Tema Kunci No. 2: Ketahanan Pangan
3.4 Tema Kunci No. 2: Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan diketahui sebagai kontribusi penting dari perikanan tuna di wilayah perencanaan HS, dan merupakan sebuah prioritas utama dalam proses perencanaan untuk dibahas (KKP 2016). Seperti telah disebutkan sebelumnya, perikanan skala besar dalam studi ini dilhat memiliki kontribusi ketahanan pangan terutama di level regional (mereka berkontribusi di pusat-pusat regional di Indonesia di tempat-tempat ikan didaratkan, dan mendistribusikannya ke pusat-pusat region lainnya—contoh dari Kendari ke Makassar), sementara itu perikanan skala kecil berkontribusi terhadap ketahanan pangan baik di level daerah ataupun region (melalui pendaratan ikan di pelabuhan besar untuk ketahanan pangan region, dan melalui banyaknya pelabuhan kecil yang tersebar di seluruh Indonesia bagian timur).
Sebagian besar tuna Indonesia diekspor baik dalam bentuk segar, beku atau dari perusahaan pengalengan dalam negeri (Sunoko dan Huang 2014). Dengan kurangnya statistic resmi, jawaban yang diperoleh dalam survei online memperlihatkan bahwa sebagian besar produksi masuk ke dalam operasi pengolahan, di mana jawaban berkisar antara 5 -
20 produksi tuna masuk ke pasar lokal, sementara sisanya dikirim ke pabrik pengolahan. Seringkali hal ini dilaporkan seluruhnya untuk ekspor, meskipun ada untuk pasar domestic dari tuna kalengan dengan tingkat yang lebih rendah.
Hal yang juga dicatat selama wawancara adalah tuna kurang dimanfaatkan sebagai sumber pangan di Indonesia di luar daerah perencanaan HS. Dengan banyaknya sumber, penelitian yang mencari kemungkinan peningkatan konsumsi domestik terhadap tuna yang bernilai lebih tinggi, terutama di daerah perkotaan utama di Jawad an Bali kelihatannya akan memberikan keuntungan dari perspektif kesehatan dan taraf hidup, dan kemungkinan besar juga dari perspektif ekonomi.
Akan tetapi di Indonesia bagian timur, ikan tuna menjadi sumber ketahanan pangan yang penting. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya:
‘Tuna kombinasi’ merupakan spesies dengan volume yang paling banyak ditangkap di
Indonesia bagian Timur. Konsumsi protein dari ikan adalah sebanyak 22 di WPP 713-15, termasuk provinsi
yang paling tinggi konsumsi proteinnya di negara ini (Maluku Utara, Maluku) Di beberapa provinsi, tuna dilaporkan sebagai spesies paling banyak dikonsumsi. Banyak perikanan yang dilaporkan tingginya ketergantungan pada protein ikan,
dilaporkan sering lebih dari 50 konsumsi protein.
Tingkat konsumsi ini termasuk kuantitas substansial dari YFT dan SKJ yang dijual melalui pasar lokal. Pewawancara melaporkan bahwa pada umumnya YFT dewasa yang tidak memenuhi kualitas untuk dijual ke perusahaan pengolahan dan eksportir yang dijual di pasar lokal. SKJ banyak disebut dalam survei online dijual di pasar lokal dan teramati di pasar Kendari, sementara YFT dan big eye tuna yang beranjak dewasa dalam jumlah yang cukup banyak juga dijual di pasar lokal. Neritic tuna, terutama tongkol (frigate tunas) juga menyumbang sebagian besar ketahanan pangan region, dan umumnya ditangkap dengan alat tangkap mini-purse seine bersama-sama dengan SKJ sementara YFT dan bigeye sebagai hasil tangkapan sampingan. Meskipun dilaporkan dalam statistic ekspor nasional bersama-sama dengan tuna lainnya, tingkat volume eskpor tuna per spesies termasuk tongkol tidak didapatkan dari data produksi yang tersedia secara umum.
Data dari Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari berikut ini menampilkan tingkat produksi tahun 2010 – 2014, dan menyediakan indikasi relatif terhadap spesies tangkapan dari salah satu pelabuhan di unit wilayah perencanaan HS.
Produksi di Pelabuhan Spesies Kendari, 2010-2014 ()
Tuna Sirip Kuning
Ilustrasi 5. Produksi Spesies Ikan Tuna di Pelabuhan Kendari, 2010 - (). Sumber PPS Kendari. Pengelolaan ikan tongkol dan spesies neritic lainnya tidak diangkat sebagai perhatian dari
perspektif biologi stok dalam studi ini, dan hal yang muncul adalah sedikitnya perhatian terhadap tongkol dari perspektif peneliti atau pengelolaan, meskipun peran pentingnya dalam ketahanan pangan akan menjamin perhatian ke depannya. Hal ini akan diperdebatkan sebagai implikasi tren stok untuk YFT di level region, yang mana masih di wilayah hijau namun dilacak mengarah ke status overfishedoverfishing (lihat WCPFC 2014). Salah satu orang yang diwawancarai menekankan bahwa jika pengkajian stok YFT di sub- region keluar maka argumen untuk mengurangi kegiatan purse seine di sekitar FAD akan menguat, sebagaimana argument yang mengemuka di pengelolaan stok nasional dan bilateral. Dalam kasus tertentu, dampak YFT yang beranjak dewasa lebih besar kemungkinannya untuk tertangkap saat stok lebih dibatasi, dan pengaruh dari pengelolaan di bawah level RFMO, seperti misalnya harvest strategies di tingkat sub-regional dan sub- nasional, kemungkinan lebih efektif. Hal ini potensial penting, di mana sifat alami stok tuna yang berrpindah sering dianggap halangan dalam memilih tindakan awal keberlanjutan oleh salah satu aktor kepemerintahan (lihat referensi).
Meskipun perikanan tuna yang menangkap tongkol berbasis pada rumpon, dan literatur yang menyarankan penggunaan rumpon di pasifik untuk menguatkan ketahanan pangan ketika digunakan sebagai bantuan perikanan yang berorientasi pada pesisir (e.g. Bell et al. 2015), pendapat umum yang didapat dalam survei online adalah penggunaan rumpon tidak berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan pangan. Hanya 20 responden di survei online yang menyatakan bahwa rumpon memiliki peran penting peningkatan ketahanan pangan untuk masyarakat pesisir.
Hal ini dapat dijelaskan dari fakta bahwa kebanyakan responden mempertimbangkan jawaban tersebut dalam kaitannya dengan perikanan YFT dan SKJ pada khususnya di mana dimana perikanan YFT dan SKJ yang menggunakan rumpon kurang berperan di dalam ketahanan pangan setempat kecuali untuk perikanan tongkol. Kemungkinan bahwa perikanan purse seine yang berbasis rumpon diketahui menghasilkan pertumbuhan dan mengambil bagian praktik overfishing (lihat Monintja dan Mathews 2000 untuk contohnya, di Indonesia). Hal yang mengemuka sebagai pandangan umum di antara nelayan HL dan PL di Kendari, dan dari sejumlah narasumber lainnya, bahwa meningkatnya jumlah rumpon dan armada purse seine sejak tahun 2000-an telah menghasilkan meningkatnya kompetisi sumber daya alam dan penurunan stok, yang mengikis ketersediaan ikan.
Penelitian mengenai interaksi antara rumpon, dinamika stok dan ketahanan pangan akan sangat berharga, di mana Evans et al. (20016) mengidentifikasikan perikanan rumpon sebagai sumber utama ketidakpastian pengelolaan SKJ di Western Pacific.
Hal yang dapat dibahas adalah mengenai:
Bagaimana dan dalam bentuk apa status ketahanan pangan dan keadaan sosial
ekonomi kegiatan penangkapan ikan lintas sektor akan berubah jika terjadi peningkatan perikanan berbasis rumpon dan perubahan cukup besar dalam alat tangkap yang berhubungan dengan perikanan tersebut.
Membuat model potensi dampak terhadap ketahanan pangan dari perubahan stok
disebabkan tetap dilanjutkannya perikanan berbasis rumpon dalam jangka panjang. Membuat model potensi dampak terhadap ketahanan pangan dari pengurangan
jumlah rumpon dan keseluruhan usaha perikanan yang berbasis rumpon.
Di dalam lokakarya sasaran pengelolaan, ada 9 tanggapan mengenai ketahanan pangan. Jawaban-jawaban ini umumnya tidak dijabarkan, hanya menyatakan ketahanan pangansumber protein sebagai prioritas, selain itu: satu orang mengidentifikasi bahwa tindakan untuk mengalokasi secara kewilayahan antar sektor harus ada untuk menjamin ketahanan pangan agar tidak dikorbankan, satu orang mengidentifikasikan terjaminnya keamanan pangan lokal dan kualitas ikan tidak berpengaruh negatif dari ekspor ikan ke pasar luar negeri, dua orang menjawab terjaminnya ketahanan pangan untuk pesisirpedesaan dan masyarakat daerah tertinggal sebagai prioritas, satu orang menjawab peningkatan ketersediaan nutrisi dari pasokan ikan sebagai prioritas. Jawaban terakhir ini merujuk pada manfaat kesehatan dari terjaminnya pola konsumsi berbasis ikan yang dapat dicapai di antara masyarakat umum, dan terutama di area yang tidak aman secara ekonomi
dan pangan. 4
Dalam hubungannya dengan pengembangan rencana aksi sasaran pengelolaan, pekerjaan sosial ekonomi mengenai ketahanan pangan sebaiknya berfokus pada membangun detail ke tingkat yang lebih luas lagi terkait sasaran pengelolaan level atas ini – contohnya:
Mengidentifikasi secara jelas komunitas mana yang dapat memperoleh beberapa jenis tuna sebagai sumber pangan, dan dari perikanan apa (misalnya komunitas nelayan, komunitas pesisir, komunitas perkotaan provinsi, pusat-pusat perkotaan utama – ikan utuh segar, loin segar, kalengan, SKJYFTTongkol asap)
Dari perikanan apa dan melalui alat apa kelompok-kelompok yang berbeda ini
memperoleh pasokan ikan (P+L, HL, PS, LL, dengan atau tanpa rumpon – pasar lokal [ikan segar], membeli kalengan setempat, pasar di pusat kota [ikan segar], membeli ikan kalengan di pusat kota.
Bagaimana status ketahanan pangan dan manfaat yang diperoleh dari pasokan tuna
(apakah sebagai sumber pangan atau sebagai sumber pendapatan) berubah dari waktu ke waktu.
Hal ini dapat memberikan analisis bagaimana sektor-sektor penduduk yang berbeda dipengaruhi oleh strategi pengelolaan yang berbeda dalam hubungannya dengan perolehan tuna sebagai sumber pangan, dan alokasi yang sumber daya yang sesuai dalam
4 Hal yang juga harus dicatat adalah bahwa pada komunitas perikanan pesisir yang rentan secara ekonomi di Filipina,
dalam penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa ikan sering dijual terutama untuk memperoleh nasi, daripada untuk dikonsumsi langsung, dan bahwa ketersediaan pendapatan dianggap sama pentingnya dengan ketersediaan ikan untuk menjamin pasokan makanan. Hal ini menggarisbawahi kompleksnya mencapai ketahanan pangan – meningkatnya ketersediaan ikan mungkin dibutuhkan sebagai sumber protein secara langsung, tapi peningkatan ketersediaan perikanan yang layak secara ekonomi juga penting untuk menjamin masyarakat dapat menjualnya untuk kebutuhan pokok lainnya. Lihat Fabinyi et al. (2016).
memperbaiki tingkat kemiskinan, mata pencaharian alternatif dan program ketahanan pangan yang dapat dilakukan bersama-sama dengan implementasi harvest strategy.
Kesimpulan
Tuna memiliki peran penting untuk ketahanan pangan di Indonesia bagian Timur,
namun tampaknya kurang dimanfaatkan sebagai sumber pangan nasional. Jika memungkinkan, meningkatnya konsumsi tuna dalam negeri akan memiliki manfaat yang patut dipertimbangkan sebagai sumber nutrisi, dan untuk ke depannya membuka pasar tuna yang berbiaya efisien bagi pertumbuhan penduduk kota.
Perikanan skala kecil menyediakan kontribusi ketahanan pangan yang penting
langsung ke masyarakat pesisir di Indonesia bagian Timur melalui pasokan ikan ke pasar lokal dan ikan sebagai pendapatan, dan juga berkontribusi pada ketahanan pangan level regional.
Kapal-kapal purse seine memberikan manfaat ketahanan pangan di pusat-pusat
regional dan juga tingkat lokal di Indonesia bagian Barat melalui penjualan tangkapan ikan tongkol dan cakalang, dan di level yang lebih rendah melalui tangkapan YFT.
Manfaat ketahanan pangan dalam jangka pendek yang terkait dengan perikanan PS
harus dihitung dan dibandingkan dengan potensi eksploitasi berlebihan oleh kapal PS yang menangkap kumpulan ikan di rumpon. Penelitian lebih lanjut mengenai topik ini harus dipertimbangkan sebagai prioritas.
Perikanan P+L dan handline kemungkinan besar juga berkaitan dengan rumpon namun