HASIL PENYADAPAN KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah melahirkan beragam jasa dengan berbagai fasilitasnya di bidang telekomunikasi,
seiring dengan kecanggihan produk-produk teknologi informasi sehingga mampu mengintegrasikan semua media informasi. Munculnya internet yang mengiringi
globalisasi komunikasi global communication network telah membuat dunia menjadi tanpa batas borderless serta menyebabkan perubahan sosial, budaya,
ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung cepat. Namun demikian, kondisi di Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang
menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal. Hal ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber
daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini telah memberikan manfaat bagi masyarakat di dunia, antara lain memberi kemudahan
dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain. Kenyataan lain saat ini, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi
sering kali disalahgunakan oleh masyarakat, termasuk di Indonesia untuk atau menimbulkan suatu perbuatan yang melawan hukum. Oleh karena itu,
diperlukan regulasi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang dapat menindaklanjuti semua permasalahan hukum yang timbul akibat
penyalahgunaan teknologi informasi dan telekomunikasi di atas. Saat ini telah ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang tersebut,
diantaranya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Namun demikian, masih saja muncul kendala dalam penerapannya, karena terkadang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya tidak
sejalan atau saling bertentangan, sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia.
Penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi ini telah muncul dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam transaksi secara
elektronik e-commerce maupun tindak pidana yang dilakukan di dunia maya cybercrime, tidak terkecuali dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia.
Tindak pidana korupsi yang semakin meluas di berbagai bidang telah menjadikan
Universitas Sumatera Utara
korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa extra ordinary crimes
1
. Selain itu, korupsi juga telah merugikan keuangan negara dan berdasarkan hasil penelitian,
Bank Dunia menyatakan bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45.
2
Ada beberapa kasus yang mengindikasikan penyalahgunaan fasilitas komunikasi tersebut yang berhasil disadap oleh KPK, antara lain kasus
Artalyta Suryani sebagai Tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan
terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim Pesatnya fasilitas telekomunikasi di Indonesia selain memberi manfaat bagi
masyarakat namun juga banyak terjadi penyalahgunaan yang menimbulkan kejahatan baru.
Kemudahan yang diberikan dalam berkomunikasi telah menimbulkan realitas bahwa banyak pihak yang menyalahgunakan kesempatan termaksud
untuk melakukan perbuatan melawan hukum melalui fasilitas komunikasi ini. Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat berdasarkan
undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut KPK, yang dilandasi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada perkembangannya, KPK telah mampu mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia,
dengan berbagai alat bukti termasuk alat bukti berupa hasil penyadapan komunikasi dari para pelakunya yang telah menyalahgunakan fasilitas komunikasi
ini untuk melakukan kejahatan.
1
http:www.kpk.go.id, Diakses pada 14 Januari 2011.
2
Junaedi, Komisi Anti Korupsi di Negeri Sarat Korupsi dan Birokrasi yang Serba “Komisi”, http:www.pemantauperadilan.com, Diakses pada 14 Januari 2011.
Universitas Sumatera Utara
sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia, dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan Perkara
SP3 dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut, dalam hal ini KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya bukti
percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa
Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Sebelum berbicara mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti, tentu saja harus dilihat sampai sejauh mana
kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan
KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti. Beberapa pihak berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang
dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hak privacy individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang.
Pendapat tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumah tangganya dan surat-menyuratnya. Catatan: Sumbernya cantumkan
Selanjutnya Kovenan Internasional Tentang hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang
atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya.
3
3
Pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.
Namun demikian dalam Pasal 28J ayat 2 Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Dasar 1945 ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang,
begitu pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menegaskan hal yang sama. Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang
Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi
dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 36
tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam
informasi yang dikirim danatau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik
untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31
ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya disebut UU ITE menegaskan bahwa setiap orang dilarang
dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atu dokumen elektronik dalam suatu
computer danatau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi
unsur-unsur pasal 31 ayat 1 di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penyadapan sah dilakukan dengan mendasakan pada Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka
Universitas Sumatera Utara
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan
dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa extra ordinary cases, termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana
penyuapan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa adanya
ketidaksesuaian antara beberapa peraturan mengenai tindakan penyadapan, sehingga sampai saat ini kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan pun
masih menjadi kontroversi di masyarakat dan hal ini sangat mempengaruhi tahap selanjutnya yaitu menjadikan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada
proses peradilan pidana. Pada praktik hukum di Indonesia, terdapat ketentuan hukum mengenai alat bukti, yakni diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana selanjutnya disebut KUHAP. Pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP ditetapkan mengenai alat bukti yang sah adalah :
1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.
Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara pidana yang bersifat memaksa dwingen recht, artinya semua jenis alat bukti
Universitas Sumatera Utara
yang telah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi.
4
4
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Perdata dan Pidana, Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2006, hal. 181.
Halaman ini kalimat panjang
Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 184 ayat 1 di atas, hasil penyadapan bukan merupakan salah satu dari alat bukti yang diakui sah secara hukum.
Sementara itu, pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ditegaskan bahwa hasil rekaman termasuk alat bukti petunjuk. Di samping itu, Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE menyatakan bahwa
informasi elektronik danatau dokumen elektronik danatau hasil cetakannya merupakan alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian, terdapat berbagai ketentuan hukum yang menimbulkan tafsir hukum berbeda-beda
diantara para penegak hukum di Indonesia mengenai keabsahan hasil penyadapan oleh KPK menjadi suatu alat bukti pada proses peradilan pidana, termasuk dalam
tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan seperti kasus Artalyta yang telah diuraikan di atas, sebagai tindak pidana luar biasa extra ordinary cases,
di satu sisi tindakan penyadapan yang dilakukan KPK terhadap percakapan Artalyta dianggap melanggar hak individu seseorang, namun di sisi lain dalam
proses pemberantasan tindak pidana korupsi sangat diperlukan upaya pembuktian yang mendukung diantaranya menjadikan hasil penyadapan itu sebagai alat
bukti dalam proses peradilan pidana tersebut, sehingga adanya kesenjangan
Universitas Sumatera Utara
antara ketentuan hukum yang ada das sollen dengan kenyataan di masyarakat das sein
Sampai saat ini, belum ada tulisan ilmiah skripsi yang secara khusus membahas mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti pada proses peradilan,
oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal tersebut,
yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Hasil Penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif KUHAP Dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.
B. Permasalahan