Kegagalan Sistem Keamanan Bersama

sejarah perkembangannya selama 60 tahun terakhir. Semenjak semula banyak ketentuan-ketentuan Piagam yang tidak lagi memadai, sudah ketinggalan, tidak sesuai dengan realita politik yang ada, dan bahkan ada yang sama sekali tidak dipakai lagi. Demikianlah pembentukan dan peranan menonjol pasukan pemeliharaan keamanan PBB dalam banyak situasi konflik baik bersifat antar negara ataupun internal suatu negara merupakan suatu lembaga yang berkembang pesat di luar Piagam yang telah banyak memberikan sumbangan penting bagi pencegahan sengketa, pembentukan, pemeliharaan, pengukuhan stabilitas dan keamanan di berbagai pelosok dunia.

1. Kegagalan Sistem Keamanan Bersama

Sistem keamanan bersama yang dirancang Piagam dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional dan yang merupakan tulang punggung sistem keamanan PBB hanya tinggal di atas kertas karena dunia setelah Perang Dunia II langsung ditandai dengan suasana saling tidak percaya dan mencurigai antara Blok Timur dan Barat terutama antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Oleh karena itu pembentukan pasukan bersenjata yang merupakan instrumen militer PBB tidak pernah dapat terlaksana karena tidak adanya kesepakatan antara negara-negara besar Dewan Keamanan. Perumusan kesepakatan-kesepakatan khusus seperti yang tercantum dalam pasal 43 Piagam yang harus menentukan cara dan modalitas pengadaan pasukan-pasukan bersenjata dari negara-negara anggota untuk Dewan Keamanan bagi pelaksanaan tugasnya tidak dapat terwujud. 1 Tidak Dibuatnya Kesepakatan-kesepakatan Sesuai Pasal 43 Segera mulai pertengahan bulan Februari 1946, Dewan Keamanan menginstruksikan Komite Kepala-kepala Stafnya yang terdiri dari Kepala-kepala Staf kelima negara anggota tetap untuk mempelajari ketentuan-ketentuan pasal 43 Piagam dari segi militer dan pada waktunya menyampaikan hasil-hasil dari Universitas Sumatera Utara pengkajiannya serta rekomendasi yang dianggap perlu. Beberapa waktu kemudian, Komite menyampaikan laporannya yang berisi sejumlah kesepakatan antara lain mengenai besarnya jumlah pasukan yang harus disediakan oleh anggota-anggota tetap dan kontribusi negara-negara lain. Disamping itu laporan juga berisi perbedaan-perbedaan pandangan atas sejumlah aspek terutama mengenai jumlah keseluruhan pasukan yang harus dimiliki Dewan Keamanan, komposisi pasukan-pasukan kontribusi masing-masing negara anggota tetap disamping modalitas penggunaannya bila terjadi ketidaksepakatan antara kelima negara besar di saat sedang berlangsungnya operasi militer. Dalam perdebatan- perdebatan yang terjadi kemudian di Dewan Keamanan ternyata perbedaan- perbedaan tersebut tidak dapat diatasi. Walaupun diskusi-diskusi tetap dilanjutkan dalam komite, nyatalah bahwa semenjak bulan Juli 1947 kesalingcurigaan yang mewarnai hubungan Uni Soviet dan negara-negara Barat telah menyebabkan perundingan-perundingan tidak berguna lagi. Tampil dan meruncingnya secara cepat Perang Dingin yang juga ditandai dengan gagalnya perundingan antara menteri-menteri luar negeri yang dijadwalkan oleh Konferensi Potsdam, juga menyebabkan ketentuan-ketentuan pasal 106 Piagam yang bertujuan untuk memberlakukan sementara pasal 43 tidak terlaksana karena tidak adanya kesepakatan antara anggota-anggota tetap. Demikianlah sengketa Timur Barat telah menggagalkan sistem keamanan kolektif PBB. Sistem ini bukan gagal dalam pelaksanaannya tetapi gagal sebelum lahir sebagai akibat suasana Perang Dingin yang langsung menandai hubungan internasional pasca Perang Dunia II. 2 Sistem Keamanan Melalui Cara Lain Gagalnya sistem keamanan bersama dalam kerangka PBB ini telah mendorong negara-negara blok Timur dan Barat mengembangkan zona-zona pengaruh dan blok-blok militer. Terhadap politik zona pengaruh yang dilakukan secara aktif oleh Uni Soviet di eropa Timur dengan segera diimbangi negara- negara Barat, dengan Amerika Serikat sebagai intinya, mendirikan Pakta Persekutuan Atlantik Utara NATO pada tanggal 4 April 1949. Pembentukan suatu persekutuan pertahanan seperti NATO ini secara resmi dapat dianggap Universitas Sumatera Utara sesuai dengan pasal 51 Piagam. Menurut pasal tersebut negara-negara anggota PBB baik secara individual maupun kolektif dapat melaksanakan hak bela diri bila mendapat serangan bersenjata dari negara lain sambil menunggu Dewan Keamanan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Pembentukan NATO ini mendapat reaksi dari negara-negara komunis Eropa Timur. Dengan berintikan Uni Soviet sebagai kekuatan militer utama, mereka juga membentuk pakta pertahanan bersama pada tanggal 14 Mei 1955 yang dikenal dengan Pakta Warsawa. Pembentukan pakta-pakta pertahanan ini merupakan bukti bahwa negara- negara tidak mungkin lagi mengharapkan sistem keamanan bersama PBB, dan karena itu mereka mencari sendiri cara-cara lain untuk melindungi mereka melalui sistem aliansi tradisional yang dilengkapi dengan teknik-teknik organisasi internasional dan integrasi militer. Pembentukan kedua sistem pertahanan ini juga merupakan pengukuhan dari suasana Perang Dingin yang berdampak negatif terhadap kerjasama negara-negara terutama di Dewan Keamanan di bidang pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Kurangnya kerjasama tersebut terbukti dengan penggunaan hak veto yang berlebih-lebihan dari negara- negara anggota tetap, terutama Uni Soviet sehingga melumpuhkan kegiatan- kegiatan operasional perdamaian Dewan Keamanan. Sebagai contoh, Uni Soviet telah menggunakan sebanyak 100 veto antara tahun 1946-1962. 32 Sebagaimana yang telah disinggung sebelum ini, tidak adanya wakil Uni Soviet di Dewan Keamanan di waktu meletusnya Perang Korea pada bulan Juni 1950 telah memungkinkan Organ tersebut membentuk suatu pasukan militer Veto ini pada umumnya digunakan untuk melindungi kepentingan negara besar bersangkutan dan negara-negara yang dilindunginya. Lumpuhnya Dewan Keamanan karena penggunaan hak veto yang berlebih-lebihan telah menyebabkan peranan Majelis Umum lebih menonjol selama beberapa waktu. 3 Sistem Union untuk Pemeliharaan Perdamaian 32 Claude-Albert Colliard, op.cit, p.217 Universitas Sumatera Utara internasional untuk menghadang agresi yang datang dari Korea Utara. Setelah wakil Uni Soviet tersebut menduduki kembali kursinya di Dewan Keamanan, tidak mungkin lagi dibuat resolusi-resolusi mengenai intervensi militer PBB mengenai Perang Korea tersebut. Untuk keluar dari jalan buntu, atas prakarsa AS, Majelis Umum PBB pada tanggal 3 Nopember 1950 menerima resolusi yang dikenal dengan nama Uniting for Peace Resolution Res. No. 377 V, yang dikenal juga dengan nama resolusi Dean Acheson yang memberikan wewenang kepada Majelis Umum untuk bertindak bila Dewan Keamanan menjadi lumpuh karena penggunaan hak veto. Memang benar resolusi Uniting for Peace ini dirancang untuk memungkinkan Majelis Umum menangani masalah Korea, namun dalam pemikiran para pemrakarsa, resolusi tersebut juga dimaksudkan untuk membuat suatu sistem permanen yang dapat terus berfungsi apabila PBB berada dalam situasi yang sama. Ketentuan sentral resolusi tersebut memberikan kemungkinan kepada Majelis untuk membahas semua keadaan di mana terjadi ancaman terhadap perdamaian atau suatu agresi dan membuat rekomendasi-rekomendasi yang sesuai mengenai tindakan-tindakan kolektif termasuk penggunaan senjata bila diperlukan sekiranya Dewan Keamanan tidak dapat melaksanakan tugas pokoknya. Dengan kata lain, Majelis merasa berkewajiban untuk menggantikan Dewan bila Dewan tersebut gagal melaksanakan tugasnya kendatipun terdapat pembatasan-pembatasan yang diberikan kepada Majelis sesuai pasal 11 ayat 2 Piagam. Dalam keadaan ini Majelis sebagai ganti Dewan dapat mengambil tindakan-tindakan kolektif seperti yang tercantum dalam Bab VII Piagam. Sesuai resolusi Uniting for Peace tersebut Dewan dapat mengambil Majelis Umum untuk mengadakan sidang khusus darurat dalam waktu 24 jam bila Majelis sedang tidak bersidang di saat terjadinya ancaman terhadap perdamaian yang memerlukan intervensi PBB. Tentu saja Majelis Umum hanya dapat membuat rekomendasi namun seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Perang Korea hal tersebut tidak menjadi kendala bila paling tidak ada satu negara adidaya yang siap memberikan pasukan bersenjatanya kepada PBB bila diminta oleh Organisasi dunia tersebut. Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi mekanisme yang baru ini, Majelis Umum membentuk dua komisi antara pemerintah yang masing-masingnya terdiri dari 14 negara. Komisi pertama bernama Komisi Observasi untuk Perdamaian yang bertugas memantau situasi di kawasan di mana terdapat ancaman terhadap perdamaian. Komisi kedua bertugas untuk mempelajari tindakan-tindakan kolektif dan cara- cara penggunaannya untuk memelihara dan memperkokoh perdamaian termasuk pembentukan unsur militer dari negara-negara anggota. Jadi misi Komisi kedua adalah untuk menggantikan misi komite Kepala Staf seperti yang dicantumkan dalam pasal 43 Piagam. Kepada negara-negara anggota diminta untuk menyiapkan dalam angkatan bersenjata mereka kesatuan-kesatuan militer yang terlatih, terorganisir dan dilengkapi sebegitu rupa sehingga dapat dengan cepat bertugas sebagai kesatuan-kesatuan dari PBB. Juga diminta agar negara-negara anggota memberitahu secepat mungkin komposisi dan besarnya kesatuan- kesatuan militer tersebut kepada komisi. Di atas kertas sistem baru ini cukup menarik dan secara nyata bertujuan untuk menggantikan sistem kesepakatan- kesepakatan khusus sesuai pasal 43 Piagam yang gagal terlaksana. Namun sistem pengganti yang dirancang Majelis Umum ini juga mengalami kegagalan. Sebabnya ialah karena tidak adanya reaksi dari negara-negara anggota atas permintaan untuk menyediakan pasukan-pasukan yang dengan cepat dapat digunakan oleh PBB. Seperti juga halnya dengan upaya pembentukan pasukan PBB sesuai dengan pasal 43, tidak satupun negara yang bersedia memberikan komitmen sebelumnya, melalui pengadaan pasukan, terhadap suatu sengketa yang belum jelas bentuknya dengan kemungkinan melibatkan kepentingan kedua negara adidaya. Akhirnya pada tahun 1956 gagasan ini secara definitif ditinggalkan karena tidak sesuai dengan realita politik dunia yang ada.

2. Pemeliharaan Perdamaian Sesuai Sistem Piagam