Kemitrasejajaran MITRA SEJAJAR PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

15

BAB II MITRA SEJAJAR PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

A. Kemitrasejajaran

Dalam kamus besar B ahasa Indonesia kata “Kemitraan” 1 mengandung arti jalinan kerja sama. Kemitraan pada suami istri dalam kehidupan rumah tangga dapat diartikan suatu jalinan kerja sama, kalau dalam suatu sistem kehidupan berumah tangga dikatakan suami mencari nafkah dan istri mengasuh anak dirumah, inipun mencerminkan makna suatu jalinan kerja sama. Adapun kata “sejajar” sepadan dengan baris, deret, sebaris, sederet, sejalan,sama arah dan jarak sama derajat, tingkat dan parallel. Laki-laki dan perempuan dapat menjadi mitra sejajar yang harmonis apabila keduanya memiliki persamaan tingkat, derajat hak dan kewajiban, kedudukan peranan dan kesempatan dalam berbagai bidang, dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, kesejajaran seperti itu belum terwujud sepenuhnya karena berbagai faktor penyebab kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam mewujudkan kemitrasejajaran. Kemitrasejajaran yang harmonis antara perempuan dan laki-laki adalah kondisi dinamis apabila perempuan dan laki-laki memiliki kesamaan hak, kewajiban dan kedudukan, peranan dan kesempatan yang dilandasi sikap dan perilaku yang saling menghormati, saling menghargai, saling membantu dan saling mengisi dalam berbagai bidang. 16 Dengan demikian kemitrasejajaran tidak dilandasi oleh keinginan untuk menciptakan persaingan antara laki-laki dan perempuan. Dalam islam, pada hakikatnya Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling menghormati, saling membantu sesuai dengan kodrat masing-masing, Apabila dalam kehidupan riil antara laki-laki dan perempuan, kususnya dalam kehidupan berumah tangga suami dan istri menjadi mitrasejajar yang harmonis, potensi sumber daya keduanya secara maksimal dapat bermanfaat. Itulah tujuan islam, sebagaimana tujuan Tuhan menciptakan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini kita dapat mengetahui apakah laki-laki dam perempuan telah menjadi mitrasejajar atau belum kita dapat menggunakan berbagai kriteria, di antaranya sebagai berikut: 1. Partisipasi aktif perempuan sebagai mitrasejajar laki-laki dalam perumusan kebijakan pengambilan keputusan, perencanaan dan dalam kegiatan sehari-hari. 2. Manfaat yang diperoleh perempuan dari hasil pelaksanaan berbagai kegiatan. Baik sebagai pelaku maupun sebagai penikmat hasilnya. 3. Akses dan kontrolpenguasaan perempuan terhadap berbagai sumber daya. 4. Dampak terhadap kedudukan dan peranan perempuan. Kemitrasejajaran dapat direalisasikan bila suasana yang kondusif dapat diciptakan khususnya dalam kehidupan berkeluarga, yang didalamya laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri mampu berperan dalam suatu jajaran atau jejer bahasa 17 jawa yaitu duduk sama rendah berdiri sama tinggi 6 , Dalam kehidupan nyata sehari- hari tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dan tidak ada hak-haknya yang lebih besar, serta tidak ada yang peranannya lebih penting dari yang lain. Jadi “Kemitrasejajaran” adalah kesejajaran hak dan kewajiban serta kesempatan antara laki-laki dan perempuan baik dilingkungan kehidupan berkeluarga khususnya, maupun dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan dapat bekerja sama sebagai mitra sejajar yang harmonis dalam arti selaras, serasi, seimbang yang ditandai dengan sikap dan perilaku yang saling peduli, menghormati, menghargai, serta membantu dan mengisi, serta dilandasi rasa saling asih, asah dan saling asuh. Kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki secara normatif dalam ajaran islam mempunyai prinsip pokok yaitu persamaan antara manusia sebagai mahluk Allah, baik antara perempuan dan laki-laki, bangsa atau suku dan keturunan.Sedangkan perbedaan yang meninggikan dan merendahkan seseorang hanya dapat di nilai dari pengabdian dan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.       جح : Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.QS.49al-Hujarat:13. Kemitrasejajaran antara perempuan dan laki- laki dalam ajaran qoth‟I fundamental secara normative adalah setara, kendati ada perbedaan biologis, di dalam berbagai 6 Asisten IV Mentri Negara UPW dalam semiloka kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki di Jakarta,9-10 Oktober 1996. hal 8-9 18 ayat dalam berbagai surat misalnya kata yang menunjuk laki-laki selalu bergandengan dengan kata yang menunjuk perempuan ث ك “ kata dzakaro dan unsa”laki-laki dan perempuan Ad apun ajaran yang bersifat juz‟iyah particular adalah ajaran yang bersifat kontekstual, terkait dengan dimensi, ruang dan waktu.ajaran ini bersifat dhonni tidak mutlak, bisa terjadi modifikasi atau tetap dipertahankan sebagaimana bunyi harfiahnya sehingga terwujud nilai-nilai keadilan bagi orang yang terkait misalnya dalam kesaksian dan waris. Kaum perempuan yang berpendidikan menurut status yang sejajar dengan laki-laki. Sebagian masyarakat menyatakan secara tegas bahwa perempuan diberikan status yang lebih rendah. Sebagian mode rnis dikalangan ulama‟ islam cenderung menyakini bahwa al- Qur‟an memberikan status yang sejajar bagi kedua jenis kelamin ini yaitu perempuan dan laki-laki Ajaran islam yang bersumberkan al- Qur‟an dalam hal ini merujuk kepada normative dan sekaligus konstektual. Al- Qur‟an secara normative memihak kesetaraan status bagi kedua jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Secara konstektual al- Qur‟an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas kaum perempuan. Para ahli hukum islam dengan mengabaikan konteksnya berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dari pengertian normative. Dalam pandangan sosiologis-antropologis. Kemitrasejajaran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sosial baik lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat 19 mengalami pergeseran dan perbedaan yang signifikan secara sosiologis antropologis diantaranya yaitu: 1. Nomad bangsa pengembara termasuk masyarakat arab. Ketika al- Qur‟an diturunkan. Pada masyarakat ini menurut Engels bahwa kaum laki-laki harus pergi berburu menghadapi binatang-binatang buas dan berperang, sementara kaum perempuan harus diam dirumah karena kodradnya hamil, melahirkan dan menyusui 7 karena yang demikian ini akan membawa implikasi ekonomis politis. ketika kaum laki-laki pulang dari berburu, perang dan lain sebagainya membawa aset ekonomis dan politis. Sedangkan kaum perempuan tidak memiliki jasa seperti itu. Situasi inilah yang kemudian mengantarkan adanya dominasi laki-laki atas perempuan. 2. Agraris; secara statistik sistem matrilinial dan matrilokal timbul bukan pada masyarakat yang berburu, tetapi pada masyarakat yang bertani ketika secara ekonomis suatu pekerjaan tidak memerlukan otot kuat, tetapi dikarenakan alam. Maka perempuan lebih dominan atau setidak-tidaknya sejajar sehingga ada ungkapan ibu pertiwi. Hal ini adalah refleksi sosiologis antropologis yang serba murah kepada penghuninya seperti Dewi Sri dan sebagainya. 3. Modern; pada masyarakat ini tidak lagi pekerjaan di dominasi oleh kekuatan fisik namun oleh keterampilan. Perempuan dirumah dengan industri rumahan 7 Dr.Hj.Zaitunah Subhan.Tafsir kebencian,Studi Bias Gender Dalam Al- Qur‟an,LkiS Yogyakarta, hal 92, lihat juga Arif Budiman Op.Cit.hal 20 20 komputer, pekerjaan di Bank menjadi sama nilainya dengan kaum laki-laki, implikasinya pada aspek pendidikan ekonomi dan politik. Oleh karena itu, diskusi mengenai kemitrasejajaran diperlukan rekontruksi penafsiran al- Qur‟an atau rekonstruksi sosial mengikuti al-Qur‟an atau hadist. Dari sinilah adanya pendekatan tekstual problematic, kontekstual dan reinter pretatip. Implikasinya antara lain pada kepemimpinan, kewarisan dan kesaksian. Per-Undang-undangan di Indonesia memandang bahwa Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan bermula dan tumbuh pada era Repelita IV yaitu dari gagasan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Ny.Lasiah Sutanto SH, alm. Gagasan-gagasan tersebut kemudian disusun menjadi suatu konsep dan diperjuangkan oleh para anggota MPR hingga dapat di tuangkan dalam TAP MPR nomor IITAP1993 tentang Garis-garis Basar Haluan Negara pada era Repelita V. Pada era Kabinet Pembangunan VI tahun 1993 Kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dicanangkan sebagai wawasan dan strategi untuk mencapai sasaran dan tujuan peningkatan dan kedudukan dan peranan perempuan disegala bidang kehidupan, khususnya dalam bidang kehidupan berkeluarga. Di situ masih terdapat adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hak maupun kwajiban 8 . Prinsip –prinsip kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan dicerminkan dalam pancasila sebagai landasan idiil, UUD 1945 sebagai landasan konstitusionaldan GBHN sebagai landasan operasionaldan telah menempatkan perempuan dalam 8 Zaitunah Subhan OP.Cit. hal 94-95 21 keluhuran kodrat, harkat dan martabatnya sebagai warga Negara yang mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, serta peranan yang sama. Kemitrasejajaran laki-laki dan paerempuan ini di cananngkan oleh presiden sebagai tema pidato pada peringatan Hari Ibu 22 Desember 1995 di Mojokerto, Jawa Timur. Wawasan kemitrasejajaran ini juga telah di muat dalam Deklarasi Jakarta 1994, dan telah disepakati untuk dikembangkan dikawasan Asia pasifik sesuai dengan kondisi Negara masing-masing. Hasil konferensi tersebut disampaikan sebagai bahan masukan pada konferensi Internasional Wanita ke-4 di Beijing 1995, Dengan demikian, wawasan kemitrasejajaran tidak saja membudaya di kalangan masyarakat Indonesia, tetapi juga masyarakat di Negara-negara kawasan Asia Pasifik dan berkembang diseluruh dunia. Di dalam masyarakat Indonesia yang terdiri dari ribuan suku dengan adat dan karasteristik yang heterogen, kedudukan laki-laki dan perempuan cukup bervariasi. Ada hukum adat yang menempatkan perempuan lebih dominan matriarkhat, misalnya Minangkabau. Ada hukum adat yang menempatkan laki-laki lebih dominan patriarkhat, misalnya Batak dan Bali. Ada pula yang menempatkan kedudukan laki- laki dan perempuan seimbang parental, misalnya Jawa. Untuk menelaah masalah tersebut pada bagian ini akan di uraikan bagaimana ketentuan perundang-undangan yang mengatur kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan. yaitu: 1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 – 34 2. Ketetapan MPR Nomor II MPR1988 dan tap MPR Nomor IIMPR1993 22 3. Undang – Undang, dan 4. Peraturan pemerintah. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 –34 menyatakan bahwa semua warga Negara berkedudukan sama. Secara implisit, warga Negara tidak hanya kaum laki-laki tetapi termasuk juga kaum perempuan, jadi Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai mitra sejajar. Ketetapan MPR merupakan ketetapan perundang-undangan tingkat kedua setelah UUD 1945. Didalam dua ketetapan MPR tersebut, dapat diamati peranan perempuan dalam pembangunan pada PJPT I dan PJPT II yaitu Tap MPR Nomor II MPR 1988 pada butir 10, sedang dalam ketetapan MPR Nomor II MPR 1993 pada butir 9, 13, dan 32 9 . Ketetapan tersebut pada awalnya memberikan kedudukan yang sama pada laki-laki dan perempuan atau menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitrasejajar, namun pada akhir kalimat masih diikuti dengan pernyataan bahwa kemitrasejajaran tersebut “sesuai atau dengan memperhatikan kodrat, harkat dan martabatnya seseorang sebagai perempuan”. Tingkat ke tiga dari urutan perundang-undangan yang mengatur kedudukan laki-laki dan perempuan adalah undang-undang nomor 1 tahun 1974, peraturan pemerintah PP nomor 9 tahun 1975 dan PP nomor 10 tahun 1990. Pasal 31 UU 11974,ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa perempuan isrti merupakan mitrasejajar dari laki-laki suami, sedangkan dalam ayat 3 menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga 9 Zaitunah Subhan OP.Cit. hal 97 23 dan istri menjadi ibu rumah tangganya, sehingga dalam masyarakat tumbuh pemahaman yang kurang menguntungkan.

B. Kemitraan perempuan dan laki-laki dalam islam