Tema Kunci No. 3: Efisiensi dan nilai ekonomis perikanan tuna

3.5 Tema Kunci No. 3: Efisiensi dan nilai ekonomis perikanan tuna

  Terdapat 24 masukan terkait perbaikan nilai ekonomis perikanan tuna yang dihasilkan dari Lokakarya Sasaran Pengelolaan, yang merupakan tema terpenting kedua dari semua tema kunci.

  Secara umum, integrasi metode-metode ekonomi formal dalam proses perencanaan perikanan dapat dikatakan lebih berkembang daripada dalam metode-metode sosial (Pascoe et al. 2014), dan cukup banyak sektor perikanan di dunia saat ini yang menggunakan pendekatan motif-motif ekonomi (Cheung and Sumaila 2008, Grafton et al. 2010, Kompas et al. 2010). Terdapat setidaknya 2 faktor yang layak dipertimbangkan dalam sasaran pengelolaan berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi untuk perikanan tuna di Indonesia.

  Pertama, dalam sektor perikanan tangkap, titik rasio keuntungan maksimal dibandingkan biaya produksi (level produksi yang paling efisien secara ekonomi) biasanya berada di level produksi yang lebih rendah dibandingkan potensi maksimal produksi perikanan (Maximum Sustained Yield atau MSY—red, potensi maksimal produksi perikanan berkelanjutan). Sederhananya, untuk memaksimalkan keuntungan, ahli ekonomi akan memberitahu bahwa kita harus menangkap ikan dibawah titik MSY (lihat Grafton et al. 2010, Gordon 1954). kedua, efisiensi produksi juga ditentukan oleh nilai dari spesies target tangkapan dimana penitikberatan tangkapan untuk spesies dengan nilai yang lebih tinggi sangat memungkinkan tercapainya keuntungan yang lebih besar tetapi dengan usaha yang sama. Dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip ekonomi sektor perikanan tangkap lebih mendorong untuk menangkap ikan pada tingkat ekspoitasi yang lebih rendah dari MSY dan Juga mendorong untuk lebih terfokus pada spesies ikan yang bernilai lebih tinggi.

  Ada beberapa kondisi yang perlu diperhatikan agar tujuan-tujuan ekonomi—memaksimalkan keuntungan—dapat tercapai dengan efektif. Secara khusus di negara-negara berkembang dengan populasi nelayan skala kecil yang banyak, tujuan-tujuan ekonomi tersebut dapat tercapai walaupun harus berkompromi (red—trade off) dengan beberapa tujuan sosial yang krusial seperti penyediaan mata-pencaharian, pangan dan lapangan kerja, dan bahwa manajemen tingkat tinggi dan peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk meminimalisir efek- efek dari trade-off ini. Diperlukan juga implementasi tolok ukur yang mampu secara efektif mereduksi proses dan biaya produksi dan menjaganya agat tetap berada pada level produksi optimal yang ekonomis. (lihat Sumaila 2010, Cheung and Sumaila 2008).

  Hal ini menjadi penting karena penciptaaan kesempatan kerja dipandang sebagai tujuan yang penting oleh 13 peserta workshop, selain tujuan yang telah disepakati yaitu memastikan kesejahteraan komunitas nelayan dan SSF.

  Walaupun demikian, prinsip-prinsip ekonomi masih memiliki peran yang cukup penting dalam mengoptimalisasi keuntungan ekonomi terkait tujuan-tujuan lain tersebut walaupun pengelolaan perikanan untuk mencapai hasil ekonomi maksimal mungkin tidak disarankan dan ini membuat Indonesia dipandang siap untuk mengimplementasikan proses-proses tersebut.

  Jelas nampak bahwa usaha penangkapan ikan telah menurun pasca moratorium kapal e- asing dan larangan alih muat. Menyadari pentingnya peningkatan usaha penangkapan ikan ini ke dalam perencanaan jangka panjang sebagai salah satu aspek harvest strategy, ada strategi lain yang juga penting yaitu mengusahakan akses terhadap pasar yang lebih menguntungkan disamping usaha memperbaiki efisiensi jaringan distribusi (red—supply chains). Jika diimplementasikan secara efektif, hal ini dapat memperbaiki rasio proses dan biaya produksi (red—effort) terhadap keuntungan ekonomi dimana keuntungan dapat terus Jelas nampak bahwa usaha penangkapan ikan telah menurun pasca moratorium kapal e- asing dan larangan alih muat. Menyadari pentingnya peningkatan usaha penangkapan ikan ini ke dalam perencanaan jangka panjang sebagai salah satu aspek harvest strategy, ada strategi lain yang juga penting yaitu mengusahakan akses terhadap pasar yang lebih menguntungkan disamping usaha memperbaiki efisiensi jaringan distribusi (red—supply chains). Jika diimplementasikan secara efektif, hal ini dapat memperbaiki rasio proses dan biaya produksi (red—effort) terhadap keuntungan ekonomi dimana keuntungan dapat terus

  Untuk mendukung observasi tersebut diatas, terdapat pembagian respons berdasarkan 3 tujuan yang berbeda sebagaimana disebutkan dalam undang-undang perikanan tahun 2004, dengan fokus utama meningkatkan nilai dan daya saing perikanan tuna. Meningkatkan produktivitas, kualitas, nilai tambah daya saing perikanan tuna menerima 21 respons; meningkatkan pertukaran nilai mata uang asing mendapatkan 3 respons; meningkatkan pasokan bahan baku untuk industri pemrosesan ikan mendapatkan 1 respons

  Secara umum, pendekatan yang mungkin berhasil diterapkan di Indonesia adalah dengan mencoba membatasi usaha penangkapan ikan pada level yang sama dengan saat ini, yaitu kenaikan produksi yang direncanakan dengan hati-hati, dan proses penangkapan dan pengiriman ikan yang cepat untuk meningkatkan nilai dari hasil tangkapan melalui efisiensi jaringan distribusi perikanan, termasuk juga mengakses pasar yang lebih menjanjikan marjin laba yang lebih besar. Sebelum menerapkan strategi ini, disarankan juga untuk mempertimbangkan perkembangan perikanan dalam 10-15 tahun terakhir.

Pengelolaan Usaha Penangkapan Ikan, Rumpon dan Efisiensi Ekonomi

  Telah diketahui bahwa rumpon meningkatkan efisiensi penangkapan ikan karena penggunaan rumpon dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menemukan lokasi ikan. Dari survey online, 54 responden menyatakan bahwa penggunaan rumpon mengurangi biaya usaha secara signifikan. Sektor perikanan pole and line di Maluku Utara mendapatkan kenaikan lebih dari 40 hasil tangkapan terkait meningkatnya penggunaan rumpon pada tahun 1990-an, yang meningkatkan CPUE menjadi 41 lebih banyak; jumlah tangkapan ikan per 1 ton umpan hidup naik 24; konsumsi solar untuk melaut dan menangkap ikan tuna menurun

  46, dan keuntungan naik dari Rp. 10 juta menjadi Rp. 60 juta per perahu per tahun. (Monintja and Marten 2000).

  Pertanyaan yang muncul adalah jika penggunaan rumpon meningkatkan efisiensi, dan efisiensi adalah bagian dari sasaran pengelolaan, maka ‘kenapa kita sampai pada keadaan dimana terlalu banyak biaya dan usaha untuk proses penangkapan tuna di Indonesia?’ Pendekatan lain untuk melihat korelasi keduanya adalah dengan bertanya ‘bagaimana peningkatan efisiensi terkait penggunaan rumpon mempengaruhi proses dan biaya (usaha, red—effort) penangkapan ikan?

  Sebuah studi tentang rumpon pada kapal-kapal penangkap ikan Spanyol yang menargetkan YFT di Samudera Hindia memberikan beberapa pelajaran penting terkait masalah ini (lihat Murillas-Maza et. al 2013). Ketika rumpon diperkenalkan untuk usaha perikanan di tahun 1990-an, para peneliti dan pengelola berharap bahwa sehubungan dengan peningkatan efisiensi dalam hal waktu dan BBM yang dibutuhkan untuk menangkap tuna, maka viabilitas sosial-ekonomi perikanan tuna dapat meningkat. Untuk setiap tangkapan ikan, keuntungan akan lebih besar karena perbandingan biaya terhadap keuntungan menurun, menghasilkan penghasilan yang lebih besar bagi nelayan dan keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Apa yang para peneliti temukan faktanya adalah bahwa setelah rumpon diperkenalkan, baik viabilitas biologis maupun sosial ekonomi perikanan tuna malah menurun. Alasannya adalah karena strategi yang diterapkan oleh nelayan sebagai respons meningkatnya efisiensi berbeda dari yang diharapkan oleh para peneliti. Dengan kata lain, pengusaha diharapkan menjaga takaran usaha pada level yang sama dengan tujuan memanfaatkan kenaikan keuntungan dari jumlah tangkapan yang sama tapi dengan proses yang lebih efisien, tetapi mereka malah menyediakan insentif bagi kapal-kapal penangkap Sebuah studi tentang rumpon pada kapal-kapal penangkap ikan Spanyol yang menargetkan YFT di Samudera Hindia memberikan beberapa pelajaran penting terkait masalah ini (lihat Murillas-Maza et. al 2013). Ketika rumpon diperkenalkan untuk usaha perikanan di tahun 1990-an, para peneliti dan pengelola berharap bahwa sehubungan dengan peningkatan efisiensi dalam hal waktu dan BBM yang dibutuhkan untuk menangkap tuna, maka viabilitas sosial-ekonomi perikanan tuna dapat meningkat. Untuk setiap tangkapan ikan, keuntungan akan lebih besar karena perbandingan biaya terhadap keuntungan menurun, menghasilkan penghasilan yang lebih besar bagi nelayan dan keuntungan yang lebih besar bagi perusahaan. Apa yang para peneliti temukan faktanya adalah bahwa setelah rumpon diperkenalkan, baik viabilitas biologis maupun sosial ekonomi perikanan tuna malah menurun. Alasannya adalah karena strategi yang diterapkan oleh nelayan sebagai respons meningkatnya efisiensi berbeda dari yang diharapkan oleh para peneliti. Dengan kata lain, pengusaha diharapkan menjaga takaran usaha pada level yang sama dengan tujuan memanfaatkan kenaikan keuntungan dari jumlah tangkapan yang sama tapi dengan proses yang lebih efisien, tetapi mereka malah menyediakan insentif bagi kapal-kapal penangkap

   Meningkatnya usaha (proses dan biaya produksi), menghilangkan aspek keuntungan

  reduksi biaya dari penggunaan rumpon.  Menurunnya penghasilan nelayan karena keuntungan tidak mengalami kenaikan

  sementara jam kerja meningkat.  Kelebihan pasokan ikan di pasar yang menyebabkan harga ikan menurun.  Meningkatkan konflik dengan armada kapal longline.  Menurunnya jumlah ikan di perairan.

  Ketiadaan kontrol regulator baik dari pemerintah maupun dari LSM pada level usaha atau effort dalam usaha perikanan menyebabkan keuntungan yang dihasilkan dari rumpon malah hilang. Perikanan tuna menjadi tidak dapat berkelanjutan baik dari sisi sosial ekonomi bagi para nelayan maupun dari sisi ketersediaan ikan di perairan.

  Masalahnya bukan terletak pada penggunaan rumpon versus menangkap kelompok ikan yang sedang berenang bebas... dengan ketiadaan mekanisme kontrol, nampaknya penangkapan ikan menggunakan rumpon malah digunakan untuk dapat menangkap ikan sebanyak-banyaknya, apalagi saat ini tersedia alat tangkap yang lebih efisien dan dapat digunakan secara masif. (Murillas-Maza et. al 2013).

  Masalah ini rupanya adalah apa yang terjadi di perairan kepulauan Indonesia 10-15 tahun terakhir, dimana penyebaran penggunaan rumpon yang cepat dibarengi dengan meningkatnya jumlah kapal yang otomatis meningkatkan aspek usaha penangkapan. Hasil observasi para nelayan atau pengusaha perikanan menunjukkan bahwa sejak sekitar tahun 2000, kompetisi memperebutkan sumberdaya ikan antar kapal berbasis rumpon dan perkiraan penurunan stok ikan di perairan tercermin dari meningkatnya waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk menangkap tuna. Nelayan pole and line dan perusahaan pengolahan ikan juga melaporkan bahwa sejak krisis ekonomi 1998 kapal P + L dan kapal besar HL di kendari mengalami penurunan 30 dari kapasitasnya disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Para nelayan pemasok perusahaan pengolahan ikan di kendari juga melaporkan bahwa jarak yang harus ditempuh untuk menemukan kelompok ikan semakin jauh. Informasi data perikanan tangkap secara garis besar juga mendukung hasil observasi ini, dengan kenaikan produksi sejak tahun 2000, dari 800,000 ton ikan tuna naik mencapai 1.2 juta ton di tahun 2013 (CEA 2016). Secara umum dapat disimpulkan bahwa dengan kenaikan produksi dan kompetisi memperebutkan sumberdaya ikan, telah terjadi economic overfishing di beberapa sektor perikanan tuna Indonesia. Economic overfishing terjadi ketika usaha (effort) melebihi level yang dibutuhkan dan malah mencapai MSY, dimana kenaikan produksi tidak serta-merta meningkatkan keuntungan, dan nelayan harus menangkap ikan lebih banyak hanya untuk mendapatkan keuntungan yang sama.

  Kesimpulan inti dari pembahasan tentang pengelolaan rumpon ini adalah bahwa segala upaya untuk memaksimalkan nilai ekonomi dan efisiensi perikanan tuna harus juga dibarengi dengan intervensi aktif dari negara untuk mengatur usaha penangkapan dan jumlah rumpon, sehingga keuntungan yang dihasilkan dari efisiensi tidak tereduksi oleh kelebihan usaha dalam penangkapan ikan, sebagaimana yang dapat terjadi di kondisi alami di perairan bebas tanpa rumpon.

Mengakses Pasar yang Lebih Menjanjikan

  Data mengenai volume dan nilai dari ekspor tuna segar dan beku dari Indonesia berdasarkan tujuannya cukup berharga untuk pertimbangan lebih jauh tentang harvest strategy terkait diskusi akses pasar ini. Sebagaimana disebutkan oleh Guillotreau et al (2016), ada dua pasar tuna berskala global yaitu Pasar Sashimi di Jepang dimana tuna berukuran besar diperjualbelikan termasuk YFT, dan pasar pengalengan SKJ (termasuk sejumlah spesies tuna lainnya dan juga YFT), dengan Thailand sebagai pusat pengolahan untuk pasar-pasar tersebut. Tahun 2010, ekspor tuna Indonesia ke pasar Jepang menyumbang 30 volume (ranking 1) dan 60 dari total (rangking 1), sementara ekspor ke pasar Thailand menyumbang 10 total volume (rangking 3) dan sekitar 20 dari total (rangking 4). Sebelum tahun 2014, volume ekspor ke Thailand melonjak dan menjadikannya rangking 1 yang menyumbang sekitar 30 volume tuna di pasar tersebut, namun masih hanya menyumbang 15 dari total nilai (rangking ke 3), walaupun terjadi kenaikan nilai absolut sebanyak 87. Volume ekspor ke Jepang sementara itu sedikit menurun dan secara keseluruhan sumbangan volume tuna dari Indonesia menurun drastis dengan kenaikan ekspor secara total hanya dibawah 20.

  Ilustrasi 6. Volume dan Nilai Ekspor Perikanan Tuna, 2010-2014 (Sumber KKP 2015)

  Analisis ini masih bersifat mentah yang masih mengabaikan beberapa faktor penting, tapi cukup memberikan ilustrasi penting keuntungan mengakses pasar yang memiliki nilai tuna, juga memberikan informasi untuk analisis studi ekonomi yang lebih detail tentang perikanan di FMAWPP 713-15. Bahkan dengan kenaikan besar dalam volume dan nilai ekspor, ekspor ke Thailand masih belum dapat meningkatkan kontribusi keseluruhan nilai ekspor atau melebihi nilai ekspor ke Jepang, walaupun ekspor ke Jepang mengalami penurunan dalam Analisis ini masih bersifat mentah yang masih mengabaikan beberapa faktor penting, tapi cukup memberikan ilustrasi penting keuntungan mengakses pasar yang memiliki nilai tuna, juga memberikan informasi untuk analisis studi ekonomi yang lebih detail tentang perikanan di FMAWPP 713-15. Bahkan dengan kenaikan besar dalam volume dan nilai ekspor, ekspor ke Thailand masih belum dapat meningkatkan kontribusi keseluruhan nilai ekspor atau melebihi nilai ekspor ke Jepang, walaupun ekspor ke Jepang mengalami penurunan dalam

  Melalui usaha yang difokuskan pada praktik-praktik penangkapan ikan skala kecil dan non- destruktif, kenaikan nilai ekspor tuna dapat dimungkinkan tanpa perlu meningkatkan produksi tuna secara keseluruhan. Hal ini dimungkinkan terjadi dengan dua cara. Pertama, dengan menaikan kualitas tuna agar dapat mengakses pasar sashimi di Jepang, ditambah pula dengan trend popularitas pasar sashismi di luar Jepang (ex. di AS dan Eropa). Dengan banyaknya YFT di perairan Indonesia, dan jarak yang relatif dekat ke Jepang, maka fakta ini dapat dipelajari dan dijadikan strategi untuk meningkatkan keuntungan ekonomi.

  Saat ini YFT loins yang diproduksi oleh nelayan pancing ulur di Wakatobi, contohnya, dieskpor ke Eropa dan AS untuk bahan steak dan sashimi dengan kualitas paling tinggi. Meningkatkan kualitas produk untuk mengakses pasar sashimi di Jepang dapat meningkatkan harga jual tuna. (Guillotreau et al 2016). Kedua, dengan mendukung usaha eco-labelling untuk produksi tuna berkelanjutan yang dapat di-verifikasi. Hal ini kadangkala membuat harga tuna lebih mahal diatas harga pasar pada umumnya (Barclay 2013). Kemampuan mengakses pasar internasional yang menjanjikan dan kepercayaan terhadap nama produk dan loyalitas pembeli telah terbukti memberikan keuntungan yang signifikan. Dari fakta tersebut, akan lebih baik jika pengalaman tersebut dijadikan pelajaran untuk dapat diterapkan di wilayah pasar lain, yaitu ekspor tuna dengan disertai dokumentasi produksi tuna berkelanjutan yang kredibel agar dapat mengakses pasar-pasar potensial lainnya. Barclay (2013) mendiskusikan secara mendalam tentang implementasi model pengembangan perikanan yang terfokus pada perikanan berskala kecil di pasifik, agar dapat melepaskan ketergantungan pada pengembangan perikanan berskala besarindustry. Contoh yang disebutkan oleh Barclay adalah perikanan di Maladewa (pp.24-28). Usaha peningkatan tuna skala kecil telah ada selama berabad-abad di Maldives, dan sejak tahun 1970-an usaha perikanan ini telah mengekspor SKJ yang dikalengkan, tuna untuk sashimi ke pasar Jepang dan juga untuk pasar lokal termasuk untuk pasar turis domestik. Semua nelayan lokal berskala kecil diperbolehkan menangkap ikan di perairan Maladewa tetapi tidak untuk yang berskala industri yang sejak awal tidak pernah mendapat izin untuk menangkap ikan di Maldives, dengan pengecualian untuk sejumlah kapal pole and line. Rumpon berjangkar dimanfaatkan dibawah pengawasan pengelola domestik dimana nelayan kecil berhasil mengambil manfaat dari efisiensi proses dan biaya produksi dari penggunaan rumpon tersebut.

  Sejumlah faktor kesuksesan tersebut dapat diterapkan untuk sektor perikanan di perairan Indonesia, diantaranya: pertama, kesuksesan sektor perikanan di Maldives bergantung pada kombinasi strategi dan alat tangkap, dengan SKJ dan YFT yang ditangkap pada waktu tertentu, dan juga didasarkan pada pemisahan produk untuk ekspor dan pasar domestik; kedua, perikanan disana tidak memberi izin tangkap bagi aktivitas penangkapan ikan berskala besar ataupun yang bersifat destruktif yang dapat menimbulkan masalah overfishing; Ketiga, penggunaan sistem yang efektif dan tepat guna dalam mengatur kapal- kapal penangkap berskala kecil yaitu dalam hal pemberian izin, regulasi, pemantauan dan pelaporan; Keempat, nelayan kecil dilindungi dari fluktuasi harga internasional dengan cara nelayan menjual produknya ke perusahaan milik negara yang mengatur pemrosesan dan ekspor, dan juga diberikan garansi harga produk yang tetap.

  Faktor terakhir disebutkan memang tidak begitu dapat diterapkan di perikanan Indonesia yang luas dan kompleks, tetapi Barclay menekankan bahwa pasar-pasar yang menerapkan system eco-labelling dan fokus terhadap isu kelestarian tuna, kalaupun tidak selalu dapat memberikan harga jual yang tinggi, dapat memberikan jaminan kestabilan harga jual tuna (2013). Hal ini sejalan dengan usaha penerapan sertifikasi MSC untuk tuna yang ditangkap nelayan pole and line di Indonesia (lihat Duggan et. al 2015), dan juga sejalan dengan tujuan RPP Tuna Tongkol Cakalang (National Plan of Action-NPOA) untuk memenuhi permintaan Faktor terakhir disebutkan memang tidak begitu dapat diterapkan di perikanan Indonesia yang luas dan kompleks, tetapi Barclay menekankan bahwa pasar-pasar yang menerapkan system eco-labelling dan fokus terhadap isu kelestarian tuna, kalaupun tidak selalu dapat memberikan harga jual yang tinggi, dapat memberikan jaminan kestabilan harga jual tuna (2013). Hal ini sejalan dengan usaha penerapan sertifikasi MSC untuk tuna yang ditangkap nelayan pole and line di Indonesia (lihat Duggan et. al 2015), dan juga sejalan dengan tujuan RPP Tuna Tongkol Cakalang (National Plan of Action-NPOA) untuk memenuhi permintaan

Memperbaiki Efisiensi Panjangnya Rantai Pasokan

  Hal penting yang muncul dari observasi masalah yang dihadapi Indonesia sebagai pengekspor seafood adalah panjangnya jaringan distribusi internal.

  Di beberapa daerah, jaringan distribusi bisa dikatakan relatif pendek, di mana nelayan lokal dapat menurunkan muatan di pelabuhan terdekat dan hasil tangkapan mereka dikirimkan langsung ke tempat pengalengan dan dieskpor. Tetapi di beberapa daerah lain, situasinya cukup komplek. Nelayan pancing di Wakatobi contohnya, mereka menangkap YFT yang dibekukan di laut, menjualnya ke perantara di Wakatobi yang kemudian akan mengirimkannya sejauh 200km ke tempat pengepul di Kendari, kemudian menjualnya ke eksportir di Kendari, mempersiapkan tuna untuk steak siap kirim ke pasar Eropa. Melalui jaringan ini, pihak pengepul secara berkala mengadakan kontak terhadap setidaknya 1000 nelayan pancing. Proses yang sama juga terjadi bagi nelayan YFT di Kepulauan Banda, dimana mereka mengirimkan hasil tangkapannya sejauh hampir 2000km ke Surabaya dan Jakarta untuk pemrosesan akhir sebelum siap ekspor.

  Berikut adalah Isu-isu kunci berkenaan dengan usaha perbaikan harga dan pemasaran produk tuna Indonesia terkait masalah jaringan distribusi tuna yang dihasilkan dari beberapa interview dan workshop:

   Ketersediaan balok-balok es  Peningkatan keahlian nelayan dan pihak pemroses tuna terkait teknik penanganan

  ikan untuk memperbaiki kualitas produk tuna yang memenuhi standar keamanan dan kesehatan.

   Perbaikan sarana penyimpanan dan transportasi tuna sepanjang jaringan distribusi.  Meningkatkan keanekaragaman produk ikan tuna  Perbaikan pemasaran tuna  Meningkatkan pasokan dan efisiensi umpan hidup untuk operasi pole and line.

  Sebagaimana disebutkan di poin terakhir, hal mendasar terkait masalah jalur distribusi perikanan tuna di FMAWPP 713-15 adalah umpan hidup yang dipasok untuk sektor perikanan pole and line. Terkait kekurangan pasokan ikan tuna pasca moratorium kapal ex asing, kemampuan sektor pole and line untuk memenuhi kebutuhan industri pemrosesan tuna dilaporkan terhambat dikarenakan kekurangan pasokan umpan, dan di beberapa kasus kehabisan umpan sama sekali. Dapat dilihat bahwa usaha membudidayakan umpan hidup dimaksudkan untuk mengatasi masalah ini. Dalam konteks efisiensi, budidaya umpan hidup juga sekaligus memberikan waktu untuk umpan hidup di perairan untuk terus bertambah (lihat Lewis 2015, Gillet 2014). Pengadaan ikan umpan untuk aktifitas pole and line di Larantuka sudah dilakukan, termasuk pengembangan harvest strategy dan indikator perikanan oleh WWF, yang semoga menjadi percontohan yang berhasil. Banyak dilaporkan kasus kekurangan pasokan umpan di Indonesia, dan di banyak kasus hal ini bukan dikarenakan oleh overfishing tapi lebih karena variabel-variabel alami, teknik penanganan umpan dan di beberapa kasus dikarenakan umpan juga dikonsumsi oleh manusia. Pemerintah diharapkan dapat membantu menangani masalah terkait penggunaan ikan umpan untuk selain kepentingan menangkap ikan tuna, dan juga mengadakan pelatihan dan pendidikan mengenai teknik penanganan ikan tangkapan. Salah satu solusi atas masalah efisiensi jalur Sebagaimana disebutkan di poin terakhir, hal mendasar terkait masalah jalur distribusi perikanan tuna di FMAWPP 713-15 adalah umpan hidup yang dipasok untuk sektor perikanan pole and line. Terkait kekurangan pasokan ikan tuna pasca moratorium kapal ex asing, kemampuan sektor pole and line untuk memenuhi kebutuhan industri pemrosesan tuna dilaporkan terhambat dikarenakan kekurangan pasokan umpan, dan di beberapa kasus kehabisan umpan sama sekali. Dapat dilihat bahwa usaha membudidayakan umpan hidup dimaksudkan untuk mengatasi masalah ini. Dalam konteks efisiensi, budidaya umpan hidup juga sekaligus memberikan waktu untuk umpan hidup di perairan untuk terus bertambah (lihat Lewis 2015, Gillet 2014). Pengadaan ikan umpan untuk aktifitas pole and line di Larantuka sudah dilakukan, termasuk pengembangan harvest strategy dan indikator perikanan oleh WWF, yang semoga menjadi percontohan yang berhasil. Banyak dilaporkan kasus kekurangan pasokan umpan di Indonesia, dan di banyak kasus hal ini bukan dikarenakan oleh overfishing tapi lebih karena variabel-variabel alami, teknik penanganan umpan dan di beberapa kasus dikarenakan umpan juga dikonsumsi oleh manusia. Pemerintah diharapkan dapat membantu menangani masalah terkait penggunaan ikan umpan untuk selain kepentingan menangkap ikan tuna, dan juga mengadakan pelatihan dan pendidikan mengenai teknik penanganan ikan tangkapan. Salah satu solusi atas masalah efisiensi jalur

  Contoh penggunaan kapal pengumpulan untuk tujuan ini layak dipertimbangkan, karena ini strategi yang baik yang telah dijalankan oleh kapal penangkap ikan untuk meningkatkan efisiensi jalur distribusi dimana memindahkan hasil tangkapan ke kapal pengumpul, memungkinkan kapal pole and line untuk terus menangkap ikan diwaktu musim panen puncak tanpa harus kembali ke pelabuhan untuk menurunkan hasil tangkapan. Dengan menempatkan kapal kolektor dekat area penangkapan ikan, kepal penangkap ikan dapat mengurangi biaya BBM dan waktu tanpa harus kembali ke pelabuhan untuk menurunkan hasil tangkapan selama waktu musim panen puncak, yang kadang hanya berlangsung beberapa hari. Saat ini, peraturan yang melarang alih muat di laut (transhipment at sea) mengharuskan kapal pengangkut untuk menunggu di pelaburan lokal terdekat, dimana sebelumnya mereka akan berada disekitar kapal penangkap di areal penangkapan ikan, setelah memindahkan muatan kapal pengangkut ini akan kembali ke pelabuhan untuk mengantarkan hasil tangkapan untuk kemudian dapat diproses lebih lanjut.

  Satu perusahaan yang menggunakan sistem kapal pengumpul ini diwawancarai untuk studi ini, dan hasilnya dapat dijadikan model bahwa efisiensi jalur distribusi dapat tercapai. PT Ocean Mitramas adalah perusahaan—yang sampai peraturan menteri tentang transshipment at sea dan kapal buatan asing diberlakukan—mengoperasikan 7 kapal besar buatan Jepang berbobot 628GT, yang mengumpulkan hasil tangkapan dari 200 PLASMA yang mengoperasikan kapal-kapal pole and line berbobot antara 5 sampai 30GT, yang beroperasi di Larantuka, Selayur, Ternate, Bitung dan Sorong. Kapal pengumpul atau pengangkut berperan sebagai tempat penyimpanan beku terapung bagi hasil tangkapan kapal-kapal pole and line ini. Kapal kolektor ini beroperasi di beberapa wilayah timur Indonesia, dengan hasil tangkapan dikirimkan secara langsung ke fasilitas pemrosesan di Bitung, Jakarta dan Surabaya. Metode ini dilaporkan telah berhasil memangkas pengeluaran BBM kapal pole and line hingga 50, dan memungkinkan mereka untuk terus menangkap ikan selama waktu panen puncak dan menyimpan hasil tangkapannya di kapal pengumpul berkapasitas besar, dan meningkatkan produksi mereka secara signifikan. Untuk Ocean Mitramas, hubungan langsung dengan kapal penangkap ikan membuat mereka terhindar dari kompetisi harga di pelabuhan dan dapat membeli ikan dengan harga sedikit lebih murah dan lebih efisien karena dapat membekukan ikan dan mengantarkan 300ton ikan segar langsung dari areal penangkapan ke fasilitas pemrosesan. Model ini juga merupakan alat yang efisien dalam memonitor jumlah produksi dari para nelayan berskala kecil karena semua tangkapan ikan dapat didokumentasikan secara terpusat di kapal pengangkut. Argumentasi ini juga diperkuat dengan dapat diberlakukannya insentif bagi kapal pengangkut yang dapat mendokumentasikan hasil tangkapan secara akurat. Mereka juga dapat menjaga reputasi mereka di pasar dan dapat terus mengangkut ikan menggunakan surat izinnya. Bagi pemerintah, hal ini berarti peningkatan efisiensi monitoring karena hanya ada satu titik monitoring pada level perusahaan pengangkut untuk melacak jumlah tangkapan dari ratusan kapal penangkap berskala kecil, yang bisa saja tanpa sistem ini dapat menghindar (lolos) dari audit.

  Contoh dari Ocean Mitramas ini mendukung fakta yang diberikan oleh sejumlah pihak yang diwawancarai bahwa penangkapan ikan yang bergantung pada kapal penangkap ikan berskala kecil di bagian timur Indonesia membutuhkan jaringan kapal penyimpan dan pengangkut yang hanya dapat disediakan oleh operator berskala besar. Dengan regulasi dan dukungan kebijakan yang tepat, kemungkinan untuk meningkatkan efisiensi dapat diciptakan melalui hubungan mutualisme antara kapal kecil penangkap ikan dan kapal besar pengangkut ikan. Dalam contoh kasus Ocean Mitramas, terlihat potensi efisiensi manajemen Contoh dari Ocean Mitramas ini mendukung fakta yang diberikan oleh sejumlah pihak yang diwawancarai bahwa penangkapan ikan yang bergantung pada kapal penangkap ikan berskala kecil di bagian timur Indonesia membutuhkan jaringan kapal penyimpan dan pengangkut yang hanya dapat disediakan oleh operator berskala besar. Dengan regulasi dan dukungan kebijakan yang tepat, kemungkinan untuk meningkatkan efisiensi dapat diciptakan melalui hubungan mutualisme antara kapal kecil penangkap ikan dan kapal besar pengangkut ikan. Dalam contoh kasus Ocean Mitramas, terlihat potensi efisiensi manajemen

  Kesimpulan

   Indonesia sedang mengalami kerugian dari masalah economic overfishing, dimana

  peningkatan proses dan usaha penangkapan ikan tidak serta merta meningkatkan keuntungan.

   Indonesia sangat berpotensi secara geografis untuk dapat mengakses pasar ekspor YFT untuk sashimi dan pasar ekspor YFTSKJ yang telah menerapkan sistem eco- labelling secara jangka panjang.

   Fokus terhadap perbaikan kualitas hasil tangkapan dengan cara mendukung kapal

  penangkap ikan berskala kecil berpotensi memberikan keuntungan finansial lebih yang dapat membantu kehidupan komunitas yang terpinggirkan secara ekonomi di wilayah timur Indonesia, dengan cara membantu pencapaian pengelolaan sasaran baik secara ekonomi maupun sosial.

   Berdasarkan hasil diskusi sebelumnya mengenai kesulitan yang dialami oleh nelayan

  skala kecil (SSF) yang termarginalkan terkait jalur distribusi, hal ini disebabkan oleh hutang dan keterbatasan pendidikan. Target program yang bertujuan mendukung SSF untuk dapat mengakses pasar ekspor yang lebih menjanjikan nampaknya sangat dibutuhkan untuk menjamin keuntungan dari strategi ini dapat dimanfaatkan sepanjang jalur distribusi, dan bahwa tujuan ekonomi dapat diseimbangkan dengan tujuan sosial terkait kesejahteraan SSF.