Evaluasi Terhadap Upaya Peningkatan Kualitas Air Bersih pada PDAM Tirta Mon Pase Instalasi Meunasah Reudeup Kabupaten Aceh Utara

(1)

EVALUASI TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KUALITAS

AIR BERSIH PADA PDAM TIRTA MON PASE INSTALASI

MEUNASAH REUDEUP KABUPATEN ACEH UTARA

TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Menempuh Ujian Sarjana Teknik Sipil

FIRDAUS FAISAL

040404020

BIDANG STUDI TEKNIK SUMBER DAYA AIR

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2010


(2)

ABSTRAK

Permasalahan air bersih merupakan salah satu permasalahan utama yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Seiring perkembangan zaman dan pertambahan jumlah penduduk, permintaan terhadap kualitas dan kuantitas air bersih terus meningkat. PDAM sebagai penyedia air minum bagi masyarakat harus mampu menyediakan air minum dengan kualitas dan kuantitas yang memadai untuk dikonsumsi.

Proses yang umum digunakan oleh instalasi pengolahan air di Indonesia dalam menyediakan air bersih adalah proses pengolahan sistem konvensional lengkap yang meliputi proses secara fisika, kimia dan biologi. Adapun prosesnya antara lain: koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan desinfeksi.

Tugas akhir ini merupakan studi kasus untuk mengevaluasi upaya peningkatan kualitas air bersih sistem konvensional lengkap yang dilakukan oleh PDAM Tirta Mon Pase Aceh Utara melalui Instalasi Pengolahan Air (IPA) Meunasah Reudeup yang berkapasitas produksi 150 liter/detik.

Dari studi ini didapatkan data-data antara lain: kualitas air baku dan air bersih, proses pengolahan yang terjadi pada tiap unit pengolahan dan kondisi eksisting produksi. Kemudian, dari data-data ini akan dihasilkan solusi untuk perbaikan dimasa yang akan datang.


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini.

Tugas Akhir ini berjudul “Evaluasi Terhadap Upaya Peningkatan

Kualitas Air Bersih pada PDAM Tirta Mon Pase Instalasi Meunasah Reudeup Kabupaten Aceh Utara”. Tugas Akhir ini telah disusun dan

merupakan salah satu persyaratan untuk menempuh ujian sarjana Teknik Sipil pada Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, bantuan dan dukungan materil maupun spiritual sehingga penulisan Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. –Ing. Johannes Tarigan, sebagai Ketua Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Ir. Sufrizal, M.Eng sebagai Dosen Pembimbing saya yang memberikan bimbingan, masukan dan motivasi dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Ir. Terunajaya, M.Sc sebagai Sekretaris Departemen Teknik Sipil Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.


(4)

4. Bapak Ir. Faizal Ezeddin, MS sebagai Dosen Wali saya yang telah memberikan motivasi sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Bapak Ivan Indrawan, ST yang bersedia diajak berdiskusi mengenai Tugas Akhir ini.

6. Bapak/Ibu staf PDAM Tirta Mon Pase, baik yang berkantor di Lhokseumawe maupun yang berkantor di Instalasi Meunasah Reudeup,

7. Bapak/Ibu staf pengajar serta pegawai Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

8. Orang Tua saya, Muhammad Yacob Hasballah (papa) dan Kamariah (mama) yang tak pernah bosan menangis disela-sela do’a nya. Bunda dan Ayah. Juga saudara/I saya dr. Mumya Camary, drg. Mudyaca Haiskara, Putri Lawrena, Mutia Megawati, si kembar T. Maulana dan T. Saddam, Ananda Arona dan Andriasyah Ramadhana.

Penulis menyadari bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari harapan karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta referensi yang penulis miliki. Untuk itu penulis mengharapkan saran – saran dan kritik demi perbaikan pada masa yang akan datang.

Medan, Maret 2010

Firdaus Faisal 04 0404 020


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR TABEL ...

BAB I PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ... 1.2 Tujuan dan Manfaat Studi ... 1.3 Ruang Lingkup Studi ... 1.4 Metodologi ... 1.5 Sistematika Penulisan ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1 Air ... 2.1.1 Siklus Hidrologi ... 2.1.2 Manfaat Air Bagi Kehidupan ... 2.2 Sumber – Sumber Air Minum ... 2.2.1 Air Laut ... 2.2.2 Air Meteriologik ... 2.2.3 Air Tanah ... 2.2.4 Air Permukaan ... 2.3 Metode Pengolahan Air Minum ... 2.3.1 Metode Pengolahan Air Tanah ... 2.3.2 Metode Pengolahan Air Rawa ... 2.3.3 Metode Pengolahan Air Danau... 2.3.4 Metode Pengolahan Air Sungai ... 2.4 Standar Kualitas Air Minum ... 2.4.1 Standar Kualitas Fisika ... 2.4.2 Standar Kualitas Kimia ...


(6)

2.4.3 Standar Kualitas Mikrobiologi ... 2.4.4 Standar Kualitas Radioaktif ... 2.5 Aliran Melalui Pipa ... 2.5.1 Aliran Laminer dan Turbulen ... 2.5.2 Kehilangan Energi (Head Loss) pada Pipa ... 2.5.3 NPSHa dan NPSHr Pompa ...

BAB III LOKASI STUDI DAN KONDISI EKSISTING ... 3.1 Lokasi Studi ... 3.1.1 Kabupaten Aceh Utara ... 3.1.2 Sumber – Sumber Air Minum di Kabupaten

Aceh Utara ... 3.1.3 Gambaran Singkat PDAM Tirta Mon Pase ... 3.2 Kondisi Eksisting Instalasi Pengolahan Air

Meunasah Reudeup ... 3.2.1 Intake ... 3.2.2 Prasedimentasi pada Bak Penampung Air Baku ... 3.2.3 Proses Koagulasi, Flokulasi, Sedimentasi

Pengaturan pH dan Desinfeksi pada Clarifier ... 3.2.4 Unit Penyaringan (Filtrasi) ... 3.2.5 Reservoir ... 3.3 Hasil Pengamatan ...

BAB IV EVALUASI ... 4.1 Evaluasi Bak Penampung Air Baku dan Prasedimentasi ... 4.2 Evaluasi Fungsi Clarifier untuk Koagulasi, Flokulasi

dan Sedimentasi ... 4.3 Evaluasi Unit Filtrasi ... 4.4 Evaluasi Reservoir ... 4.5 Evaluasi Kualitas Air ... 4.6 Evaluasi Pembubuhan Zat Kimia ... 4.7 Evaluasi Pompa Distribusi Air Baku ...


(7)

4.8 Evaluasi Debit Masuk dan Debit Keluar...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN

Lampiran I. Foto – Foto Lapangan


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi... Gambar 2.2 Proses Aerasi pada Air ... Gambar 2.3 Clarifier Konvensional ...

Gambar 2.4 Clarifier Modern ...

Gambar 2.5 Saringan Pasir Lambat ... Gambar 2.6 Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter) ... Gambar 2.7 Bagan Proses Pengolahan Air Tanah ... Gambar 2.8 Bagan Proses Pengolahan Air Tanah

dengan Kandungan Fe dan Mn yang Tinggi ... Gambar 2.9 Air Rawa ... Gambar 2.10 Bagan Proses Pengolahan Air Rawa ... Gambar 2.11 Bagan Proses Pengolahan Air Danau ... Gambar 2.12 Bagan Proses Pengolahan Air Sungai ... Gambar 2.13 Intake Pintu Air dan Intake Pipa Penyedot ... Gambar 2.14 Desain Bak Prasedimentasi ... Gambar 2.15 Proses Koagulasi, Flokulasi dan Sedimentasi

pada Clarifier Modern ... Gambar 2.16 Grafik Moody. ... Gambar 2.17 Perbesaran Pipa Secara Berangsur. ... Gambar 2.18 Belokan Pipa. ... Gambar 2.19 Nilai Kc untuk Sambungan Pipa. ... Gambar 2.20 Belokan Berangsur 90o ...


(9)

Gambar 3.1 Peta Lokasi IPA Meunasah Reudeup ... Gambar 3.2 Lokasi IPA Meunasah Reudeup

dan IPA Meunasah Asan ... Gambar 3.3 Jalur Distribusi Air Baku dari Intake ke

Bak Penampung Air Baku ... Gambar 3.4 Bak Penampungan Air Baku ... Gambar 3.5 Alat Jar Test. ... Gambar 3.6 Grafik Dosis Tawas Hasil Jar Test untuk Kekeruhan

36,5 NTU. ... Gambar 3.7 Penginjeksian Larutan Tawas dan Larutan Soda Ash ... Gambar 3.8 Propeler... Gambar 3.9 Sirkulasi Air dan Proses Sedimentasi pada Clarifier ... Gambar 3.10 Clarifier (Clariflocculator) ... Gambar 3.11 Pembubuhan Larutan Kaporit ... Gambar 3.12 Diffuser weir ... Gambar 3.13 Desain Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter) ... Gambar 3.14 Bak Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter) ... Gambar 3.15 Reservoir... Gambar 3.16 Bagan Proses Pengolahan Air Bersih

IPA Meunasah Reudeup ... Gambar 4.1 Dimensi Bak Penampung Air Baku ... Gambar 4.2 Elevasi Outlet Unit Filtrasi ... Gambar 4.3 Antrasit dalam Bentuk Butiran (Bubuk)... Gambar 4.4 Head loss statis dari Sumur Intake


(10)

ke Bak Penampung Air Baku. ... Gambar 4.5 Debit Masuk dan Debit Keluar ...


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Koefisien Bentuk ... Tabel 2.2 Kriteria Air Minum ... Tabel 2.3 Kekentalan Kinematik Air ... Tabel 2.4 Nilai Kekasaran Pipa (K) untuk Berbagai Jenis Pipa ... Tabel 2.5 Nilai Kc untuk Perbesaran Pipa ... Tabel 2.6 Nilai Kc untuk Belokan Pipa ... Tabel 2.7 Nilai Kc untuk Belokan Berangsur 90o ... Tabel 3.1 Distribusi Air ke Pelanggan Menurut Waktu ... Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Kecepatan Endap Partkel

berdasarkan Diameter ... Tabel 4.2 Perhitungan Waktu Detensi Aliran Horizontal Air ... Tabel 4.3 Perhitungan Waktu Endap Partikel ... Tabel 4.4 Perhitungan Waktu Detensi Air di

Unit Pengadukan Cepat ... Tabel 4.5 Perhitungan Waktu Detensi flokulasi

Dan Sedimentasi ... Tabel 4.6 Perhitungan Debit Penyaringan Tiap Bak ... Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Nilai va ...

Tabel 4.8 Hasil Perhitungan Kebutuhan Tinggi Muka Air ... Tabel 4.9 Tinggi Muka Air diatas Media Filter pada

Saat Backwash ... Tabel 4.10 Hasil Perhitungan Kapasitas Reservoir


(12)

untuk Q = 40 l/detik ... Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Kapasitas Reservoir

untuk Q = 150 l/detik ... Tabel 4.12 Analisa Air Hasil Produksi ... Tabel 4.13 Laporan Analisa Bulanan (Monthly Report Analysis)

Pemeriksaan Parameter Kualitas Air

di WTP Lhoksukon... Tabel 4.14 Analisa Parameter Hasil Filter dan Reservoir ...


(13)

ABSTRAK

Permasalahan air bersih merupakan salah satu permasalahan utama yang sering terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Seiring perkembangan zaman dan pertambahan jumlah penduduk, permintaan terhadap kualitas dan kuantitas air bersih terus meningkat. PDAM sebagai penyedia air minum bagi masyarakat harus mampu menyediakan air minum dengan kualitas dan kuantitas yang memadai untuk dikonsumsi.

Proses yang umum digunakan oleh instalasi pengolahan air di Indonesia dalam menyediakan air bersih adalah proses pengolahan sistem konvensional lengkap yang meliputi proses secara fisika, kimia dan biologi. Adapun prosesnya antara lain: koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan desinfeksi.

Tugas akhir ini merupakan studi kasus untuk mengevaluasi upaya peningkatan kualitas air bersih sistem konvensional lengkap yang dilakukan oleh PDAM Tirta Mon Pase Aceh Utara melalui Instalasi Pengolahan Air (IPA) Meunasah Reudeup yang berkapasitas produksi 150 liter/detik.

Dari studi ini didapatkan data-data antara lain: kualitas air baku dan air bersih, proses pengolahan yang terjadi pada tiap unit pengolahan dan kondisi eksisting produksi. Kemudian, dari data-data ini akan dihasilkan solusi untuk perbaikan dimasa yang akan datang.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan manusia akan air bersih untuk domestik dan industri telah melahirkan berbagai metode pengolahan air. Pengolahan air yang dilakukan bertujuan untuk menjadikan air layak dikonsumsi sehingga aman bagi kesehatan manusia.

Air yang dihasilkan harus memenuhi syarat kualitas yang mencakup syarat fisika, kimia, mikrobiologi dan radioaktif sebagaimana standar yang diberlakukan Departemen Kesehatan RI yang tertuang dalam Permenkes RI mengenai Syarat – Syarat dan Pengawasan Air Minum No. 907/MENKES/SK/VII/2002.

Pada umumnya, dalam pengolahan air bersih dengan skala besar seperti instalasi pengolahan air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan, air baku diambil dari sumber air yang mampu menjamin keberlangsungan suplai air baku sepanjang tahun. Sumber – sumber air baku tersebut bisa berasal dari air laut, air permukaan (sungai dan danau) dan air tanah.

Di Indonesia, dari beberapa sumber air baku yang tersedia, air permukaan terutama air sungai adalah yang paling banyak digunakan untuk mensuplai air baku ke instalasi pengolahan air bersih. Mengingat saat ini air sungai telah banyak tercemar akibat berbagai aktifitas manusia, maka metode pengolahan air bersih yang tepat diharapkan mampu mengolah air baku menjadi air bersih yang memenuhi standar dari segi kualitas dan kuantitas.


(15)

1.2 Tujuan dan Manfaat Studi

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi proses pengolahan air baku menjadi air bersih yang dilakukan PDAM Tirta Mon Pase melalui instalasi Meunasah Reudeup, Kabupaten Aceh Utara.

Adapun manfaat dari studi ini adalah untuk merumuskan solusi, langkah perbaikan desain, pengelolaan dan perawatan yang lebih baik bagi Instalasi Pengolahan Air khususnya Meunasah Reudeup dimasa yang akan datang.

1.3 Ruang Lingkup Studi

Ruang lingkup studi pada tugas akhir ini adalah:

1. Membahas pengaruh kualitas air baku dalam menghasilkan air bersih 2. Membahas proses pengolahan air yang terjadi pada tiap unit di

Instalasi Pengolahan Air (IPA) Meunasah Reudeup, Aceh Utara.

3. Mengevaluasi desain serta efektifitas dan efisiensi kerja dari unit pengolahan pada instalasi Meunasah Reudeup.

4. Merumuskan solusi, langkah perbaikan desain, pengelolaan dan perawatan yang lebih baik untuk masa yang akan datang.

1.4 Metodologi

Dalam penyusunan tugas akhir ini digunakan metodologi sebagai berikut: 1. Sumber Data

Data yang digunakan untuk penyusunan tugas akhir ini bersumber dari data lapangan hasil observasi pada instalasi pengolahan air bersih


(16)

Meunasah Reudeup di PDAM Tirta Mon Pase Aceh Utara dan data kepustakaan yang bersesuaian dengan pokok bahasan, yaitu:

a. Gambaran umum kondisi wilayah studi b. Sumber – sumber air minum di Aceh Utara c. Standarisasi kualitas air minum

d. Proses pengolahan air bersih 2. Cara Pengumpulan data

Pengumpulan data kepustakaan diperoleh dengan cara menghimpun berbagai jenis literatur yang terdiri dari buku, jurnal, gambar – gambar teknis serta data – data kualitas pengolahan air bersih yang mempunyai relevansi dengan bahasan tugas akhir ini, baik yang berada di PDAM Tirta Mon Pase maupun sumber lainnya. Termasuk menghimpun data dan bahasan dengan mengobservasi dan mewawancarai pihak – pihak yang berwenang di PDAM Tirta Mon Pase, khususnya instalasi Meunasah Reudeup.

3. Pengolahan Data

Data yang diperoleh dari lapangan dan kepustakaan yang berupa gambar desain, pengamatan terhadap proses pengolahan, perawatan dan mekanisme kerja, serta data – data kualitas yang bersesuaian dengan pokok bahasan, disusun secara sistematis dan logis sehingga diperoleh suatu gambaran umum yang akan dibahas dalam tugas akhir ini.


(17)

4. Analisa Data

Dari hasil pengolahan data akan didapat kualitas air yang dihasilkan, serta desain yang tepat dan akan menjadi pembahasan terhadap proses – proses dalam pengolahan air bersih sehingga diperoleh kesimpulan akhir yang berarti.

5. Evaluasi

Setelah dilakukan analisa data untuk selanjutnya dilakukan evaluasi atas hasil studi berkaitan dengan metode pengolahan air, dimensi dan desain bangunan, kualitas air, proses pengolahan dan perawatan dengan data – data kepustakaan dan standar yang berlaku.

1.5 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan Tugas Akhir ini adalah 1. Pendahuluan

Pada bab ini akan dibahas latar belakang masalah, maksud dan tujuan studi, ruang lingkup studi, metodologi studi serta sistematika penulisan tugas akhir.

2. Studi Pustaka

Pada bab ini akan diuraikan berbagai literatur yang berkaitan dengan penilitian/pembahasan. Didalamnya termasuk siklus hidrologi, sumber – sumber air, metode pengolahan air dan standar kualitas air bersih untuk minum.


(18)

Bab ini akan menguraikan unit – unit pengolahan air bersih serta proses pengolahan air bersih pada PDAM Tirta Mon Pase instalasi Meunasah Reudeup, Aceh Utara. Pembahasan khusus di bab ini akan difokuskan pada desain bangunan, pengamatan terhadap proses pengolahan air, kualitas air baku dan air hasil pengolahan, perawatan dan mekanisme kerja dari unit – unit yang terdapat pada instalasi Meunasah Reudeup.

4. Evaluasi

Bab ini akan memaparkan hasil evaluasi dari segi efektifitas dan efisiensi kerja dari unit – unit yang terdapat pada Instalasi Meunasah Reudeup, Aceh Utara dalam proses pengolahan air bersih dengan membandingkannya terhadap kriteria desain unit – unit pengolahan. 5. Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini akan disampaikan evaluasi hasil studi penganalisaan pada bab – bab sebelumnya. Kemudian dilakukan penyusunan rekomendasi dan saran yang berupa langkah – langkah untuk perbaikan dan perencanaan lebih lanjut.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air

Air adalah unsur yang penting bagi kehidupan, keberadaannya menutupi 70 persen permukaan bumi. Data United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2002 menyebutkan volume air di bumi sebesar 1,4 Triliun km3 dengan komposisi air asin 97,5% dan sisanya 2,5% terdistribusi untuk air sungai, air tanah, rawa, danau, gletser hingga salju abadi.

2.1.1 Siklus Hidrologi

Pada prinsipnya keberadaan air di bumi tetap dan mengikuti suatu aliran yang di namakan Siklus Hidrologi. Untuk lebih jelasnya di gambarkan sebagai berikut:


(20)

Dengan adanya penyinaran matahari, maka semua air yang ada di permukaan bumi dan yang dikeluarkan oleh tanaman akan menguap dan membentuk uap air (evaporation dan evapotranspiration). Karena adanya angin, maka uap air ini akan bersatu dan berada di tempat yang tinggi yang sering dikenal dengan nama awan (cloud). Oleh angin, awan ini akan terbawa makin lama makin tinggi di mana temperatur di atas makin rendah, yang menyebabkan titik-titik air dan jatuh ke bumi sebagai hujan (precipitation).

Air hujan ini sebagian mengalir ke dalam tanah (infiltration), dan sebagian lagi akan terus mengalir ke bawah (percolation). Jika menjumpai lapisan rapat air, maka peresapan akan berkurang, dan sebagian air akan mengalir di atas lapisan rapat air ini (ground water). Jika air ini ke luar pada permukaan bumi, maka air ini akan disebut mata air.

Sebagian air akan mengalir diatas permukaan tanah (run – off) dan kemudian berkumpul membentuk sungai-sungai dan jika melalui suatu tempat rendah (cekung) maka air akan berkumpul, membentuk suatu danau atau telaga. Tetapi banyak di antaranya yang mengalir ke laut kembali dan kemudian akan mengikuti siklus hidrologi kembali.

2.1.2 Manfaat Air Bagi Kehidupan

Volume air yang begitu besar memiliki berbagai manfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Beberapa manfaat tersebut diantaranya:

1. Penyediaan air minum

Air disadap dari berbagai sumber untuk kemudian diolah agar memenuhi standar untuk air minum.


(21)

2. Penggunaan untuk pertanian / irigasi

Pertanian membutuhkan sebuah manajemen pengairan yang efektif dan efisien. Irigasi adalah salah satu upaya untuk mengairi pertanian secara efektif dan efisien.

3. Pembiakan ikan dan satwa liar

Ikan membutuhkan air sebagai tempat pembiakkannya. Satwa liar membutuhkan air untuk keberlangsungan hidupnya.

4. Pelayaran

Air juga digunakan untuk berbagai keperluan pelayaran, baik sungai danau maupun laut.

5. Rekreasi dan olah raga air

Air laut, sungai, waduk dipergunakan untuk tempat rekreasi dan olah raga air.

6. Industri

Air digunakan untuk kegiatan produksi dalam sebuah industri baik sebagai produk maupun sebagai pendingin alat – alat produksi.

2.2 Sumber – Sumber Air Minum

Air yang diperuntukan untuk minum dapat diambil dari berbagai sumber. Untuk dapat digunakan sebagai air minum, air yang berasal dari sumber – sumber yang tersedia tersebut harus diolah terlebih dahulu untuk menghilangkan dan meningkatkan beberapa unsur yang dikandungnya. Sumber – sumber air tersebut diantaranya air laut, air meteriologik (hujan), air permukaan dan air tanah.


(22)

2.2.1 Air laut

Air laut adalah air yang terdapat di laut atau berada di permukan laut. Air laut memiliki rasa asin karena mengandung garam (NaCl) hingga 3%, hal ini membuat air laut tidak bisa dikonsumsi secara langsung sebagai air minum.

2.2.2 Air Meteriologik

Air meteriologik lebih dikenal dengan nama air hujan. Air hujan dihasilkan oleh penguapan air laut dan air permukaan diakibatkan oleh panas sinar matahari dan pada kondisi tertentu turun sebagai air hujan. Pada dasarnya air hujan adalah air murni namun akibat adanya pengotoran udara akibat industri, gas buangan kendaraan bermotor, debu dan lain sebagainya telah menyebabkan air hujan terkontaminasi sehingga membutuhkan pengolahan khusus untuk dapat dipergunakan sebagai air minum.

2.2.3 Air Tanah

tertampung pada lapisan tanah dapat dibagi ke dalam 2 jenis yaitu:

a. Air tanah dalam / air artesis.

dalam tanah, di antara dua lapisan kedap air. Lapisan diantara dua lapisan kedap air tersebut disebut lapisan akuifer. Lapisan tersebut banyak menampung air. Jika lapisan kedap air retak, secara alami air


(23)

akan keluar ke permukaan. Air yang memancar ke permukaan disebut mata air artesis. Air artesis dapat diperoleh melalui setelah lapis rapat air yang pertama. Pengambilan air tanah dalam, tak semudah pada air tanah dangkal. Dalam hal ini harus digunakan bor dan memasukkan pipa ke dalamnya hingga mencapai suatu kedalaman tertentu (biasanya antara 100 - 300 m) akan didapatkan suatu lapis air.

Pada umumnya air tanah dalam lebih baik dari air tanah dangkal, karena penyaringannya lebih sempurna dan bebas dari bakteri. Susunan unsur – unsur kimianya tergantung pada lapis – lapis tanah yang dilalui. Jika melalui tanah kapur, maka air itu akan menjadi sadah, karena mengandung Ca (HCO3)2 dan Mg (HCO3)2 . Jika melalui batuan granit, maka air itu lunak dan agresif karena mengandung gas CO2 dan Mn (HCO3).

b. Air tanah dangkal / air freatis

tidak jauh dari permukaan tanah. Air freatis sangat dipengaruhi oleh resapan air di sekelilingnya. Pada musim berkurang. Sebaliknya pada musim hujan jumlah air freatis akan bertambah. Air freatis dapat diambil melalui sumur atau mata air. Pada umumnya pada sumur air freatis, lumpur akan tertahan, demikian pula dengan sebagian bakteri, sehingga air tanah akan jernih tetapi lebih banyak mengandung zat kimia (garam-garam


(24)

yang terlarut) karena melalui lapisan tanah yang mempunyai unsur-unsur kimia tertentu untuk masing – masing lapisan tanah. Lapis tanah di sini berfungsi sebagai saringan. Di samping penyaringan, pengotoran juga masih terus berlangsung, terutama pada muka air yang dekat dengan muka tanah.

Di Indonesia umumnya pada air tanah dangkal dan air tanah dalam dapat dijumpai kandungan Fe, Mn dan Sulfur (Belerang) yang tinggi sehingga menyebabkan air berbau busuk.

2.2.4 Air permukaan

Air permukaan adalah air yang mengalir di permukaan bumi. Karena mengalir di permukaan bumi maka pada umumnya air permukaan akan mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh lumpur, batang – batang kayu, daun – daun limbah industry kota dan lain sebagainya. Pencemaran yang terjadi berbeda – beda tergantung pada daerah pengaliran air permukaan tersebut.

Air permukaan ada 2 macam yakni: a. Air sungai

Sebagian air sungai telah mengalami pengotoran akibat aktifitas manusia maupun akibat pembusukan daun – daun dan kayu – kayu. Sehingga untuk dapat dipergunakan sebagai air minum, membutuhkan pengolahan yang sempurna. Air sungai masih menjadi alternatif utama sebagai sumber air minum karena kondisi morfologis sungai yang memungkinkan untuk membuat bendung dan


(25)

mengarahkan air. Selain itu debit air yang relatif konstan menjamin suplai air yang berkelanjutan.

b. Air danau dan rawa

Air danau pada umumnya memiliki kualitas yang sangat baik namun keberadaan manusia yang melakukan aktifitas di sekitar danau dapat menyebabkan air danau tercemar. Pencemaran yang terjadi biasanya meliputi pencemaran akibat pakan ikan, jika danau tersebut digunakan sebagai sarana untuk keramba ikan. Selain itu kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah dan limbah rumah tangga ke danau juga menjadi salah satu pencemar danau.

Air rawa pada umumnya berwarna karena adanya zat – zat organik yang telah membusuk seperti: asam humus yang menyebabkan air berwarna kecoklatan. Pembusukan zat organik yang tinggi akan menyebabkan kadar Fe dan Mn tinggi pula. Jika kelarutan oksigen sangat minim, maka unsur – unsur Fe dan Mn ini akan larut. Pada permukaan air akan tumbuh alga (lumut) akibat sinar matahari dan oksigen.

2.3 Metode Pengolahan Air Minum

Sumber – sumber air seperti air laut, air tanah, air hujan dan air permukaan merupakan sumber air baku bagi air minum. Karena adanya kandungan dan sifat dari masing – masing sumber air tersebut maka diperlukan suatu upaya tersendiri untuk menjadikan air baku tersebut menjadi air bersih dan layak untuk dikonsumsi.


(26)

Untuk membatasi penguraian selanjutnya, pada tugas akhir ini penulis hanya akan membahas berbagai metode pengolahan air minum untuk air permukaan dan air tanah yang umumnya digunakan pada instalasi pengolahan air dalam memenuhi kebutuhan masyarakat (komunal).

Pengolahan air pada dasarnya adalah upaya membuang atau mengurangi dan meningkatkan kandungan tertentu pada air sehingga aman untuk dikonsumsi. Beberapa metode yang umum digunakan adalah:

o Sedimentasi

Sedimentasi adalah upaya mengurangi kandungan zat berbahaya pada air dalam bentuk partikel dengan jalan mengendapkan partikel – partikel tersebut. Ketika partikel telah mengendap di dasar wadah air, selanjutnya air pada permukaan dapat digunakan untuk dikonsumsi.

o Aerasi

Aerasi adalah salah satu proses pengolahan air dengan cara mencampur air dengan udara (oksigen) untuk mengikat (mengoksidasi) unsur Fe dan Mn yang terlarut dalam konsentrasi tinggi di dalam air. Umumnya digunakan pada air sumur bor dan air rawa. Pada proses ini terjadi reaksi antara oksigen dengan kation – kation Besi (Fe2+) dan Mangan (Mn2+) yang akan membentuk senyawa oksida 4Fe(OH3) + 8H+ dan 2MnO2 + 4H+. Reaksi pada saat proses aerasi :

4Fe2+ + O2 + 10H2O → 4Fe(OH3) + 8H+ 2Mn2+ + O2 + 2H2O → 2MnO2 + 4H+


(27)

Gambar 2.2 Proses Aerasi pada Air

o Koagulasi dan Flokulasi

Koagulasi adalah upaya merubah partikel – partikel koloid yang terdispersi pada air menjadi partikel non koloid sehingga terjadi proses flokulasi yaitu saling mengikatnya partikel – partikel non koloid membentuk flok – flok. Untuk proses koagulasi digunakan zat koagulan seperti Aluminium Sulphate (tawas).

Koagulasi dan flokulasi dilakukan pada Clarifier yang juga dilengkapi tempat terjadinya sedimentasi flok – flok.

Gambar 2.3 Clarifier Konvensional


(28)

o Filtrasi

Filtrasi adalah upaya mengurangi kandungan unsur yang terdapat di dalam air melalui proses penyaringan. Terdapat dua jenis filter yang umum digunakan dalam pengolahan air skala besar yaitu Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Filter) untuk air baku yang tanpa memerlukan proses pengolahan awal dan Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter).

Gambar 2.5 Saringan Pasir Lambat

Gambar 2.6 Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter)

Air baku

Pasir Halus (Ø 0.15 – 0.35 mm)

Kerikil (Ø 2 – 8 mm)

Kerikil (Ø 8 – 16 mm)

Kerikil (Ø 16 – 32 mm) Air hasil

saringan Air baku


(29)

o Desinfeksi

Desinfeksi adalah upaya untuk membunuh mikroorganisme berbahaya dengan menambahkan desinfektan.

Pemilihan metode pengolahan air sangat bergantung pada kondisi air baku. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangannya masing – masing sehingga untuk mendapatkan kualitas air yang optimal, umumnya metode – metode pengolahan air tersebut dikolaborasikan antara satu metode dengan metode yang lain.

2.3.1 Metode Pengolahan Air Tanah

Untuk kondisi air baku yang berasal dari air tanah, jika air tersebut relatif jernih tanpa kandungan Fe dan Mn yang tinggi maka metode pengolahannya cukup dengan menggunakan saringan pasir lambat.

Gambar 2.7 Bagan Proses Pengolahan Air Tanah

Kemudian air dialirkan ke reservoir setelah sebelumnya diberi desinfektan untuk membunuh mikroorganisme, mencegah tumbuhnya lumut di reservoir dan pipa – pipa distribusi. Dari reservoir kemudian air didistribusikan ke pelanggan.

Namun kebanyakan air tanah di Indonesia mengandung unsur Fe dan Mn yang tinggi sehingga membutuhkan proses aerasi untuk mengoksidasi unsur Fe dan Mn yang terlarut dalam air. Setelah proses aerasi dilakukan, air akan keruh akibat Fe dan Mn yang sebelumnya terlarut dalam air telah menjadi padatan.

Pelanggan

Intake

(sumur)

Slow Sand Filter


(30)

Tahap selanjutnya Fe dan Mn yang telah berbentuk padat tersebut diendapkan (sedimentasi). Kemudian air disaring menggunakan Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Filter) untuk menyaring sisa – sisa padatan yang tidak mengendap. Setelah itu, air diberi desinfektan dan dialirkan menuju reservoir untuk kemudian didistribusikan ke pelanggan.

Gambar 2.8 Bagan Proses Pengolahan Air Tanah dengan Kandungan Fe dan Mn yang Tinggi

2.3.2 Metode Pengolahan Air Rawa

Instalasi Pengolahan Air untuk mengolah air rawa menjadi air bersih jarang dijumpai dikarenakan unsur yang dikandungnya sangat banyak dan sulitnya proses pengambilan air baku.

Pengambilan air rawa harus benar – benar diperhitungkan agar berada pada kedalaman tertentu untuk menghindari terbawanya lumut pada permukaan air dan endapan – endapan Fe dan Mn pada dasar rawa.

Gambar 2.9 Air Rawa

Intake

(sumur) Aerasi

Reservoir

Slow Sand Filter

(Saringan Pasir Lambat) Desinfeksi

Pelanggan


(31)

Pada pengolahan air rawa, diperlukan proses aerasi untuk menurunkan kadar Fe dan Mn yang terlarut di dalam air karena kandungan oksigen yang sangat minim.

Setelah membentuk senyawa oksida, selanjutnya untuk menghilangkan partikel – partikel terdispersi lainnya maka dilakukan proses koagulasi dan flokulasi dengan bantuan clarifier ddan tambahan zat koagulan seperti tawas. Pada clarifier juga terjadi proses sedimentasi yaitu pengendapan partikel – partikel dalam bentuk lumpur. Selanjutnya air disaring menggunakan saringan pasir cepat yang terdiri dari kerikil, pasir dan antrasit sehingga kadar Fe dan Mn akan turun hingga 90%.

Setelah disaring, pada air diinjeksikan desinfektan untuk membunuh bakteri selanjutnya air dialirkan ke reservoir sebelum didistribusikan kepada pelanggan.

Gambar 2.10 Bagan Proses Pengolahan Air Rawa

2.3.3 Metode Pengolahan Air Danau

Air danau pada umumnya memiliki tingkat kekeruhan yang relatif rendah, hal ini mengindikasikan kandungan unsur yang dimiliki air tersebut rendah. Pengolahan air danau dengan tingkat kekeruhan air yang rendah dapat dilakukan dengan menggunakan saringan pasir lambat.

Intake

(rawa) Aerasi Koagulasi Flokulasi

Reservoir

Sedimentasi

Desinfeksi Pelanggan

Rapid Sand Filter


(32)

Saringan pasir lambat sangat efektif dalam menyaring partikel – partikel dan bakteri. Saringan pasir lambat baik digunakan untuk mengolah air baku yang memiliki tingkat kekeruhan rendah. Semakin keruh air baku maka akan semakin lama proses penyaringan yang terjadi karena partikel – partikel akan mengendap pada pasir sehingga akan menutup pori – pori yang dapat dilalui air, akibatnya air akan semakin sulit melalui pori – pori.

Menggunakan saringan pasir lambat untuk menyaring air danau merupakan langkah yang tepat karena biaya pengolahan air lebih murah. Setelah proses penyaringan selesai, desinfektan diinjeksikan ke air yang akan dialirkan ke reservoir.

Gambar 2.11 Bagan Proses Pengolahan Air Danau

2.3.4 Metode Pengolahan Air Sungai

Air sungai digunakan sebagai air baku karena kuantitas dan kontiniutas air sungai yang relatif stabil setiap tahunnya. Selain itu, air sungai pada umumnya walaupun telah tercemar dengan berbagai unsur namun pencemaran tersebut pada sebagian besar sungai masih dapat diolah untuk memenuhi kriteria air minum yang dipersyaratkan.

Adapun proses pengolahan air sungai pada umumnya adalah sebagai mana ditunjukan oleh bagan berikut ini:

Pelanggan

Intake

(danau)

Slow Sand Filter


(33)

Gambar 2.12 Bagan Proses Pengolahan Air Sungai 1. Intake

Kondisi intake sangat berpengaruh dalam mensuplai air yang akan diolah. Untuk menjamin suplai air yang cukup, intake harus diletakkan di lokasi yang mudah dicapai dan dirancang untuk mensuplai sejumlah kuantitas air pada kualitas optimal yang memungkinkan.

Pemilihat site untuk intake pada sungai harus didasarkan pada:

a. Didapatkan kualitas air baku terbaik yang dapat disuplai ke pengolahan air.

b.Prediksi kemungkinan perubahan arah dan kecepatan aliran sungai

c. Meminimalkan efek dari banjir, kotoran yang mengapung dan gelombang aliran.

d.Tersedia akses yang mudah untuk perbaikan dan perawatan. e. Memungkinkan untuk penambahan fasilitas di kemudian

hari.

f. Fleksibel terhadap kenaikan dan penurunan muka air serta prediksi terhadap kemungkinan perubahan arah dan kecepatan aliran sungai

Intake

(rawa) Prasedimentasi

Koagulasi Flokulasi

Reservoir

Sedimentasi

Desinfeksi Pelanggan

Rapid Sand Filter


(34)

g.Meminimalkan efek fasilitas pada kehidupan air. h.Didapatkan kondisi geologi terbaik.

Sebagian intake ada yang berbentuk bangunan pintu air dan sebagian ada yang menggunakan pipa penyedot.

a. b.

Gambar 2.13 Intake pintu air (a) dan Intake pipa penyedot (b)

2. Prasedimentasi

Air dari intake dialirkan ke bak prasedimentasi untuk membuang pasir, lempung dan partikel non koloid lainnya secara gravitasi. Dengan membuang pasir, lempung dan partikel non koloid lainnya dari air, akan menghindari kerusakan alat – alat mekanis (seperti pompa dan mixer) dan menghindari akumulasi sedimen di air baku untuk proses pengolahan awal. Selanjutnya air dialirkan ke bak penampungan air baku.

Agar proses prasedimentasi berlangsung efektif maka harus dipastikan agar kecepatan endap partikel (wo) harus lebih besar


(35)

Kecepatan aliran horizontal tidak boleh lebih besar dari 0.03 m/s untuk menjamin butiran pasir mengendap (Twort,C.Alan, Don D. Ratnayaka and Malcolm J.Brandt, 2006: 275 - 276).

Kecepatan aliran horizontal (v0) = (2.1)

Waktu detensi/aliran horizontal (t1) = (2.2)

Waktu partikel mencapai dasar bak (t2) = (2.3)

Dimana :

Q : Debit aliran yang melalui bak prasedimentasi (m3/detik) b : lebar bak prasedimentasi (m)

d : kedalaman/tinggi bak prasedimentasi (m)

w0 : kecepatan endap partikel (m/detik)

Proses sedimentasi berjalan efektif jika waktu detensi/aliran horizontal (t1) lebih besar dari waktu partikel mencapai dasar bak

(t2).

Gambar 2.14 Desain Bak Prasedimentasi

Frank L. Spellman (2008) dalam bukunya The Science of Water,

Concepts and Applications menjelaskan bahwa Kecepatan endap


(36)

Untuk menghitung bilangan Reynold (Re) pada bak prasedimentasi digunakan persamaan berikut:

(2.4)

Dimana :

: bilangan Reynolds : viskositas dinamik air,

untuk 20oC = 1.01 x 10-3 (N detik/m2) : kecepatan endap partikel (m/detik) : rapat massa air (kg/m3)

: diameter partikel yang mengendap (m)

Untuk Re < 2, berlaku persamaan stokes’ berikut:

(2.5)

Dimana :

wo : kecepatan endap partikel (m/detik)

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2

: rapat massa air, 1000 (kg/m3) : rapat massa partikel, 2600 (kg/m3)

: viskositas dinamik air, untuk 20oC = 1.01 x 10-3 (N detik/m2)

d : diameter partikel (m)

Untuk 2 < Re < 500–1000, berlaku persamaan:


(37)

Dimana :

wo : kecepatan endap partikel (m/detik)

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2

: rapat massa air, 1000 (kg/m3) : rapat massa partikel, 2600 (kg/m3)

Cd : drag koefisien d : diameter partikel (m)

Cd dihitung melalui persamaan:

(2.7)

Untuk 500–1000 < Re < 200000, berlaku persamaan:

(2.8)

Dimana :

wo : kecepatan endap partikel (m/detik)

: rapat massa air, 1000 (kg/m3) : rapat massa partikel, 2600 (kg/m3)

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2 d : diameter partikel (m)

untuk Re > 200000 dan Cd = 0.1, dipastikan tidak terjadi pengendapan partikel.

Untuk mencegah partikel yang telah mengendap didasar bak agar tidak terangkat kembali, maka kecepatan aliran pada bak pengendap


(38)

harus dibatasi (Twort,C.Alan, Don D. Ratnayaka and Malcolm J.Brandt, 2006: 275). Adapun persamaan untuk hal ini adalah:

(2.9)

Dimana :

vmaks : batas kecepatan maksimum yang

diperbolehkan (m/detik)

: faktor gesek, tergantung bilangan Reynold pada saluran terbuka.

: berat jenis partikel, 2600 (kg/m3)

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2

: 0.1 – 0.25, untuk pasir dan 0.04 – 0.06 untuk pengendapan flok

Di Indonesia dalam berbagai perencanaan untuk pengendapan sedimen seperti pada perencanaan kantong lumpur dan berbagai keperluan lainnya digunakan persaaman stokes’ dengan tetap mempertahankan aliran horizontal pada saluran terbuka laminar (Re < 2000).

3. Koagulasi

Koagulasi merupakan proses destabilisasi muatan koloid dan padatan terlarut, termasuk bakteri dan virus oleh koagulan. Pengadukan cepat merupakan cara yang digunakan dalam proses koagulasi. Tujuan dari


(39)

pengadukan cepat adalah untuk mempercepat dan menyeragamkan atau meratakan zat – zat kimia yang digunakan dan kemudian membentuk flok – flok yang mudah mengendap sehingga memungkinkan untuk proses pengolahan air selanjutnya.

Koagulan yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah aluminium sulphate (tawas). Pada proses ini juga dibutuhkan zat kapur atau soda ash untuk mengatur pH air yang turun karena dosis tawas yang tinggi.

Hasil koagulasi yang baik sangat tergantung dari kondisi hidrolik yang baik yaitu pengadukan secara intensif (60 – 180 rpm) dan konstan serta penerapan dosis koagulan yang tepat. Gangguan – gangguan yang terjadi dalam proses koagulasi akan menyebabkan flok yang terbentuk tidak sempurna, sedimentasi lambat dan penurunan turbiditas yang rendah.

Saat ini pembangunan Instalasi Pengolahan Air difokuskan pada pembangunan Clarifier Modern dimana proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi berlangsung dalam satu bangunan.

Koagulasi dilakukan oleh unit clarifier pada pengadukan cepat. Untuk mendapatkan proses koagulasi yang efektif maka diperlukan waktu detensi yang memenuhi persyaratan. American Water Works Association (1990) mempersyaratkan waktu detensi untuk pengadukan cepat 10 – 60 detik.


(40)

Gambar 2.15 Proses Koagulasi, Flokulasi dan Sedimentasi pada Clarifier Modern

Lama keberadaan air (waktu detensi) pada proses pengadukan cepat (tr) merupakan perbandingan antara kapasitas (volume) unit

pengadukan cepat dengan debit air yang masuk ke unit pengadukan cepat sebagaimana ditunjukan oleh persamaan berikut:

(2.10)

Dimana:

tr : waktu detensi air di unit pengadukan cepat (detik)

rr : Jari – jari unit pengadukan cepat, (m)

hr: Tinggi unit pengadukan cepat, (m)

Q : Debit Air masuk ke unit pengadukan cepat, (m3/detik)

4. Flokulasi

Flokulasi adalah tahapan pengadukan lambat (5 – 30 rpm) yang mengikuti dispersi koagulan melalui pengadukan lambat. Tujuannya

Unit Pengadukan Cepat (tempat terjadinya proses koagulasi)

Unit Pengadukan Lambat (tempat terjadinya proses flokulasi


(41)

adalah untuk mengakselerasi pembentukan flok. Pembentukan flok ini akan berlangsung dengan baik apabila saat penambahan koagulan ke dalam air disertai pengadukan cepat yang dilanjutkan pengadukan lambat. Diharapkan flok – flok yang terbentuk mengikat partikel – partikel koloid dan dapat difiltrasi.

Frank L. Spellman mempersyaratkan waktu detensi 15 – 45 menit untuk proses flokulasi yang efektif.

Waktu detensi untuk proses flokulasi dan sedimentasi pada Clarifier IPA Meunasah Reudeup merupakan hasil antara volume Clarifier dikurangi volume unit pengadukan cepat dibagi dengan debit aliran.

(2.11)

Dimana:

tfs : waktu detensi flokulasi dan sedimentasi (detik)

r : Jari – jari clarifier, (m) h : Tinggi Clarifier, (m)

rr : Jari – jari unit pengadukan cepat, (m)

hr : Tinggi unit pengadukan cepat, (m)

Q : Debit Air masuk ke unit pengadukan cepat, (m3/detik)

5. Sedimentasi

Proses sedimentasi dirancang untuk membuang partikel – partikel tersuspensi yang telah berbentuk flok yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi, menggunakan penurunan secara gravitasi oleh partikel itu sendiri.


(42)

Frank L. Spellman mengemukakan setidaknya dibutuhkan waktu 2 – 6 jam untuk proses sedimentasi yang efektif sedangkan American

Water Works Association memberikan waktu detensi yang lebih

cepat yaitu 30 menit untuk flokulasi dan sedimentasi.

6. Filtrasi

Proses filtrasi merupakan salah satu proses dalam pengolahan air bersih. Tahap ini penting untuk mencapai kualitas air yang baik. Meski kurang lebih 90% kekeruhan dan warna dipisahkan dalam koagulasi dan sedimentasi, namun sejumlah flok masih terbawa keluar dan memerlukan pemisahan lebih lanjut.

Proses filtrasi dilakukan dengan melewatkan air hasil pengolahan dari clarifier melalui media filter dengan ukuran dan kedalaman tertentu.

Tipe saringan pasir cepat (Rapid Sand Filter) adalah tipikal filtrasi yang umum digunakan di Indonesia. Dengan menggunakan pasir (ø 0,4 – 0,9 mm), antrasit (ø 0,85 – 1,55 mm) dan kerikil (ø 4,76 – 38,1 mm) diharapkan dapat menangkap flok – flok yang terbawa keluar dari clarifier dan mengurangi nilai kekeruhan air.

Untuk hasil yang efektif, aliran pada saat filtrasi harus dijaga agar laminar dengan bilangan Reynolds, Re < 1000

Untuk menghitung Headloss pada saat proses penyaringan digunakan persamaan Kozeny-Carman, persamaan ini hanya berlaku untuk


(43)

aliran laminar dimana bilangan Reynolds (Re < 1000). Adapun persamaannya adalah:

(2.12)

Dimana :

: Head loss (m)

: viskositas kinetik air,

untuk 20oC = 1.01 x 10-6 (m2/detik)

: kecepatan air melalui media filter (m/detik) : porositas

: diameter media filter (m)

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2

: koefisien bentuk, berkisar antara 0.6 – 0.95 (lihat tabel 2.1)

Tabel 2.1 Koefisien Bentuk ( )

Sumber: McCabe, Warren L. Julian.C. Smith, Peter Harriot (1993)

Bilangan Reynolds dihitung menggunakan persamaan berikut: (2.13)


(44)

: bilangan Reynolds : viskositas kinetik air,

untuk 20oC = 1.01 x 10-6 (m2/detik)

: kecepatan air melalui media filter (m/detik) : diameter pasir/kerikil media filter (m)

Saringan pasir cepat yang digunakan secara terus - menerus akan menyebabkan flok dan partikel yang tersaring menyumbat pori – pori filter. Flok dan partikel yang terakumulasi pada media filter akan menyebabkan penurunan kemampuan dari saringan dan bahkan dapat menyebabkan saringan tidak dapat lagi bekerja (mampet). Untuk mengatasinya perlu dilakukan Backwash yaitu mengalirkan air dan udara berlawanan arah dari proses penyaringan dengan menggunakan air dari reservoir dan udara (blower).

Agar proses backwash berlangsung efektif maka perlu dijaga kecepatan aliran. Aliran yang lambat akan menyebabkan flok dan partikel yang menempel pada media filter tidak terangkat sedangkan aliran yang terlalu cepat akan menyebabkan media filter ikut terangkat dan terbuang bersama air sisa backwash.

Kecepatan aliran udara pada proses backwash pada umumnya direncanakan adalah 16 mm/detik (0.016 m/detik) dan 4 – 5 mm/detik (0.004 – 0.005 m/detik) untuk air namun pada beberapa kasus dimana proses backwash tidak efektif, kecepatan aliran udara dan air dapat ditambahkan dengan syarat tidak akan menyebabkan


(45)

ikut terbawanya media filter. Kecepatan aliran dapat ditambahkan hingga 14 – 22 mm/detik (0.014 – 0.022 m/detik) untuk udara dan 10 – 18 mm/detik (0.01 – 0.018 m/detik) untuk air dengan pemakaian air 1 – 2,5% dari reservoir (Twort,C.Alan, Don D. Ratnayaka and Malcolm J.Brandt. 2006).

7. Desinfeksi dan Pengaturan pH

Dikarenakan ukuran mikroorganisme yang sangat kecil, maka tidak mungkin untuk menjamin bahwa pengolahan air semacam koagulasi dan filtrasi dapat memisahkan mikroorganisme secara sempurna. Tujuan dari proses disinfeksi ini tentunya untuk membunuh mikroorganisme pathogen.

Zat desinfektan yang umum digunakan di Indonesia adalah khlorin ataupun kaporit sebagai cadangan. Di negara – negara maju telah dikembangkan penggunaan ozon dan sinar ultraviolet untuk mensterilkan air minum.

Penggunaan khlorin dilakukan karena selain harganya yang murah dan dapat berbentuk gas, cairan maupun serbuk, juga karena kelarutannya relatif tinggi (7000 mg/l). Selain itu, sisa dari penggunaan khlorin pada air bersih yang dihasilkan juga cukup aman bagi manusia.

Penggunaan zat – zat desinfektan dapat membuat pH air tidak stabil, bahkan cenderung turun. Maka perlu ditambahkan zat kapur atau


(46)

soda ash agar pH air tetap pada kisaran 6,5 – 8,5 sesuai standar kesehatan berdasarkan Kepmenkes 907/Menkes/SK/VII 2002.

8. Reservoir

Reservoir difungsikan untuk penyimpanan air yang telah diolah sebelum didistribusikan ke pelanggan. Perencanaan reservoir harus mencukupi kebutuhan air yang dibutuhkan baik di musim hujan maupun di musim kemarau.

Melalui data distribusi ke pelanggan, kita dapat menghitung kapasitas reservoir yang dibutuhkan dengan menggunakan persamaan berikut:

Volume defisit = ∑ (f defisit – 1 ) x Q rata-rata (2.14) Volume surplus = ∑ (f surplus – 1 ) x Q rata-rata (2.15) Dimana:

• Volume surplus dan defisit dalam m3 sedangkan debit (Q) rata-rata dalam m3/jam.

• Volume surplus adalah volume pada saat jam di bawah rata-rata, sedangkan volume defisit adalah volume pada saat jam puncak.

• f adalah faktor pengali (fp) yang didapat dari hasil pembagian Q distribusi dengan Q rata – rata.

Di reservoir juga dilengkapi Finish Water Pump (FWP) yang berfungsi untuk memompakan air bersih ke pelanggan. FWP juga difungsikan sebagai backwash terhadap unit penyaringan.


(47)

2.4 Standar Kualitas Air Minum

Akibat daur hidrologi dan aktifitas manusia, air mengandung zat – zat dan mikro organisme yang sering disebut dengan pencemar. Zat dan mikro organisme pencemar ini dalam takaran tertentu dapat membahayakan kesehatan. Untuk menghindari berbagai kondisi yang tidak diinginkan maka air minum memerlukan parameter yang dapat dijadikan sebagai acuan agar air tersebut layak dikonsumsi.

Air untuk minum harus memenuhi kriteria dari segi fisik, kimia, biologi dan radioaktif. Adapun kriteria air yang layak dikonsumsi adalah sebagai mana ditunjukan oleh tabel berikut:

Tabel 2.2 Kriteria Air Minum

No. PARAMETER SATUAN

KADAR MAKS. UTK AIR

MINUM

KETERANGAN

A. FISIKA

1 Warna TCU 15

2 Bau dan Rasa - - Tidak Berbau dan Berasa

3 Temperatur oC suhu udara ± 3°C

4 Kekeruhan NTU 5

B. KIMIA ORGANIK

1 Aluminimum (Al ) mg/L 0.2

2 Air Raksa (Hg) mg/L 0.001

3 Ammonia (NH3 -N) mg/L 1.5

4 Besi (Fe) mg/L 0.3

5 Flourida (F ) mg/L 1.5

6 Khlorida (Cl) mg/L 250

7 Kesadahan (sebagai CaCO3) mg/L 500

8 Kromium (Cr -6) mg/L 0.05

9 Mangan (Mn) mg/L 0.1

10 Nitrat (Sebagai NO3) mg/L 50

11 Nitrit (Sebagai NO2) mg/L 3

12 pH - 6.5 - 8.5

13 Seng (Zn) mg/L 3


(48)

15 Sulfat (SO4) mg/L 250

16 Sulfida (H2S) mg/L 0.05

17 Tembaga (CU) mg/L 1

18 Total Padatan Terlarut (TDS) mg/L 1000

C. MIKROBIOLOGI

1 Total Coliform Jlh/100 mL 0

2 Faecal Coliform Jlh/100 mL 0

D. RADIOAKTIVITAS

1 Gross aktifitas A Bq/L 0.1

2 Gross aktifitas B Bq/L 1

Sumber: Permenkes RI No. 907/MENKES/SK/VII/2002

KETERANGAN:

mg = miligram

mL = mililiter

NTU = Nephelometric Turbidity Units

TCU = True Colour Units

Bq = Bequerel

2.4.1 Standar Kualitas Fisika

Suhu, warna, rasa, bau dan kekeruhan adalah 5 kriteria fisik yang mempengaruhi kualitas air minum. Kualitas air minum akan mempengaruhi kesehatan makhluk hidup yang mengkonsumsinya.

1. Suhu

Temperatur air akan mempengaruhi penerimaan masyarakat akan air tersebut dan dapat mempengaruhi pula reaksi kimia di dalam pengelolaan terutama apabila temperatur tersebut sangat tinggi. Selain itu, temperatur yang terjaga akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan virus berbahaya.


(49)

2. Warna

Bahan – bahan yang menimbulkan warna pada air antara lain adalah reruntuhan organis seperti daun dan kayu yng membusuk. Walaupun warna yang diakibatkan oleh bahan – bahan pewarna alamiah tersebut tidak memiliki sifat – sifat membahayakan namun dari segi estetika akan mempengaruhi tingkat penerimaan dari masyarakat. 3. Bau dan Rasa

Bau dan rasa selain mempengaruhi penerimaan masyarakat juga mengindikasikan adanya bahan – bahan organik yang membusuk dan persenyawaan kimia seperti phenol yang berasal dari berbagai sumber yang dikhawatirkan bersifat toksik (racun) sehingga berbahaya bagi kesehatan.

4. Turbidity (Kekeruhan)

Kekeruhan pada air mengindikasikan adanya kandungan tertentu pada air. kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam air. Partikel – partikel koloid umumya berasal dari kwarsa (pasir), tanah liat, sisa tanaman, ganggang, zat organik dan lain – lain. Sehingga kekeruhan menjadi salah satu parameter kualitas air.

2.4.2 Standar Kualitas Kimia

Zat – zat kimia yang terkandung di dalam air selain dapat mempengaruhi kesehatan, dalam proses pendstribusian air juga akan dapat mempengaruhi dan merusak pemipaan selain itu juga menimbulkan bau dan rasa yang menggangu


(50)

estetika. Berikut ini gambaran ringkas mengenai pengaruh unsur – unsur kimia yang terdapat pada air:

1. Aluminium (Al)

Kadar alumunium yang tinggi pada air minum yang dikonsumsi secara terus – menurus menurut penelitian dapat menyebabkan penyakit Alzheimer dan penurunan kognitif.

2. Besi (Fe)

Zat besi merupakan unsur penting yang diperlukan untuk metabolism tubuh. Setidaknya tubuh manusia membutuhkan zat besi sebesar 7 – 35 mg/l/hari. Konsentrasi yang lebih besar dari 1 mg/l dapat menyebabkan warna air menjadi kemerah – merahan dan memberi rasa yang tidak enak pada minuman. Untuk konsentrasi besi yang lebih besar 2 mg/l akan menimbulkan noda – noda pada peralatan dan bahan – bahan yang berwarna putih. Zat besi yang dalam jumlah berlebih jika dikonsumsi secara terus - menerus akan batu ginjal. 3. Flourida (F)

Penggunaan air untuk minum yang mengandung 8-20 mg/l fluorida selama lebih selama 20 tahun akan dapat menimbulkan fluorosis (pengeroposan) pada tulang. Sedangkan mengkonsumsi air minum dengan kandungan flourida yang melebihi 1 mg/l secara terus menerus dapat menyebabkan pengeroposan gigi yang disebut dental


(51)

4. Khlorida (Cl)

Kadar khlorida dalam jumlah kecil dibutuhkan untuk desinfektan. Namun apabila unsur khlorida bertemu dengan ion Na+ dapat menyebabkan rasa asin pada air sehingga dapat merusak pipa – pipa air. Jumlah 250 mg/l dalam air minum dianggap tidak akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia.

5. Kromium (Cr)

Kadar kromium di dalam air yang melebihi standar maksimum kemungkinan akan menyebabkan kanker kulit dan mengganggu alat – alat pernafasan.

6. Mangan (Mn)

Konsentrasi mangan yang lebih besar dari 0,5 mg/l dapat menyebabkan rasa yang aneh pada minuman dan menimbulkan warna kecoklatan pada pakaian/cucian. Dari segi kesehatan, konsentrasi mangan yang lebih besar dari 0,5 mg/l dapat merusak fungsi hati.

7. Nitrat (NO3)

Konsentrasi nitrat yang melebihi 45 mg/l dalam air tidak boleh digunakan untuk campuran makanan dan minuman bayi.

Konsentrasi nitrat yang melebihi 50 mg/l pada air minum, akan berbahaya bagi kesehatan. Di dalam usus, nitrat akan berubah menjadi nitrit yang dapat bereaksi langsung dengan hemoglobin darah membentuk methaemoglobin yang dapat menghalangi perjalanan oksigen di dalam tubuh.


(52)

8. Nitrit (NO2)

Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh nitrit sama hal nya dengan nitrat. Nitrit bersifat racun.

9. pH

pH adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan basa atau asam suatu larutan dan juga merupakan satu cara untuk menyatakan konsentrasi ion H+ . untuk pH yang lebih kecil dari 7 bersifat basa dan pH lebih besar dari 7 bersifat asam. Mikroorganisme hidup baik pada pH antara 6,0 – 8,0. Sebagian hidup baik pada pH 2,0 dan 8,5. Bila pH lebih kecil dari 6,5 dan lebih besar dari 9,2 akan dapat menyebabkan korosi pada pipa air dan dapat menyebabkan beberapa senyawa kimia berubah menjadi racun yang menggangu kesehatan.

10. Seng (Zn)

Unsur seng diperlukan bagi metabolisme tubuh sebesar 10 – 15 mg/l/hari. Pada konsentrasi 675 – 2280 mg/l dapat menyebabkan muntah. Konsentrasi yang terlalu tinggi pada akan menimbulkan rasa pahit dan sepat pada air namun kondisi yang terlalu kecil akan menghambat pertumbuhan anak.

11. Sianida (CN)

Konsentrasi CN dalam air minum yang melebihi standar akan menggangu metabolism oksigen sehingga jaringan tubuh tidak mampu mengubah oksigen. Konsentrasi yang tinggi juga dapat meracuni hati.


(53)

12. Sulfat (SO4)

Sulfat pada konsentrasi 600 – 1000 mg/l, apabila bertemu dengan kation Mg+ dan Na+ kemudian bergabung akan membentuk MgSO4 dan Na2SO4 yang dapat menimbulkan rasa mual dan ingin muntah. Pada konsentrasi yang cukup besar akan membuat tubuh melakukan pencucian perut.

13. Sulfida (H2S)

Adanya H2S pada air merupakan kelanjutan dari terdapatnya SO4 dalam air yang telah direduksi oleh bakteri – bakteri anaerob. H2S adalah gas yang sangat beracun dan berbau busuk sehingga kehadirannya dalam air akan mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap air minum tersebut. Dalam jumlah besar dapat memperbesar keasaman air sehingga dapat menyebabkan korosifitas pada pipa – pipa logam.

14. Tembaga (Cu)

Tembaga diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh dalam rangka pembentukan sel-sel darah merah. Pada konsentrasi tinggi dapat menimbulkan rasa tidak enak di lidah dan juga dapat menyebabkan kerusakan hati. Konsentrasi tembaga diatas 1 mg/l dapat menimbulkan rasa yang tidak enak pada air.

15. Total Padatan Terlarut

Zat padat terlarut adalah bahan yang tertinggal sebagai residu pada penguapan dan pengeringan pada suhu 103oC – 105oC. Konsentrasi zat padat terlarut yang melebihi 1000mg/l akan memberikan rasa


(54)

tidak enak pada lidah dan menimbulkan rasa mual akibat natrium sulfat dan magnesium sulfat.

16. Air Raksa (Hg)

Kandungan air raksa dalam air minum dengna konsentrasi yang melebihi kadar 0,001 mg/l dapat meracuni sel – sel tubuh, merusak ginjal, hati dan saraf. Selain itu dapat pula menyebabkan keterbelakangan mental pada anak bayi.

17. Kesadahan (Sebagai CaCO3)

Kesadahan dapat membuat menurunnya efektifitas dari kerja sabun. Semakin tinggi kesadahan air, semakin boros sabun. Selain itu, kesadahan tinggi juga dapat membuat timbulnya lapisan kerak pada pipa – pipa .

18. Ammonia (NH3-N)

Ammonia dalam jumlah besar dapat menimbulkan bau yang sangat tajam dan menusuk hidung.

2.4.3 Standar Kualitas Mikrobiologi

Air minum tidak boleh mengandung bakteri –bakteri penyakit (patogen) sama sekali dan tidak boleh mengandung bakteri – bakteri golongan Coli melebihi batas – batas yang telah ditentukannya yaitu 1 Coli / 100 ml.air .

Bakteri golongan Coli ini berasal dari usus besar (faeces) dan tanah. Bakteri patogen yang mungkin ada dalam air antara lain adalah :


(55)

- Vibrio colera - Bakteri dysentria - Entamoba hystolotica

- Bakteri enteritis (penyakit perut).

Air yang mengandung golongan Coli dianggap telah terkontaminasi (berhubungan) dengan kotoran manusia. Sehingga pemeriksaan bakteriologik, menggunakan indikator bakteri golongan Coli.

2.4.4 Standar Kualitas Radioaktif

Bequerrel adalah satuan yang dinyatakan untuk menyatakan keaktifan dari suatu radiokatif yakni jumlah disintegrasi (peluruhan) dalam satuan waktu. Dalam sistem satuan SI, keaktifan dinyatakan dalam Bq. Satu Bq sama dengan satu disintegrasi per sekon.

1Bq = 1 dps

dps = disintegrasi per sekon

Energi dari radioaktif, apapun jenisnya yang diterima mahluk hidup walaupun kecil tetapi dapat menimbulkan pengaruh yang serius. Hal ini karena radioaktif dapat mengakibatkan ionisasi, yaitu pemutusan ikatan kimia penting atau membentuk radikal bebas yang reaktif. Ikatan kimia penting bagi makhluk hidup misalnya ikatan pada struktur DNA dalam kromosom. Perubahan yang terjadi pada struktur DNA akan diteruskan pada sel berikutnya yang dapat mengakibatkan kelainan genetik, kanker dll.


(56)

Mengingat begitu besarnya bahaya yang dapat ditimbulkan oleh radioaktif maka untuk menghindari efek buruk, perlu ditetapkan standar radioaktif yang boleh terkandung dalam air bersih/minum.

2.5 Aliran Melalui Pipa

Pipa pada umumnya berpenampang lingkaran yang berfungsi untuk mengalirkan zat cair atau gas. Pipa dianggap saluran tertutup jika zat cair yang dialirkan memenuhi pipa namun apabila zat cair yang dialirkan tidak memenuhi pipa dengan kata lain terdapat udara pada pipa, maka aliran tersebut digolongkan aliran pada saluran terbuka dikarenakan tekanan didalam pipa sama dengan tekanan atmosfer.

2.5.1 Aliran Laminer dan Turbulen

Zat cair memiliki viskositas (kekentalan) yang dipengaruhi oleh temperatur. Untuk air, viskositas terjadi pada temperatur tertentu yang memberikaan sifat air (viskositas kinematik) pada tekanan atmosfer dan beberapa temperatur ditunjukan oleh tabel 2.2. Akibat adanya pengaruh viskositas tersebut, menyebabkan adanya perbedaan tipe aliran. Aliran tersebut dibedakan menjadi 2 (dua) tipe yaitu aliran laminar dan aliran turbulen.

Dalam aliran laminer partikel-partikel zat cair bergerak teratur mengikuti lintasan yang saling sejajar. Aliran ini terjadi apabila kecepatan kecil dan atau kekentalan besar.

Pengaruh kekentalan adalah sangat besar sehingga dapat meredam gangguan yang dapat menyebabkan aliran menjadi turbulen. Dengan


(57)

berkurangnya kekentalan dan bertambahnya kecepatan aliran maka daya redam terhadap gangguan akan berkurang, yang sampai pada suatu batas tertentu akan menyebabkan terjadinya perubahan aliran dari laminer ke turbulen.

Tabel 2.3 Kekentalan Kinematik Air ( ) Menurut Temperatur Temperatur Air (o C) 0 5 10 15 20 25

(m2/detik) x 10-6 1.79 1.52 1.31 1.15 1.01 0.90 Sumber : Twort,C.Alan, Don D. Ratnayaka and Malcolm J.Brandt (2006)

Reynodls menunjukan bahwa aliran laminer dan turbulen dapat diklasifikasikan berdasarkan suatu angka tertentu yang disebut dengan bilangan Reynolds (Re). Aliran laminer terjadi jika Re < 2000, aliran turbulen terjadi jika Re > 4000, sedangkan jika 2000 < Re < 4000 aliran yang terjadi digolongkan pada aliran transisi. Bilangan Reynolds dapat ditentukan melalui persamaan 2.16 berikut:

(2.16) Dimana:

Re : Bilangan Reynolds

V : Kecepatan aliran (m/detik) D : Diameter pipa (m)

: Kekentalan Kinematik, untuk air lihat tabel 2.3

2.5.2 Kehilangan Energi (Head Loss) pada Pipa

Adanya kekentalan pada fluida akan menyebabkan terjadinya tegangan geser pada waktu bergerak. Tegangan geser ini akan merubah sebagian energi


(58)

aliran menjadi bentuk energi lain seperti panas, suara dan sebagainya. Pengubahan bentuk energi tersebut menyebabkan terjadinya kehilangan energi.

Secara umum didalam suatu instalasi jaringan pipa dikenal dua macam kehilangan energi (Head Loss):

a. Major Head loss, yang diakibatkan oleh gesekan air terhadap pipa.

Untuk menghitungnya digunakan persamaan Darcy-Weisbach berikut:

(2.17)

Dimana:

Hfa : Kehilangan Energi akibat gesekan (m)

f : faktor gesek L : panjang pipa V : Kecepatan aliran D : Diameter pipa

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2

Bagi aliran laminer menurut Darcy-Weisbach, faktor gesek (f) memiliki persamaan sebagai berikut:

(2.18)

Dimana:

f : faktor gesek

Re : Bilangan Reynolds

Bagi aliran turbulen, nilai faktor gesek (f) didapatkan dari grafik Moody pada gambar 2.16 melalui perbandingan bilangan Reynolds


(59)

dan Kekasaran Relatif. Kekasaran Relatif dapat dihitung menggunakan persamaan 2.19 berikut ini:

(2.19) Dimana:

K : Tinggi kekasaran pipa (lihat tabel 2.4) D : Diameter pipa

Tabel 2.4 Nilai Kekasaran Pipa (K) untuk Berbagai Jenis Pipa

Jenis Pipa Nilai K (mm)

Kaca

Besi dilapis aspal Besi Tuang Plester Semen Beton Baja Baja keling Pasangan Batu

0,0015 0,06 – 0,24 0,18 – 0,90 0,27 – 1,20 0,30 – 3,00 0,03 – 0,09 0,90 – 9,00

6 Sumber: Bambang Triatmodjo (2003)


(60)

Untuk pipa halus dengan aliran turbulensi sempurna menurut Nikuradse, nilai faktor kekasaran pipa (f) dapat ditentukan dengan cara trial-error melalui persamaan 2.20 berikut:

(2.20)

Dimana:

f : faktor gesek

Re : Bilangan Reynolds

b. Minor Head loss, yang diakibatkan oleh asesoris pipa seperti

perubahan ukuran penampang, sambungan dan belokan pipa. Untuk menghitungnya digunakan persaman 2.21 berikut:

(2.21)

Dimana:

Hfb : Kehilangan energy minor (m)

Kc : koefisien, tergantung pada sambungan, jenis belokan dan perbesaran pipa

V : Kecepatan aliran (m/detik) g : percepatan gravitasi 9.81 m/d2

Nilai Kc untuk perbesaran pipa, belokan pipa dan sambungan pipa dapat ditentukan melalui tabel dibawah ini:


(61)

Gambar 2.17 Perbesaran Pipa Secara Berangsur

Tabel 2.5 Nilai Kc untuk Perbesaran Pipa

α 10o 20o 30o 40o 50o 60o 75o Kc 0,078 0,31 0,49 0,60 0,67 0,72 0,72 Sumber: Bambang Triatmodjo (2003)

Gambar 2.18 Belokan Pipa

Tabel 2.6 Nilai Kc untuk Belokan Pipa

α 20o 40o 60o 80o 90o Kc 0,05 0,14 0,36 0,74 0,98

Sumber: Bambang Triatmodjo (2003)

Gambar 2.19 Nilai Kc untuk Sambungan Pipa

V1 ? V2

A1

A2

α

α


(62)

Gambar 2.20 Belokan Berangsur 90o

Tabel 2.7 Nilai Kc untuk Belokan Berangsur 90o

R/D 1 2 4 6 10 16 20

Kc 0,35 0,19 0,17 0,22 0,32 0,38 0,42 Sumber: Bambang Triatmodjo (2003)

Selain karena gesekan, Head Loss juga dipengaruhi oleh elevasi (Head

Loss statis) sehingga persamaan Total Head loss menjadi:

Ht = Hs + Hf ( 2.22) Dimana:

Ht : Head loss total (m)

Hs : Head loss statis akibat elevasi (m) Hf : Head loss friction (m)

2.5.3 NPSHa dan NPSHr Pompa

Dalam sebuah instalasi pipa, pompa yang digunakan harus memiliki Net

Positive Suction Head Available (NPSHa) yang lebih besar dari Net Positive Suction Head Required (NPSHr) agar air mampu dihisap oleh pompa untuk

kemudian dipompa menuju tempat yang diinginkan.

R


(63)

NPSHa bisa di hitung dari sistem yang ada, sedangkan NPSHr di dapat dari pabrik pembuat pompa. Untuk keamanan (karena desain sistem yang tidak mungkin sempurna 100%) maka diambil nilai keamanan sebesar 1 meter. NPSHa dapat dihitung menggunakan persamaan 2.23 berikut:

(2.23)

Dimana :

Po : Tekanan pada permukaan air (pascal), 1 atm = 1,013x105 pascal

Pv : Tekanan uap air (pascal) dipengaruhi oleh suhu.

ρ : rapat massa air (1000 kg/m3) g : percepatan gravitasi 9.81 m/d2

hs : tinggi hisap diukur terhadap posisi pompa (m), bernilai positif jika berada dibawah dibawah permukaan air, negative jika berada diatas permukaan air.

hl : head loss friction pipa hisap (m)

Untuk suhu air berkisar 20oC – 55oC, NSHPa dapat dihitung dengan menyederhanakan persamaan 2.23 menjadi:

(2.24)

Dimana :


(64)

hs : tinggi hisap diukur terhadap posisi pompa (m) hl : head loss friction pipa hisap (m)


(65)

BAB III

LOKASI STUDI DAN KONDISI EKSISTING

3.1 Lokasi Studi

Instalasi Pengolahan Air (IPA) Meunasah Reudeup yang mulai beroperasi pada September 2006 terletak sekitar 3 km dari pusat ibu kota Aceh Utara, yaitu Lhoksukon. Posisinya tepat ditepi jalan antar Propinsi Medan – Banda Aceh. Air baku IPA Meunasah Reudeup diambil dari sungai Krueng Keureutu yang berjarak 5 km dari lokasi pengolahan.

Jauhnya lokasi antara sumber air baku dan tempat pengolahan dimaksudkan untuk meminimalisir dampak dari stabilitas keamanan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang sedang tidak kondusif. Mengingat pada saat perencanaan IPA Meunasah Reudeup, NAD sedang dalam masa Darurat Militer.


(66)

3.1.1 Kabupaten Aceh Utara

Kabupaten Aceh Utara sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang terletak di bagian pantai pesisir utara pada 96.52 00o – 97.31 00o Bujur Timur dan 04.46 00o – 05.00 40o Lintang Utara.

Kabupaten Aceh Utara memiliki wilayah seluas 3.296,86 Km2 yang sebagian besar wilayahnya masih di tutupi oleh hutan dan rawa dengan batas-batas sebagai berikut :

1. Sebelah Utara dengan Kota Lhokseumawe dan Selat Malaka; 2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bener Meriah;

3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur; 4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Bireuen.

Kabupaten Aceh Utara memiliki curah hujan rata-rata 86,9 mm per tahun dengan hari hujan rata sebanyak 14 hari per bulan. Curah hujan tertinggi rata-rata terjadi setiap tahunnya pada bulan Mei.

Aceh Utara hingga tahun 2006 memiliki 850 desa dan 2 kelurahan, yang terbagi ke dalam 56 buah mukim. Sebanyak 780 buah desa berada di kawasan dataran dan 72 desa di kawasan berbukit.

3.1.2 Sumber – Sumber Air Minum di Kabupaten Aceh Utara

Kondisi Aceh Utara yang sebagian besar wilayahnya adalah dataran yang ditutupi hutan dan rawa memberikan banyak sumber air bagi kebutuhan masyarakatnya. Hampir di setiap rumah penduduk di daerah dataran dapat dijumpai sumber air berupa sumur yang digali oleh masyarakat secara individu dengan kedalaman 3 – 5 meter.


(67)

Sebagian besar sumber air yang berasal dari sumur tersebut keruh dengan kandungan Fe dan Mn yang tinggi. Sehingga untuk dapat dipergunakan sebagai air minum, masyarakat mengolahnya dengan menggunakan saringan pasir lambat yang dibuat secara individu. Sebagian masyarakat juga ada yang mengambil air dari sungai yang berada dekat dengan rumah mereka namun jumlah mereka sangat sedikit. Untuk dapat digunakan sebagai air minum, air yang berasal dari sungai tersebut disaring menggunakan saringan pasir lambat buatan sendiri yang terdiri dari pasir, kerikil dan ijuk.

Pada sebagian daerah, terutama untuk kebutuhan pondok pesantren dan rumah ibadah, sumber air diambil dari sumur bor. Kandungan Fe dan Mn yang tinggi menyebabkan air berbau busuk dan membuat dinding – dinding kamar mandi berwarna kuning kecoklatan.

Kondisi seperti ini membuat masyarakat memilih untuk menggunakan air hasil pengolahan dari instalasi pengolahan air milik PDAM Tirta Mon Pase dalam memenuhi kebutuhan air khususnya untuk minum, memasak dan mencuci pakaian. Sedangkan untuk mandi dan kakus sebagian besar masyarakat masih memilih meggunakan air sumur dan air sungai.

Di daerah perbukitan sangat berbeda dengan daerah dataran, untuk mendapatkan air minum, masyarakat di daerah perbukitan harus menempuh perjalanan beberapa kilometer menuju sumber air berupa sungai atau sumur.

Sayangnya, PDAM belum memiliki jaringan pipa distribusi yang bisa digunakan untuk mensuplai air minum dari instalasi pengolahan air milik PDAM.


(68)

3.1.3 Gambaran Singkat PDAM Tirta Mon Pase

Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat, Pemerintah kabupaten Aceh Utara telah mendirikan Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mon Pase yang saat ini telah memiliki 6 buah Instalasi Pengolahan Air (IPA) yaitu:

1. IPA Meunasah Asan Lhoksukon Kapasitas 60 L/detik 2. IPA Meunasah Reudeup Lhoksukon kapasitas 150 L/detik 3. IPA Krueng Pase Kapasitas 100 L/detik

4. IPA Glee Dagang Krueng Mane Kapasitas 40 L/detik 5. IPA Oxfam Geudong Kapasitas 20 L/detik

6. IPA Cot Girek Kapasitas 5 L/detik

3.2 Kondisi Eksisting Instalasi Pengolahan Air Meunasah Reudeup 3.2.1 Intake

Air baku untuk pengolahan air pada Instalasi Pengolahan Air (IPA) Meunasah Reudeup disuplai oleh IPA Meunasah Asan yang jaraknya ±5 km dengan menggunakan 2 buah pompa bertekanan yang dihubungkan secara paralel. Air baku tersebut diambil dari sungai krueng keureutu dengan cara dialirkan ke dalam sebuah sumur melalui 2 buah pipa.

Kemampuan pompa yang tidak memadai menyebabkan suplai air baku untuk IPA Meunasah Reudeup hanya 40 – 70 liter/detik dari kapasitas maksimal yang dapat diolah oleh IPA Meunasah Reudeup yaitu 150 l/detik.


(69)

Gambar 3.2 Lokasi IPA Meunasah Reudeup dan IPA Meunasah Asan

Proses pendistribusian air baku dari Intake hingga bak air penampung air baku dapat dilihat pada gambar 3.3 berikut:

Sungai Jalan Raya


(70)

Gambar 3.3 Jalur Distribusi Air Baku dari Intake ke Bak Penampung Air Baku

3.2.2 Prasedimentasi pada Bak Penampung Air Baku

Air baku yang dipompa dari IPA Meunasah Asan selanjutnya dialirkan ke bak penampung air baku di IPA Meunasah Reudeup yang memiliki dimensi:

Panjang : 25 meter Lebar : 18 meter Kedalaman : 3 meter

Pada bak penampung air baku ini terjadi proses pengendapan partikel – partikel non koloid (Prasedimentasi). Bak penampung air baku ini tidak dirancang untuk proses prasedimentasi, sehingga untuk membuang sedimen yang telah

Sungai Krueng Keureutu

(I N T AK E) WT P M .ASAN

WT P M .REU DEU P LH OK SU K ON


(71)

mengendap pada dasar bak harus dilakukan secara manual menggunakan alat berat excavator secara berkala.

Gambar 3.4 Bak Penampung Air Baku

3.2.3 Proses Koagulasi, Flokulasi, Sedimentasi, Pengaturan pH dan Desinfeksi pada Clarifier

Air baku yang telah melalui proses prasedimentasi pada bak penampung air baku selanjutnya dipompa menuju clarifier. Sebelum memasuki Clarifier, air yang dipompa melalui pipa diinjeksi dengan larutan Aluminium Sulphate (Tawas) dan larutan soda ash menggunakan pompa pembubuh (dosing pump).

Larutan Aluminium Sulphate (tawas) digunakan sebagai koagulan untuk mengikat partikel – partikel koloid. Penentuan dosis tawas optimum dilakukan melalui Jar Test di laboratorium. Untuk kekeruhan sebesar 36,5 NTU hasil jar

test penentuan dosis tawas optimum dapat dilihat pada grafik gambar 3.6.

Dosis tawas yang digunakan adalah 100 kg bubuk tawas (16 – 18%) dicampur dengan 1 m3 air dan diinjeksikan dengan debit 640 liter/jam.


(72)

Gambar 3.5 Alat Jar Test

Gambar 3.6 Grafik Dosis Tawas Hasil Jar Test untuk Kekeruhan 36,5 NTU Dari grafik diatas, dosis tawas optimum terjadi pada 400 mg/l yang menurunkan kekeruhan dari 36,5 NTU menjadi 4 NTU. IPA Meunasah Reudeup menggunakan produk tawas bubuk yang dikemas di dalam karung seberat 50 kg dengan kandungan tawas 16% - 18%.

Penggunaan Aluminium Sulphate (tawas) yang bersifat asam menyebabkan pH air turun sehingga dibutuhkan soda ash untuk menaikkan nilai

Tawas (mg/liter) Turbidity (NTU)


(73)

pH agar berada pada kisaran yang dipersyaratkan Menteri Kesehatan 6,5 – 8,5. Larutan soda ash dibuat dengan cara mengaduk 20 kg bubuk soda ash dengan 1 m3 air pada bak tendon, larutan soda ash diinjeksikan dengan debit 390 liter/jam.

Gambar 3.7 Penginjeksian Larutan Tawas dan Soda ash

Air yang telah diinjeksi dengan larutan tawas dan soda ash masuk ke pengadukan cepat (rapid mixing) 100 – 180 rpm pada Clarifier dengan debit 40 – 70 liter/detik. Pengadukan cepat bertujuan untuk mengakselerasi terjadinya koagulasi yaitu perubahan sifat dari partikel – partikel koloid menjadi non koloid. Selanjutnya partikel – partikel tersebut akan turun akibat adanya gaya gravitasi (sedimentasi) menuju dasar clarifier.

Bak Tendon berisi larutan soda ash

Pompa Pembubuh (Dosing Pump)

Bak Tendon berisi larutan tawas

Pompa Pembubuh (Dosing Pump)

Larutan Tawas dan soda ash diinjeksi

Bak Penampung Air Baku


(74)

Mata pengaduk cepat berbentuk propeler, hal ini dimaksudkan agar pada saat proses rapid mixing tidak terjadi arus acak yang akan menyebabkan proses flokulasi dan sedimentasi terganggu. Dengan sirkulasi air yang baik (lihat gambar 3.10) proses flokulasi dan sedimentasi akan lebih efektif.

Gambar 3.8 Propeler

Gambar 3.9 Sirkulasi Air dan Proses Sedimentasi pada Clarifier

Pada dasar clarifier terdapat lengan pengaduk lambat (slow mixing) yang berputar 5 – 20 rpm, berfungsi untuk mengakselerasi terjadinya proses flokulasi yaitu partikel – partikel non koloid berkumpul saling mengikat membentuk flok –

17 m 6 m

5,6 m

3 m


(75)

flok dan mengendap menjadi lumpur akibat gravitasi. Lengan pengadukan lambat yang terdapat pada dasar Clarifier juga berfungsi sebagai pengumpul lumpur yang mengumpulkan lumpur menuju ke pusat pengumpulan lumpur yang berada tepat di tengah dasar clarifier.

Gambar 3.10 Clarifier (Clariflocculator)

Air yang telah diproses di clarifier secara rapid dan slow mixing kemudian diinjeksikan desinfektan, IPA Meunasah Reudeup mengganti penggunaan khlorin dengan kaporit karena sulitnya mendapatkan khlorin. Penginjeksian dilakukan dengan menggunakan pompa pembubuh (dosing pump). Pembuatan larutan kaporit dilakukan dengan cara mencampurkan kaporit 7,5 kg dengan air 1 m3, larutan kaporit diinjeksikan dengan debit 210 liter/jam.


(76)

Gambar 3.11 Pembubuhan Larutan Kaporit

Selanjutnya air dialirkan menuju unit penyaringan. Untuk memastikan larutan kaporit yang diinjeksikan pada permukaan air di Clarifier tercampur merata, pada Clarifier dipasang diffuser weir yang berfungsi untuk menerjunkan air sehingga secara otomatis akan mengaduk larutan kaporit. Selain itu, diffuser

weir juga berfungsi menahan lumut dan benda – benda asing lainnya yang

mengambang pada permukaan air agar tidak ikut terbawa ke unit penyaringan yang akan menghambat kerja unit penyaringan.

Gambar 3.12 Diffuser weir

Lumpur yang mengendap di dasar Clarifier selanjutnya dipompa ke luar menuju rawa yang berada dekat dengan IPA Meunasah Reudeup.

Pada awal beroperasinya IPA Meunasah Reudeup, lumpur dipompa menuju Thickner Tank dalam bentuk lumpur cair. Pada Thickner Tank lumpur diolah untuk diambil airnya sehingga menjadi setengah padat. Air yang dihasilkan

Larutan Kaporit pada Bak Tendon

Pompa Pembubuh (Dosing Pump)

Pembubuhan Larutan Kaporit

A

A

8 cm

5 cm

10 cm 1

2


(77)

dari pemisahan tersebut kemudian dialirkan kembali ke bak penampungan air baku.

Lumpur setengah padat yang berasal dari Thickner Tank dialirkan menuju alat Belt Filter Press untuk dijadikan lumpur dalam bentuk batangan. Selanjutnya lumpur yang telah menjadi batangan tersebut diangkut dengan truk untuk dibuang ke tempat pembuangan khusus. Namun lumpur tersebut dapat juga digunakan untuk berbagai keperluan dengan menambahkan beberapa unsur lain menjadi bahan baku pembuatan batu bata atau keramik.

Saat ini Thickner Tank sudah tidak dioperasikan lagi dikarenakan air yang berasal dari Thickner Tank memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi dan pengoperasiannya boros pemakaian listrik.

Clarifier pada IPA Meunasah Reudeup memiliki dimensi:

Diameter : 17 meter Tinggi : 5,6 meter Tinggi Efektif : 3,7 meter

Dimensi unit pengadukan cepat pada Clarifier adalah sebagai berikut: Diameter : 6 meter

Tinggi : 1,5 meter

3.2.4 Unit Penyaringan (Filtrasi)

Air yang telah diproses oleh Clarifier selanjutnya dialirkan ke unit penyaringan (filtrasi). Proses filtrasi dilakukan dengan menggunakan Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter). IPA Meunasah Reudeup memiliki 6 buah bak Saringan Pasir Cepat yang masing – masing bak saringannya memiliki dimensi:


(78)

Panjang : 5 meter Lebar : 3,9 meter Tinggi : 4,5 meter

Masing – masing bak menggunakan pasir sebagai media filternya. Adapun komposisi pasir yang digunakan adalah sebagai berikut:

• pasir ø 0,5 – 1,0 mm setebal 70 cm

• pasir ø 1,2 – 2,4 mm setebal 15 cm

• Porositas rata – rata 0,38

Gambar 3.13 Desain Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter)

Gambar 3.14 Bak Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter)

Untuk membuang partikel – partikel yang tersaring pada pasir, media filter harus dibersihkan dengan cara Backwash yaitu mengalirkan air dan udara dengan


(79)

arah berlawanan dengan arah proses penyaringan. Backwash dilakukan pada sore hari pukul 16.00 wib setiap hari untuk 2 buah bak filtrasi. Saat 2 buah bak filtrasi di-backwash, 4 buah bak filtrasi masih tetap difungsikan sehingga proses pengolahan air tetap berlangsung.

Program backwashing berlangsung selama 80 menit, yang terdiri dari: 20 menit dengan udara

20 menit dengan air 20 menit dengan udara 20 menit dengan air.

Pompa yang digunakan untuk backwash memiliki debit 380 m3/jam.

3.2.5 Reservoir

Air yang telah melalui proses prasedimentasi, koagulasi, flokulasi, sedimentasi, desinfeksi dan filtrasi dialirkan ke reservoir untuk selanjutnya didistribusikan ke pelanggan melalui jaringan pipa.

Dimensi reservoir IPA Meunasah Reudeup adalah sebagai berikut: Panjang : 25 meter

Lebar : 18 meter Tinggi : 3 meter


(80)

Gambar 3.15 Reservoir

Pendistribusian air yang dilakukan oleh IPA Meunasah Reudeup saat ini dapat dilihat berdasarkan pengoperasian pompa distribusi pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Distribusi Air Ke Pelanggan Menurut Waktu

Pukul Debit

(l/det) Keterangan

5:00 40

Beban Puncak

6:00 80

7:00 80

8:00 80

9:00 80

10:00 40

11:00 40

12:00 40

13:00 40

14:00 40

15:00 40

16:00 40

17:00 80

Beban Puncak

18:00 80

19:00 80

20:00 40

21:00 40

22:00 0

Pendistribusian dihentikan

23:00 0

0:00 0

1:00 0

2:00 0

3:00 0

4:00 0

Dengan mengikuti pola distribusi tersebut, Instalasi Meunasah Reudeup mengalami kehilangan air sebesar 60%.


(81)

3.3 Hasil Pengamatan

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, dapat dibuat bagan proses pengolahan air yang dilakukan oleh Instalasi Pengolahan Air (IPA) Meunasah Reudeup seperti berikut ini:


(82)

Air dari Proses Backwash dialirkan kembali menuju Bak Penampungan Air Baku

Blower

Proses Backwash

Sungai Krueng Keureutu

: Dosing Pump

: Pompa Bertekanan Keterangan

Larutan Kaporit

Pelanggan Sampoinit sampai Panton Labu Rawa tempat pembuangan lumpur

Pelanggan sampai Lhoksukon

Reservoir

Rapid Sand Filter

Lumpur dari Clarifier Clarifier

Larutan Aluminium Sulphat Larutan Soda Ash

Bak Penampungan Air Baku

(I N T AK E)

WT P

M .ASAN

WT P

M .REU DEU P

LH OK SU K ON


(83)

BAB IV EVALUASI

4.1 Evaluasi Bak Penampung Air Baku dan Prasedimentasi

Tidak adanya bak prasedimentasi khusus menyebabkan bak penampung air baku berfungsi ganda yaitu untuk menampung air baku dan prasedimentasi.

Gambar 4.1 Dimensi Bak Penampung Air Baku

Jarak antara pipa inlet air dari intake ke bak penampungan air dengan pipa

outlet menuju Clarifier adalah 18 meter. efektif tidaknya proses prasedimentasi

yang terjadi bergantung pada waktu detensi aliran horizontal air (t1) dan waktu

endap partikel (t2).

Air menuju Clarifier

Air dari Intake

3 meter

25 meter

18 meter 8,9 meter


(84)

Pada studi ini efektifitas prasedimentasi akan diuji untuk partikel pasir berukuran 0,1 mm hingga 1,2 mm. Data – data pendukung yang dibutuhkan adalah:

g : percepatan gravitasi, 9.81 m/d2

: rapat massa air, 1000 (kg/m3) : rapat massa partikel, 2650 (kg/m3)

: viskositas dinamik air, untuk 20oC = 1.01 x 10-3 (m2/detik)

d : diameter partikel (m)

Dihitung menggunakan persamaan stokes’. Untuk diameter partikel 0.1 mm:

0,0089 m/detik

Perhitungan dilanjutkan hingga diameter partikel 1,2 mm. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Hasil Perhitungan Kecepatan Endap Partikel berdasarkan Diameter

d (meter) 0.0001 0.0002 0.0003 0.0004 0.0005 0.0006 0.0008 0.0010 0.0012

W0(m/detik) 0.0089 0.0267 0.0505 0.0748 0.0989 0.1192 0.1387 0.1889 0.2172

Kecepatan aliran horizontal air (v0) berdasarkan debit aliran air (Q)

diperoleh melalui perhitungan yang ditunjukan oleh tabel berikut:

Perhitungan waktu detensi aliran horizontal air (t1= p.l.t/Q) dapat dilihat


(85)

Tabel 4.2 Perhitungan Waktu Detensi Aliran Horizontal Air

Q

L/detik 40 70 140 150

m3/detik 0.04 0.07 0.14 0.15

Panjang m 18 18 18 18

Lebar m 8.9 8.9 8.9 8.9

Kedalaman m 3 3 3 3

t1 detik 12015 6865.714 3432.857 3204

Perhitungan waktu endap partikel (t2= t/w0) dapat dilihat pada tabel berikut

ini:

Tabel 4.3 Perhitungan Waktu Endap Partikel

d (meter) 0.0001 0.0005 0.0006 0.0008 0.001 0.0012

W0 (m/detik) 0.0089 0.2225 0.3205 0.5698 0.8903 1.282

tinggi m 3 3 3 3 3 3

t2 detik 337.07 30.33 25.17 21.63 15.88 13.81

Hasil perhitungan menunjukkan waktu detensi aliran horizontal air (t1)

lebih besar dari waktu endap partikel (t2). Artinya prasedimentasi yang terjadi

pada bak penampungan air baku efektif.

Namun akan ada beberapa kendala dilapangan yang akan membuat hasil perhitungan diatas tidak berlaku diantaranya:

1. Berat jenis partikel yang lebih ringan dari 2650 (kg/m3) akan mempengaruhi kecepatan endap sehingga kecepatan endap menjadi lebih kecil dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengendap.

2. Pengaruh cuaca seperti angin dan hujan akan menyebabkan air di dalam bak penampungan terguncang sehingga endapan sedimentasi akan naik dan ikut terbawa masuk pada Clarifier.


(1)

LAMPIRAN I

Foto – Foto Lapangan


(2)

(3)

Lampiran I.2 Foto Clarifier IPA Meunasah Reudeup


(4)

Lampiran I.3 Foto Bak Penampung Air Baku dan Reservoir


(5)

Lampiran I.4 Foto Bak Rapid Sand Filter IPA Meunasah Reudeup


(6)

Lampiran I.5 Foto Intake (Sungai Krueng Keureutu) dan Pompa Distribusi Air