Tema Kunci No. 4: Memperkuat Kepemerintahan Perikanan Tuna

3.6 Tema Kunci No. 4: Memperkuat Kepemerintahan Perikanan Tuna

  Semakin nampak bahwa eksistensi kepemerintahan atau tata kelola perikanan sangat penting untuk mendorong nelayan dan industri perikanan untuk merespon secara efektif terhdap penurunan volume perikanan, mencapai keuntungan yang terukur dan berkelanjutan dari aktifitas perikanan, dan sejalan dengan kepentingan sosial komunitas yang lebih luas. (lihat

  e.g. Erikkson et al. 2016, Bailey, Miller et. Al. 2016, Hartoto, Adrianto et al 2009, Cheung and Sumaila 2008, Andrew et.al 2007).

  10 peserta workshop memberikan respons yang menekankan manajemen yang efektif terkait tujuan-tujuan pengelolaan perikanan, referensi terkait aspek yang luas dari topik ini tersedia di lampiran 7. Secara keseluruhan, kejelasan tata kelola perikanan, strategi dan kebijakan serta penegakkan peraturan perundangan dipandang sebagai faktor-faktor penting dalam isu keberlanjutan perikanan SKJ dan YFT jangka panjang di FMAWPP 713-15.

  Sebagai contohnya, telah disebutkan sebelumnya pelarangan pengoperasian kapal ex asing dan alih muatan dipandang sebagai kebijakan yang positif dari sudut pandang kelestarian lingkungan, tetapi secara bersamaan juga bertolak belakang dengan pernyataan Menteri tentang target peningkatan ekspor sebelum 2019 (CEA 2016). Mengenai bagaimana target ekspor dapat dicapai secara keberlanjutan, sangat penting untuk menciptakan rencana yang jelas melalui HS dan proses kebijakan. Hal ini dipandang sebagai kemajuan yang positif oleh pelaku usaha yang ingin berinvestasi jangka panjang di sektor perikanan ini. Usaha peningkatan kapasitas dan pertukaran informasi di antara pemerintah, industri dan nelayan dipandang penting oleh para responden dalam studi ini. (lihat juga Bailey, Miller et. Al. 2016, ACIAR 2013).

  Observasi umum berikut ini muncul dalam penelitian atas isu ini. Pembuatan kebijakan yang optimal, pemantauan dan proses pengaturan, pengawasan dan kontrol (MSE) memiliki beberapa fungsi, diantaranya untuk:

   Mendukung pemberian insentif bagi nelayan agar menjaga level kelestarian

  perikanan, mendukung pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan biologi.  Memberikan insentif atas penyediaan informasi bagi otoritas manajemen perikanan  Menciptakan lingkungan investasi dan bisnis yang stabil, mendukung pencapaian

  tujuan ekonomi.  Mendukung penyediaan lapangan kerja yang berkelanjutan, mendukung pencapaian

  tujuan sosial.

  Sementara ketidakoptimalan pembuatan kebijakan, pengawasan dan proses pengaturan, pengawasan dan kontrol (MSE) akan mengakibatkan:

   Memperburuk level overfishing di sejumlah sektor, berdampak negatif bagi

  pencapaian tujuan sosial, ekonomi dan lingkungan (yaitu menjaga kelestarian stok ikan, meningkatkan lama perdagangan, menciptakan lapangan kerja yang stabil dan meminimalisir konflik).

   Mendorong nelayan untuk melakukan kesalahan pendokumentasian tangkapan

  kepada otoritas manajemen perikanan, mereduksi efisiensi dan efektifitas manajemen perikanan.

   Menciptakan ketidakpastian dan kebingungan yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi pencapaian tujuan ekonomi (kelangsungan usahakeuntungan, level investasi, pasokan bahan baku).

   Menciptakan perubahan yang tidak diharapkan dalam sektor ketersediaan lapangan

  kerja, yang juga berpengaruh butuh terhadap tujuan sosial (pekerjaan tetappemasukan, memperbaiki kesejahteraan).

Manajemen Kooperatif Perikanan Tuna

  Dalam sebuah literatur dituliskan bahwa manajemen kooperatif pada level-level tertentu memiliki fungsi membantu mengatasi tantangan manajemen perikanan tuna di pasifik barat dan khususnya Indonesia, dimana sektor privat memiliki peran aktif dalam mendukung menajemen perikanan tuna agar sesuai dengan standard manajemen perikanan tuna tingkat regional (Bailey, Miller et al. 2016).

  57 responden dalam survey online melaporkan keterlibatan asosiasi pekerja perikanan lokal atau asosiasi perwakilan industri dalam mengembangkan kebijakan perikanan. Sebanyak 50 responden juga melaporkan bahwa SASI atau institusi manajemen kelautan siap sedia dalam bidang perikanan mereka dan 48 nelayan melakukan praktik manajemen effort berdasarkan area perairan sebagai mekanisme manajemen informal (lihat juga Duggan et. Al. 2015). Dari interview juga didapatkan bahwa beberapa kelompok adat

  lokal di Papua Barat memainkan peranan dalam memberikan izin melaut bagi Kapal Andon, 5

  dan mendukung pengelolaan formal dengan asosiasi-asosiasi pekerja perikanan lokal dan juga mendukung nelayan untuk berpartisipasi berinisiatif pada kelestarian yang berorientasi pasar. Area-area tersebut teridentifikasi sebagai area potensial terjadinya kerjasama seperti ini (Bailey, Miller et. Al 2016, Adhuri et al. 2016, Pomeroy et Al. 2012).

  Ko-manajemen dengan industri juga dilaporkan cukup memungkinkan untuk diciptakan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa industri dan perusahaan pengolah hasil perikanan memiliki ketertarikan mengembangkan inisiatif berbasis pasar, dan juga mencari lingkungan investasi yang stabil. Inisiatif yang digagas industri bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi sepanjang jalur distribusi, dengan cara pengumpulan dan trans-shipping, juga membentuk area potensial untuk kerjasama pengelolaan, dengan efisiensi pengelolaan yang juga dapat tercapai melalui pola semacam ini.

  Elemen lain yang mengemuka terkait ko-manajemen adalah usaha menyeimbangkan antara manajemen tersentralisasi dan otonomi daerah (lihat juga CEA 2015). Secara umum, otonomi daerah dipandang sebagai kemajuan dari perkembangan politik Indonesia. Namun untuk spesies yang tingkat migrasinya tinggi, kemampuan kerjasama antar level di pemerintahan untuk dapat menciptakan pengelolaan yang efektif dilihat sebagai pilihan yang lebih baik.

  Saat ini, semua kapal dibawah 5GT diberi surat pendaftaran, 5-30GT diberi surat izin di pemerintah provinsi dan diatas 30GT diberi surat izin di level pemerintah pusat. Untuk meyakinkan pemberian izin di level pemerintahan daerah dapat dilacak secara efektif, sistem berbagi data dari level pemerintah daerah ke level provinsi dan nasional dipandang sangat penting sehubungan dengan jumlah kapal dibahwa 5GT yang sangat banyak.

  5 Kapal Andon adalah istilah yang digunakan bagi kapal yang melaut diluar teritori perairan asal. Surat izin Andon dapat diberikan kepada satu kapal untuk 1 bulan mencari ikan di area-area diluar provinsi, yang

  terdaftar dibawah surat izin formalnya. Dalam kebanyakan kasus, Andon diberikan izin oleh otoritas pemerintah daerah.

Konflik Antar Sektor

  Konflik antar sektor yang berbeda dilaporkan secara reguler, dan sejauh ini kasus yang paling umum terjadi adalah konflik yang terkait dengan manajemen rumpon. Dalam survei online, 20 dari 28 responden melaporkan setidaknya ada satu konflik diantara beberapa sektor, alat tangkap atau kelompok di wilayah perikanan, 50 dari konflik ini termasuk konflik yang berkaitan dengan rumpon, sementara 25-nya adalah konflik alat tangkap berskala kecil dan berskala besar. Secara keseluruhan 70 responden melaporkan bahwa penggunaan rumpon telah menimbulkan konflik di areal perairan mereka.

  Konflik relevan lainnya yang dilaporkan disini termasuk konflik antara nelayan asing dengan nelayan lokal (3 respon); konflik terkait nelayan yang tidak patuh terhadap peraturan pemerintah (4 respon); konflik mengenai konsumsi umpan hidup oleh manusia versus penggunaan untuk perikanan komersil (1 respon); konflik antara pemilik Ilustrasi dan masyarat pesisi (1 respon).

  Respons dalam studi ini cenderung membenarkan apa yang telah disebutkan dalam banyak literatur perikanan dan perikanan pesisir di Indonesia yang menggarisbawahi hubungan antara konflik sosial dan konflik intersektor dalam perikanan dan juga masalah penurunan stok ikan (lihat Hoshino et al. 2016, Murillas-Maza et al. 2014, Pomeroy et al. 2012, 2007). Untuk alasan ini, alokasi sumberdaya yang transparan dapat mengatasi masalah sosial dan biologi dalam perikanan, tema kunci yang diangkat adalah sebagai sasaran pengelolaan terkait tata kelola perikanan.

  Kesimpulan

   Perbaikan proses tata kelola dan kapasitas pengelolaan di Indonesia merupakan

  aspek kritis dalam jalur pengelolaan tuna, yang mendukung semua aspek kelestarian perikanan.

   Sangat mungkin memperluas tata kelola kooperatif, khususnya terkait ko-manajemen

  dengan pihak industri, institusi komunitas dan antar level pemerintahan.  Reduksi konflik antar komunitas atau sektor dipandang sebagai tata kelola yang penting terkait manajemen sasaran, dan sangat erat kaitannya dengan solusi

  permasalahan penurunan stok ikan.  Pembagian alokasi sumber ikan berdasarkan akses pembagian wilayah yang jelas

  dapat mengatasi potensi konflik.