tanah Keraton, baik Sultan Ground atau tanah magersari, tidak diatur secara pasti dan tegas dalam peraturan perundang-undangan oleh pemerintah. Secara yuridis formal, berdasarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Sultan Ground atau tanah magersari dianggap tidak ada.

Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas Swapraja yang masih ada, pada waktu mulai berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 (UUPA) ini hapus dan beralih kepada Negara. Hal ini berarti

commit to user

Sultan Ground memang secara nyata ada dan diakui pemerintah. Atas dasar itulah, sebagai bentuk pengakhiran kebimbangan tentang bagaimana status Karaton Surakarta Hadiningrat sehingga Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta.

Setelah keluarnya Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 tentang Status dan Pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta, sebenarnya memberikan peluang kepada Keraton Surakarta untuk kembali menguasai dan memiliki aset- aset yang telah hilang, sebab Keppres itu memberikan wewenang untuk memiliki kepada Karaton Surakarta. Tetapi dalam Keppres itu membatasi luas wilayah karaton yang hanya dibatasi Alun-Alun Utara dan Alun-Alun Selatan serta Masjid Agung, jadi tanah dan bangunan yang berada di luar wilayah itu kemungkinan jadi bukan milik Keraton Surakarta walaupun berstatus Sunan Grond. (GRA. Koes Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 19.)

Berdasarkan uraian di atas, maka menarik penulis untuk mempelajari dan mengakaji lebih dalam terkait hal tersebut dalam sebuah penulisan penelitian

hukum dengan judul : “ASPEK HUKUM MAGERSARI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KERATON SURAKARTA DAN ORANG

YANG MAGERSARI” .

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan masalah untuk mengetahui dan menegaskan masalah-masalah apa yang akan diteliti sehingga dapat memudahkan penulis dalam

commit to user

rinci. Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional?

2. Bagaimana implikasi sistem hukum nasional terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Tujuan penelitian akan memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Tujuan Obyektif

a. Mengetahui kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional.

b. Mengetahui implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai

magersari

2. Mengetahui Tujuan Subjektif

a. Untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis bidang hukum administrasi Negara khususnya aspek hukum magersari

dan implikasinya antara Keraton Surakarta dan orang yang magersari.

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar akademik sarjana dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian diharapkan memberikan suatu manfaat. Penulis berharap kegiatan penelitian yang dilaksanakan dalam penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pihak lain. Adapun manfaat penulisan

commit to user

berikut :

1. Manfaat Teroritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Agraria pada khususnya; dan

b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan hukum Hukum Agraria tentang aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Karaton

Surakarta dan orang yang magersari.

2. Manfaat Praktis

a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam

menerapkan ilmu yang diperoleh;dan

b. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian sejenis pada tahap selanjutnya dan berguna bagi

para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.

E. Metode Penelitian

Ilmu hukum mengarahkan refleksinya kepada norma dasar yang diberi bentuk konkret dalam norma-norma yang ditentukan dalam bidang-bidang tertentu. Metode Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul dan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang diajukan (Peter Mahmud Marzuki, 2005:41). Untuk mendapatkan bahan hukum dan prosedur penelitian untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika hukum mengenai aspek

commit to user

magersari, maka digunakan metode penelitian yang sesuai. Adapun metode penelitian yang digunkan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagi berikut :

1. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau doctrinal research. Terry Hunchinson

memperjelaskan pengertian hukum doktinal sebagai berikut, “research which provides a systematic exposition of the rule governing a particular legal category, analyses the relationship between rules, explains areas of difficulty and, perhaps, predict future development.” (Terry Hunchinson dalam Johnny Ibrahim, 2007:44).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di dalam keilmuan yang bersifat deskriptif yang menguji kebenaran ada tidaknya sesuatu fakta disebabkan oleh suatu faktor tertentu, penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Jawaban yang diharapkan dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate, atau wrong (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 35).

2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif yaitu penelitian yang

mempelajari ilmu hukum yang preskriptif yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:22). Tujuan dari penelitian ini untuk mencapai hasil yang memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya mengenai aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari.

3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya “Penelitian hukum”, disebutkan bahwa dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

commit to user

pendekatan komparatif (comparative approach), dan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).

Adapun pendekatan yang digunakan Penulis dalam penelitian ini yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang- undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan aspek hukum magersari

dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari . Pendekatan kasus dengan menelaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari. Pendekatan konseptual beranjak dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian- pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Kraton Surakarta dan orang yang magersari

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber- sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Di dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan jenis dan sumber bahan hukum primer dan sekunder yang berkaitan dengan aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari yang akan menunjang diperolehnya jawaban atas permasalahan penelitian yang diketengahkan penulis.

a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, dan catatan-catatan resmi atau risalah-risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan atau risalah di dalam pembuatan

commit to user

primer dalam penelitian ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria;

3) Penetapan Pemerintah No. 16/SD/1946 tentang Pemerintah di

daerah Istimewa Surakarta dan Yogjakarta.

4) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 Tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hak milik atas tanah;

6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1988 Tentang Status dan Pengelolaan Kraton Kasunanan Surakarta di Kelurahan Baluwarti

Kota Surakarta; dan

b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:141).

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan bahan dengan jalan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literatur- literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder. Dari bahan tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan penunjang di dalam penelitian ini.

6. Teknis Analisis Bahan Hukum Adapun bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum primer maupun

bahan hukum sekunder dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan

commit to user

satu penemuan hukum yang memberikan penjelasan yang gamblang mengenai teks perundang-undangan agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Interpretasi dibedakan menjadi interpretasi berdasarkan kata undang-undang, interpretasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interpretasi sistematis, interpretasi histories, interpretasi teleologis, interpretasi antisipatoris,dan interpretasi modern ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:106-107).

Adapun metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Interpretasi berdasarkan kata undang-undang Interpretasi ini beranjak dari makna kata-kata yang tertuang di dalam undang-undang. Interpretasi ini akan dapat dilakukan apabila kata-kata

yang di gunakan dalam undang-undang itu singkat artinya tidak bertele- tele, tajam, artinya akurat mengenai apa yang dimaksud dan tidak mengandung sesuatu yang bersifat dubious atau makna ganda. Hal itu sesuai dengan karakter undang-undang sebagai perintah atau aturan ataupun larangan;dan

b. Interpretasi sistematis Menurut pendapat P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah

interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, melainkan juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri (Peter Mahmud Marzuki, 2005:111-112).

commit to user

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran umum secara menyeluruh menegnai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penelitian menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap- tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.

Bab pertama mengenai pendahuluan. Pada bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Di dalam latar belakang masalah dipaparkan adanya fakta hukum yang menjadi latar belakang masalah, yaitu aspek hukum magersari dan implikasinya terhadap Keraton Surakarta dan orang yang magersari. Rumusan masalah dimaksudkan untuk mempertegas ruang lingkup penelitian dan untuk menghindari kemungkinan penyimpangan dari permasalahan pokok yang diteliti. Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis. Metode penelitian mencangkup jenis penelitian, pendekatan penelitian, sifat penelitian, jenis dan sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, teknis analisis bahan hukum. Pada sistematika penulisan hukum akan diuraikan secara garis besar atau gambaran menyeluruh tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum.

Bab kedua mengenai tinjauan pustaka. Pada bab ini penulis memaparkan sejumlah landasan teori dari para pakar dan doktrin hukum berdasarkan literature-literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang diangkat. Tinjauan pustaka dibagi menjadi dua (2) yaitu :

1. Kerangka teori, yang berisikan tinjauan mengenai :

a. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah

b. Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah

c. Tinjauan Tentang Hak Milik Atas Tanah Menurut Hukum Adat

commit to user

d. Tinjauan Tentang Hak Tanah atas Keraton Surakarta

e. Tinjauan Tentang Tanah Magersari di Keraton Surakarta

2. Kerangka pemikiran, yang berisikan gambaran alur berpikir dari penulis berupa konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.

Bab ketiga mengenai pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu kedudukan hukum magersari dalam sistem hukum nasional dan implikasi sistem hukum nasional tersebut terhadap Keraton Surakarta selaku pemilik tanah dan orang yang berkedudukan sebagai magersari.

Bab keempat diuraikan mengenai kesimpulan yang dapat diperoleh dari keseluruhan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran yang relevan yang dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.

commit to user

13

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Tanah Nasional

a. Asas Nasionalitas Pasal 1 UUPA (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh

rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia. (2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

Jadi, bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia menjadi hak dari Bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja.Demikian pula, tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Dalam pasal 3 ayat 3 ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

b. Asas Hak Menguasai Negara Pasal 2 UUPA

(1) Atas dasara ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada

commit to user

organisasikekuasaan seluruh rakyat.

Perkataan “dikuasai” bukan berarti “dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi. (2) Hak menguasai dari Negara termasud dalam ayat 1 pasal ini

memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hhubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai dari Negara tersebut ditujukan untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagian dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Atas dasar hak menguassai dari Negara tersebut, Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya. Misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha dan lainnya.Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari Negara tersebut dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

c. Asas Pengakuan Hak Ulayat Pasal 3 UUPA “Dengan mengingat etentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2

pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional

commit to user

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. ” Pasal 5 UUPA

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasioanal dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. ” Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.[2]Hak ulayat atas tanah masyarakat hukum adat sangat luas yang meliputi semua tanah yang ada di wilayah masyarakat hukum adat. 1). Kekuatan Hak Ulayat yang berlaku ke dalam

Kekuatan yang dapat memaksa masyarakat hukum adat dalam menguasai masyarakat hukum adat adalah dengan memberikan kewajiban masyarakat hukum adat untuk: memelihara kesejahteraan anggota masyarakat hukumnya, dan mencegah agar tidak timbul bentrokan akibat penggunaan bersama. Dan yang menarik ialah ketika pewaris meninggalkan warisan tanpa ahli waris maka masyarakat hukum adatlah yang menjadi ahli warisnya. 2). Hubungan Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan

Ada pengaruh timbal balik antara Hak Ulayat dengan hak-hak perseorangan yakni semakin banyak usaha yang dilakukan oleh seseorang atas suatu tanah maka semakin kuat pula haknya atas tanah tersebut.Misalnya tanah yang memiliki keratan dan semakin diakui sebagai hak milik, tiba-tiba tidak diusahakan lagi, maka tanah pribadi tersebut diakui kembali menjadi hak Ulayat.

commit to user

Setiap orang yang bukan masyarakat hukum adat suatu daerah dilarang untuk masuk limgkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat tanpa izin Penguasa hukum adatnya.Cara mendapatkan izin ialah dengan memberikan barang (pengisi adat) secara terang dan tunai.

Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum Agraria Nasional akan tetapi dalam pelaksanannya berdasarkan asas ini, maka untuk kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat hukum adat berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukaknya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek- proyek yang besar, misalnya pembukaan areal pertanian yang baru, transmigrasi dan lainnya.

d. Asas Tanah mempunyai Fungsi Sosial Pasal 6 UUPA : “Semua ha katas tanah mempunyai fungsi sosial.”

Tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara.Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

e. Asas Perlindungan Pasal 9 (1) jo. pasal 21 ayat 1 UUPA:

“Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2. ” Yaitu bahwa orang perseorangan atau badan hukum dapat mempunyai hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun usahanya.

commit to user

“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah. ” 1). Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing. 2). Pemindahan hak milik kepada orang asing dilarang (pasal 26 ayat 2). 3).Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang

luasnya terbatas. 4).Demikian juga pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). 5).Dasar pertimbangan melarang badan-badan hukum mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya.

6).Boleh hak lain, asal saja ada jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus (hak guna-usaha, hak guna- bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan 41).

7).Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan-ketentuan mengenai batas maksimum luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17).

8).Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mem- punyai hak milik atas tanah, tetapi mengingat akan keperluan ma- syarakat yang sangat erat hubungannya dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka diadakanlah suatu "escape- clause" yang memungkinkan badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik.

9).Dengan adanya "escape-clause" ini maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2).

commit to user

keagamaan ditunjuk dalam pasal 49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.

f. Asas Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan Pasal 9 (2) UUPA: “Tiap-tiap warganegara Indonesia baik laki-laki maupun wanita

mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. ” Pasal 11 (20) UUPA : “Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat diamana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomi lemah. ”

Ditentukan bahwa jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasita, dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Ketentuan ini merupakan alat untuk melindungi golongan-golongan yang lemah.

Dalam hubungan itu dibuat ketentuan yang dimaksudkan mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria.

Segala usaha bersama dalam lapangan agrarian harus didasarkan atas kepentingan nasional dan pemerintah berkewajiban mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agrarian yang bersifat monopoli swasta.Dan tidak hanya monopoli swasta, tetapi juga usaha-usaha pemerintah yang bersifat monopoli harus dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak.

commit to user

g. Asas Tanah untuk Pertanian Pasal 10 (1) UUPA :

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak ats tanh pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan tau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. ”

Pasal 12 UUPA : (1) Segala usaha bersama.dalam lapangan agraria didasarkan atas

kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.

(2) Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan

usaha bersama dalam lapangan agraria. Pasal 13 UUPA : (1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan

agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

(3) Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. (4) Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.

Pelaksanaan asas tersebut menjadi dasar hampir diseluruh dunia yang menyelenggaarakan landreform.Yaitu tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara efektif oleh pemiliknya sendiri.

h. Asas Tata Guna Tanah Pasal 7 UUPA :

commit to user

“Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. ”

Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukan, penggunaan dan persedian bumi, air dan ruang angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara.

2.Tinjauan Tentang Hak Atas Tanah

a. Pengertian Hak Atas Tanah Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolok pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah (Boedi Harsono, 2005: 283).

Menurut Urip Santosa yang mengutip pendapat Soedikno Mertokusumo yang dimaksud hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang mempunyai hak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihakinya. Kata “menggunakan”

mengandung pengertian bahwa hak atas tanah digunakan untuk kepentingan pembangunan, misalnya rumah, toko, hotel, kantor, dan pabrik. Kata “ mengambil manfaat” mengandung pengertian bahwa hak

atas tanah digunakan untuk kepentingan pertanian, perikanan, peternakaan, perkebunan (Urip Santosa, 2010: 49).

b. Macam Hak Atas Tanah

Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA dinyatakan bahwa atas dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum di mana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk

commit to user