Alokasi dan Pembagian Wilayah antar Sektor
3.7 Alokasi dan Pembagian Wilayah antar Sektor
Tujuan penlitian ini bukan untuk menilai manfaat dan strategi pengelolaan tertentu atau tentang pilihan sumberdaya, dan laporan ini menyarankan bahwa semua pilihan tidak seharusnya digunakan ataupun dikesampingkan sampai ada penilaian menyeluruh dari bantuan ahli. Namun dilihat dari perspektif isu-isu sosial dan ekonomi, sejumlah poin berharga berhasil didapatkan oleh sejumlah narasumber kunci terkait pengelolaan usaha penangkapan di dua tingkat yaitu pada tingkatan lokal dan di tingkat perairan kepulauan.
Dalam konteks Indoensia, pengelolaan usaha penangkapan di tingkat lokal, misalnya mengenai zona memancing di perairan pantai dimana diakses oleh komunitas atau operator berbeda nampaknya berhasil diimplementasikan di beberapa sektor:
Penyebaran upaya (effort) di wilayah perikanan, dimana ada insentif bagi nelayan
untuk mengkonsentrasikan upaya (effort) di lokasi yang paling efisien secara ekonomi. Misalnya di dekat pelabuhan, situs agregasi ikan (di daerah pengembangbiakan)
Pencegahan konflik perikanan antara nelayan lokal dan Andon, tipe alat tangkat
yang berbeda, dan antara sektor berskala besar dan berskala kecil. Melalui penjaminan pemberikan sejumlah hak usaha tertentu di level komunitas,
manajemen sumber daya bottom-up, dimana asosiasi perikanan lokal atau lembaga adat dapat menjadi mitra ko-manajemen formal dalam sektor perikanan. Dengan menyediakan hak yang tidak dapat dipindah-tangankan bagi komunitas lokal untuk memancing demi pemenuhan kebutuhan mereka, hal ini dapat mendorong komunitas lokal untuk ikut serta secara aktif mengawasi sumber daya ikan di areal lokal mereka.
Pendekatan ini akan memberikan pengalaman uji coba di level hak guna teritori para nelayan (Territorial Use Rights for Fishers—TURFs) di perikanan tuna YFT di Lombok. Pendekatan ini cukup menjanjikan berkenaan dengan manajemen konflik, walaupun tidak serta merta merupakan solusi keseluruhan untuk mengelola jumlah tangkapan (lihat Packer 2013). Sistem TURFs sudah digunakan di sektor perikanan skala kecil dan telah memberikan sejumlah kesuksesan seperti di perikanan siput di the Chilean Loco (lihat San Martin 2010) dan perikanan di Shetland Islands yang memanfaatkan izin yang diberikan untuk komunitas adat (lihat Anderson 2008).
Mengikuti alur berfikir ini, sejumlah tindakan pengelolaan wilayah yang dapat dipertimbangkan adalah penciptaan sebuah “zona perikanan kepulauan” bagi praktik penangkapan ramah lingkungannon-destruktif berskala kecil, sebagaimana dibahas pada percontohan di Maladewa (Barclay 2013). Hal ini bisa mencakup semua bagian dari FMA WPP 713-15. Manfaat dari pendekatan ini diantaranya:
Memastikan akses sumber daya bagi masyarat pesisir, yang merupakan solusi dalam
menangani isu ketahanan pangan dan tujuan sosial penyediaan lapangan kerja lokal. Kejelasan relatif untuk manajemen dan penegakan hukum, jika jelas batas-batasnya
dan didukung oleh sistem VMS. Secara jelas membatasi wilayah dimana ikan diproduksi secara berkelanjutan,
mendukung target akses terhadap pasar ekspor internasional yang berfokus pada YFT dan SKJ berkualitas tinggi.
Mereduksi konflik antar sektor.
Masing-masing dari contoh ini, pertimbangan sistem pengelolaan berbasis usaha juga memiliki potensi sukses sebagai sebuah pendekatan umum. Contoh kisah sukses yang berharga untuk dipertimbangkan adalah perikanan trawl udang di Australia utara (Kompas 2010) dan skema
Vessel Day untuk perikanan SKJ dan YFT di pasifik (Hanich 2010). Model bio ekonomi saat ini yang belum dipublikasikan memiliki potensi mendukung tema kunci ini dengan mencoba mengidentifikasi kelayakan skema vessel day. Data dari proyek ini terlampir di lampiran 5.
Apabila diamati secara umum terlepas dari strategi pengelolaan yang diadopsi, kebijakan yang jelas terkait ekspor tuna berkelanjutan melalui harvest strategy akan berkontribusi dalam menciptakan kepastian usaha bagi industri, nelayan berskala kecil, dan kesediaan pasar untuk membayar harga premium untuk tuna yang dipanen secara berkelanjutan. Kejelasan dan kemampuan memvalidari keefektifan pengelolaan merupakan dua kriteria kunci untuk kesuksesan sistem pengelolaan apapun.
Kesimpulan
Perbaikan proses tata kelola dan kapasitas pengelolaan di Indonesia merupakan
aspek kritis dalam jalur pengelolaan tuna, yang mendukung semua aspek kelestarian perikanan.
Sangat mungkin memperluas tata kelola kooperatif, khususnya terkait ko-manajemen
dengan pihak industri, institusi komunitas dan antar level pemerintahan. Reduksi konflik antar komunitas atau sektor dipandang sebagai tata kelola yang penting terkait sasaran pengelolaan, dan sangat erat kaitannya dengan solusi
permasalahan penurunan stok ikan. Pembagian alokasi sumber ikan berdasarkan akses pembagian wilayah yang jelas
dapat mengatasi potensi konflik.