clxxv
individu korban, tetapi juga pada kepentingan umum. Dengan kata lain, disini ada kesimbangan.
d. The Self Regulation Approach
Pendekatan ini dilakukan atas prakarsa sukarela dari masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan ini tidak dipakai di
sebagian negara karena tidak ada Undang-undang tertulis dan pemerintah tidak menunjukkan kehendak untuk membuat undang-
undang.
e. Rating and Filtering Techniques
Setiap pemerintah mempunyai policy yang berbeda-beda, tapi pada umumnya policy yang dianut akan sangat tergantung dari tingkat
adopsi demokrasi di negara-negara tersebut. Sebagai contoh negara yang tingkat demokrasinya rendah akan mengambil kebijakan yang
cenderung otoriter, yaitu memberikan peran negara untuk melakukan penaggulangan kekerasan seksual pedofilia secara langsung,
sedangkan yang menganut sistem demokrasi, terhadap pedofilia juga dilakukan tetapi lebih ditekankan untuk perlindungan terhadap anak-
anak, kejahatan kekerasan seksual pedofilia yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang bertentangan dengan norma yang
telah ada sebelumnya. Beberapa model kebijakan yang dilakukan oleh berbagai negara
untuk mengatasi maraknya pedofilia sebagai bagian dari kejahatan kesusilaan yang masuk melalui penyimpangan perilaku seksual
clxxvi
terhadap anak. menunjukkan persamaan sikap, yaitu menyadari bahwa pedofilia disamping membawa perubah yang lebih baik tapi juga
berpotensi membawa perubahan kepada hal-hal yang tidak baik. Di dalam menanggulangi kejahatan ini perlu dilakukan kerjasama
dengan para pihak. Negara bukanlah satu-satunya pihak yang dituntut untuk melakukan penanggulangan kejahatan ini. Para pihak yang dapat
memberikan kontribusi nyata untuk penanggulangan kejahatan ini adalah:
1. Negara dengan peraturan perundangan dan aparaturnya.
2. Orang tua, anak-anak dan bahkan sekolah.
3. Masyarakat, apartur penegakan Hukum, Komnas Anak, dan
LSM. Kebijakan non penal non penal policy dapat dilakukan untuk
menanggulangi pedofilia ini dengan pendekatan psikologi, Kesejahteraan Anak, Medis, Agama, budaya dan kerjasama global,
dapat dilakukan sebagai berikut: a. Dari sudut pendekatan psikologi, psikologi prevention ini, untuk menanggulangi pedofilia ini melalui
Program Konseling untuk Anak yang Mengalami Sexual Abuse.
130
Kebijakan non penal lainnya seperti pendekatan kesejahteraan anak
131
dalam kebijakan penanggulangan kekerasan seksual pedofilia yaitu meliputi ketentuan–ketentuan yang mengandung antara lain hak–
hak sebagai berikut :
130
Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak …., op.cit, hal 64 - 66
131
UN Dedaration of the Rights of the Child, 1959
clxxvii
1. untuk mendapatkan kasih dan pengertian;
2. untuk mendapatkan gizi yang memuaskan dan pemeliharaan
kesehatan; 3.
untuk mendapatkan pendidikan tanpa bayaran; 4.
untuk mendapatkan kesempatan untuk bermain – main dan beraksi;
5. untuk mendapatkan pelayanan khusus apabila cacat;
6. untuk mempunyai nama dan kebangsaan;
7. untuk yang pertama-pertama mendapatkan pertolongan dalam
bencana; 8.
untuk belajar menjadi anggota masyarakat dan mengembangkan kemampuan individual;
9. untuk dibesarkan dalam semangat perdamaian dan
persaudaran universal; 10.
untuk menikmati hak-hak itu, tanpa mempersoalkan ras, warna, seks, agama, kebangsaan atau asal sosial.
Dari apa yang terperinci di atas dapat disimpulkan anak wajib dilindungi agar tidak menjadi korban tindakan kebijaksanaan siapa saja
individu atau kelompok,organisasi masyarakat, organisasi swasta maupun pemerintah baik langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud
dengan menjadi korban adalah menjadi korban, menderita kerugian mental, fisik, sosial , oleh sebab tindakan yang aktif atau pasif atau
kelompok swasta atau pemerintah, baik secara langsung atau tidak langsung. Ada juga kemungkinan menjadi korban dari diri sendiri. Situasi
dan kondisi diri sendiri yang mempengahuri tindakan-tindakan diri sendiri yang merugikan, sebagai akibat dan tindakan orang lain atau kelompok
lain. Kebijkan non panel lainnya,yaitu Pendekatan budayakultural dalam
kebijakan penanggulangan pedofilia yaitu membangunmembangkitkan kepekaan warga masyarakat termasuk di dalamnya orang tua serta aparat
hukum terhadap masalah pedofilia dan menyebarluaskanmengajarkan
clxxviii
pendidikan tentang penting seks agar tidak menjadi korban seksual yang menyimpang.
Terlepas dari perundang-undangan, suatu tanggung jawab bersama dan beberapa self-regulations harus dilakukan masing-masing individu,
dan masyarakat luas. Masing-masing elemen menyediakan perlindungan. Kebanyakan dari mereka adalah organisasi self-censored, sebagai contoh
adalah sekolah, perpustakan umum, pusat masyarakat publik yang harus menggunakan. Orang tua perlu mengamati aktivitas -anak mereka dan
menanamkan konsep moral kepada mereka. Kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan suatu
upayakebijakan rasional dalam menanggulangi kejahatan
132
dan oleh karena itu harus juga ditempuh melalui metodependekatan ilmiah.
Christiansen pernah menyatakan, bahwa “the characteristic of a rational criminal policy is nothing more than the application of rational
methods”.
133
Ini berarti, harus pula memperhatikan rambu-rambu hasil penelitian ilmiah.
Dalam Kebijakan kriminal juga harus mempertimbangkan masukan dari berbagai seminar nasional maupun sumber-sumber kesepakatan
global. Berbagai seminar pembangunan hukum nasional, mulai dari seminar ke-1 tahun 1963 sampai seminar ke-8 tahun 2003, yang sarat
132
Marc Ancel mendefinisikan “Criminal policy” sebagai “the rational organization of the control of crime by society Social Defence, 1965 : 209, dan G.P Hoefnagels menyebutnya dengan
istilah “the rational organization of the social reaction to crime dan “a rational total of the responses to crime”, op. cit., hlm. 57, 99.
133
Karl O. Christiansen, Some consideration on the Possibility of a Rational Criminal Policy,
Resource Material Series No. 7, UNAFEI, 1974, hlm. 75.
clxxix
dengan amanat nasional untuk melakukan “pendekatan kultural dan religius”. Dalam seminar nasional ke-8 tahun 2003 ditegaskan, agar nilai-
nilai religius dijadikan sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, sumber muatan substantif, dan sumber evaluasi, dalam kebijakan pembangunan
hukum nasional. Dalam forum-forum seminar baik Nasional maupun Internasional
yang menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi akan perlunya pengkajian dan penggalian hukum agama dan hukum adat dalam
pembaharuan hukum pidana antara lain tertuang dalam:
134
1. Kesepakatan Pertemuan Ilmiah Nasional antara lain dalam
seminar hukum Nasional I1963; IV1979; VI1995; VIII2003; dan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional 1980;
2. Kebijakan Legislatif Nasional antara lain dalamUU No.1 Drt
1951dan UU No 14 tahu 1970 jo UU No 35 tahun 1999 jo UU No 4 tahun 2004.
3. Laporan Konggres PBB mengenai “The Prevention of crime
and the tratment of Offenders”, antara lain konggres V1975; VI1980; VII1985; dan VIII1990
4. Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII tahun 2003 di
Kuta Denpasar, Bali, memberikan kesimpulan dan rekomendasi saran pemecahan masalah antara lain: “Menjadikan ajaran
agama sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi dan sumber evaluasi, yang kreatif dalam membangun insan hukum yang
berakhlak mulia, sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya kongkrit dalam muatan kebijakan pembangunan hukum.
a.
Memperkuat landasan budaya keagamaan yang sudah berkembang dalam masyarakat;
b. Memfasilitasi perkembangan keberagaman dalam
masyarakat dengan kemajuan bangsa c.
Mencegah konflik sosial antar umat beragama dan
134
Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pemikiran Ide Dasar Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Makalah pada seminar Nasional ,”Asas-Asas Hukum Pidanan Nasional”,
Kerjasama BPHN dan HAM dengan FH UNDIP, Semarang, 26-27 April 2004, hlm. 4-7.
clxxx
meningkatkan hubungan antar umat beragama”.
135
Dengan demikian sangatlah bijaksana jika dalam merumuskan kebijakan penganggulangan pedofilia baik melalui sarana penal maupun
non penal akan mempertimbangan penggalian hukum agama dan hukum adat yang dianut masyarakat Indonesia, karena sepertinya perbuatan
pedofilia sendiri dapat disebut perbuatan cabul hanya dalam pengertian agama dan moral saja, dan tidak bisa dimasukan dalam pengertian hukum.
Jika akan dimasukan dalam pengertian hukumUU, maka perlu ada penafsiran yang ekstensif karena undang-undang yang ada masih sering
ditafsirkan secara konvensional tidak mengikuti perkembangan ilmu dan pengatuhan.
Oemar Seno Adji menekankan perlunya unsur agama sebagai
sumber ilham dalam menentukan delik-delik susila. Di negara-negara di mana agama dinyatakan sebagai suatu factor pre-dominant, hubungan
agama dengan hukum senantiasa terpaut. Unsur agama tersebut menurutnya tidak dapat dilenyapkan begitu saja dalam menilai norma-
norma kesusilaan pada suatu peraturan pidana. Norma-norma agama, Ke- Tuhanan yang berlaku pada suatu jaman dan dalam suatu masyarakat
sebagai suatu regulator itulah yang justru dapat memberikan arah yang khas dalam menentukan adanya pelangaran kesusilaan sebagai delik.
136
135
Barda Nawawi Arief, Pokok-Pokok Pemikiran Ide Dasar Asas-asas Hukum Pidana Nasional, Makalah pada seminar Nasional ,”Asas-Asas Hukum Pidanan Nasional”, Kerjasama BPHN
dan HAM dengan FH UNDIP, Semarang, 26-27 April 2004, hlm. 4-7.
136
Oemar Seno Adji, Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif, Jakarta: Erlangga: 1976, hal. 45-
47.
clxxxi
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila yang telah menjadi dasar bagi ketentuan Pasal 29 UUD 1945, telah melegitimasi bahwa
kehidupan agama telah merasuk dalam kalbu bangsa Indonesia. Rasa keagamaan ini sangat sensitif dan sangat mudah tergerak dalam
kesempatan-kesempatan tertentu dan semuanya itu memberikan landasan yang kuat bagi unsur-unsur agama bagi tata hukum di Indonesia, termasuk
di dalamnya dalam delik-delik kesusilaan.
137
Bahkan seperti yang
dikatakan oleh Alfred Denning,
“Without religion there can be no morality, and without morality there can be no law”.
Sementara itu dilihat dari sudut pendekatan global kerja sama internasional, Kebijakan global yang berkaitan dengan kebijakan kriminal
terlihat di dalam berbagai pertemuan Internasional, terutama dalam laporan Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders” yang pada kongres terakhir ke-XI2005 diubah menjadi “Prevention of Crime and Criminal Justice”. Berbagai hasil
pertemuan Kongres PBB itu juga sering menghimbau untuk dilakukan “pendekatan filosofikkultural”, “pendekatan moral religius”, dan
“pendekatan humanis” yang diintegrasikan ke dalam pendekatan rasional yang berorientasi pada kebijakan “policy oriented approach”.
Berbagai pernyataan statement Kongres PBB itu, antara lain sebagai berikut :
137
Ibid, hlm. 48
clxxxii
a. Laporan Kongres ke V 1975 :