Secara umum, proposal yang diusulkan oleh negara-negara dalam upaya reformasi Dewan Keamanan PBB menyangkut dan membahas lima persoalan
kunci sebagai berikut: 1
Jenis keanggotaan Categories of membership 2
Persoalan hak veto Question of veto 3
Keterwakilan kawasan Regional representation 4
Jumlah anggota DK setelah perluasan serta metoda kerjanya Size of the enlarge Security Council and its working methods; dan
5 Hubungan antara DK dengan Majelis Umum PBB The relationship
between the Security Council and the General Assembly.
67
Dalam pembahasan reformasi DK PBB, isu yang paling contentious atau panas adalah mengenai perluasan keanggotaan tetap dan hak veto. Berbagai
usulan yang diajukan dalam beberapa tahun terakhir ini antara lain dari kelompok Uniting for Consensus - UfC, G-4, Kelompok Afrika belum berhasil
menjembatani perbedaan fundamental antara negara-negara anggota PBB.
1. Kelemahan yang Terdapat di Dewan Keamanan dan Proposal untuk melakukan Reformasi
Dewan Keamanan PBB bukanlah lembaga atau institusi yang sempurna. Kelemahan mendasar dari organ ini telah menyebabkan banyaknya tuntutan dari
sebagian besar negara-negara anggota PBB untuk melakukan reformasi. Hubungan antara Dewan Keamanan dan Majelis Umum yang tegang bukan hanya
karena Dewan Keamanan adalah sebuah organ eksklusif yang berisi lima belas anggota yang tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan umum dari
mayoritas anggota PBB. Sebagaimana fakta menunjukkan bahwa badan ini mampu mengeluarkan keputusan yang bersifat mengikat sementara resolusi dari
Majelis Umum yang berisi 193 anggota sama sekali tidak mengikat secara hukum
67
http:kemlu.go.idPagesIIssueDisplay.aspx?IDP=13l=id, situs resmi kementerian luar negeri Republik Indonesia, diakses tanggal 15 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
serta kepercayaan dari banyak anggota PBB bahwa Dewan Keamanan semakin memperluas mandatnya merupakan faktor lain yang memberikan kontribusi
terhadap hubungan yang tidak nyaman ini.
68
Reformasi yang pertama dan satu-satunya terhadap Dewan Keamanan terjadi pada tahun 1965 yaitu terjadinya penambahan jumlah anggota tidak tetap
Dewan Keamanan. Alasan utama dari reformasi ini adalah bahwa jumlah negara- negara anggota PBB telah lebih dari dua kali lipat dari jumlah semula dan telah
meningkat dari 51 negara menjadi 114 negara. Sejak reformasi itu, jumlah negara anggota PBB telah meningkat secara substansial lagi terutama setelah pecahnya
Uni Soviet banyak anggota baru bergabung dengan PBB. Hari ini, PBB memiliki 193 anggota. Ketidakseimbangan jumlah anggota antara Majelis Umum dengan
DK PBB membuat DK PBB sangat eksklusif dan justru menunjukkan salah satu ketimpangan utama dari Dewan ini. Ukuran jumlah dari Dewan ini sangat tidak
mencerminkan perkembangan keanggotaan PBB dan juga ini bertentangan dengan isi Pasal 2 Piagam; yaitu “prinsip persamaan kedaulatan dari semua ...
anggota. Fokus reformasi PBB tertuju pada upaya untuk menjadikan Dewan
Keamanan DK lebih demokratis dan representatif. Banyak negara memandang bahwa Dewan Keamanan PBB perlu direformasi karena tidak lagi mencerminkan
realitas geopolitik dan tidak mencerminkan keterwakilan kawasan secara merata. Diperlukan upaya rebalancing antara kawasan dan meningkatkan keterwakilan
negara berkembang di Dewan Keamanan yang merupakan 23 dari seluruh negara anggota PBB.
69
68
Pernyataan dari Robert Hill mantan Duta Besar Australia untuk PBB dalam sebuah wawancara khusus yang dilakukan oleh Sahar Okhovat pada bulan Juni 2011.
69
Weiss, ‘Overcoming Security Council Reform Impasse’, hal. 10.
Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak negara menuntut agar jumlah dari anggota tetap dan anggota tidak tetap dari DK PBB ditambah.
Keterwakilan kawasan dari anggota Dewan juga banyak menuai kritik. DK PBB memiliki dua anggota tetap yang berasal dari Eropa Barat. Sementara Afrika,
benua terpadat kedua dan Amerika Selatan tidak memiliki satupun perwakilan tetap di badan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Usulan agar diadakannya reformasi dalam tubuh Dewan Keamanan PBB disebabkan oleh ketidak efektifan negara-negara pemegang hak veto dalam
menyelesaikan masalah perdamaian dan keamanan internasional serta penyalahgunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan. Hal ini terlihat
dari kasus penggunaan hak veto pada perang Korea oleh Uni Soviet, penyalahgunaan hak veto dalam penyelesaian konflik terusan Suez 1956 antara
Inggris dan Perancis, ketidak pedulian Amerika Serikat AS pada himbauan PBB untuk menghentikan invasi atas Irak pada tahun 2003 dan yang terakhir dari kasus
akhir-akhir ini yang melanda Suriah akibat konflik kepentingan dari negara- negara anggota tetap DK PBB khususnya antara Amerika Serikat dengan Rusia.
Keterangan-keterangan diatas menunjukkan dan menggambarkan mengapa hak veto menjadi salah satu titik lemah terbesar dalam Dewan Keamanan dan
menjadi faktor utama yang menjadikan organ ini tidak demokratis. Kurangnya transparansi dari organ ini, bagaimana metode kerjanya hingga agenda-agendanya
yang kontroversial, semuanya menjadi bahan kritikan sejak awal berdirinya dan pada akhirnya menimbulkan tuntutan yang kuat terhadap reformasi badan
tersebut. Banyak negara yang kritis terhadap agenda Dewan karena mereka percaya konflik yang terjadi di Eropa, Afrika dan Timur Tengah lebih cenderung
muncul dalam agenda DK PBB dibandingkan konflik yang terjadi di Asia dan Amerika Selatan. Bahkan, peran Dewan Keamanan dalam memelihara
perdamaian dan keamanan internasional memiliki pendekatan yang berbeda di masing-masing wilayah negara yang berbeda.
70
Yang terakhir, titik lemah dari Dewan Keamanan yang akan ditunjukkan yaitu sesungguhnya anggota tetap Dewan, setidaknya dalam satu dekade terakhir,
merupakan lima dari sepuluh negara-negara pengekspor senjata terbesar di dunia. Dari tahun 2000 sampai 2010, bersama-sama mereka bertanggung jawab terhadap
71 persen total ekspor senjata konvensional yang dilaporkan. Pasal 26 menyatakan bahwa Piagam dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan internasional,
Dewan Keamanan harus bertanggung jawab untuk merumuskan, dengan bantuan
70
Ibid., hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
Komite Staf Militer ... rencana yang akan disampaikan kepada para Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pembentukan sistem pengaturan persenjataan
.
71
Oleh karena itu, para anggota tetap Dewan Keamanan, beberapa eksportir senjata terbesar, bertanggung jawab membangun sistem regulasi persenjataan dan
harus mengontrol perdagangan besar ini. Konflik kepentingan ini tidak memungkinkan Dewan Keamanan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Seperti
apa yang Jimmy Carter akui dan jelaskan dengan baik dalam kampanye presidennya di tahun 1976. Dia mengatakan bahwa kita tidak bisa memiliki
kedua-duanya. Kita tidak bisa menjadi negara pendukung kedamaian terkemuka di dunia sekaligus menjadi negara pemasok persenjataan terbesar di dunia.
72
Beberapa proposal reformasi Dewan Keamanan dalam berbagai kategori ukuran, hak veto, representasi kawasan, penggolongan keanggotaan, dan metode
kerja telah dikembangkan selama bertahun-tahun. Usulan untuk perluasan Dewan Keamanan, baik dengan penambahan anggota tetap atau tidak tetap, telah
memperoleh kemajuan yang relatif. Jerman dan Jepang, dua kontributor utama program PBB, bersama dengan India negara terpadat kedua dan Brasil
membentuk sebuah kelompok yang disebut G-4 dalam rangka untuk melobi secara kolektif dan saling mendukung upaya mereka satu sama lain untuk
mendapatkan keanggotaan permanen di Dewan Keamanan. Di sisi lain, ada beberapa negara yang menentang tawaran G-4, terutama karena persaingan politik
regional dan karena kekhawatiran tentang posisi mereka sendiri jika tetangga atau saingan mereka mendapatkan kursi permanen di Dewan. Mereka membentuk
kelompok oposisi yang disebut Uniting for Consensus. Anggota inti dari kelompok ini adalah Italia, Pakistan, Korea Selatan, Meksiko, Argentina, Spanyol,
Turki, Kanada, dan Malta dan mereka menganjurkan penambahan kursi non- permanen. Mengingat Korea Selatan tidak ingin Jepang mendapatkan kursi
permanen, Pakistan menentang India, Argentina dan Meksiko menentang
71
The United Nations, Charter of the United Nations 1945, http:www.un.orgendocumentscharterindex.shtml, diakses tgl 28 Agustus 2011.
72
Anup Shah, The Arms Trade is Big Business, updated 5 October 2010, http:www.globalissues.orgarticle74the-arms-trade-is-big-business, diakses tanggal 28
Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
keanggotaan permanen Brasil, dan Spanyol dan Italia dapat dianggap sebagai saingan utama politik regional dari Jerman.
73
Boleh-boleh saja kita mengatakan, sebagaimana yang dikatakan oleh mantan Duta Besar Australia untuk PBB, bahwa
negara-negara yang tergabung dalam Uniting for Consensus tidaklah bergabung dikarenakan pemufakatan antara mereka tetapi karena penentangan terhadap salah
satu dari rival mereka yang ada di kelompok G-4.
74
Tentunya, negara-negara tersebut tidak secara terbuka mengakui fakta ini dan menyatakan bahwa
penentangan mereka terhadap penambahan kursi permanen adalah karena reformasi demokratis dan representatif tidak dapat dicapai melalui penambahan
anggota tetap. Mereka percaya bahwa usaha G-4 untuk menambah kursi anggota tetap tidak efektif karena hanya akan memberikan hak istimewa ke beberapa
negara sementara tidak memperdulikan sebagian besar negara lain.
75
Berbeda dengan sikap mereka beberapa tahun yang lalu, para anggota tetap mulai mendukung beberapa proposal reformasi pada perluasan keanggotaan
dan telah menjadi pandangan umum dari mayoritas negara-negara. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Kugel, sifat Dewan Keamanan yang relatif lebih
terbuka terhadap beberapa usulan reformasi, seperti perluasan anggota tetap Dewan, dimaksudkan untuk melegitimasi kursi mereka di Dewan Keamanan
sebagai anggota tetap dan juga untuk melegitimasi keputusan mereka sendiri. Para anggota tetap DK PBB itu sangat menyadari bahwa mayoritas keputusan dewan
sangat berpengaruh dan menyangkut negara-negara Afrika yang tidak memiliki perwakilan tetap di Dewan dan karena itu mereka menyadari bahwa mereka harus
memberikan dukungan suara yang lebih kuat ke benua itu. Ini adalah alasan utama dukungan mereka terhadap penambahan kursi Afrika ke Dewan Keamanan. Para
anggota tetap Dewan Keamanan juga mulai mendukung beberapa kandidat yang berasal dari kelompok G-4. AS baru-baru ini mendukung tawaran India serta
73
John Langmore, A Step towards Security Council Reform, dibuat pada bulan Oktober 2008, http:www.nautilus.orgpublicationsessaysapsnetpolicy-forum2008langmore-UNSC,
diakses tgl 28 Agustus 2011.
74
Pernyataan dari Robert Hill mantan Duta Besar Australia untuk PBB dalam sebuah wawancara khusus yang dilakukan oleh Sahar Okhovat pada bulan Mei 2011.
75
Alischa Kugel, ‘Reform of the Security Council: A New Approach’, Friedrich Ebert Stiftung, Jurnal Singkat Nomor 12 September 2009, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Jepang dan Brasil meskipun tidak pernah secara terbuka mendukung Jerman. Seorang pejabat Australia, memberikan keterangan dan percaya bahwa
sebenarnya Amerika tidak mendukung tawaran dari G-4. Secara bijaksana AS tidak menyatakan sikap mereka secara jelas tentang keengganan mereka untuk
memberikan dukungan itu karena mereka tidak ingin dianggap sebagai penghambat reformasi Dewan Keamanan PBB. Pejabat Australia tersebut percaya
pada fakta bahwa semua anggota G-4 yang hadir di Dewan memilih abstain dari pemungutan suara untuk menjatuhkan resolusi ke Libya membuat Amerika lebih
ragu-ragu dalam melanjutkan dukungan mereka terhadap kelompok G-4 ini. Akan tetapi negara Inggris, Perancis, dan Rusia, lebih mendukung anggota G-4 dalam
masalah ini. Perancis dan Inggris, khususnya, mendukung upaya negara-negara Afrika untuk memperoleh kursi tetap di Dewan Keamanan. Sikap China, malah
jauh lebih berbeda. Negara ini tidak mendukung penambahan anggota tetap dan menentang upaya dari kelompok G-4 tersebut. Meskipun, negara ini bukan bagian
dari “Uniting for Consensus”, pihaknya sangat mendukung kepentingan kelompok ini dan melakukan lobi untuk kepentingan mereka. Meskipun China tidak secara
terbuka menegaskan penolakannya terhadap G-4 tetapi banyak kalangan menilai bahwa kehadiran Jepang di G-4 merupakan alasan utama dibalik penolakan China.
Ada juga usulan reformasi lainnya terhadap perluasan keanggotaan di Dewan Keamanan. “The Ezulwini Consensus” yang diadopsi pada tahun 2005
oleh Uni Afrika African Union, meminta alokasi dua kursi permanen disertai hak veto serta dua kursi non-permanen pada benua Afrika itu. Ambisi yang frontal
dari usulan reformasi ini terutama dalam hal meminta perolehan hak veto serta ketidakmampuan negara-negara Afrika untuk menyepakati negara Afrika mana
yang akan menjadi kandidat terhadap usulan ini menyebabkan masalah besar yang menghambat proposal ini. Beberapa dari kandidat Afrika yang berpotensial telah
memahami kelemahan dari perjanjian ini mungkin berpikir berhenti untuk memberikan dukungan terhadap Konsensus Ezulwini. Namun, tindakan ini yang
dapat membahayakan status mereka untuk Uni Afrika African Union dan juga bisa berakibat buruk terhadap status mereka sebagai perwakilan dari Afrika.
Universitas Sumatera Utara
Selama Pemerintahan Howard, Australia menyarankan reformasi Dewan Keamanan berupa usulan agar badan tersebut seperti deretan bertingkat tiga
dimana anggota kelompok G-4 dan Indonesia bergabung sebagai anggota tetap tanpa hak veto. Dikatakan bahwa proposal ini bisa memberikan dukungan suara
yang lebih kuat terhadap negara-negara berkembang dan kehadiran Indonesia akan menjadi perwakilan sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Namun,
tampaknya dukungan kepada Indonesia telah menurun dan menjauh dari wacana publik. Pada umumnya banyak negara memberikan dukungan kepada kelompok
African Union untuk menempatkan dua wakilnya di Dewan Keamanan Tetap PBB, dan juga kelompok G-4 selain Jerman karena mereka menilai bahwa
perwakilan Eropa sudah sangat besar di Dewan. Mereka percaya bahwa tak seorang pun memiliki monopoli atas pengambilan keputusan terkait masalah ini
dan karena itu mendukung reformasi Dewan Keamanan dan metode kerjanya. Banyak pihak juga menyadari bahwa upaya reformasi terhadap hak veto
merupakan isu kontroversial dengan sedikit peluang untuk sukses. John Langmore, dalam artikelnya mengatakan bahwa salah satu proposal
reformasi yang lebih mudah dan dapat diterima adalah upaya peningkatan jumlah anggota tidak tetap Dewan Keamanan dan menggabungkannya dengan
penghapusan klausul yang melarang anggota non-permanen untuk mengajukan pencalonan kembali sebagai anggota sebelum mereka pensiun. Saran ini mungkin
terdengar sangat menarik bagi para anggota G-4, karena ini bisa membantu mereka tetap berada di Dewan Keamanan dalam waktu yang lama tanpa menarik
banyak pihak oposisi ketika mereka nantinya secara jelas mengutarakan keinginan mereka untuk memperoleh kursi permanen di Dewan.
Yang terakhir ada masukan yang menyarankan bahwa para anggota G-20 dapat menjadi kandidat yang cocok untuk keanggotaan DK PBB karena mereka
mewakili lebih dari 65 populasi penduduk dunia dan gabungan PDB mereka memiliki persentase yang besar dari total PDB dunia. Namun kebanyakan para
ahli dan khususnya Australia tidak mendukung usulan ini. John Langmore khususnya sangat menentang hal itu dengan alasan bahwa para anggota G-20,
Universitas Sumatera Utara
meskipun dipilih dengan baik dalam hal kekuatan ekonomi yang mereka miliki dan keterlibatan mereka dalam perdagangan serta representasi daerah,
dikhawatirkan malah akan membuat Dewan Keamanan lebih tidak demokratis karena negara-negara kecil dan miskin dengan tidak adanya prospek mereka
bergabung ke dalam kelompok G-20 akan membuat mereka tidak dapat memiliki akses dan tidak dapat memiliki perwakilan di Dewan Keamanan. Selain itu, fungsi
G-20 serta kebijakan-kebijakan yang menyertainya baru-baru ini telah banyak menuai kritik terutama karena banyak negara anggota PBB menganggap PBB lah
yang seharusnya bertindak sebagai mekanisme utama terhadap pembangunan ekonomi global, bukan kelompok G-20.
Meskipun usulan tentang perluasan keanggotaan Dewan merupakan usulan terkemuka, ada pandangan umum di kalangan negara-negara anggota PBB yang
berpandangan bahwa pemenuhan usulan perluasan keanggotaan DK PBB tidak harus menjadi prasyarat untuk pengajuan usulan reformasi lainnya. Hak Veto dan
metode kerja Dewan Keamanan harus direformasi juga. Ada beberapa usulanproposal mengenai reformasi hak veto mulai dari membatasi
penggunaannya terhadap isu-isu penting keamanan nasional, penghapusannya secara menyeluruh, serta permintaan untuk perluasannya bagi anggota tetap
Dewan Keamanan yang baru. Kategori reformasi ini adalah yang paling kontroversial yang mengundang banyak perdebatan dan tidak memiliki dukungan
yang kuat. Oleh karena itu, hak veto biasanya tidak berada dalam agenda debat internasional mengenai reformasi DK PBB dan tidak banyak negara yang
meminta dukungan terhadap isu tersebut. Ketika ditanya antisipasi tentang masa depan reformasi hak veto, seorang komentator menegaskan bahwa ia akan
sangat terkejut jika kami dapat membuat banyak kemajuan dalam masalah ini. Pandangan ini juga dipercayai oleh para ahli lainnya yang percaya bahwa para
anggota tetap DK PBB tidak akan menyerahkan kekuasaan hak veto mereka dengan mudah, sehingga gagasan untuk melakukan reformasi hak veto hampir
terdengar mustahil. Walaupun demikian, John Langmore berpikir ada kemungkinan di masa depan para anggota tetap Dewan Keamanan dapat
Universitas Sumatera Utara
menyetujui mengenai pembatasan keadaan di mana saja dan dalam hal apa saja hak veto dapat digunakan. Akan tetapi perkembangan usulan mengenai
pembatasan hak veto tersebut lebih cenderung pembatasan dalam bentuk norma- norma ketimbang pembatasan mengikat secara hukum.
76
76
Pernyataan dari Robert Hill mantan Duta Besar Australia untuk PBB, John Langmore Presiden Asosiasi Australia untuk PBB dan pejabat Australia dalam sebuah wawancara khusus yang
dilakukan oleh Sahar Okhovat pada bulan Juni 2011.
Di sisi lain, mayoritas negara mendukung perbaikan dalam metode kerja Dewan Keamanan dan
mencoba untuk membuat Dewan lebih transparan tentang pertemuan- pertemuannya dan keputusan-keputusan yang dikeluarkannya.
Beberapa pihak juga berpendapat bahwa perluasan Dewan Keamanan akan membuat badan tersebut terlalu besar dan akibatnya menyebabkan DK PBB tidak
terkendali dan tidak efektif. Namun, organ ini perlu diperluas seperti yang terjadi pada tahun 1965. Reformasi ini tidak akan tercapai dengan mudah. Saat ini sudah
banyak dukungan dibandingkan sebelumnya dari negara-negara anggota PBB terhadap upaya reformasi Dewan Keamanan untuk keterwakilan kawasan yang
lebih adil serta perluasan Dewan Keamanan. Lagi-lagi masalah utama yang muncul adalah tentang menyepakati rincian dari proposal reformasi itu. Mungkin
sangat kelihatan bahwa mayoritas masyarakat internasional mendukung perluasan Dewan tetapi jika kita menggali lebih dalam, kita dapat melihat ada perbedaan
pendapat yang mendasar mengenai kandidat maupun proposal mana yang terbaik. Oleh karena itu, timbul pertanyaan baru apakah mereka dapat mencapai suatu
konsensus tentang reformasi Dewan, dan yang lebih penting proposal manakah yang lebih populer, yaitu tentang perluasan keanggotaan atau perbaikan prosedur
kerja Dewan yang secara efektif dapat meningkatkan akuntabilitas dan kinerja Dewan.
2. Waktu yang Tepat untuk Melakukan Upaya Reformasi Dewan Keamanan