Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria

1. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria

Tanah sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Tanah yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan disebut tanah garapan, tanah pekarangan, tanah pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk mendirikan bangunan dinamakan tanah bangunan.

Menurut Herma Yulis dalam Achmad Rubaeie, tanah mempunyai arti penting karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi (Achmad Rubaeie, 2007:1).

Dalam perspektif sejarah pertanahan di Indonesia, pada masa swapraja, Kerajaan tradisional Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu kerajaan jawa yang memiliki pengaturan hak atas tanah dengan pola pengklasifikasian yang unik dalam konsep kerajaan jawa pada jaman swapraja. Keunikan pola pengklasifikasian dalam pengaturan hak atas tanah tersebut dapat dilihat dari adanya bermacam-macam jenis hak atas tanah. Di Keraton Surakarta, perkembangan hak atas tanah dapat dibagi menjadi 3 (tiga) periode (Sugianto Patmo, dalam J. Sembiring, 2006:21-22):

a. Masa “Apanage Stelsel” sampai masa “Reorganisasi Kompleks” tahun 1917;

b. Masa setelah “Reorganisasi Kompleks” sampai masa Rijksbladen tahun 1938;

c. Masa setelah Rijksbladen tahun 1938 sampai masa lahirnya UUPA.

commit to user

Secara umum tanah pada waktu itu dapat dibagi 2 (dua), yaitu:

a. Tanah yang langsung dikuasai oleh Raja yang disebut dengan tanah ampilan dalem;

b. Tanah yang tidak langsung dikuasai oleh Raja, yang disebut dengan tanah kejawen.

Perubahan mendasar pada masa kedua adalah bahwa kekuasaan tertinggi atas tanah bukan lagi raja pribadi, tetapi negara atau lebih tegas lagi, kekuasaan tertinggi atas tanah ada ditangan Pemerintah Keraton. Selain itu dibentuk pula kelurahan secara bertahap, dan atas tanah-tanah yang ada dalam wewengkon-nya desa mempunyai hak pakai untuk selama-lamanya kaparingake gumaduh ing salawas-lawase. Pada masa ketiga, berdasarkan Rijksbladen No.10 Tahun 1938 kepada desa diberikan hak anggaduh atas seluruh tanah yang ada di dalam wewengkonnya yang tercatat di dalam Daftar Desa.

Didaerah Keraton Surakarta, tanda bukti hak yang dipunyai disebut Pikukuh. Hak-hak atas tanah yang pernah diberikan oleh pihak Keraton Surakarta seperti yang tercantum dalam Rijksblad SurakartaNo. 9 Tahun 1938 sebagaimana yang dikutip oleh Bambang Hardiyanto (1997:11) adalah:

a. Wewenang Anggaduh,yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja.

b. Wewenang Anggaduh Run Temurun,yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja secara turun temurun, tetapi

sewaktu-waktu dapat diambil oleh pihak keraton.

c. Tanah Lungguh, yaitu hak atas tanah yang diberikan sebagai gaji kepada Abdi Dalem, Lurah Desa beserta bawahannya. Tanah ini

dikenakan landrente.

d. Tanah Pituwas, yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada Lurah beserta bawahannya yang sudah pensiun. Yang apabila Lurah atau

commit to user

ke kas desa. Tanah ini tidak dikenakan pajak.

e. Tanah Kas Desa, yaitu keseluruhan tanah sawah dan tegalan serta tanah pekarangan yang bukan untuk Lungguh, Pituwas, dan bukan

untuk diberikan secara run temurun. Tanah kas desa diberikan untuk keperluan penghasilan desa. Tanah ini dikenakan pajak bumi (landrente).

Keraton Surakarta menguasai dan memiliki tanah-tanah yang berada di dalam tembok keraton maupun yang berada di luar tembok keraton. Tanah-tanah yang berada di luar tembok keraton, selain diberikan kepada masyarakat untuk dipergunakan, ada juga yang langsung dimanfaatkan atau dipergunakan oleh raja beserta keluarganya.

Berdasarkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang disebut Rijkblad Surakarta Nomor 13 Tahun 1938 yang menyebutkan bahwa tanah-tanah milik Keraton Surakarta diukur, dipeta tanda (tenger) dan dicatat dalam buku Kadaster Jawa. Bentuk tanda (tenger) yang diatur dalam konsep pengaturan tersebut dapat berupa tugu beton (terbuat dari beton), tugu batu (terbuat dari batu) dan dapat pula berupa berumbungan besi.

Status tanah Karaton Surakarta Hadiningrat sebelum kemerdekaan Indonesia, di bagi dalam lima kelompok:

a. Domein Recht Karaton Surakarta (DRS) Merupakan tanah keraton yang statusnya di bawah kekuasaan Keraton

Surakarta yang tersebar di wilayah kekuasaan Keraton Surakarta.

b. Domein Keraton Surakarta (DKS) Merupakan tanah yang menjadi milik Keraton Surakarta, misalnya

Alun-Alun Utara, Alun-Alun Selatan, dan Baluwarti.

c. Sunan Grond (SG), yaitu tanah yang menjadi milik Sunan.

d. Tanah Leluhur

commit to user

yang pernah memerintah sebelumnya. Misal tanah pesanggrahan, petilasan-petilasan, dan makam-makam.

e. Tanah Recht Van Eigendom (RVE) Merupakan tanah milik Keraton Surakarta yang disewakan, misalnya kepada Belanda dan pengusaha perkebunan. (GRA. Koes

Isbandiyah, Kebijakan Keraton Surakarta Hadiningrat Dalam Pengelolaan tanah dan bangunan setelah Keputusan Presiden Nomor

23 tahun 1988 tentang status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta di kelurahan Baluwerti. Suatu Tesis. 2008. hal. 114.) Apabila status tanah diatas dan dihubungkan dengan kondisi Baluwarti sekarang maka:

a. Untuk tanah paringan dalem berubah menjadi tanah anggadhuh.

b. Tanah palilah anggadhuh turun temurun berubah menjadi tanah anggadhuh dengan batas waktu tiga tahun.

c. Tanah palilah anggadhuh berubah menjadi tanah anggadhuh dengan batas waktu tiga tahun.

d. Tanah palilah magersari berubah menjadi tanah magersari dengan batas waktu tiga tahun.

Menurut Umar S Kusumaharyono, sejak Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 pemerintah Kasunanan berakhir, namun dalam lingkungan Keraton Surakarta masih terselenggara suatu pemerintahan intern keraton yang disebut “Parentah Keraton Surakarta”, kemudian timbul perbedaan

pendapat antara pemerintah Republik Indonesia dengan Parentah Keraton Surakarta mengenai hak atas tanah milik Parentah Keraton Surakarta yang dapat beralih dan tidak dapat beralih kepada pemerintah Republik Indonesia. Perbedaan pendapat tersebut dapat terlihat dari kutipan surat Kementerian Dalam Negeri yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah di Semarang, No.Des X/48/1/30 tertanggal 29 Oktober 1956, perihal tanah Keraton Surakarta (di Baluwarti). Di dalam surat tersebut Menteri Dalam Negeri tidak dapat menyetujui anggapan Parentah Keraton Surakarta

commit to user

Surakarta menganggap ada tiga macam milik, yaitu :

a. Milik Kasunanan

b. Milik Keraton

c. Milik Sunan Prive Parentah Keraton Surakarta berpendapat bahwa setelah Negara

Indonesia merdeka, hanya milik Keraton Kasunanan Surakarta (Rijk Surakarta) saja yang beralih kepada kekuasaan Negara Republik Indonesia. Tanah magersari yang t ermasuk tanah “milik” Keraton, sehingga pengurusannya tidak termasuk kekuasaan pemerintah Kota Surakarta. Sementara Menteri Dalam Negeri pada saat itu berpendapat bahwa berdasarkan kontrak politik Kasunanan (L.N. 1939 Nomor 614) Pasal 10 serta penjelasannya, dalam Pasal 10 ayat (1) mencantumkan perincian yang termasuk Bezitting Van Soenansat (Hak Milik Kasunanan) yang merupakan milik pribadi Soesoehoenan. Sehingga hanya terdapat 2 macam milik yaitu Milik Kasunanan dan milik Sunan prive. Gedung- gedung serta tanah-tanah disekelilingnya (tanah-tanah yang pada hakikatnya disebut dengan “magersari” termasuk barang-barang milik Keraton Surakarta. Dengan demikian maka dapat disimpulkan menurut Menteri Dalam Negeri, gedung-gedung istana dan tanah-tanah disekelilingnya termasuk kekuasaan Negara RI, sehingga tanah magersari yang berada di kelurahan Baluwarti adalah tanah negara.