Kerangka Teori Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan

2. Tesis atas nama Fachruddin, NIM : 067005030, dengan judul Analisis Pelaksanaan perjanjian Pembiayaan dengan Prinsip Mudharabah pada PT. Bank Syari’ah Mandiri Cabang Medan. Dari penelusuran tersebut diatas, ternyata bahwa kelompok bahasan dari permasalahan yang diajukan lain dari penelitian tesis yang pernah diajukan. Dengan demikian penelitian ini betul asli baik dari substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Kamus umum bahasa Indonesia menyebutkan bahwa salah satu arti teori adalah : “….pendapat, cara-cara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu”. 3 Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berfikir dan mengukur sesuatu berlandaskan variabel-variabel yang tersedia. “Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengenai suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab”. 4 3 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985, hlm.155. 4 J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta Jakarta, 2003, hlm.192-193. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 Oetje Salman dan Anton F Susanto menyimpulkan pengertian teori menurut pendapat berbagai ahli yaitu sebagai berikut : “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi seluruh teori yang lebih umum” 5 Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas. 6 Sedangkan kerangka teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau Empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka penelitian tesebut hanya berguna bagi sosiologis dan kurang relevan bagi ilmu hukum. 7 Kerangka teori itu akan digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu mengenai Sistem Bagi Hasil dalam Perjanjian Pembiayaan melalui Baitul Maal Wat Tamwil BMT. Kerangka teori yang digunakan dalam tesis ini adalah bedasarkan teori hukum Islam dan perjanjian yang mengatur hak serta kewajiban yang timbul sebagai akibat dari pembuatan perjanjian Pembiayaan dengan Sistem Bagi Hasil melalui BMT. Jadi kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian akad. 5 HR. Oetje Salman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm.22. 6 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm.126. 7 Ibid, hlm.127. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 Sesuai dengan makna dari pada suatu kaedah hukum, maka kaedah hukum selalu diartikan sebagai berikut : “Sebagai peraturan hidup yang menentukan bagaimana manusia itu berprilaku, bersikap didalam masyarakat agar kepentingannya dan kepentingan orang lain terlindungi”. 8 Maka dapat diketahui bahwa kaedah hukum yang mengatur tentang kesepakatan dalam mengadakan perjanjian untuk pelaksanaan Sistem Bagi Hasil dalam Perjanjian Pembiayaan adalah merupakan nilai hukum akad Islam yang terdapat dalam peraturan konkrit pada pasal-pasal akad Islam baik yang tercantum dalam Hukum Islam maupun dalam peraturan-peraturan hukum lainnya. Kesepakatan dalam mengadakan suatu akad merupakan hak warga negara, dimana perjanjian diantara para pihak adalah merupakan undang-undang yang mengikat kedua belah pihak tersebut. Untuk mengikat kedua belah pihak yang melakukan perjanjian harus mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu sebagai berikut : KUH Perdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah perjanjian itu berlaku sah. Keempat syarat itu terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu : a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat perjanjian; c. suatu hal tertentu; 8 Sudikno Metrokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Liberty, Yogyakarta,1996, hlm.11. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 d. suatu sebab yang halal. Hal ini sejalan dengan hukum akad Islam mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Dimana dalam Al-Qur’an, setidaknya ada 2 dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yaitu kata akad al-‘aqdu dan kata ‘ahd al-‘ahdu. Kata yang disebut pertama, secara etimologis berarti perjanjian, perikatan, dan kemufakatan al- ittifaq. Al-Qur’an memakai kata ini dalam arti perikatan dan perjanjian. Hal ini dapat dilihat dalam QS. Al-maidah ayat 1. Adapun kata al-‘Ahdu, secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian. Hal ini dapat dilihat dalam Al- Qur’an Surat Al-Nahl ayat 91 dan Al-Isra ayat 34. Kata yang umum digunakan, dalam mu’amalah transaksi bisnis adalah kata akad al-‘Aqd. 9 Menurut para ahli hukum Islam, kata akad didefinisikan sebagai hubungan antara ijab dan qabul sesuai dengan kehendak syariat yang menetapkan adanya pengaruh akibat hukum pada objek perikatan. 10 “Kelihatannya istilah akad lebih umum dan mempunyai daya ikat kepada para pihak yang melakukan perikatan. Karena itu, istilah akad dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis. Adapun kata al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkoms, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan. Itulah yang diisyaratkan dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 76.” 11 9 Faturrahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.247 10 Ibid, hlm.247. 11 Ibid, hlm.247-248. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Ijab dan qabul ini diadakan untuk menunjukkan adanya sukarela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan olah 2 dua pihak yang bersangkutan. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Artinya bahwa seluruh perikatan yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak atau lebih, baik dari objek perjanjian, aktivitas yang dilakukan, dan tujuan dianggap sah apabila sesuai atau sejalan dengan ketentuan hukum Islam. Adapun yang ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan yaitu terjadinya pemindahan pemilikan contoh kasus jual beli dari satu pihak yang melakukan ijab kepada pihak yang lain yang menyatakan qabul, atau pengalihan kemanfaatan dalam kasus ijarah, dan seterusnya. Merujuk kepada defenisi perjanjian atau akad sebagaimana dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi rukun dan syarat dari suatu perjanjian dan akad tersebut. Dalam pandangan ulama fiqhiyah rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam suatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang ada untuk semua hal, peristiwa dan tindakan yang dimaksud. Maka rukun dalam perjanjian atau akad adalah ijab dan Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 qabul sedangkan syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subjek atau objek dari suatu perjanjian dimaksud, 12 dalam hal ini harus sesuai dengan syariah. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian atau akad adalah sebagai berikut : a Pernyataan Untuk Mengikatkan Diri Ijab adalah suatu pernyataan kehendak oleh satu pihak mujib untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya qabil. Dengan demikian ijab dan qabul harus ada dalam melaksanakan suatu perjanjian atau akad yaitu berupa pernyataan dari pihak-pihak untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian yang dibuat tersebut. “Pernyaataan untuk mengikatkan diri sighot al-aqdu menjadi sesuatu yang urgen dalam rukun akad. Hal ini dimaksudkan untuk tujuan, jenis akad dan sasaran yang dikehendaki oleh para pihak. Bagi ulama Hanafiyah rukun akad sebenarnya hanya satu yaitu sighot al-aqdu ijab dan qabul sedangkan pihak- pihak yang berakad dan objek akad dimasukkan kepada syarat-syarat akad, karena dalam pandangan ulama Hanafiyah yang dikatakan rukun adalah sesuatu esensi yamg berada dalam akad itu sendiri sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad akan berada diluar esensi akad”. 13 “Pernyataan ijab dan qabul bisa berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan dan isyarat, maka akad dalam bentuk perkataan adalah berupa shigat atau ucapan. Hal ini yang paling banyak digunakan sebab paling mudah digunakan dan cepat dipahami. Tentu saja kedua belah pihak harus mengerti ucapan masing-masing serta menunjukkan keridhaannya”. 14 12 Pasal 1 ayat 13, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah, 13 Hasballah Thaib, Hukum Aqad kontrak dalam Fiqh Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah, Medan 2005, hlm. 4. 14 Rahmat Syafi’i, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 46. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 Akad melalui tulisan dibolehkan baik bagi orang yang mampu berbicara atau tidak dengan syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak, hal ini sesuai dengan kaedah yang dibuat oleh ulama yang menyatakan sebagai berikut : “Tulisan itu sama dengan lisan”. 15 Persyaratan akad melalui perbuatan bisa dilakukan asal perbuatan tersebut menunjukkan saling meridhoi. Dalam hal ini ulama Hanafiyah dan Hanabilah menambahkan bolehnya perbuatan menjadi ijab dan qabul tersebut kepada perbuatan terhadap barang yang sudah diketahui secara umum oleh manusia. 16 Kemudian akad bisa dilakukan melalui isyarat yang menunjukkan secara jelas kepada para pihak-pihak yang dimaksudkan oleh akad, misalnya isyarat yang ditujukan oleh orang yang bisu yang tidak bisa tulis dan baca. Untuk hal ini ulama fiqh membuat suatu kaedah sebagai berikut : “Isyarat yang jelas dari orang yang bisu sama dengan penjelasan dengan lisan”. 17 Maka dalam hal ini bilamana isyarat tersebut dikemukakan oleh orang yang sudah jelas menjadi kebiasaan baginya dan isyarat itu menunjukkan apa yang di 15 Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm. 5. 16 Rahmat Syafi’I, Op. Cit, hlm. 49. 17 Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm.7. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 kehendakinya untuk melakukan sesuatu akad maka posisi isyarat disini sama artinya dengan penjelasan melalui lisan orang yang pandai untuk berbicara secara langsung. 18 Mengenai syarat-syarat ijab dan qabul para ulama fiqh menetapkan sebagai berikut : a. Ijab dan qabul harus jelas maksudnya sehingga dapat dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad atau perjanjian. b. Antara ijab dan qabul harus sesuai. c. Antara ijab dan qabul harus bersambung, berada ditempat yang sama, jika kedua belah pihak hadir atau berada ditempat yang sudah diketahui oleh keduanya. 19 Untuk melakukan suatu perjanjian maka pihak-pihak yang berjanji atau berakad diharuskan sama-sama mempunyai kecakapan hukum dalam tindakan hukum. Dalam istilah fiqhnya harus mukallaf dengan arti lain orang yang hendak melakukan perjanjian tersebut sudah dewasa menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian diharuskan juga yang berakad itu sehat akalnya artinya tidak sedang mengalami gangguan jiwa atau gila, maka pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebab telah mampu untuk bersikap dan bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol usaha bisnisnya dengan bijaksana. 20 18 Ibid, hlm. 7. 19 Rahmat Syafi’I, Op. Cit, hlm. 51. 20 Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 53. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 Sehubungan dengan tindakan atau perbuatan, kebijakan manusia pada dasarnya dibagi kepada tiga bentuk untuk berbuat kecakapan atau melakukan perjanjian, yaitu : a. Manusia yang tidak bisa atau tidak dapat melakukan perjanjian atau akad apapun, seperti orang yang cacat mentaljiwa, anak kecil yang belum mumayyiz. b. Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, misalnya anak yang sudah mumayyiz tetapi belum baligh atau dewasa. c. Manusia yang dapat melakukan seluruh perjanjian atau akad yaitu orang yang telah memenuhisyarat menjadi mukallaf. 21 Akad yang telah dilaksanakan oleh orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz secara langsung hukumnya tidak sah, tetapi jika dilakukan oleh orang tua mereka dari sifat akad yang bisa dilakukan oleh wali mereka yang kemudian memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya dalam hal ini akad tersebut hukumnya sah. 22 b Objek Perjanjian Akad Objek akad atau perjanjian adalah sesuatu atau benda-benda yang dijadikan akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad tersebut dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud seumpama manfaatnya. 23 21 Ibid, hlm.54. 22 Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm.8. 23 Gemala Dewi, dkk, Op. Cit, hlm.60. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 Perjanjian atau akad dalam hukum islam dibagi beberapa macam, dimana tiap macam akad tergantung dari sudut pandang mana dilihat, apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, akad atau perjanjian dibagi kepada dua macam yaitu : 1. Perjanjian atau akad yang sahih Perjanjian yang sahih adalah perjanjian yang telah memenuhi rukun dan syarat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’. Oleh karena itu konsekuensi yang ditimbulkan akan mengikat para pihak yang berjanji atau yang berakad. 24 Menurut ulama Hanafiyah akad atau perjanjian yang sahih dibagi kepada dua macam, yakni sebagai berikut : 1. akad yang nafiz yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya atau dengan kata lain akan yang sempurna untuk dilaksanakan. 2. akad yang mauquf, yaitu akad dilakukan oleh seseorang yang cakap bertindak secara hukum tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan perjanjianakad tersebut, 25 hal ini dapat dicontohkan ketika si A memberikan uang kepada si B sejumlah Rp. 7000.000 tujuh juta rupiah untuk membeli seekor kambing, dan ternyata uang yang tujuh juta tadi dapat membeli 6 ekor kambing 24 Rahmat Syafi’I, Op. Cit, hlm. 66. 25 Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm.16. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 sehingga si B membeli 6 ekor kambing dengan uang tersebut. Keabsahan dari akad jual beli dengan 6 ekor kambing ini sangat tergantung kepada persetujuan si A, sebab yang disuruh pertama kali si B hanya untuk membeli 1 ekor kambing. Dari permasalahan jual beli ini dapat dianalisa, jika si A menyetujui akad yang dilakukan oleh si B maka jual beli itu sah, tetapi jika tidak maka jual beli tersebut menjadi batal. 2. Akad yang tidak sahih Akad yang tidak sahih atau tidak sah adalah akadperjanjian yang tidak memenuhi unsur rukun dan unsur syarat, artinya akad ini tidak mempunyai dampak hukum atau tidak sah. Menurut ulama Hanafiyah yang seperti ini tergolong kepada akad yang batal dan fasid. Menurut beliau akad yang batal dan fasid bisa dibedakan, yaitu kalau akad yang batal berarti akad ini tidak memenuhi rukun akad, atau tidak ada barang yang diakadkan seumpama akad yang dilakukan oleh seorang yang bukan ahli akad contoh akad orang yang gila, sedangkan akad yang fasid adalah akad yang memenuhi persyaratan dan rukunnya tetapi dilarang oleh syara’ seperti halnya menjual barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulkan persoalan dibelakang hari. 26 Selanjutnya Akad atau perjanjian dilihat dari sisi mengikat atau tidak mengikat. Yakni jika akad itu dilihat dari sisi mengikat maka sudah konsekuensi 26 Ibid, hlm. 67. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 tidak boleh membatalkan akad hanya satu pihak, atau tanpa seizin pihak lain. Didalam melangsungkan akad ini, ulama Fiqh membaginya kepada tiga macam yaitu: a. Akad yang mengikat dan tidak bisa dibatalkan sama sekali, seperti akad perkawinan, dalam hal ini akad yang tidak boleh dibatalkan kecuali dengan cara- cara yang telah ditentukan oleh syara’ untuk membatalkannya seumpama melalui thalak dan khulu’. b. Akad yang mengikat tetapi bisa dibatalkan atas kehendak kedua belah pihak, seperti akad jual beli, sewa menyewa atau al-muzara’ah kerjasama dalam bidang pertanian, maka dalam hal ini para pihak dibenarkan untuk melakukan khiyar artinya ada hak para pihak untuk memilih apakah meneruskan akad yang telah memenuhi rukun tersebut atau membatalkannya. c. Akad yang hanya mengikat salah satu pihak seperti al-rahn dan al kafalah. 27 Apabila akad atau perjanjian tersebut dilihat dari segi bentuk tasharuf atau aktivitas hukum, maka ia memiliki dua keadaan umum yaitu : 1 Akad tanpa syarat yakni suatu akad yang diucapkan oleh seseorang tanpa memberi batasan dengan suatu benda atau tanpa menetapkan suatu syarat akad, yang seperti ini dihargai oleh syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh ketika seorang berkata ”saya membeli tanahmu” lalu dikabulkan oleh yang seorang lagi, maka dalam bentuk ini terwujudlah akad dan akibat hukumnya adalah pembeli memiliki tanah dan penjual memiliki uang. 2 Akad bersyarat yaitu akad yang diucapkan oleh seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu, dengan kata lain apabila syarat atau yang dikaitkan itu tidak ada maka akadnya pun tidak jadi. Baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaannya. Contoh saya ingin menjual tanah berikut bangunan tempat tinggal ini dengan harga Rp.300.000.000.- jika 27 Hasballah Thaib, Op. Cit, hlm.17-18. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 disetujui oleh suami saya”. Maka ketika ada persetujuan suaminya maka akad tersebut dianggap sah. Untuk persoalan akad ini ulama fiqhiyah membaginya lagi kepada tiga macam, yaitu : 1. Ta’liq syarat yaitu mengkaitkan hasil sesuatu urusandengan urusan yang lain 28 , artinya terjadinya akad tersebut tergantung kepada urusan lain, maka jika urusan yang dikaitkanpertama tidak jadi maka akadpun tidak ada, contoh : jika orang yang berhutang kepada kamu pergi jauh, saya menjamin hutangnya. 2. Taqyid syarat, yaitu syarat pada suatu akad atau aktifitas berakibat hukum yang hanya berupa ucapan saja, sebab pada hakekatnya tidak ada atau tidak mesti dilakukan, 29 seperti orang yang menjual TV dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung oleh pemilik toko. 3. syarat ifadah, yaitu menyandarkan akad tersebut kepada sesuatu masa yang akan datang, 30 dapat dicontohkan perkataan seorang atasan “kalau kinerja kamu meningkat, kamu akan saya promosikan ke jabatan yang lebih baik”. Pada konsep hukum Islam perjanjian atau akad akan dinilai berakhir apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak telah berakhir, dalam hal ini berakhirnya Perjanjian Menurut Hukum Islam adalah sebagai berikut : 28 Rahmat Syafi’I, Op. Cit, hlm. 66. 29 Ibid, hlm.69. 30 Ibid, hlm.70. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 1 Berakhirnya masa berlaku akad perjanjian. Lazimnya suatu perjanjian selalu didasarkan kepada jangka waktu tertentu mempunyai jangka waktu terbatas, maka apabila telah sampai kepada waktu yang telah diperjanjikan, secara otomatis langsung tanpa ada perbuatan hukum lain berakhirlah perjanjian yang telah diadakan para pihak. 31 2 Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad. Para pihak dapat membatalkan akad perjanjian dalam hal 32 : a. Salah satu pihak menyimpang dari perjanjian; Apabila salah satu pihak telah melakukan perbuatan menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian tersebut. Pembolehan untuk membatalkan perjanjian oleh salah satu pihak apabila pihak yang lain menyimpang dari apa yang telah diperjanjikan adalah didasarkan kepada ketentuan Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 7 yang artinya berbunyi sebagai berikut : “Maka selama mereka berlaku jujur lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula tehadap mereka. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertakwa”. Dari ketentuan ayat di atas, khususnya dalam kalimat “Selama mereka berlaku lurus terhadapmu hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka”, dalam hal ini terkandung pengertian bahwa apabila salah satu pihak 31 Chairuman Pasaribu, Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, Sinar Grafika , Jakarta, 1994, hlm.4. 32 Ibid, hlm.5-6. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009 tidak berlaku lurus, maka pihak yang lain boleh membatalkan perjanjian yang telah disepakati. b. Jika ada kelancangan dan bukti pengkhianatan penipuan; Apabila salah satu pihak melakukan sesuatu kelancangan dan telah pula ada bukti-bukti bahwa salah satu pihak mengadakan pengkhianatan terhadap apa yang telah diperjanjikan, maka perjanjian yang telah diikat dapat dibatalkan oleh pihak lainnya. Dasar hukum tentang ini dapat dipedomani ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 58 yang artinya berbunyi sebagai berikut : “Dan jika kamu khawatir akan terjadinya ada pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah pernjanjian itu kepada mereka dengan jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berkhianat”. Pembolehan pembatalan dalam hal adanya kelancangan dan bukti pengkhianatan ini dapat dipahamkan dari bunyi kalimat :”Jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan…, maka kembalikanlah perjanjian itu”. Dari bunyi kalimat yang demikian berarti perjanjian itu dapat dibatalkan apabila ada suatu bukti pengkhianatan. 3 Salah satu pihak meninggal dunia. Heriani : Perjanjian Pembiayaan Dengan Sistem Bagi Hasil Melalui Baitul Maal Wat Tamwil Studi Pada Baitul Maal Washil Medan, 2009

2. Konsepsi