Tema Kunci No. 1: Kesejahteraan Komunitas Pesisir dan Nelayan Skala Kecil

3.3 Tema Kunci No. 1: Kesejahteraan Komunitas Pesisir dan Nelayan Skala Kecil

  Indonesia diketahui secara luas dengan proporsi tinggi populasi pesisir yang bergantung pada penangkapan ikan sebagai sumber lapangan pekerjaan, mata pencaharian dan kebutuhan makanan – terutama di Indonesia bagian Timur dikenal dengan tingginya tingkat bergantung pada penangkapan ikan (namun dapat dikatakan kurang sejahtera secara ekonomi dibandingkan Indonesia bagian barat dan tengah) dan dengan jumlah armada penangkapan ikan artisanal dan skala kecil yang besar (Adhuri et al 2016, BPS 2015, Budihartono et. al 2015, Duggan et al, 2015, KKP 2014A, FAO 2011). Tuna adalah suatu kelompok ikan terbesar yang ditangkap di Indonesia bagian timur (Budihartono et. al. 2015)

  Hasil yang diperoleh melalui wawancara, lokakarya dan pencatatan survei (mungkin tidak terlalu mengejutkan) bahwa kesejahteraan dan mata pencaharian komunitas pesisir terutama bersandar langsung dengan keterlibatannya dalam sektor perikanan tuna. Turut menguatkan hal ini di mana usaha sebelumnya dalam pembahasan harvest strategy juga mengidentifikasi peningkatan ekonomi di level lokal sebagai jawaban paling umum keempat ketika membahas prioritas-prioritas untuk pengelolaan perikanan (KKP 2016 hal. 3).

  Rata-rata konsumsi ikan nasional adalah 13 dari keseluruhan protein yang dikonsumsi. Data sosial ekonomi yang tersedia (lihat Tabel di Lampiran 2) menunjukkan provinsi di WPP 713-

  15 bergantung pada ikan sebagai 22 sumber kebutuhan proteinnya, di Maluku Utara (32), Maluku (29) dan Sulawesi Tengah (26), 3 kali lebih banak dibandingkan angka nasional. Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat tercatat memiliki tingkat konsumsi ikan yang sangat rendah dibandingkan provinsi lainnya di wilayah tersebut, dengan rata- rata sekitar rata-rata nasional, di mana provinsi lainnya tercatat minimum 8 lebih besar protein konsumsinya berasal dari ikan di bandingkan rata-rata nasional. Meskipun tidak secara seragam tersedia, data dari area di mana HS direncanakan menunjukkan tuna (kombinasi antara tuna sirip kuning, cakalang dan tongkol) sebagai spesies makanan laut paling dikonsumsi (BPW Sultra, 2016).

  Baik penduduk kota maupun desa tidak menunjukkan perbedaan signifikan dalam hal ketergantungan mereka terhadap sumber protein dari ikan, kecuali di Provinsi Maluku dan Maluku Utara, di mana penduduk desa mengonsumsi 4-5 ikan lebih banyak dibandingkan penduduk kota, berkebalikan dengan rata-rata keseluruhan penduduk kota yang mengonsumsi 1 lebih protein dari ikan di wilayah perencanaan HS. Akan tetapi nelayan yang disurvei di pelabuhan Kendari menunjukkan tingkat ketergantungan yang jauh lebih tinggi terhadap ikan sebagai kebutuhan protein, dengan 64 melaporkan bahwa sumber protein yang diambil dari ikan lebih dari 50, dan 32 dilaporkan menghabiskan lebih dari

  25 pendapatan mereka untuk ikan.

  Indeks pembangunan manusia di semua provinsi wilayah perencanaan HS selain Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah berada di bawah rata-rata nasional (BPS 2016). Digabungkan dengan tingkat kemiskinan penduduk provinsi wilayah perencanaan HS adalah 13 relatif terhadap 11 di level nasional, sementara di NTB (26), dan Papua Barat (23), lebih dari dua kali dibandingkan tingkat kemiskinan nasional (sumber BPS 2016).

  Oleh sebab itu sebuah tema kunci yang timbul dari penelitian ini adalah perhatian terhadap peningkatan kesejahteraan pesisir dan terutama komunitas nelayan skala kecil untuk turut serta diperhitungkan dalam harvest strategy. Hal ini direfleksikan secara langsung dalam Oleh sebab itu sebuah tema kunci yang timbul dari penelitian ini adalah perhatian terhadap peningkatan kesejahteraan pesisir dan terutama komunitas nelayan skala kecil untuk turut serta diperhitungkan dalam harvest strategy. Hal ini direfleksikan secara langsung dalam

  Tersedia sejumlah 25 saran terkait sasaran pengelolaan terkait topik ini yang merupakan tertinggi dibandingkan dengan tema-tema kunci lainnya yang diidentifikasi dalam studi ini. Saran-saran ini bervariasi dari pernyataan umum tentang menjamin kesejahteraan nelayan, hingga tanggapan spesifik seperti: menjamin kesejahteraan nelayan secara finansial, seperti dengan membuat pekerjaan lokal setempat dan pendapatan yang berkelanjutan, mengurangi hutang, meningkatkan kemampuan untuk dapat mendapatkan pinjaman, meningkatkan kesehatan dan pendidikan di komunitas nelayan, memelihara kesatuan dan kepemilikan komunitas dengan mendukung pemeliharaan identitas tradisional, kearifan lokal dan institusi, dan menjamin peningkatan keselamatan di laut.

  Catatan isu-isu lebih jauh dalam konteks diskusi ini dijabarkan di bawah ini.

Peningkatan Lapangan Kerja di Komunitas Pesisir

  Peningkatan kesempatan kerja terdidentifikasi melalui 14 jawaban dalam lokakarya sasaran pengelolaan. Secara umum jawaban-jawaban ini tidak berbeda, akan tetapi 4 responden menjawab komunitas pesisir sebagai prioritas utama pembukaan lapangan kerja, dan 2 responden menjawab menjamin pekerjaan dapat dibuat sepanjang rantai suplainilai dan seluas mungkin sebanyak proporsi penduduk.

  Data tenaga kerja level nasional yang berasal dari publikasi kementerian tidaklah memisahkan perikanan tuna dengan perikanan tangkap kelautan lainnya, akan tetapi direkomendasikan bahwa proses ini dilaksanakan untuk YFT dan SKJ di WPP yang memungkinkan. Salah satu metode untuk melaksanakannya dapat berupa pengumpulan data kapal dari otoritas pelabuhan, yang kelihatannya relatif lebih bagus Karena dilaporkan bersama dengan nama kapal dan izin yang dapat diverifikasikan kemudian. Tabel di bawah ini menunjukkan data tenaga kerja dari kapal-kapal yang beraktivitas di Pelabuhan Kendari selama tahun 2014, dihitung dari data yang disediakan otoritas Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari. Tabel ini disediakan sebagai contoh bagaimana data pelabuhan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dinamika tenaga kerja dari sektor-sektor yang berbeda di WPP 713-15, dan juga mengetaui beberapa keterbatasan dari data ini.

  Total Nelayan

  Rata-rata Nelayan

  Tipe Kapal

  Jumlah Kapal

  Kapal

  per Kapal

  Hand Line

  Kapal Lampu

  Pole and Line

  Purse seine

  Total Keseluruhan

  Ilustrasi 4. Kapal yang Beraktivitas di Pelabuhan Kendari, 2014 (Sumber PPS Kendari).

  Kapal-kapal mini-purse seine terhitung sebagai penyerap tenaga kerja dengan jumlah paling besar di antara kapal-kapal yang menggunakan pelabuhan, akan tetapi kapal P+L memiliki jumlah nelayan paling banyak untuk setiap kapalnya. Lebih jauh lagi, armada HL yang beroperasi di Sulawesi Tenggara sudah pasti tidak banyak terwakili melalui data yang ditampilkan dalam tabel ini.

  Perusahaan pengolahan di Kendari dilaporkan memiliki hubungan langsung dengan 146 kapal handline ukuran 2 – 3 GT yang menangkap YFT dewasa untuk loin, dan mendapatkan pasokan melalui perantara dari lebih kurang 1000 kapal di kabupaten Wakatobi dan Bau bau. Dengan perkiraan diawaki oleh 1 - 2 orang nelayan per kapal, maka dengan sebuah perhitungan yang sederhana diperoleh bahwa jumlah nelayan HL antara 1146 sampai 2292 berasal dari Wakatobi dan Bau bau sendiri, belum termasuk kapal-kapal HL yang diketahui juga beoperasi sepanjang wilayah pesisir timur Sulawesi Tenggara. Hal ini menjadikan handline sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbesar kedua, dan kemungkinan besar adalah penyuplai terbesar saat ini yang memasok bahan baku ke pabrik pengolahan dan ikan ke pasar lokal di Kendari.

  Dampak ekonomi dari lapangan pekerjaan ini juga perlu untuk dipertimbangkan. Kapal PS di Kendari diketahui berganti secara musiman wilayah penangkapan antara Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dan hampir semua tenaga kerja di kapal mini-purse seine yang diwawancarai di Kendari adalah suku Bugis yang berasal dari Sulawesi Selatan. Dampak ekonomi dari pekerjaan kapal PS menyebar melewati dua provinsi, dan penghasilan dalam bentuk uang dikirim keluar Kendari dan Sulawesi Tenggara. Keuntungan dari aktivitas kapal HL dan kapal PL dengan perluasan yang lebih kecil dapat dianggap mengalir ke Kendari dan wilayah pesisir di sekitarnya. Sebagai tambahan, data pada sektor handline yang dicantumkan di tabel di atas dihitung dengan memiliki tingkat pengawakan yang paling tinggi per GT-nya, dengan hitungan kasar hampir dua kali lipat lebih besar dibandingkan kapal-kapal PS dan PL di Sulawesi Tenggara, dan jika kapal-kapal handline ukuran 1-3GT di wilayah pesisir ditambahkan ke hitungan tersebut, perbandingan pengawakan (pekerjaan)

  per GT untuk kapal-kapal HL masih tetap kompetitif dibandingkan dengan sektor lainnya. 3

  Pendapat yang dihasilkan dari banyak wawancara, digabungkan dengan dinamika perikanan dan data kapal yang ditampilkan di sini, menyarankan bahwa penggantian usaha penangkapan dari kapal purse seine ke kapal pole and line berpotensi menghasilkan peningkatan bersih dalam hasil ketenagakerjaan dan bahwa investasi di sektor handline akan menolong perikanan bernilai tinggi yang mendukung orang banyak di wilayah pesisir yang kurang secara perekonomian. Secara garis besar, sebuah penelitian dari perikanan skala kecil lintas global mengindikasikan bahwa perikanan ini memiliki tingkat ketenagakerjaan yang lebih tinggi dengan biaya investasi lebih rendah untuk satu pekerjaannya dibandingkan dengan kapal-kapal skala industry (lihat Barclay et. al. 2013, Jacquet dan Pauly 2008).

  Akan tetapi ada dua hal yang juga patut disebutkan di sini. Pertama, kapal-kapal mini-purse seine jelas memiliki kontribusi penting dalam hal ketenagakerjaan di level lokal dan regional bagi komunitas pesisir yang rentan secara ekonomi—dalam kasus di atas adalah penduduk pindahan suku Bugis dari Sulawesi Selatan. Segala perubahan harus direncanakan secara matang untuk menganalisis dampak sosial yang mungkin jika terjadi perubahan pada perikanan purse seine yang bergantung pada rumpon. Kedua, beberapa responden menanggapi bahwa meskipun mendukung sektor perikanan handline skala kecil sebagaimana diinginkan oleh kebanyakan pemangku kepentingan, namun peningkatan jumlah kapal-kapal handline mungkin bukan intervensi pengelolaan yang optimal dari sisi biologi ataupun ekonomi, dikarenakan sudah banyaknya armada artisanal dan tingkat perizinan serta

  3 Perhitungan sendiri.

  tindakan pengelolaan yang rendah dari pemerintah daerah. Hal yang patut dipertimbangkan adalah, seperti yang akan di bahas pada Tema Kunci No. 3, bahwa investasi pada peningkatan produksi dan efisiensi rantai suplai kemungkinan besar akan membawa hasil optimal dengan kondisi seperti sekarang ini, dibarengi dengan beberapa peningkatan di sektor kepemerintahan yang akan dibahas pada Tema Kunci No. 4.

Mata Pencaharian Alternatif (Tambahan)

  Kemampuan untuk memiliki mata pencaharian alternatif dilihat sebagai dampak penting dalam mitigasi dampak perubahan peraturan dan penurunan perikanan secara sosial dan ekonomi, yang oleh karena itu ada di dalam tindakan-tindakan pengelolaan yang potensial dapat dilakukan (lihat e.g. Stanford, Wiryawan et al. 2013, Adhuri et al. 2016, Cheung dan Sumaila 2008, Dawet al. 2009). Tiga hal penting timbul dari literatur mengenai tema ini di Indonesia dan perikanan dunia berkembang lainnya untuk pembahasan saat ini.

  Pertama, komunitas dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap perikanan kurang mampu untuk mencari mata pencaharian lain selain menangkap ikan di mana mereka terisolasi dari perekonomian yang lebih luas, suatu hubungan yang biasanya meningkat dengan semakin jauhnya jarak dari pusat-pusat kota (Stanford, Wiryawan et al, 2013, 2014a). Kedua, nelayan dengan lebih dari satu mata pencaharian lebih memiliki keinginan untuk keluar dari perikanan dibandingkan mereka yang semata-mata bergantung dari menangkap ikan saja (Daw et al, 2012). Kedua, tingkat pendapatan rendah dan hutang menghalangi nelayan untuk dari perikanan yang tidak menguntungkan secara ekonomi (Adhuri et al 2016, Cinner et al, 2009). Ketiga bahwa intervensi peningkatan mata pencaharian di Indonesia yang focus pada mengasah sumber daya dan kemampuan manusia kemungkinan besar membawa keuntungan yang lebih besar untuk nelayan dibandingkan peningkatan modal fisik (Wiryawan et al 2014a, 2014b).

  Di pertanyaan mengenai mata pencaharian alternatif dalam survei online yang disebarkan,

  62 responden menjawab hambatan pendidikan di kaum nelayan sebagai hambatan untuk memiliki mata pencaharian alternatif, sementara 62 menyatakan bahwa ketidakmampuan dalam mengakses fasilitas modal dan keuangan (kredit) menghambat nelayan untuk mencari mata pencaharian alternatif termasuk pergeseran cara penangkapan atau pengolahan yang lebih ramah lingkungan atau yang lebih bernilai tambah. Hal ini menunjukkan pengaruh yang besar dari hutang, kemiskinan dan atau penurunan tingkat penghasilan dalam pilihan mata pencaharian bagi nelayan di perikanan tersebut. Beberapa jawaban menarik lainnya adalah

  39 menganggap bahwa hanya sedikit mata pencaharian alternatif bagi nelayan di dalam usaha perikanannya, 42 mengetahui bahwa jaringan komunitas lokal menghambat nelayan untuk berganti mata pencaharian, dengan tingkat ketergantungan yang era tantara nelayan dengan anggota keluarga atau tetangga yang memberikan hutangpinjaman dengan cara mencicil, bantuan suplai umpanbahan bakaralat tangkap, logistik dan perbaikan, hal ini terutama terjadi di komunitas pesisir dan perikanan skala kecil. Beragam jawaban nelayan di Kendari dilampirkan dalam Lampiran 4 sebagai indikasi awal tingkat ketergantungan perikanan dan mata pencaharian, hal ini sehubungan dengan data para nelayan di wilayah perencanaan HS. Data ini tidak dapat dipertimbangkan untuk digeneralisir saat ini, namun bermanfaat menyediakan titik awal yang baik.