sanksi militer haruslah tetap didasarkan atas prinsip-prinsipasas-asas dan tujuan PBB, yaitu tetap menghormati persamaan kedaulatan, hak negara untuk
mempertahankan kemerdekaan politik dan keutuhan wilayah sesuatu negara. Dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional melalui
langkah-langkah secara kolektif untuk mengatasi adanya ancaman dan pelanggaran perdamaian maupun tindakan agresi terhadap suatu negara, tindakan
DK PBB sesuai dengan Pasal 1 ayat 1 tersebut haruslah didasarkan prinsip- prinsip keadilan dan hukum internasional tanpa merugikan kepentingan nasional
sesuatu negara. Dari uraian diatas nampaknya jelas bahwa yang menjadi dasar pengaturan
persamaan kedaulatan dalam pengambilan keputusan di DK PBB adalah Pasal 2 ayat 1 Piagam PBB yang merupakan asas atau prinsip dari PBB dan seluruh
organ-organnya. Artinya, DK PBB sebagai salah satu organ utama harus menempatkan persamaan kedaulatan sebagai landasan dalam setiap pengambilan
keputusan.
4. Alasan Pembenar Secara Yuridis Digunakannya Hak Veto
Dalam Piagam PBB, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menyatakan bahwa kelima negara anggota tetap DK PBB memiliki hak veto, namun secara
implisit tersirat, hak veto itu muncul dari penafsiran Pasal 27 ayat 3 Piagam PBB, yang menyatakan :
“Keputusan-keputusan DK mengenai hal-hal lainnya non prosedural akan ditetapkan dengan dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara bulat
dari anggota-anggota tetap, dengan ketentuan bahwa dalam keputusan-keputusan dibawah Bab VI dan dibawah ayat 3 pasal 52 pihak yang berselisih tidak
diperkenankan memberikan suaranya. Yang dimaksud “suara bulat anggota tetap” dalam Pasal 27 ayat 3
Piagam PBB tersebut diatas adalah berarti “hak veto”. Persoalan yang kemudian
Universitas Sumatera Utara
timbul adalah bagaimana menetapkan suatu persoalan termasuk “prosedural” atau “non prosedural” ?
Bila diamati, dalam Piagam PBB sendiri tidak terdapat perumusan yang merupakan masalah prosedural ataupun non prosedural. Pada pertemuan di San
Fransisco, keempat negara besar AS, Uni Sovyet, Inggris dan Cina telah membuat daftar, mana yang termasuk masalah prosedural, sebagai contoh
keputusan yang didasarkan pada persoalan tata tertib Pasal 28-32 Piagam, pertanyaan yang sehubungan dengan agenda penundaan rapat. Sedangkan yang
termasuk masalah non prosedural adalah rekomendasi untuk penyelesaian sengketa dan keputusan untuk tindakan dan kekerasan. Dalam hal adanya keragu-
raguan apakah suatu kasus termasuk perkara prosedural atau non prosedural, maka masalah tersebut menjadi masalah non prosedural.
63
Padahal hak veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK memiliki kekuatan yang memadai, dalam prakteknya telah menyimpang dari
maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto oleh kelima negara anggota tetap DK, terutama AS telah digunakan dengan tidak ada batasnya. Lihatlah praktek
penggunaan hak veto selama in, yang telah digunakan sebanyak 261 kali, sebagian Jika kita cermati, maka kewenangan anggota tetap DK PBB untuk
melakukan veto terhadap masalah-masalah non prosedural, lebih bersifat politis, sehingga memang secara politis eksistensi hak veto kiranya dapat dibenarkan. Hal
ini sebagaimana diuraikan terdahulu, dapat dijelaskan bahwa alasan sah bagi pemberian status luar biasa hak veto kepada kelima negara anggota tetap DK
PBB adalah sehubungan dengan dibebankannya tanggung jawab yang berat kepada kelima negara anggota tetap tersebut dalam memelihara perdamaian dan
keamanan internasional. Oleh karena itu kepada mereka harus diberikan hak suara final dan sekaligus penentu tentang bagaimana tanggung jawab itu harus
dilaksanakan. Kiranya asumsi dan alasan ini merupakan suatu keputusan yang sangat politis sekali.
63
Sri Setianingsih Suwardi, loc.cit., hlm.293.
Universitas Sumatera Utara
besar diantaranya 123 kali oleh Uni SovyetRusia sampai pertengahan dasawarsa 1990 an. Sebagian besar diantaranya 59 dan 43 digunakan untuk mencegat
anggota baru dan pencalonan Sekretaris Jenderal. Dalam 5 tahun belakangan ini, AS tercatat sebagai negara yang paling sering menggunakan hak veto 10 kali
64
Masalah yang lebih sulit adalah apabila DK PBB harus memutuskan suatu masalah dengan tidak hadirnya anggota tetap DK PBB. Bila masalah yang
diputuskan adalah masalah prosedural, maka tidak hadirnya anggota tetap DK .
Dengan demikian semakin mempertegas bahwa konsepsi hak veto menempatkan kelima negara anggota tetap DK PBB memiliki kedudukan dan atau kedaulatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Namun justru konsep tersebut bertentangan dengan asas persamaan kedaulatan
principle of the sovereign equality. Dengan demikian, jika ada anggapan oleh sebagian besar anggota PBB
bahwa secara yuridis eksistensi hak veto ini telah melanggar atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional umum, seperti persamaan kedaulatan,
maka anggapan itu benar adanya. Oleh karena itu secara tegas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada alasan pembenar secara yuridis terhadap
penggunaan hak veto, selain dalam Piagam PBB juga tidak ada ketentuan secara eksplisit.
Penggunaan Veto Dalam Praktek Kekuatan veto yang semula dimaksudkan sebagai alat agar DK PBB
mempunyai kekuatan yang manjur, dalam prakteknya telah menyimpang dari maksud semula. Ternyata penggunaan hak veto oleh negara yang mempunyai hak
itu sering dipergunakan dengan tidak ada batasnya. Dalam praktek anggota DK PBB lebih senang memilih abstain daripada menggunakan suara negatifnya dalam
hal DK PBB harus memutuskan suatu masalah.
64
Kusnanto Anggoro, Prioritas Dan Strategi Indonesia di DK PBB, Kompas, 30 Januari 2007, hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
PBB tidak menjadi masalah, tetapi jika keputusan yang harus diambil menyangkut masalah non prosedural, baru timbul masalah, karena masalah non prosedural
harus diputus dengan suara 9 anggota DK PBB termasuk lima anggota tetap. Dalam praktek masalah veto ini telah diperlunak. Penafsiran Pasal 27 3
Piagam secara gramatika bahwa semua anggota tetap Dewan Keamanan harus memberikan suaranya agar suatu draft resolusi Dewan Keamanan dapat
diputuskan; abstain dianggap suatu veto. Tetapi sejak permulaan berdirinya PBB telah ada praktik yang konsisten yang tidak menganggap bahwa absen sebagai
veto dan ini telah diakui dalam praktik lihat keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Namibia. Dampak dari ketidakhadiran anggota tetap Dewan
Keamanan dalam pemungutan suara terjadi tahun 1950 ketika Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan, ketika Dewan Keamanan akan mengambil
keputusan tentang masalah Korea. Korea Utara mengadakan invasi ke Korea Selatan, Dewan Keamanan mengambil resolusi yang menetapkan negara anggota
dapat mengirimkan bantuan ke Korea Selatan. Pada waktu Dewan Keamanan mengambil keputusan Uni Soviet tidak hadir dalam pemungutan suara, karena Uni
Soviet tidak setuju Taiwan menggantikan kedudukan Cina di Dewan Keamanan. Uni Soviet mengatakan bahwa keputusan Dewan Keamanan untuk kasus Korea
tidak sah, karena diputus tanpa persetujuan Uni Soviet. Sebaliknya Uni Soviet Dipersalahkan melanggar Pasal 28 1 Piagam, dimana anggota Dewan Keamanan
mempunyai kewajiban untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan. Berdasarkan alasan ini maka Dewan Keamanan dapat mengambil keputusan walaupun salah
satu anggota tetap tidak hadir. Sejak itu belum ada anggota tetap Dewan Keamanan memboikot Dewan Keamanan.
Di dalam praktiknya saat ini, kewajiban untuk abstain pada salah satu pihak yang terlibat dalam sengketa anggota tetap Dewan Keamanan sering
diabaikan. Salah satu contoh adalah Resolusi Dewan Keamanan dalam Kasus Lockerbie, dimana Dewan Keamanan telah mengambil keputusan terhadap Libya,
Universitas Sumatera Utara
dimana Inggris, Amerika Serikat dan Perancis mengambil bagian dalam pemungutan suara.
65
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan pembenar secara yuridis digunakannya hak veto, tetapi jika ditelusuri, digunakannya hak
veto itu ditafsirkan secara implisit dari pasal 27 ayat 3 Piagam PBB. Dilihat dari praktik veto sebagaimana diuraikan diatas, maka nampak
sekali muatan politis dari digunakannya veto tersebut dalam pengambilan keputusan, sehingga pertimbangan politis lebih menonjol ketimbang
pertimbangan-pertimbangan yuridisnya, bahkan kadang-kadang malah agak bertentangan dengan aspek yuridis.
66
65
Op.cit., hlm. 296-297.
66
Setyo Widagdo, The basis of Equal Sovereignty Principles and Veto Arrangement in the United Nations Security
Council Decision Making, hal. 7-11.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV TINJAUAN YURIDIS ATAS UPAYA REFORMASI
DEWAN KEAMANAN PBB
A. Upaya Reformasi Dewan Keamanan PBB